Kamis, 27 Juni 2013

KARGOORLIE: TAMBANG EMAS YANG ADUHAI

Semula saya enggan ikut ke Kargoorlie.  Memang ada kampus Western Australia School of Mines (WASM) untuk Departemen Mining dan Metallurgy.  Sekolah Pertambangan (S1,S2,S3) terbaik di Australia dan konon “sekelas” dengan yang di Colorado Amerika Serikat.  Tetapi jaraknya 600 km dari Perth kearah timur dan berada di gurun pasir dan menyatu dengan lokasi pertambangan. Penempatan kampus disitu dengan maksud mendekatkan dengan industri terkait, agar mahasiswa dapat menggunakan fasilitas yang relevan.

Namun setelah mendapat penjelasan dari beberapa teman bahwa Kargoorlie merupakan model pertambangan emas yang sangat baik, saya tertarik untuk ikut.  Walaupun harus menunda kepulangan ke Indonesia dan tidak dapat ikut melihat ujian keterampilan calon mahasiswa baru.  Kami terbang dari Perth jam 10.45 dan sampai di Kargoorlie pukul 11.45. Waktunya makah siang.  Namun karena acara cukup padat, jadi kami tidak sempat makan siang.  Untungnya sarapan di bandara Perth cukup “besar” dan di pesawat dari roti, jadi cukup untuk mengganjal perut di siang hari.

Dari bandara kami langsung ke WASM dengan menumpang mobil sewaan dengan sopir mahasiswa WASM dari Kashmir.  Saya duduk di samping sopir sambil mendengarkan cerita sang sopir, yang dengan semangat bercerita penderitaan masyarakat di sana.  Tentang itu sudah sering kit abaca, namun yang baru saya dengar adalah bahwa 20% wilayah Kashmir sudah menjadi bagian dari China.

Di WASM kami ditemui oleh Prof Stephen Hall, direkturnya dengan beberapa staf lain.   Kita dapat informasi menarik.  Kargoorlie ternyata bukan desert (padang pasir) tetapi woodland. Lahan yang banyak ditumbuhi pohon, walaupun relatif kecil dan tidak rapat seperti hutan.   Jadi seperti lahan yang di sana-sini banyak pohon setinggi kurang lebih 20 m, dengan diameter pohon hanya sekitar 30 cm.  Di sela-sela pohon tersebut tumbuh semak yang mirip dengan semak di daerah tandus.

Kargoorlie mulai dibangun awal tahun 1900an, bersamaan dimulainya eksplorasi tambang emas.  Konon sebelumnya juga sudah ada penduduk asli.   Tentunya suku Aborigin.  Kami juga berkesempatan melihat sekelompok mereka duduk-duduk di bawah pohon. Namun seiring perkembangan tambang emas yang sangat besar, pada akhirnya penduduk Kargoorlie menjadi multi ras dan yang dominan tentu kulit putih.  Namun ketika melihat data staf pengajar di WASM, ternyata sangat  beragam.  Ada orang Jepang, China, India, Timur Tengah.  Juga da orang Indonesia, Dr. Adrian, alumni S1 ITB dan S2, S3 dari perguruan tinggi di Australia. Juga banyak mahasiswa Indonesia yang studi di WASM.  Waktu jamuan sore kami bertemu dengan mereka.  Ada sekitar 7 orang mahasiswa Indonesia yang hadir.

Wilayah Kargoorlie ternyata cukup luas dan asri.  Walaupun penduduknya hanya sekitar 22.000 orang, tetapi jarak dari ujung-ke ujung sekitar 8 km.  Perumahan tertata rapi dengan halaman cukup hijau.  Pertokoan dan fasilitas perbelanjaan juga tersedia.   Kami juga menjumpai ada beberapa toko mobil bekas.  Juga da hotel dan beberapa penginapan.  Pada hal, sebelumnya saya membayangkan Kargoorlie mirip daerah gersang dengan banyak bangunan industri yang mengerluarkan debu.  Ternyata sangat jauh dari itu.  Kotanya bersih dan cantik.  Tampak juga fasilitas hiburan.

Kami diajak berkeliling kota Kargoorlie dengan ditemani staf WASM bernama Louis.  Dia asli Kargoorlie yang sudah bekerja di WASM selama 33 tahun, semenjak berusia 16 tahun.  Orangnya ramah dan dengan diselingi humor terus bercerita tentang Kargoorlie.  Misalnya bagaimana dia menikahi anak kepala sekolah tempat di bersekolah.  Juga bagaimana penduduk Kargoorlie dengan penduduk Bourder yang pada masa lalu tidak mau saling berkunjung.  Mereka dapat saling berbicara atau bercanda, tetapi tidak berani “melewati garis batas” daerahnya.

Salah satu lokasi spesial yang kami kunjungi adalah super pit.  Sebuah lubang sangat besar, tempat penambangan emas dilakukan sampai sekarang.  Lokasi tersebut juga difungsikan sebagai obyek wisata, sehingga pengunjung (termasuk kami) dapat melihat aktivitas karyawan mengeruk batuan dari lubang besar tersebut.  Lokasi super pit hanya sekitar 4 km dari pinggiran kota Kargoorlie.  Jalan ke lokasi juga sangat bagus, sehingga orang mudah kesana.

Dari lokasi yang diperuntukkan bagi wisatawan, kami dapat melihat lubang yang menurut Louis dalamnya sekarang sekitar 600 m.  Diamenternya sekitar 2 km.  Tampak dengan jelas jalan truk besar pengangkut batuan tambang dari dasar sampai ke puncak bukit, tempat truk keluar dari lokasi tambang.  Tampak banyak alat-alat berat yang sedang bekerja di super pit.   Juga tampak adanya debu berhamburan dari lokasi tertentu.  Saya menduga itu lokasi yang sedang ada peruntuhan dinding untuk selanjutnya dipecah-pecah dan diangkut truk.

Louis bercerita waste atau sampah sisa pengolahan emas dibuang berupa lumpur yang ditempatkan berupa gundukan batu di pinggiran kota Kargoorlie.  Louis juga menjelaskan bahwa dari 1 ton batuan rata-rata diperoleh 4,5 gram emas.  Dan kandungan emas yang berhasil diambil hanya sekitar 65% bahkan di masa lalu, ketika teknologi belum semaju sekarang, hanya 45%.  Artinya dalam gunung batu hasil buangan sisa pengolahan tersebut emas tersebut, masih ada kandungan emas cukup banyak.  Oleh karena itu, Louis saya goda, mungkin besuk gunung  batu akan dibongkar untuk mengeluarkan kandungan emas yang tersisa.  Louis hanya tertawa terbahak-bahak.

Ketika akan pulanh saya memilih beberapa buah batu kecil yang warnanya merah kehitaman dengan bintik-binting kuning mengkilat.   Di pintu bis batu tersebut saya tunjukkan Louis dan saya katakana bahwa saya yakin di dalamnya ada butiran emas yang cukup besar.   Dia hanya tertawa dan mengatakan, semoga saya menjadi orang kaya.  Saya juga tertawan dan menyimpan beberapa buah pecahan batu ke dalam tas, sebagai kenang-kenangan.

Apa yang dapat dipelajari dari Kargoorlie?  Pertama, penempatan WASM disana.  Dengan penempatan itu, mahasiswa WASM dapat “menghirup udara dan budaya pertambangan” dan tidak sekedar belajar teori maupun keterampilan.  Kedua, penataan dan pengelolaan Kota Kargoorlie  yang rapi, lengkap dan bersih.  Jauh dari kesan kota tambang yang biasanya kotor dan berdebu.   Ketiga, bagaimana memanfaatkan fasilitas pertambangan sebagai obyek wisata.  Di satu sisi turis tentu tertarik untuk berkunjung dan di pihak lain, pengelola tambang dipaksa selalu menjaga kerapian karena menjadi obyek wisata. 

Kamis, 20 Juni 2013

CHALLENGER INSTITUTE OF TECHNOLOGY

Saya berkunjung ke Challenger  Institute of Technology (CIT) di Perth Australia Barat sebenarnya mengantar dan menjembatani Pemkot Bontang untuk membuka akademi komunitas dalam bidang pertambangan.  Sejak tahun 2011, Unesa diminta membantu Pemkot Bontang untuk mengembangkan Bontang Technopark (BTP) yang isinya semacam akademi komunitas.  Saat itu saya usulkan memilih bidang pertambangan.  Alasannya, karena Bontang memiliki banyak industri besar yang terkait dengan pertambangan dan Bontang dikelilingi oleh kabupaten lain yang kaya akan potensi tambang.  Akan sangat baik kalau akademi komunitas yang dikembangkan menjadi Pusat Pendidikan dan Pelatihan tenaga kerja tingkat menengah bagi industri pertambangan di Kalimantan Timur. 

Ketika diskusi, saya usul juga dipikirkan kenyataan bahwa industri pertambangan pada umumnya padat  teknologi dan juga padat modal.  Oleh karena itu industri pertambangan yang besar biasanya merupakan perusahaan multinasional.  Standar teknologi yang digunakan juga standar internasional.  Kompetensi tenaga kerja juga menggunakan standar internasional.  Dengan demikian jika ingin mengembangkan akademi komunitas bidang pertambangan, harus memenuhi standar internasional, agar lulusannya dapat diserap oleh industri pertambangan besar.

Kedua usul tersebut di atas disetujui.  Selanjutnya saya mengajukan fenomena waralaba.  Rumah makan, toko dan kursus banyak yang menggunakan pola waralaba.  Apakah namanya McDonald, Giant, English First dan sebagainya.  Dengan pola itu, proses produksi, layanan dan kualitas produknya menggunakan standar perusahaan induknya, yang biasanya sudah bagus.  Oleh karena itu produknya juga mudah diterima masyarakat.  Nah, jika pola itu diterapkan maka Akademi Komunitas (AK) di BTP Bontang harus mencari lembaga sejenis di negara maju yang sudah punya reputasi di bidang pertambangan.  Mungkin bentuknya bukan seperti waralaba, tetapi kerjasama penjaminan mutu.

