Minggu, 29 Oktober 2023

Prof. Dr. Mohamad Nur

 Pagi ini, sepulang dari jalan pagi, saya membuka HP dan mendapati pesan dari Bu Yanti (Prof. Dr. Suryanti) bahwa Pak Nur (Prof. Dr. Mohamad Nur) wafat. Beberapa saat kemudian juga masuk pesan yang sama dari Pak Wasis (Prof. Dr. Wasis). Jujur saya kaget. Memang Pak Mus (Prof Dr. Muslimin Ibrahim) pernah bercerita bahwa Pak Nur sakit tetapi tidak serius. Pak Tri (Prof. Dr. Tri Wrahatnolo) juga pernah cerita kalau Pak Nur sakit.  Usia beliau sekitar 81 tahun, tetapi setahu saya beliau rajin olahraga dan sangat menjaga makanan.

Mendengar berita bahwa Pak Nur wafat, ingatan saya menerawang ke belakang. Saya mengagumi beliau, berhutang budi kepada beliau dan dalam hati saya mengatakan Pak Nur adalah “bapak akademik” saya. Saya mengenal nama beliau sejak mahasiswa tingkat awal, dengan membaca makalahnya. Seingat saya makalah itu disampaikan di acara wisuda yang tentu saya sendiri tidak ikut hadir. Saya lupa judulnya dan dari mana mendapatkannya.  Yang saya ingat makalah itu membahas bagaimana sains dan teknologi digunakan untuk menjelajah angkasa luar.  Sebagai mahasiswa tingkat awal di tahun 1970an awal, lulusan STM dan dari daerah tentu sangat kagum dengan makalah tersebut.

Saya mulai mengenal dekat beliau sekitar akhir tahun 1990 atau awal 1991.  Saat itu saya sedang menempuh S3 dan telah merampungkan penyusunan disertasi, tinggal konsultasi akhir dan ujian. Oleh karena itu saya sering ke kampus. Pada suatu saat saya sholat Jum’at di kampus dan setelah itu pulang. Baru selesai makan siang di rumah, Mbak Atik (staf Pak Nur) menilpun mengatakan saya dicari Pak Nur.  Tentu saya segera kembali ke kampus menghadap beliau yang saat itu menjabat Pembantu Rektor I.  Ternyata saya diminta melanjutkan pekerjaan Pak Cholik (Prof. Dr. Toho Cholik Muthohir) menyusun RIP (Rencana Induk Pengembangan) IKIP Surabaya, karena Pak Cholik sakit. Sejak saat itu saya banyak membantu beliau. Apalagi setelah lulus, saya ditugasi menjadi Wakil Ketua TPP (Tim Perencanaan dan Pengembangan) dan kemudian menjadi Ketuanya. Bahkan saya dikirim ke Philippine untuk ikut pelatihan di Inotech dan kemudian diminta ke London menjajagi pengiriman studi lanjut di ULI (University of London-Institute od Education).

Sekitar 6 tahun membantu beliau saya merasa mendapat banyak ilmu dan merasa mendapat bimbingan menjadi akademisi yang benar. Apalagi kemudian saya diajak dalam beberapa penelitian.  Salah satunya penelitian Hibah Bersaing multiyear sekama lima tahun.  Tampaknya beliau menggunakan penelitian itu untuk wahana melatih para yuniornya.  Seingat saya banyak yang awalnya ikut, tetapi secara perlahan berguguran dan tinggal beberapa orang saja. Tampaknya banyak teman yang tidak tahan tuntutan tinggi Pak Nur yang dikenal perfectionist. Dapat dibayangkan kalau mengoreksi naskah daru yuniornya bisa sampai 3 atau bahkan 4 kali baru disetujui.  Biasanya beliau mengoreksi dengan ballpoint yang bewarna bitu atau hijau.  Bahkan suatu saat kami, beliau dan para yuniornya, menyiapkan laporan penelitian sampaj jam 02 pagi dan beliau masih belum setuju.  Ketika saya memberanikan diri mengatakan bahwa sudah jam 03, pada hal beliah harus ke Jakarta dengan pesawat jam 05, beliau menjawab kira-kira “masih ada 120 menit”, karena beliau akan berangkat ke bandara jam 04.