Setelah mencari informasi ke berbagai pihak dan juga membuka web berbagai lembaga, dipilihlah bentuk TAFE (Technical and Further Education) di Australia.  Program di TAFE sangat berorientasi kepada kebutuhan dunia kerja dan sangat luwes.  Karena yang memiliki pengalaman bidang pertambangan adalah TAFE di Australia Barat, kemudian dicari TAFE di Australia Barat yang memiliki program pertambangan dan berkualitas bagus.  Dapatlah Challenger Institute of Technology (CIT) yang menurut informasi bagus dan sudah punya pengalaman “membuka” program di negara lain.

Sejak tahun lalu istilah TAFE tampaknya ingin “dibuang” dan diganti dengan Education and Training Institute (ETI).  Konon alasannya lulusan TAFE sangat bagus kualitasnya dan mendapatkan pekerjaan yang lebih bagus dibanding lulusan S1.  Bahkan banyak lulusan S1 yang kemudian belajar di TAFE untuk mendapatkan keahlian tertentu.  Oleh karena itu akan lebih bergengsi jika disebut ETI.  Dan sejak tahun 2011 konon Challenger TAFE berubah menjadi Challanger Institute of Technology (CIT).

Kami datang di CIT sekitar pukul 11 dan diterima oleh Ibu Alex Elibank Murray (Director, International Relations), Greg Guppy (Director, Training Services), dua staf dan ditemani oleh Prof.  Stephen Hall (Director, Western Australia School of Mines).  Semula saya mengira Alex adalah laki-laki, ternyata perempuan berusia sekitar 35 tahun dan sedang hamil.  Orangnya ramah dan tampak sekali menguasai pekerjaan.  Dialah yang memimpin pertemuan dan menjelaskan berbagai hal tentang CIT.

Stephen Hall saya kenal di Jakarta beberapa bulan lalu.  Waktu itu, Steve panggilan dia, sedang mengikuti konferensi tentang pertambangan.  Kami ngobrol, diskusi sambil sarapan pagi.  Karena yang diperlukan program diploma, sementara di WASM hanya memiliki program S1, S2 dan S3, dia menyarankan agar bekerjasama dengan TAFE. Dia sanggup untuk menjembatani dengan CIT.  Itulah sebabnya dia hadir di pertemuan pagi itu.

Kami mendapat penjelasan singkat tentang CIT, program yang dimiliki dan sebagainya.  Misalnya bahwa CIT memiliki 17 kampus dengan berbagai program keahlian, mulai dari yang “berat/keras” seperti teknologi proses dan pertambangan, sampai yang “lunak/lembut” seperti tata rias dan keperawatan.

CIT mempunyai kerjasama yang erat dengan berbagai industri. CIT ternyata telah bekerjasama dengan perusahaan minyak di NTB dan telah membuka program di Uni Emirat Arab. CIT juga memiliki kerjasama erat dengan universitas, sehingga banyak lulusan CIT yang kemudian melanjutkan ke universitas.  Namun, seperti dijelaskan oleh Greg Guppy, tujuan utama pendidikan di TAFE adalah menyiapkan mahasiswa untuk masuk ke dunia kerja.  Namun banyak lulusan yang setelah bekerja dan hidup mapan, terus melanjutkan ke universitas untuk memperoleh S1, bahkan S2.

Setelah itu kami diajak meninjau workshopnya.  Karena kampus yang kami kunjungi adalah untuk bidang keahlian proses operator, maka memiliki workshop  dan plant teknologi proses.  Kampusnya kecil, hanya sekitar 1 ha. Workshopnya juga kecil, tidak sebesar SMK Negeri yang mapan di Surabaya.  Plant mini yang dijadikan tempat praktek juga kecil, hanya seluas sekitar 20 x 30 meter.

Workhop tampak rapid dan bersih.  Instruktur yang mengantar kami (saya lupa namanya) menjelaskan bahwa pelatihan berjalan sangat ketat dan disiplin.  Peralatan yang digunakan juga mutakhir.  Di setiap kelas, ada berbagai peralatan bekas yang dibelah, sehingga mahasiswa dapat mengetahui bentuk dalamnya.  Konon, setiap saat mahasiswa dapat menggunakan sarana yang ada di kampus, tetapi setelah itu harus dibersihkan dan dikembalikan seperti semula.  Dapat dimengerti kalau workhop tampak bersih dan semua peralatan dan benda contoh tertata rapi di tempatnya.

Ketika meninjau workshop dan plant, saya melihat rombongan praktek yang memakai seragam berlogo BP (British Petroleum).  Ternyata mereka karyawan BP yang sedang training.  BP memang bekerjasama dengan CIT untuk pelatihan karyawan.  Mereka memiliki program pelatihan khusus, yang tidak dicampur dengan peserta reguler.  Sangat menarik CIT dipercaya oleh perusahaan minyak sekelas BP untuk melaksanakan pelatihan.  Dapat dipastikan fasilitas yang dimiliki cukup baik dan programnya juga bermutu.  Oleh karena itu wajar jika CIT dipercaya membuka pelatihan di Uni Emirat Arab, Lombok dan Papua Nugini.

Di dinding workshop ada papan magnit yang memuat nama-nama mahasiswa dan instruktur yang sedang kerja/praktek.  Dari nama-nama mereka, terlihat peserta dari berbagai negara.  Ana nama-nama China, India, Timur Tengah dan Indonesia.  Ada nama Adi Nugroho dan ternyata memang dari Indonesia.  Kalau selesai praktek atau mengajar, nama tersebut diambil.  Dengan begitu ketahuan siapa yang saat itu berada di workshop.

Pada ruangan control terdapat papan berlabel Honeywell, perusahaan besar dalam bidang instrumentasi perminyakaan.  Kami mendapat penjelasan bahwa CIT memiliki kerjasama erat dan mendapat bantuan peralatan mutakhir dari perusahaan besar dalam bidang yang terkait.  Sebagai kompensasinya, perusahaan tersebut dapat meminta CIT untuk melakukan pelatihan karyawan, dengan program-program khusus.


Melihat fasilitas dan pola pelatihan yang dilaksanakan, saya mengerti mengapa CIT menjadi salah satu TAFE yang ternama dan bidang keahlian pertambangan.  Tidak terlalu besar, tetapi memiliki fasilitas pelatihan mutakhir, instrukturnya memiliki pengalaman kerja di industri, program pelatihan sangat menekankan kepada kompetensi praktek, serta menerapkan disiplin ketat.  Dari daftar nama peserta pelatihan maupun saat bertemu di workshop, saya meyakini mereka berasal dari berbagai negara.  Wajah orang Asia, Timur Tengah dan Eropa, semua terlihat di workshop.  Semoga kita dapat belajar dari pengalaman mereka.

Senin, 17 Juni 2013

BOS ITU UNTUK APA DAN UNTUK SIAPA? (2)

Tanggal 15 Juni 2013, Unesa kedatangan tamu dari Bappenas.  Semula direncanakan beliau-beliau akan datang pada Jum’at 14 Juni, sesudah sholat Jum’at.  Namun karena hari Jum’at rombongan harus ke Madura, maka jadwal ke Unesa diundur hari Sabtu pagi.

Rombongan yang ke Unesa sebanyak  7 orang dipimpin oleh Ibu Nina Sardjunani, Deputi Meneg PPN/Bappenas Bidang Sumberdaya Manusia.  Ikut dalam rombongan, Direktur Pendidikan, Direktur Kesehatan dan beberapa staf lainnya.  Bu Nina adalah teman lama dan saya sering menyebutnya  sebagai “dewa penolong” ketika Unesa mengajukan bantuan IDB.  Tanpa bantuan Bu Nina, bantuan IDB yang sudah dirintis sejak 2004 akan “hilang”.

Karena beliau adalah perancang utama dalam bidang pengembangan sumberdaya manusia, termasuk bidang pendidikan, maka saya berpesan agar Bu Nina memberi pencerahan tentang kondisi mutakhir pendidikan di Indonsia secara makro, program apa yang sedang berjalan dan program apa yang sedang dipersiapkan untuk tahun-tahun mendatang.   Gambaran seperti itu penting bagi Unesa, agar dapat melakukan antisipasi terhadap perkembangan mendatang.

Bagian presentasi yang sangat mengagetkan saya adalah gambaran kohor peserta didik yang dibagi menjadi lima kelompok (quintile) menurut kemampuan ekonomi orangtuanya.  Dari 100% anak Indonesia yang masuk ke SD, ternyata hanya 94,1% yang tamat.  Jadi ada 6% yang drop out (DO).  Dari grafik tampak bahwa DO mulai signifikan pada kelas 4.  Artinya mulai kelas 4 SD anak mulai rawan DO. Perlu dicari penjelasan mengapa begitu, karena sampai kelas 3 DO sangat kecil.

Dari 94% anak yang lulus SD itu hanya 72,4% yang melanjutkan ke SMP.  Jadi ada 21,7% anak yang lulus SD tetapi tidak melanjutkan ke SMP.  Dari 72,4% anak yang masuk ke SMP hanya 71,2% yang lulus SMP. Berarti ada 1,2% yang DO.  Rendahnya angka transisi dari SD ke SMP perlu mendapat perhatian, karena SD dan SMP adalah wajib belajar.   Seharusnya seluruh atau paling tidak sebagian besar lulusan SD melanjutkan ke SMP.  Mungkinkah jarak antara lokasi SMO dengan tempat tinggal penduduk menjadi kendala?  Atau ada kendala lain, misalnya biaya untuk buku, seragam dan sebagainya?  Atau ada masalah budaya?

Dari 71,2% anak lulus SMP hanya 49% yang masuk SLTA.  Jadi ada 22,2% yang tidak melanjutkan ke SLTA.  Dari 49% anak yang masuk SLTA hanya 46% yang lulus.  Jadi ada 3% yang DO.  Besarnya proporsi lulusan SMP yang tidak melanjutkan ke SLTA dapat difahami, karena SLTA bukan wajib belajar sehingga siswa harus membayar.  Apalagi SLTA pada umumnya berada di kabupaten atau minimal di ibukota kecamatan yang jaraknya mungkin jauh dari lokasi tempat tinggal anak-anak. 

 Gambaran di atas menjadi lebih buram saat dicermati dalam setiap quintile.  Pada kelompok seperlima anak-anak dari keluarga paling miskin, hanya 87,8% yang tamat SD. Dari 87,8% hanya 49,7% yang melanjutkan ke SMP.  Dan akhirnya hanya 48,2% yang tamat SMP.  Dari angka itu hanya 21% yang masuk SLTA dan hanya 19,1% yang tamat. 

Jadi anak-anak keluarga miskin hanya 48% yang tamat SMP dan hanya 19% yang tamat SLTA.  Sebuah gambaran yang tidak menggembirakan.  Kita dapat membayangkan anak-anak dari keluarga miskin dan banya tamat SD (sebanyak 52%), lantas apa yang dapat diperbuat?  Hanya tamat SMP (sebanyak 27%), lantas apa yang dapat diperbuat?

Ungkapan tersebut di atas bukan untuk merendahkan kemampuan anak-anak dari keluarga kurang mampu yang pendidikan formalnya terbatas.  Namun untuk mendorong kita memikirkan nasib anak-anak tersebut.  Dengan keyakinan bahwa pendidikan yang baik dapat berperan sebagai pemotong lingkaran kemiskinan, maka kita harus memikirkan bagaimana anak-anak dari keluarga kurang mampu memperoleh pendidikan yang baik dan akhirnya dapat terentas dari kemiskinan.

Seperti pemikiran yang kami sampaikan terdahulu, bagaimana dana BOS dapat berfungsi untuk mendekatkan perolehan pendidikan antara keluarga kaya dan keluarga miskin.  Data yang disajikan Bu Nina menunjukkan 72,5% anak keluarga kaya dapat menyelesaikan pendidikan SLTA, sementara anak-anak keluarga miskin hanya 19,1%.  Itu belum melihat kualitas SLTA-nya. Sangat mungkin anak keluarga kaya bersekolah di sekolah yang relatif bagus, sebaliknya anak keluarga miskin menempuh SLTA dengan mutu seadanya.  Semoga data tadi menggugah empati kita untuk ikut memikirkannya.
 

Jumat, 14 Juni 2013

BOS ITU UNTUK APA DAN UNTUK SIAPA?

Bantuan Operasional Sekolah (BOS) telah menjadi dewa penolong bagi sekolah miskin yang selama ini kembang kempis dalam menjalankan kegiatan belajar mengajar.  Biasanya sekolah semacam itu sekolah swasta yang berada di komunitas masyarakat bawah, siswanya berasal dari orangtua kurang mampu, SPP-nya kecil, akhirnya keuangan sekolah minim dan susah untuk memutar roda sekolah dengan baik.  Ketika ada BOS, sekolah dapat “bernafas” karena BOS dapat menopang biaya operasional sekolah.

Tampaknya BOS bertolak dari amanat pasal 11 ayat (2) Undang-undang Nomer 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang berbunyi: “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai lima belas tahun”.  Nah, karena warga negara yang berusia tujuh sampai lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar (pasal 6 ayat (1)), maka BOS diberikan kepada semua SD dan SMP.  Kalau hanya mengacu pada pasal tersebut pelaksanaan BOS sudah tepat, karena diberikan kepada semua SD dan SMP, tanpa melibat karateristiknya.

Namun pemaknaan pasal 11 ayat (2) UU no.20/2003 perlu direnungkan secara substansial.   Pasal 4 ayat (1) UU No. 20.2003 menyatakan “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultutal, dan kemajemukan bangsa.”  Berkeadilan bermakna anak-anak mendapatkan pendidikan dengan kualitas yang baik, sesuai dengan bakat dan minatnya.  Tidak diskirimiatif, artinya tidak boleh anak-anak kurang mampu mendapatkan pendidikan yang kurang baik, karena kemampuan membayarnya kecil.

Disinilah yang menjadi bahan renungan, bagaimana merangkai makna pasal 11 ayat (2) dengan pasal 4 ayat (1).  Dalam upaya mendorong pendidikan yang berkeadilan, seharusnya pemerintah juga berperan menciptakan keseimbangan.  Keseimbangan agar perbedaan akses ke pendidikan yang bermutu bagi masyarakat yang mampu tidak berbeda jauh dengan masyarakat yang kurang mampu.  Kesenjangan mutu pendidikan dari sekolah kaya dan sekolah miskin harus dikurangi dan itu seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah.

Kalau mengacu pada delapan standar pendidikan sebagaimana diterapkan selama ini, banyak sekolah yang telah mencapai delapan standar atau paling tidak mendekatinya.  Namun juga sangat banyak sekolah masih jauh di bawah standar tersebut.  Sekolah yang telah memenuhi delepan standar, biasanya sekolah kaya, berada di komunitas masyarakat kaya dan siswanya juga berasal dari keluarga kaya.   Sebaliknya sekolah yang jauh di bawah standar, biasanya berada di komunitas masyarakat miskin dan siswanya berasal dari keluarga kurang mampu.

Bagaimana mendekatkan gap tersebut?  Itulah yang menjadi tanggung jawab pemerintah dan BOS dapat menjadi salah satu instrument yang baik.  Sekolah kaya sebenarnya tidak memerlukan BOS, karena orangtua siswa mampu menopang biaya operasional sekolah.  Bahkan seringkali berlebih.  Bukankah pasal 9 UU No. 20 Tahun 2003 menyebutkan bahwa masyarakat berkuwajiban memberikan dukungan sumberdaya dalam penyelenggaraan pendidikan.  Rasanya sangat wajar jika keluarga kaya memberikan dukungan financial bagi penyelenggaraan sekolah tempat anaknya belajar.

Fakta lapangan menunjukkan bahwa keluarga kaya sering berebut memasukkan anaknya ke sekolah bagus.  Bahkan bersedia membayar cukup mahal.  Yang harus dijaga adalah jangan sampai seleksi masuk ke sekolah seperti iti didasarkan kepada besarnya sumbangan.  Namun setelah masuk, sangat wajar jika orangtua memberikan sumbangan, sesuai dengan kemampuannya.  Nah, jika ada orangtua siswa yang kurang mampu, pemerintah perlu memberikan BOS sesuai dengan jumlah anak seperti itu.

Saya yakin jumlah sekolah seperti itu cukup banyak.  Jumlah orangtua yang mampu memberi sumbangan juga cukup banyak.  Seiring dengan perbaikan ekonomi masyarakat, jumlah tersebut juga akan semakin banyak.  Jika pola pikir itu diterapkan, saya yakin cukup banyak dana BOS yang “tidak terpakai”.  Tinggal bagaimana memanfaatkan dana tersebut agar lebih berhasilguna.

Dana tersebut sebaiknya dipakai untuk membantu sekolah yang masih jauh dari standar dan orangtua siswa tidak mampu memberikan sumbangan.  Selama ini sekolah seperti itu mengandalkan dana BOS untuk operasional sekolah.  Umumnya mereka tidak memiliki dana untuk pengembangan, karena orangtua tidak memiliki kemampaun memadai untuk memberikan sumbangan.


Dengan cara itu BOS dapat menjadi instrumen untuk mengurangi kesenjangan mutu pendidikan yang diterima oleh masyarakat Indonesia.  Ada pameo, anak orang kaya memperoleh gisi baik, belajar di sekolah bagus, sehingga menjadi SDM yang berkualitas, memperoleh kesempatan kerja yang baik dan akhirnya menjadi orang kaya seperti orangtuanya.  Sementara itu, anak orang miskin memperoleh gisi yang kurang baik, belajar di sekolah yang seadanya, pada akhirnya tidak memiliki keahlian, memperoleh perkerjaan seadanya dan menjadi orang miskin seperti orangtuanya.  Semoga BOS dapat mematahkan pameo tersebut.

Kamis, 13 Juni 2013

BELI HP DI CHINA, INGAT SEPEDA MOTOR DI TANAH AIR

Tahu kalau saya akan ke Cambodia terus ke China, isteri saya minta dibelikan HP.  Katanya HP di China murah dan bervariasi. Konon beberapa temannya sudah punya HP buatan China dan ternyata handal.  Oleh karena itu, ketika ada waktu setelah selesai board meeting, saya minta ditunjukkan toko yang menjual HP.  Ternyata di dalam kampus CCNU, pas di sebelah pintu gerbang, ada pertokoan toko elektronik empat lantai, yang juga juga berjualan HP. Akhirnya saya ke pertokoan itu dan berhasil mendapatkan HP buatan China dengan harga 800 yuan atau sekitar 1,25 juta rupiah.

Di pertokoan tersebut dijajakan berbagai merek HP, buatan Jepang seperti Sony, buatan Korea Selatan seperti Samsung, dan yang terbanyak tentu buatan China dengan berbagai merek.  Harga HP buatan China sekitar ¼ buatan Korea Selatan untuk spesifikasi selevel.  Bukan main.  Pada hal, HP buatan Korea Selatang sudah lebih murah dibanding buatan Amerika Serikat, misalnya Black Berry, dan buatan Jepang seperti Sony.

Ketika bertemu dengan orang di China saya sempat melirik, hampir semua menggunakan HP buatan China.  Hanya sedikit yang menggunakan HP lain, umumnya Samsung dari Korea Selatan.  Buya Safi’i Maarif, guru besar Sejarah UNY dan mantan Ketua PP Muhammadiyah pernah menulis resonasi di Harian Republika, bahwa industri Korea Selatan sedang menggulung industri Jepang.  Konon karena Jepang kalah cepat dalam pengambilan keputusan dan kalah lincah dalam berinovasi karena pejabatnya “terlalu senior”.  Jangan-jangan, sebentar lagi Korea Selatan digulung oleh China.