Memang terbukti teman-teman yang tahan mengikuti Pak Nur, di kemudian hari menjadi akademisi handal, bahkan beberapa diantaranya menjadi pejabat penting di Unesa.  Seperti kata Pak Wakil Rektor I (Prof. Dr. Madhlazim) Pak Nur adalah panutan bagi banyak yuniornya.  Pekerja keras, sangat teliti dan banyak ide.  Seingat saya, beliau yang menelorkan RKT (Rencana Kegiatan Tahunan) yang memuat apa saja yang akan dikejakan selama satu tahun, apa targetnya, kapan waktunya, berapa bianya dan siapa penanggungjawabnya.  Saat RKT pertama dibuat dan belum ada program excel (paling tidak kami belum tahu), sehingga saya sebagai Ketua TPP bersama Pak Budi Sampurno (Bendahara DPP) harus bekerja keras menghitung angaran setiap kegiatan agar pas.

Beberapa peristiwa lucu yang saya ingat saat bekerja dengan Pak Nur adalah terkait dengan makanan.  Beliau sangat perhatian dengan asupan makanan, mungkin karena harus kerja keras.  Untuk makan beliau tidak mau sembarangan, harus yang bergisi dan dari restoran.  Salah satu makanan yang saat itu favorit adalah TAMI yang hanya ada di restoran Anda.  Kejadian lain, beliau punya kulkas di kantornya untuk menyimpan buah. Nah, kami para staf tahu dimana  kunci kulkas disimpan. Suatu saat, pas beliau tugas keluar kota dan kami diberi tugas yang harus segera diselesaikan sehingga kerja sampai malam. Karena lapar, saya memberanikan diri mengambil apek dari kulkas dan saya bagi ke teman-teman, Saya bilang ke teman-teman, kan harus kerja keras sampai malam, jadi ya harus makan yang sehat dan cukup. Nah, setelah datang dari luar kota, konon Pak Nur minta Mbak Atik membeli apel. Mbak Atik berkomentar apakah apel di kulkas habis. Pak Nur berkomentar “paling diambil Pak Muchlas saat kerja lembur”.  Dapat cerita itu saya tentu tertawa, ternyata Pak Nur tahu yang berani mengambil buah dari kulkasnya hanya saya

Sabtu, 28 Oktober 2023

SISTEM NILAI KITA BERGESER?

Sekian tahun lalu ada kelakar. Konon ada seorang tokoh di negeri ini ulang tahun dan seluruh anak cucunya berkumpul. Satu persatu cucunya ditanya minta hadiah apa.  Tentu anak-anak senang, sehingga minta macam-macam.  Dasar beliau orang kaya, sehingga cucunya minta apapun tidak kawatir karena pasti dapat membelinya.  Tiba cucu yang sudah agak besar, ketika ditanya minta hadiah apa, tidak mau menjawab.  Diulangi lagi, minta apa tetap tidak mau menjawab. Setelah didesak menjawab “saya malu eyang”.  Yang menarik, si eyang menjawab “kalau malu saya tidak punya”.

Apa yang diceritakan di atas tentu bukanlah kejadian sesungguhnya. Namanya juga lelucon yang dibuat, didramatisasi oleh si pengarang. Namun mungkin saja itu sebuat satire yang sengaja dibuat oleh seseorang yang merasa mengintakan pembaca atau pendengar bahwa ada perilaku tokoh yang dianggap kurang baik.  Saya teringat lelucon itu karena rasanya akhir-akhir terjadi dalam kehidupan sesungguhnya saat ini.  Orang-orang yang pernah korupsi dan bahkan dipenjara tidak sungkan untuk tampil ke publik, menyampaikan pendapat di media televisi maupun media lainnya. Bahkan beberapa diantaranya menjadi pimpinan suatu organisasi yang katanya memperjuangkan nasib rakyat.  Ketika masih berada di dalam penjarapun, ada yang tidak sungkan tampil di media masa, sambil tertawa.

Ada versi yang lain.  Ada pimpinan yang ditangkap karena korupsi, pada hal beberapa hari sebelumnya yang bersangkutan mengadakan “apel integritas” yang diikuti oleh banyak karyawan bawahannya.  Konon pada apel tersebut yang berangkutan menekankan bahkan mengancam jika ada karyawan korupsi akan dipecat.  Orang menjadi bertanya-tanya ketika beberapa hari sesudah itu justru yang bersangkutan ditangkap KPK.  Pada hal penangkapan KPK selalu didahului dengan pengintaian cukup lama. Jadi saat yang bersangkutan memimpina apel integritas, petugas KPK yang sedang mengintai tersenyum.  Jika si pengintai itu orang Jawa, mungkin berguman “ora ndelok gitoke” yang artinya kurang lebih “tidak melihat kesalahan sendiri”.