Oleh karena itu, setelah membeli HP buatan China tadi, saya jadi teringat sepeda motor di tanah air. Tahun 2011 saya bertemu dengan Pak Gunadi, direktur utama Indomobil, pada suatu acara di Jogyakarta.  Saat ini saya bertanya berapa produksi per tahun sepeda motor di Indonesia.  Dan berapa persen yang diekspor dan berapa persen yang dipasarkan dalam negeri.  Saya tidak ingat angka jumlah produksi, yang saya ingat persentasi yang diekspor kurang dari 5%.   Jadi yang 95% dipasarkan di dalam negeri.

Saya jadi bertanya dalam hati.  Sebagai orang yang awam dalam bisnis, saya beripikir kalau hanya 5% yang diekspor, berarti sangat kecil hambatan karena pasar utamanya di dalam negeri. Dibuat sendiri, dijual kepada masyarakat sendiri.  Apakah sulit membuat sepeda motor?  Saya yakin tidak, karena kita mampu membuat pesawat terbang.  Pak Gunadi juga sepakat bahwa secara teknis tidak sulit membuat sepeda motor.

Lantas apa sebabnya sampai saat ini kita tidak punya sepeda motor “buatan sendiri”, dengan merek sendiri, asli Indonesia?   Pertanyaan itu saya ajukan kepada Pak Gunadi, karena saya tidak mengerti liku-liku industri otomotif di negeri ini.  Jawaban pak Gunadi datar saja.  Katanya kebijakan perindustrian dan perdagangan kita belum mendukung kearah itu.  Untuk memulai suatu industri “produk sendiri” diperlukan insentif tertentu, agar mampu bersaing dengan industri yang telah berjalan lebih dahulu.

Sebagai orang yang tidak punya pengalaman di dunia usaha, saya tidak begitu faham penjelasan Pak Gunadi.  Yang saya tangkap, sepertinya kalau kita ingin industri sepeda motor berkembang, diperlukan kebijakan yang dapat mendorong dan membantunya agar mampu bersaing dengan industri sepeda motor merek asing yang selama ini sudah eksis di Indonesia.  Saya lantas berpikir, kalau Korea Selatan bisa dan China bisa, kenapa kita tidak bisa.  Dulu Jepang juga dikenal sebagai “penjiplak” produk negara lain, saat awal menghasilkan berbagai produk.  Demikian pula Korea Selatan dan China.

Dengan penduduk hampir 250 juta, rasanya pasar dalam negeri Indonesia sangat besar.  Tinggal bagaimana kita dapat menghasilkan produk yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dengan harga yang terjangkau.  Kita dapat belajar dari Korea Selatan dan China, bagaimana mereka memulai indutrinya.  Kita juga perlu belajar, bagaimana mengedukasi masyarakat agar lebih bangga menggunakan produk dalam negeri.

Saya membayangkan, Indonesia memiliki siswa SD sebanyak 26 juta, siswa SMP, SMA, SMK sekitar 18 juta.  Jumlah mahasiswa sekitar 5 juta.  Jadi jumlah siswa dan mahasiswa kita sekitar 50 juta.  Jika 50% saja yang menggunakan HP, berarti ada 25 juta orang.  Kalau kita dapat membuat HP yang cocok untuk kebutuhan mereka, harganya sesuai dengan kantong mereka, dan sekolah dapat mengedukasi bahwa menggunakan HP produk dalam negeri itu kebanggan, mungkin merupakan permulaan yang bagus.  Itu hanya impian guru yang tidak faham dengan liku-liku bisnis dan industri.  Namun yakin sudah saatnya kita mulai.  Semoga.

Rabu, 12 Juni 2013

PENELITIAN DESKRIPTIF DAN KUALITATIF ITU BERBEDA

Minggu lalu saya mendapat undangan untuk menguji disertasi di Universitas Negeri Malang.  Judulnya menarik karena terkait dengan Sekolah Alam Insan Mulia Surabaya (SAIMS) yang saya ikut membidani kelahirannya.  Saya senang karena SAIMS akan menjadi bahan kajian, sehingga ditemukan apa kelebihan dan kekurangannya.  Oleh karena itu saya memutuskan untuk hadir.  Apalagi pada hari itu rapat Paguyuban Rektor PTN se Jatim, sehingga “sekali mendayung dua pulau terlampaui”.

Di rumah saya membaca disertasi yang telah dikirimkan.  Maksudnya agar dapat memahami isi disertasi tersebut dan sekaligus menyiapkan catatan, pertanyaan dan saran untuk perbaikan.  Setelah membaca saya menemukan sesuatu yang membingungkan.  Pada Bab III, tertulis bahwa penelitiannya merupakan penelitian kualitatif dengan multikasus.  Memang yang diteliti tiga buah sekolah alam.  Namun di Bab I, pada bagian fokus penelitian maupun tujuan penelitian tertulis dengan jelas bahwa tujuannya “mendeskripsikan dan menjelaskan…………”.  Di Bab IV tentang deskripsi data maupun Bab V tentang pembahasan, “why” sekolah alam juga tidak terungkap.  Saya bingung, penelitian ini deskriptif atau kualitatif dengan multikasus.

Selama ini saya memahami penelitian deskriptif dan penelitian kualitatif itu berbeda.  Penelitian deskriptif bertujuan mendeskripsikan sesuatu fenomena dengan apa adanya.  Jadi yang ingin dijawab adalah “what, where, when, who, dan paling jauh how”.  Misalnya mendeskripsikan fenomena sekolah alam dengan segala aspeknya secara rinci dari 4 H dan 1 H tadi.  Jadi sekolah alam akan dideskrisikan dari segala aspeknya. Namun terbatas pada yang “tampak” dan tidak “mengejar aspek mengapanya” 

Penelitian kualitatif dimaksudkan untuk mengungkap apa dibalik yang tampak.  Pertanyaan mendasar yang harus dijawab dalam penelitian kualitatif adalah “why”.  Mengapa fenomena seperti itu dan bukan sekedar seperti apa fenomenanya.  Dalam kasus sekolah alam, saya bayangkan penelitian kualitatif dapat mengungkap mengapa sekolah alam kok seperti itu.  Mengapa kuliukulumnya seperti itu, mengapa proses pembelajarannya seperti itu, mengapa evaluasinya seperti itu, mengapa  organisasinya seperti itu dan seterusnya.  Intinya mengungkap alasan mengapa seperti itu, kok tidak seperti sekolah pada umumnya.   Oleh karena itu, penelitian kualitatif fokus kepada aspek tertentu, bahkan kasus tertentu saja, tetapi diungkap secara mendalam.

Membaca disertasi tersebut, saya jadi meragukan diri sendiri.  Apakah pemahaman yang selama ini saya pegang, keliru?  Apakah ada perkembangan pengertian baru yang menyamakan penelitian deskriptif dan penelitian kualitatif?  Mengapa?  Karena saya sudah beberapa kali menjumpai kasus seperti ini. Disebut penelitian kualitatif, tetapi isinya lebih dekat dengan penelitian deskriptif.  Hal seperti itu sering terjadi pada skripsi S1 maupun tesis S2.  Namun ini kan disertasi, yang artinya mahasiswa sudah betul-betul memahami penelitian.  Bukankah disertasi adalah “test case” akhir calon doktor untuk membuktikan kemampuannya dalam penelitian?

Saya minta tolong istri membuka google dan mencari pengertian descriptive research dan qualitative research.  Alhamdulillah ditemukan penjelasannya.  Penjelasan kedua jenis penelitian itu ya seperti yang selama ini saya fahami.  Akhirnya, penjelasan di google itu di-print dan saya bawa untuk diberikan kepada promovendus saat ujian.

Sebelum ujian dimulai, saya berbincang dengan promotor utamanya, yaitu Prof. Sonhaji KH yang kebetulan kenal baik.  Saya sampaikan kebingungan saya dan ternyata beliau juga sependapat.  Oleh karena itu, saya mempertanyakan apakah promovendus belum faham perbedaan penelitian kualitatif dan penelitian desktiptif atau sebab lain.

Dari deskripsi data pada Bab IV juga tampak bahwa data yang disajikan belum mencapai data jenuh (saturated data).  Dari informan yang diwawacarai juga tampak kalau peneliti tidak menggali data sampai kepada infoman kunci (key informant).  Jadi wajar kalau data yang disajikan terkesan data “setengah matang” dan simpulannya juga terkesan tidak tuntas.  Akibatnya proposisi yang diajukan juga terkesan “menggantung”.

Pada sesi tanya jawab, saya mencoba mengorek mengapa itu terjadi.  Namun promovendus cenderung pasif dan tidak menjawab secara jelas.  Kesan saya, promovendus tidak memahami secara utuh beda antara penelitian deskriptif dan penelitian kualitatif.  Ini yang menurut saya merisaukan dan kalaunini gejala umum harus segera dibenahi.  Sekali lagi disertasi merupakan bentuk unjuk kinerja puncak dalam penelitian sebelum seseorang dinyatakan lulus sebagai doktor.

Pengalaman membimbing anak S1 dan S2, banyak mahasiswa memilih penelitian kualitatif karena “takut” statistik.  Jadi mereka menentukan metoda penelitian bukan dari masalah yang diteliti, tetapi karena “tidak mau ketemu statistik”.   Pada hal, metoda penelitian itu ibarat pisau.  Kita memilih pisau tergantung dari apa yang akan dipotong dan akan menjadikan potongannya seperti apa.  Kita perlu pisau berbeda untuk memotong kayu, memotong daging dan memotong sayur.  Untuk memotong daging juga diperlukan pisau yang berbeda, ketika daging akan dibuat dendeng dengan irisan tipis-tipis atau dibuat rawon dengan potongan besar-besar atau dibuat semur dengan daging cincang.  Semoga kita dapat memluruskan fenomena yang keliru tersebut.

Selasa, 11 Juni 2013

SALAHKAH TPA UNTUK SELEKSI MASUK SMA?

Ketika saya sedang berada di Central China National University (CCNU) Wuhan, seorang dosen Unair ber-sms-ria.  Dosen  Fakultas Ilmu Budaya itu meminta pendapat saya tentang Dinas Pendidikan Surabaya yang menerapkan Tes Potensi Akademik (TPA) untuk seleksi masuk sekolah kawasan.  Sepertinya dia kurang setuju dengan kebijakan Dinas Pendidikan Surabaya tersebut.  Apa gunanya ikut pelajaran di SMP kalau ternyata untuk masuk SMA harus ikut TPA.  Apa tidak buang waktu dan biaya.  Toh nilai UN mestinya sudah menggambarkan kemampuan siswa.            Begitu antara lain komentarnya.

Sabtu tanggal 8 Juni Jawa Pos juga akan mengadakan diskusi tentang penggunaan TPA untuk seleksi masuk SMA.  Kebetulan saya juga diundang. Hanya saja batal karena Kepala Dinas Pendidikan (Pak Ikhsan) tidak dapat hadir karena sedang menangani masalah hasil UN SD.  Pak Suko Widodo, dosen Jurusan Komunikasi Unair juga mengudang saya dalam acara di TVRI Jawa Timur bersama dengan para guru untuk topik yang sama.  Tampaknya, penggunaan TPA untuk masuk SMA menjadi topik hot di masyarakat.

Melalui tulisan singkat ini saya ingin melihatnya dengan kacamata yang jernih.  Untuk itu mari kita lihat perbedaan mendasar antara UN dan TPA.  UN pada dasarnya achievement test, yang mengukur penguasaan materi kurikulum satuan pendidikan.  Jadi UN SMP pada dasarnya untuk mengetahui tingkat penguasaan kurikulum SMP oleh siswa.  Oleh karena itu yang diujikan, isi kurikulum SMP.  Bahwa kemudian tidak semua kompetensi dasar (KD) dimasukkan dalam soal UN, itu soal teknis karena keterbatasan waktu.  Akhirnya dipilih KD-KD yang dapat mewakili KD-KD yang lain.  Skor atau nilai UN sebenarnya merupakan gambaran pencapaian peserta.  Jika seorang siswa mendapatkan nilai 75 untuk Matematika, dapat dimaknai bahwa yang bersangkutan menguasai 75% dari kurikulum yang ditempuh.

Karena menguji penguasaan materi ajar (kurikulum) maka hasil UN akan dipengaruhi oleh mutu pembelajaran di sekolah.  Siswa yang bersekolah di sekolah yang baik, maksudnya pembelajarannya bagus, maka tingkat penguasaannya terhadap kurikulum juga baik.  Sebaliknya siswa yang bersekolah di sekolah yang kurang baik, maka penguasaan terhadap kurikulum juga akan kurang baik.  Jika ada dua siswa yang memiliki “kecerdasan sama”, yang satu bersekolah di sekolah yang baik dan satunya bersekolah di sekolah yang kurang baik, maka tingkat penguasaan terhadap kurikulum akan berbeda.  Yang bersekolah di sekolah yang baik akan lebih tinggi penguasaannya terhadap kurikulum.

TPA merupakan tes psikologi yang mengukur potensi akademik peserta.  Dalam bahasa sederhana mengukur kemampuan bernalar.   Oleh karena itu TPA tidak dikaitkan dengan materi kurikulum sekolah, melainkan dengan tingkat perkembangan kognitif anak, yang itu terkait dengan usia.  Soal TPA untuk anak SMP berbeda dengan untuk calon mahasiswa S2.  Namun anak SMA dan SMK yang mengikuti TPA akan mengerjakan soal yang sama.

Karena tidak terkait dengan kurikulum, maka TPA tidak dipengaruhi oleh dimana peserta bersekolah.  Secara prinsip, anak yang bersekolah di SMP yang bagus dan anak yang bersekolah di SMP yang kurang bagus, akan memperoleh skor TPA sama, asal kemampuan bernalarnya sama.  Anak SMA dan SMK akan memperoleh skor TPA yang sama, kalau kemampuan bernalarnya sama.

Ibarat pisau, TPA mengukur kualitas besi bahan yang digunakan untuk membuat pisau.  Sedangkan UN mengukur ketajaman pisau, yang disamping dipengaruhi oleh besi bahannya juga dipengaruhi apakah pisau tersebut sering diasah atau tidak.

Tes TPA banyak digunakan untuk masuk ke program S2/S3, masuk ke Akabri (AMN, AAL, AAU), masuk sekolah penerbang dan seterusnya.  Penggunaan TPA didasarkan pada pertimbangan mereka berasal dari lulusan sekolah/perguruan tinggi yang berbeda-beda dan juga jurusan yang berbeda-beda.  Oleh karena itu sulit mendapatkan satu jenis tes yang adil diberlakukan untuk mereka.  Jika kepada mereka diberikan tes yang sesuai dengan asal sekolah/jurusan, juga akan kesulitan untuk membandingkan satu dengan lainnya.  Dengan menggunakan TPA akan adil, namun seakan-akan apa yang dipelajari di sekolah/perguruan tinggi tidak “dihargai”.

Bagaimana dengan penggunaan TPA untuk masuk ke SMA?   Tergantung bagaimana kita melihatnya dan dari sudut pandang mana kita menilainya.   Dengan analogi pisau tadi, kalau kita mengutamakan pisau yang bahannya bagus, dengan asumsi nanti akan diasah lebih lanjut, maka TPA akan lebih prediktif.  Namun jika kita berasumsi, toh kondisi sekolah tidak jauh berbeda, sehingga kecerdasan sudah dapat diwakili oleh nilai UN. Dan kita juga harus menghargai anak-anak yang sudah kerja keras, walaupun “besinya” kurang bagus, maka penggunaan UN lebih tepat.  Jika memang keduanya dipertimbangkan, maka  gabungan TPA dan UN secara proporsional juga dapat diterapkan.


Namun juga harus dipertimbangkan sisi lain, yaitu biaya dan kesiapan anak.  Walaupun secara teoritik TPA tidak perlu dipelajari, namun dalam prakteknya anak yang sudah latihan akan lebih baik hasilnya dibanding yang tidak pernah latihan.  Mengapa?  Paling tidak mereka yang sering latihan sudah mengenal bentuk-bentuk soalnya, sehingga tidak grogi dan lebih cepat menyesuaikan diri.  Dari sisi biaya TPA memerlukan biaya yang lumayan besar, karena merupakan tes standar yang biasanya hanya dapat dilakukan oleh mereka yang berkompeten.  Biasanya para psikolog.  Semoga kita arif menyikapinya.

TERSINGGUNG DALAM BOARD MEETING CI DI WUHAN

Dari Tian Jin kami (saya, Pak Ali Mustofa dan Ibu Chen Jing) ke Wuhan untuk mengikuti board meeting Confucius Institute (CI)Board meeting adalah rapat antara dua universitas penyelenggara CI, dalam hal ini Unesa dengan partnernnya yaitu Central China Normal University (CCNU) Wuhan.  CI di Unesa dibina oleh dua universitas, yaitu Unesa sebagai penyelenggara dan CCNU sebagai pendukung.  Board meeting dilakukan minimal satu kali dalam satu tahun.  Tahun lalu (2012) dilakukan pada bulan Desember, tetapi saya tidak dapat hadir sehingga tidak dapat mengambil keputusan yang prinsip.  Oleh karena itu, tahun ini saya ingin hadir agar board meeting dapat mengambil keputusan yang mendasar.  Apalagi ada beberapa agenda yang penting.

Wuhan adalah sebuah kota di bagian agak tengah-selatan China.  Penerbangan dari Beijing sekitar dua jam.  Dari Hong Kong juga sekitar dua jam.  Seperti pada umumnya kota di bagian tengah, kondisi kota Wuhan memang tidak “semaju” Tian Jin atau Shanghai.  Gedung “pencakar langit” belum banyak di Wuhan.  Lahan pertanian juga masih tampak banyak di sekitar kota. 

Di kota Wuhan ada sebuah danau besar yang disebut Eastern Lake.  Saya tidak tahu mengapa disebut eastern lake, pada hal lokasinya di tengah daratan China.  Konon yang western lake justru terletak di dekat pantai timur China.  Teman dari CCNU juga tidak mengerti mengapa namanya begitu. Dia hanya tahu,  bahwa Western Lake lebih terkenal, karena konon Mao Tze Dong pernah tinggal di sekitar Western Lake dan menulis puisi tentang danau itu.

Kami tiba di Wuhan sekitar pukul 21 waktu setempat dan dijemput oleh Ibu Yu Huang, Deputy Director dari International Office CCNU.   Ternyata IbuYasmin (saya tidak tahu nama China-nya) yang dulu biasa menjemput tamu sudah tidak lagi di CCNU.  Ibu Yu Huang didampingi oleh dosen muda Unesa yang sedang kuliah di CCNU.  Namanya Mas Galih, tetapi punya nama China, yaitu Li Bingbing.  Kami langsung diantar ke hotel CCNU di dalam kampus.

Walaupun sama-sama di China, kondisi kampus TFSU dengan CCNU sangat berbeda.  Mungkin seperti bandingan SMA favorit di Surabaya dengan SMA “biasa” di Ponorogo.  TFSU terletak di tengah kota metropolitan Tian Jin.  Gedung-gedungnya bergaya Eropa, karena tinggalan Inggris.  Lahan tidak terlalu luas, tetapi tertata baik dan bersih.  Sementara itu, CCNU terletak di Wuhan, sebuah kota di tengah daratan China.  Lahan CCNU sangat luas, banyak gedung-gedung tua yang relatif kurang terawat.   Bangunannya juga khas China dengan nuansa kotak-kotak.