Versi lain lagi. Ada tokoh yang menghujat tokoh lain yang konon menjadi “lawannya”. Ee, beberapa waktu kemudian yang bersangkutan membela tokoh yang dihujat itu mati-matian. Pada hal publik masih apa yang dahulu diucapkan atau bahkan ada rekaman yang dimuat oleh media masa.  Seakan-akan kejadian itu membenarkan ungkapan bahwa bagi orang tertentu, tidak ada kawan atau lawan abadi. Yang ada adalah kepentingan abadi.  Siapa yang yang berbeda atau menghalangi kepentingannya menjadi lawan dan siapa yang mendukung kepentingannya menjadi kawan.

 

Apakah sistem nilai kita sudah bergeser, sehingga korupsi dianggap bukan sesuatu yang salah dan mengambil sesuatu yang bukan haknya.  Apakah pendapat bahwa korupsi itu sama dengan mencuri dan yang dicuri adalah uang rakyat, sudah tidak belaku lagi?  Apakah pameo yang mengatakan bagi seorang tokoh yang dipegang itu omongannya, sudah tidak berlaku lagi ya?  Apakah satunya perkataan dan perbuatan haruslah menjadi pedoman dalam kehidupan, sudah tidak berlaku ya?  Apakah kata bijak bahwa seorang tokoh haruslan konsisten dengan apa yang dikatakan sudah tidak berlaku ya?

Jujur saya tidak tahu dan bahkan bingung.  Sebagai pendidik saya merasa kesulitan kalau harus menjelaskan fenomena itu. Untung tidak pernah anak siswa dan mahasiswa yang bertanya.  Biarlah para ahli psikologi, ahli filsafat, ulama, pendeta, pastur yang mencari jawabnya. Biarlah masyarakat yang menilainya.  Biarkan sejarah yang akan mencatat dan membuktikan “siapa dia”.

Mungkin ada yang berdalih, bukankah dahulu Bung Karno, Bung Hatta, bahkan Buya Hamka juga pernah dihukum. Bukankah Anwar Ibrahim yang sekarang menjadi Perdana Menteri Malaysia juga pernah dihukum. Saat ini juga ada tokoh yang dahulu pernah dihukum di jaman Orde Baru. Namun sepanjang pengetahuan saya, empat orang  yang disebutkan pertama dan beberapa tokoh muda tersebut dihukum bukan karena korupsi tetapi karena berbeda pandangan atau katakankah menentang pemerintahan atau penguasa saat itu.

Sebagai pendidik dan orang yang pernah meneliti dan menulis buku Pendidikan Karakter, saya ngeri melihat fenomena ini.  Mengapa?  Karena menurut apa yang say abaca “fenomena yang terjadi berulang-ulang dan dibiarkan lama-lama akan menjadi kebenaran”.  Saya takut kalau fenomena yang saya ceritakan di atas terus terjadi, maka pada akhirnya masyarakat akan menganggap hal seperti itu benar.  Jangan-jangan itu yang menyebabkan pendidikan karakter “gagal”, karena contoh yang terjadi di masyarakat tidak sama dengan diajarkan oleh guru di sekolah.

Senin, 02 Oktober 2023

SEKALI LAGI PENDIDIKAN KARAKTER

Minggu di grup WA yang saya ikut beredar video yang memuat seorang siswa SMP di Cilacap menganiaya temannya.  Saya merasa ngeri melihat kejadian itu.  Hari berikutnya kejadian itu banyak dimuat di berbagai media. Bahkan menurut siaran TV video tersebut menjadi topik pembahasan di media internasional. Konon yang menganiaya itu seorang pimpinan gang yang beranggotakan 30 orang. Siswa teman sekolah yang melihat penganiayaan itu tidak berani melerai karena takut.  Berita terebut belum reda, di TV muncul berita ada remaja Perempuan yang juga dianiaya oleh temannya di Sulawesi Selatan dan akhirnya menjadi utusan polisi.