Selasa 4 Juni kami mengikuti board meeting di gedung Internatinal Office.  Delegasi dari Unesa, saya dengan Pak Ali Mustofa dan didampingi Mas Galih alias Li Bingbing, sebagai penterjemah.  Dari CCNU delegasi dipimpin oleh Wakil Rektor, Prof. Li Xianong dan didampingi oleh beberapa orang yang saya sulit mengingat namanya.  Salah satunya, direktur International Office.  Pada board meeting, Ibu Chen Jing berada di delegadi CCNU.

Board meeting, diawali dengan sambutan selamat datang dari Prof Li Xianong dan sambutan dari saya selaku Rektor Unesa.  Sambutan Prof Li Xianong disampaikan dalam bahasa Mandarin dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Ibu Yu Huang.  Sebaliknya, saya menyampaikan sambutan dalam bahasa Indonesia dan diterjemahkan kedalam bahasa Mandarin oleh Mas Galih.

Setelah itu, Pak Ali Mustofa dan Ibu Chen Jing menjelaskan laporan kegiatan tahun 2012 dan program kerja tahun 2103.  Saat menanggapi laporan Pak Ali Mustofa dan Ibu Chen Jing, Prof Li Xianong menyebut harapannya agar CI memiliki rekening sendiri yang terpisah dari rekening Unesa.  Pihak CCNU juga merasa harus dapat mengontrol penggunaan uang CI yang diberikan oleh Hanban.  Beliau menambahkan bahwa penggunaan uang itu harus sesuai dengan ketentuan Hanban yang diwakili oleh CCNU.

Ketika mendengarkan terjemahan tanggapan Prof Li Xianong yang diterjemahkan Mas Galih, saya agak tersinggung.  Oleh karena itu, untuk menanggapi saya minta ijin menggunakan bahasa Inggris.  Bukan sok, tetapi agar yakin bahwa yang saya sampaikan tidak keliru diterjemahkan oleh Mas Galih.  Saya ingin menyampaikan hal yang prinsip, sehingga tidak boleh keliru terjemahannya yang ditangkap oleh pihak CCNU.

Saya sampaikan bahwa Unesa adalah universitas negeri.  Menurut hukum yang berlaku di Indonesia, setiap dana yang masuk ke Unesa, difahami sebagai uang negara yang disebut Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).  Dengan demikian dana bantuan dari Hanban untuk mendukung program CI di Unesa terkategori PNBP dan penggunaannya juga harus sesuai aturan yang berlaku.

Sebagai perguruan tinggi negeri, di Unesa berlaku single account policy, artinya di Unesa hanya ada satu rekening, yaitu rekening rektor.  Semua dana yang masuk, termasuk dari Hanban, harus masuk melalui rekening tersebut.  Tidak dimungkinkan CI Unesa membuka rekening sendiri.  Yang mungkin adalah sub-account dari rekening rektor.  Saya tegaskan itu prinsip keuangan negara yang tidak dapat ditawar.  Tinggal kita mau atau tidak.

Tampaknya pihak CCNU agak kaget, dengan apa yang saya sampaikan dan cara saya menyampaikan.  Memang saya sengaja menyampaikan dengan suara agak keras, untuk memberikan pesan jangan “mencampuri dapur orang lain”.  Dan ternyata, pihak CCNU dapat memahami apa yang saya jelaskan.  Apalagi saya menjamin bahwa dana dari Hanban dapat sepenuhnya digunakan oleh CI Unesa, tidak kurang sedikitpun.  Namun tatacara penggunaannya tetap harus sesuai dengan aturan di Indonesia.  Tampaknya dalam perundingan dengan negara lain, sekali waktu kita harus berani tegas memegang prinsip kedaulatan negara.  Semoga.

Minggu, 09 Juni 2013

TIAN JIN FOREIGN STUDIES UNIVERSITY

Saya pertama mengenal Tianjin Foreign Studies University saat menghadiri undangan makan makam dari Biro Kerjasama Propinsi Jawa Timur, tahun 2012.  Makan malam untuk menyambut delegasi dari Pemerintah Daerah Tian Jin.  Kabarnya ada MoU antara Pemerintah Propinsi Jawa Timur dan Pemerintah Daerah Tian Jin China.  Saat itu saya duduk dengan seorang wanita anggota delegasi.  Saya lupa namanya, tetapi memperkenalkan diri sebagai staf bagian Kerjasama Internasional Tian Jin University.  

Tujuan utama kami ke Tian Jin adalah berkunjung ke Tian Jin Foreign Studies University (TFSU) untuk melakukan MoU.   Bulan Desember 2012, sewaktu Confucius Institute International Conference di Beijing, Pak Suharsono  dari Kantor Urusan Internasional (KUI) Unesa dan Pak Ali Mustofa, Direktur Confucius Institute (CI) Unesa, bertemu dengan utusan TFSU dan sepakat merancang MoU.  Kedatangan saya untuk menandatangani MoU yang terlah dirancang oleh KUI dan CI Unesa dengan International Cooperation and Exchange Division TFSU.

Kami (saya, Pak Ali Mustofa dan Ibu Chen Jing) datang di Tian Jin sekitar pukul 21.00 waktu setempat dan dijemput oleh Gloria di stasiun kereta api cepat.  Gloria adalah staf dari International Cooperation TFSU.  Penampilannya santai dan bahasa Inggris-nya cukup bagus.  Waktu menjemput, dia memakai celana pendek, memakai sandal  dan menyetir mobil sendiri. 

Saya tidak tahu nama aslinya di China, karena seperti biasanya teman dari China, mereka punya nama Inggris (English name) untuk memudahkan orang dari negara lain memanggil.  Ibu Chen Jing juga punya English name, yaitu Jane.  Gloria menjelaskan nama China sangat sulit diucapkan oleh orang non China, sehingga mereka yang sering  berhubungan dengan orang asing pada umumnya memiliki nama lain yang disebut dengan istilah English name.

Sambil mengantar dari stasiun ke hotel milik TSFU, Gloria menceritakan situasi kota Tian Jin.  Konon Tian Jin dahulu merupakan daerah dikelola oleh beberapa negara di Eropa. Ada wilayah disebut British territory, artinya saat ini dikelola oleh Inggris.  Ada German territory, French territory, Italy territory dan sebagainya.  Daerah dimana kampus TFSU berada dahulu merupakan British territory.  Jadi bangunan gedung dan rumah di wilayah itu bergaya Eropa (Inggris). 

Gedung-gedung “kuno” tersebut dipertahankan.  Mungkin semacam jagar budaya di Indonesia.  Bahkan sekarang dijadikan wilayah pariwisata.  Mirip wilayah sekitar menara Eifel di Perancis.  Di beberapa sudut jalan ada sepeda kayuh gandengan yang disewakan untuk wisatawan yang ingin berkeliling daerah itu.  Sebuah kebijakan dan kreasi yang menjadi contoh.

Sebagian gedung utama di kampus TFSU juga merupakan gedung-gedung kuno.  Kantor pusatnya merupakan gedung kuno yang konon bekas gereja.  Lantainya berupa “tegel berornamen” seperti bangunan jaman Belanda.  Pintunya tebal dan tinggi, seperti pintu gedung lama di Indonesia.  Tembol luar gedung berupa batu merang eskpos (tidak diplester), sehingga betul-betul tampak sebagai banguna gaya Eropa.

Kami datang hari Minggu sore.  Namun banyak mahasiswa yang lalu lalang dalam kampus.  Saya maklum, karena mahasiswa di China pada umumnya tinggal di asrama.  Sehingga setiap saat kampus akan tampak ramai.  Yang menarik perhatian saya, banyak mahasiswa yang sepertinya membawa tas atau menenteng buku. Ternyata mereka baru kuliah atau dari perpustakaan.  Gloria menjelaskan, walaupun hari Minggu di China tetap ada kuliah, walaupun tidak sepadat hari lain.

Di beberapa halaman juga tampak beberapa mahasiswa yang sedang diskusi dan mungkin mengerjakan tugas.  Ada yang duduk melingkar dan tampak sedang diskusi.  Ada yang membuka laptop dan tampak serius dengan laptopnya.  Ada yang tampak seperti menghafal sesuatu.  Ada juga yang sedang asik pacaran.

Sampai di hotel dalam kampus, milik universitas, kami segera diberi kunci kamar dan dipersilahkan istirahat karena sudah pukul 22-an.  Saya mendapat kamar 381.  Kami menuju lift dan menuju lantai masing-masing.  Begitu keluar lift di lantai 3, saya menuju lorong tetapi “remang-remang” bahkan dapat disebut “gelap”.  Sepanjang lorong hanya ada 2 lampu kecil.  Oleh karena itu saya tidak dapat menemukan kamar 381.  Terpaksa saya kembali ke front office dan minta ditunjukkan.

Sambil memberikan kunci Gloria memberitahukan bahwa sarapan pagi akan diantar ke kamar pukul 08.  Kok aneh ya, hotel kok sarapannya diantar ke kamar?  Namun kali tidak bertanya, karena sadar bahwa ini hotel kampus dan kami tidak membayar.  Jadi ya ikuti saja aturannya.  Betul, sekitar pukul 08, pintu kamar saya diketuk dan seorang pelayan mengantar sarapan.  Ya ampun, tiga potong roti tawar diletakkan di  piring dan disebelahkan diberi “seonggok” selai, plus segelas susu putih tanpa gula. Maklum hotel tersebut sebenarnya hotel untuk mahasiswa asing yang kuliah atau bekunjung ke TFSU.

Apa yang dapat dipelajari dari TFSU?  Rasanya dua hal, yaitu efisiensi dan semangat belajar.  Penggunaan lampu, penggunaan air, penggunaan ruang dan penggunaan hari kuliah terasa sekali semangat untuk efisien.  Ketika keluar kamar dan kamar mandi, lampu harus dimatikan.  Saat tidur hanya boleh memakai lampu tidur kecil yang ada disebelah tempat tidur.  Lorong hotel hanya menggunakan lampu kecil.  Semua sudut ruang dimanfaatkan.  Hari minggupun tetap ada kuliah, agar ruang kuliah dapat maksimal penggunaannya.

Semangat belajar juga sangat luar biasa.  Di hari minggu sore, perpustakaan tetap buka dan  ramai dikunjungi mahasiswa.  Hari  minggu sore, banyak mahasiswa dan belajar, mengerjakan tugas dan berdiskusi di berbagai tempat di halaman kampus.  Ditambah dengan kepercayaan diri yang kuat, semangat belajar yang luar biasa itu mungkin menyebabkan TFSU menjadi salah satu perguruan tinggi ternama.  Termasuk keberanian membukan program studu Bahasa Indonesia.  Pada hal mahasiswanya hanya 15 ribu orang dan program studi yang dimiliki hanya terbatas.  Semoga kita dapat memetik pelajaran.

JUARA LKTI TETAPI TIDAK MENJADI LULUSAN TERBAIK

Ni Kadek Vani Apriyanti, siswa SMA 4 Denpasar yang meraih Nilai Ebtanas tertinggi tahun 2012/2013, juga sering menjuarai Lomba Karya Ilmiah (LKI).  Membaca berita tersebut, serorang teman berkomentar: “kalau ini juara beneran”.   Maksudnya pandai beneran, buktinya dalam Ujian Nasional memperoleh nilai terbaik dan dalam Lomba Karya Ilmiah juga sering menang.  Jadi pantas kalau ada beberapa universitas ternama menawari masuk tanpa tes.

Apakah tidak seharusnya memang begitu?  Apakah tidak seharusnya mereka yang sering mememangkan LKI memperoleh NEM tertinggi saat Ujian Nasional?  Apakah mahasiswa yang sering memenangkan Lomba Karya Ilmiah tidak seharusnya menjadi lulusan pemuncak karena memiliki IPK tertinggi?   Kalau dibalik, apakah tidak seharusnya mereka yang mendapatkan NEM tertinggi juga memenangkan Lomba Karya Ilmiah?

Kenyataannya tidak selalu begitu.  Kalau ada yang begitu jumlahnya tidak banyak.  Memang, para pemenang Lomba Karya Ilmiah biasanya tidak terlalu jelek nilai ujian dan atau nilai rapornya.  Namun pada umumnya juga bukan juara sekolah, peraih NEM tertinggi atau wisudawan dengan IPK tertinggi.  Mengapa ya?  Apa yang salah dalam penilaian kita?  Bukankah keduanya menunjukkan anak yang pandai?

Paling tidak ada dua penyebab utama.  Pertama, di sekolah atau perguruan tinggi matapelajaran/matakuliah dipelajari secara terpisah.  Guru atau dosennya berbeda, jadwal pelajaran/kuliah berbeda dan seakan-akan tidak terkait antara satu dengan lainnya.  Isinya juga sangat “teoritik keilmuan” yaitu untuk memahami konsep dan teori di dalam disiplin ilmu tersebut.  Jarang sekali menyentuh aspek pemecahan masalah kehidupan keseharian.  Jarang atau hampir tidak pernah siswa/mahasiswa memperoleh kesempatan (by design) untuk menggabungkan berbagai teori yang dipelajari dari berbagai matapelajaran/ matakuliah.  Kalau ada, biasanya di akhir kuliah yaitu saat mengerjakan skripsi atau tugas akhir.

Sementara itu dalam Lomba Karya Ilmiah yang menjadi awal adalah kejelian mengamati fenomena alam dan lingkungan untuk menemukan ide.  Dalam konteks itu yang menjadi modal bukanlah penguasaan teori, tetapi kejelian melakukan observasi atau menangkap bahan bacaan.  Setelah itu diperlukan kreativitas untuk mencari solusi dari masalah tersebut.  Nah, dalam mencari solusi itu baru dituntut penguasaan teori yang relevan.  Jadi modal yang diperlukan untuk memperoleh nilai bagus di perkuliahan dan untuk memenangkan Lomba Karya Ilmiah memang berbeda.

Dalam bahasa lain, pembalajaran di sekolah maupun di universitas menggunakan pendekatan scientific based approach dan disciplinary mind paradigm.  Sementara dalam Lomba Karya Ilmiah atau lomba sejenis itu menggunakan problem based approach dan synthesizing mind paradigm atau bahkan creative mind paradigm.   Anak yang pandai memahami dan mencerna matapelajaran secara terpisah belum tentu pandai mensintesakan menjadi suatu keutuhan. Apalagi jika dituntut untuk secara kreatif menggunakannya untuk memecahkan masalah.

Sebaliknya anak-anak yang pandai mensintesakan pengetahuan yang dia peroleh dan kreatif menggunakannya untuk memecahkan masalah, juga tidak selalu paling pandai dalam memahami.  Disciplinary mind cenderung menggunakan pola pikir linier dengan memanfaatkan otak kiri, sedangkan synthesizing dan creative mind cenderung menggunakan pola pikir holistic dengan mengoptimalkan peran otak kanan.

Perlu dicatat antara keduanya bukanlah sesuatu yang pilah secara mutual exclusive, tetapi sesuatu yang overlapping dengan bagian terpisah cukup signifikan.  Memang keduanya memiliki bagian irisan yang cukup banyak, yaitu berupa kepandaian yang memadai.   Memang ada kesamaan, tetapi perbedaannya juga cukup signifikan.

Faktor kedua, adalah pola dan standar penilaian yang berbeda antara keduanya.  Pada ujian matapelajaran dan matakuliah penilaian didasarkan atas tingkat penguasaan materi.  Jika toh sampai jenjang analisis atau bahkan sintesis-nya Bloom, tetap saja sintesis untuk konsep dan teori dalam satu disiplin ilmu.   Sementara itu, untuk Lomba Karya Ilmiah, penilaian didasarkan pada manfaat temuan yang diajukan.  Orisinalitas dan daya manfaat biasanya menjadi aspek penilaian yang punya bobot besar.

Mungkin Anda bertanya, lantas mana yang lebih penting untuk pendidikan kita?  Jawabnya, tergantung sudut pandang yang digunakan.  Jika menggunakan sudut pandang, bahwa pendidikan adalah untuk mempelajari ilmu pengetahuan, maka paradigma disciplinary mind menjadi yang terpenting.  Namun kalau menggunakan sudut pandang bahwa pendidikan untuk mengembangkan kemampuan dalam memecahkan problema kehidupan, maka synthesizing and creative mind menjadi yang terpenting.  Nah, kita harus pandai menentukan, sebenarnya pendidikan itu untuk apa.  Semoga.

Kamis, 06 Juni 2013

NAIK KERETA CEPAT BEIJING-TIAN JIN HANYA 30 MENIT

Saya sudah lama membaca kalau China mempunyai kereta cepat.  Konon kecepatannya 350 km/jam.  Oleh karena itu saat CCNU mengundang untuk berkunjung ke Wuhan, saya sampaikan keinginan untuk naik kereta tersebut.  Kebetulan rencananya ke Wuhan setelah ikut acara International Confucius Institute Conference di Beijing, bulan Desember 2012.  Namun  tidak jadi, karena bulan Desember 2012 semua pejabat Kemdikbud tidak diijinkan keluar negeri. Oleh karena itu, ketika harus ke Tian Jin saya ingin naik kereta cepat itu, walaupun jarak Beijing-Tian Jin hanya sekitar 140 km.

Kali ini perjalanan ke Tian Jin dari Phnom Penh.  Begitu mendarat di bandara Beijing, kami (saya dengan Pak Ali Mustofa dan Ibu Chen Jing) segera mencari tempat penitipan koper.  Maksudnya agar tidak repot ketika naik kereta cepat ke Tian Jin.  Setelah itu harus naik kereta bawah tanah (subway), karena kereta cepat tidak singgah di airport station. Setelah dua kali pindah kereta subway, eh ternyata keliru.  Kami sampai di Beijing Railway Station.  Pada hal tempat pemberhentian kereta cepat itu di South Station.  Terpaksa kami naik taksi untuk pindah stasiun tersebut.  Lucu juga, tiga orang doktor keliru naik kereta.  Apalagi yang satu orang adalah orang China yang pernah tinggal di Tian Jin.

Terminal kereta cepat ternyata mirip bandara.  Kalau masuk harus lewat security check  dengan  X ray.  Walaupun tidak seketat di bandara, petugas juga menggunakan metal detector.  Di dalam stasiun juga terpampang jadwal kereta pada papan elektronik seperti di bandara.  Bedanya tempat penjualan tiket berada di dalam.  Jadi kita masuk stasiun belum membawa tiket.

Kami dapat kereta yang pukul 20.30 dari Beijing dan informasinya akan sampai di Tian Jin pukul 21.00.  Harga tiket Beijing-Tian Jin 55 yuan atau sekitar 80 ribu rupiah.  Keretanya sangat bagus dan bersih.  Di setiap gerbong ada kamar kecil yang juga bersih.  Di atas pintu gerbong ada papan informasi yang menunjukkan kecepatan kereta, suhu di luar dan sebagainya.  Saya mencermati karena ingin tahu berapa keceparan kereta tertinggi.  Ternyata 291 km/jam.  Jadi belum mencapai kecepatan maksimal yang konon 350 km/jam.