Sebagai seorang pendidik dan juga pernah menulis buku tentang Pendidikan Karakter, saya bingung merenungkan kejadian tersebut.  Mengapa remaja itu tega menganiaya temannya dengan sangat brutal. Pada hal menurut berita, penganiayaan di SMP Cilacap itu hanya karena korban mengaku menjadi anggota kelompok, sementara yang di Sulawesi Selatan korban dekat dekat dengan pacar di pelaku.  Mungkin teman-teman yang mendalami psikologi sosial perlu melakukan kajian mengapa alasan yang menurut saya sepele itu dapat mendorong anak remaja melakukan penganiayaan yang sampai masuk ke ranah pidana.

Mengingat kedua pelakunya remaja dan bahkan yang di Cilacap melakukannya dengan pakaian seragam sekolah, muncul pertanyaan apakah pendidikan karakter yang selama ini dilaksanakan tidak berhasil ya?  Pentingnya pendidikan karakter telah disampaikan oleh Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara pada tahun 1930.  Pasal 3 Undang-undang Sisdiknas juga menyebutkan pentingnya karakter.  Dari 8 aspek yang ingin dicapai pendidikan, empat diantaranya merupakan karakter, yaitu beriman, berakhlak mulia, mandiri dan bertanggungjawab.  Sejak saya di SD seingat saya Budi Pekerti menjadi salah satu penilaian dalam rapor. Ketika Prof Mohammad Nuh menjadi Mendikbud secara khusus memiliki program Pendidikan Karakter yang saat itu saya sebut Revitalisasi Pendidikan Karakter, karena sudah ada sebelumnya walaupun kurang berhasil. Mendikbudristek Nadim Makarim juga menjadikan Karakter sebagai salah satu program utama, sehingga ada suvai karakter dalam Asesmen Nasional.  Bahkan perundungan menjadi salah satu butir dalam Akreditasi Sekolah/Madrasah/

Pertanyaannya mengapa masih ada siswa yang menganiaya temannya?  Apakah itu pertanda Pendidikan Karakter belum berhasil untuk tidak mengatakan gagal?  Dalam hal serius seperti ini sebaiknya kita jujur dan tidak mencari dalih apalagi menutupi.  Yang paling penting, jika kita masih yakin bahwa pendidikan karakter itu penting, mencari sebab mengapa itu gagal. Mungkin konsep berpikir “From Hindsight to Foresight” yang pernah diajukan oleh Fishhoff dapat digunakan untuk mencari jalan keluar. Fishhoff menyarankan agar menggerutu, menggunjing, menyesali suatu kejadian (hindsight) harus dihentikan dan sebagai gantinya kita harus melakukan analisis mencari sebab musabab mengapa itu terjadi (insght).  Jika sebab musabab itu ditemukan, kita mencari solusi agar kejadian itu tidak terulang kembali (foresight).

Ketika akan menulis buku Pendidikan Karakter, saya dengan beberapa teman melakukan studi cukup lama. Kami melakukan survai ke berbagai daerah, wawancara dengan berbagai kalangan dan mengamati beberapa sekolah/madrasah/pondok pesantren yang berhasil melaksanakan pendidikan karakter.  Kami menyimpulkan bahwa pendidikan karakter yang efektif dilakukan melalui proses pembudayaan yang disertai keteladanan.  Meminjam istilah Pak Dahlan Iskan, karakter tidak dapat diajarkan tetapi dapat ditularkan.  Jadi yang mengajar harus berkarakter lebih dahulu sebelum mengajarkan (menularkan) kepada siswa/santri atau kepada orang lain. Konon almarhum Kyai Hamid dari Pasurusan suatu saat memberi tausiah dan ditengah-tengahnya berhenti.  Ketika ditanyakan mengapa berhenti, beliau menjelaskan tausiah yang disampaikan belum beliau laksanakan, sehingga beliau merasa tidak berhak menyampaikan kepada jamaah.  Nanti setelah melaksanakan, tausiah akan disampikan. Artinya, seseorang tidak boleh menyuruh orang lain melakukan sesuatu kalau yang bersangkutan sendiri belum melaksanakan.

Mungkinkah kita orang-orang dewasa, orangtua, pada pendidik, para pimpinan negeri ini belum berperilaku seperti yang kita harapkan kepada anak-anak?  Mungkinkah perilaku anak-anak yang kita anggap kurang baik itu justru hasil meniru perilaku kita?  Mungkinkan anak-anak yang menganiaya temannya itu meniru perilaku kita?  Rasanya pertanyaan-pertanyaan itu perlu direnungkan sebagai refleksi diri sebagai orangtua, sebagai pendidik, dan juga mereka yang menyandang jabatan pemimpin di negeri ini.