Selama perjalanan Beijing-Tian Jin kereta tidak pernah berhenti dan sampai stasiun Tian Jin tepat pukul 21.00.  Hebat.  Keretanya bagus, cepat dan tepat waktu.  Namun saat besuknya pulang dari Tian Jin ke Beijing dengan kereta yang sama, ternyata pernah sekali berhenti di suatu stasiun yang saya tidak tahu namanya.  Habis menggunakan huruf China, jadi saya tidak dapat membaca.   Akibatnya waktu perjalanan Tian Jin-Beijing menjadi lebih lama.  Kereta berangkat pukul 15.35 dan baru sampai Beijing pukul 16.10.  Jadi beda 5 menit.

Sepanjang perjalaman Tian Jin-Beijing saya merenung dan bertanya kepada diri sendiri, (1) apakah kita bangsa Indonesia belum waktunya punya kereta seperti ini?, (2) apakah para ahli kita di PT INKA Madiun dan yang lain belum mampu membuat kereta semacam ini?

Baik saat naik dari Beijing ke Tian Jin maupun dari Tian Jin ke Beijing, penumpang penuh.  Dari pakaiannya saya menduga penumpang adalah para karyawan atau “orang-orang biasa”.  Artinya bukan turis atau “orang-orang khusus”.   Jadi kereta cepat tersebut dirancang untuk transportasi umum dan bukan untuk kereta turis atau kereta untuk penumpang tertentu.

Saya membayangkan, seandainya ada kereta cepat seperti ini untuk Surabaya-Malang atau Jakarta-Bogor rasanya akan laku.  Jika ada kereta cepat Surabaya-Malang dengan waktu tempuh 25 menit dengan ongkos sekitar 50 ribu rupiah, akan banyak penumpang.  Bayangkan saat ini kalau naik bis Surabaya-Malang perlu waktu 2-3 jam dengan ongkos 25 ribu rupiah.  Jika ada kereta cepat seperti itu untuk Jakarta-Bogor dengan ongkos 40 ribu rupiah, saya yakin akan laris juga.  Kereta Prambanan Ekspres (Pramex) Jogya-Solo pulang pergi juga laris saat ini, konon sampai sopir bis Jogya-Solo protes.  Pada hal waktu tempuhnya 1 jam.

Apakah para insinyur kita mampu membuat kereta cepat seperti di China?  Saya yakin mampu. Bukankah mereka mampu membuat pesawat terbang?  Bukankah akhir-akhir ini banyak orang muda yang unjuk kebolehan dalam berbagai teknologi?  Mobil listrik dengan berbagai modelpun bermunculan.  Sampai Meneg BUMN Dahlan Iskan “kepencut” dengan kemampuan pemuda kita dan bersedia menjadi sponsor untuk inovasinya.


Kalau betul nanti ada kereta cepat Surabaya-Malang dan Jakarta-Bogor, mungkin dapat menjadi solusi beberapa masalah.  Mengurangi arus mobil pribadi, mengurangi polusi, menghemat penggunaan bahan bakar dan sebagainya.  Semoga.

DI BELAKANG TETAPI POTENSIAL MENYALIP

Sebagai board member, tahun 2011 saya ke Vietnam mengikuti sidang Life Long Learning. Setelah itu saya mengikuti konferensi Asahil yang kebetulan juga di Vietnam dan jadwalnya berurutan.  Tahun ini saya ke Cambodia mengikuti Asian Confucius Institute Conference.  Mengunjungi dua negara anggota Asean itu, saya merasakan bahwa keduanya masih “di belakang Indonesia”, namun sangat potensial untuk menyalip.

Kondisi kota di Vietnam maupun di Cambodia mirip keadaan kota-kota di Indonesia tahun 1980an.  Keadaan kota masih kumuh dan lalu lintas sangat ruwet.  Bangunan juga masih belum bagus.  Pertokoan dan pasar juga masih sangat tradisional.  Namun dari semangatnya, geliat kedua negara itu tampak sekali semangat untuk mengejar ketertinggalan.

Bangunan gedung-gedung di Vietnam sudah mulai berkembang.  Namun tetap masih didominasi oleh bangunan lama yang “semrawut”.  Kecuali di daerah tertentu yang sudah banyak bangunan baru berupa gedung-gedung bagus dengan jalan yang cukup lebar.  National University tempat konferensi Asahil dilaksanakan, berupa bangunan lama yang bentuknya mirip Sekolah Tionghoa pada jaman dahulu di Indonesia.

Lalu lintas didominasi oleh speda motor seperti di Indonesia.  Namun kebanyakan sepeda motor butut dan banyak yang digunakan untuk megangkut barang.  Banyak jalan yang dipenuhi oleh pedagang kaki lima.  Tampak sekali, polisi di Vietnam kewalahan mengatur lalu lintas.  Secara berkelakar saya katakan: “kalau mau menyeberang jalan di Vietnam, tutup mata dan mulai menyeberang pelan-pelan”.  Mengapa?  Karena saking semrawutnya lalu lintas, sehingga susah untuk menyeberang.

Namun dalam pembicaraan saya dengan beberapa teman Vietnam dan dari pengamatan saya selama mengikuti sidang Life Long Learning maupun Asahil, terasa sekali rasa percaya diri orang Vietnam sangat tinggi.  Mereka mengatakan sebagai satu-satunya bangsa yang mampu mengalahkan Amerika Serikat.  Maksudnya mengusir Amerika Serikat dari Vietnam.  Semangat juang dalam pekerjaan juga luar biasa.  Itulah sebabnya saya meyakini Vietnam akan segera menyusul dan bahkan sangat mungkin menyalip negara tetangganya di Asean.

Cambodia sepertinya masih sedikit di belakang Vietnam.  Maklum Cambodia belum lama selesai menghadapi masalah “perang dalam negeri”.  Bangunan juga masih didominasi oleh gedung-gedung lama.  Lalu lintas juga tidak kalah ruwet dibanding Vietnam.  Demikian pula masalah pedagang kali lima. Konon itu ciri khas negara berkembang yang belum dapat menata kehidupan ekonomi maupun menyediakan infrastruktur yang memadai untuk masyarakat.

Namun pembangunan di Cambodia tampak berjalan bagus.  Banyak lahan luas di tengah kota yang dipagari seng dan sedang diubah menjadi kompleks apartmen dan pertokoan.  Ada juga proyek raksana berupa flyover di tengah kota. Kompleks perumahan juga mulai tertata rapi dengan ciri khas genteng berwarna coklat cerah.  Banyak toko yang menyediakan peralatan pertanian, mulai yang sederhana sampai traktor besar.  Sepertinya pertanian mendapat perhatian khusus di Cambodia.

Masyarakat Cambodia juga sangat ramah, suka membantu orang lain dan tekun dalam bekerja.  Perbincangan saya dengan beberapa teman dari Cambodia dan pengamatan saya selama tiga hari disana, memberi kesan bahwa ajaran Budha mewarnai perilaku masyarakat di Cambodia.  Kemampuan berbahasa Inggris juga lumayan.  Saya kaget ketika sopir taksi yang mengantar saya dari bandara ke hotel dapat berbahasa Inggris, walaupun sepotong-sepotong. 

Dengan gambaran tadi saya meyakini kalau Cambodia juga akan segera menyusul negara tetangganya di Asean.  Mungkin saat ini masih di posisi paling belakang.  Namun dengan ketekunan dan kesungguhan dalam bekerja bukan tidak mungkin Cambodia akan menyalip.  Apalagi perhatian pemerintah terhadap pertanian sepertinya sangat besar.  Mungkin terinspirasi tetangga dekatnya, Thailand.  Pola pemerintahan yang komunis sepertinya membuat Cambodia mudah mengatur lahan, sehingga banyak lahan luas di tengah kota yang sedang “disulap” menjadi kompleks apartmen dan pertokoan modern.


Apa pelajaran yang dapat dipetik dari dua negara tersebut?  Mungkin semboyan: “we are not the first, but we will be the best”, cocok untuk kedua negara itu.  Rasa percaya diri dan semangat juang orang Vietnam, serta keramahan dan ketekunan bekerja orang Cambodia merupakan pelajaran berharga.  Sumberdaya alam Indonesia sangat besar.  Yang diperlukan adalah kemauan dan kemampuan mengolahnya.  Tentu harus didukung oleh kebijakan yang jelas dan terarah untuk memajukan bangsa. Semoga kita dapat belajar dari mereka.

Rabu, 05 Juni 2013

SIEM REAP TEMPAT BELAJAR MENGELOLA WISATA

Saat Pak Ali Mustofa menawari apakah ikut ke Siem Reap untuk melihat Angkor Wat saya ragu-ragu.  Kota Phnom Penh yang merupakan ibu kota saja masih semrawut, apalagi Siem Reap yang berada di perbatasan dengan Thailand. Tentu lebih “parah”.  Apalagi infomasinya kalau naik mobil selama enam jam. Pada hal di peta saya perkirakan hanya sama dengan Surabaya Jember.  Kalau naik mobil selama enam jam, berarti jalannya tidak baik.

Namun karena memang kami punya satu hari kosong sebelum ke Beijing, akhirnya saya setuju untuk ikut.  Lumayan untuk mengisi waktu dari pada menganggur di hotel.  Mau keliling kota Phnom Penh juga malas, karena lalu lintas sangat ruwet.   Apalagi saya ingat kalau Angkor Wat oleh Unesco diakui sebagai salah satu warisan dunia.  Anggap saja mengunjungi Borobudur-nya Cambodia.

Dari Phnom Penh kami naik pesawat sejenis ATR sekitar 45 menit. Ketika menjelang mendarat, sekitar pukul 7.30 sore tidak nampak lampu kota Siem Reap.  Lampu hanya tampak jarang-jarang, sehingga menambah keyakinan bahwa Siem Reap mungkin mirip kecamatan di Jawa. Saya berkomentar kepada Pak Ali, jangan-jangan Siem Reap seperti kampung saya.

Namun begitu mendarat saya kaget.  Bandara memang kecil, tetapi banyak pesawat yang parkir. Juga ada satu pesawat jet kecil yang biasanya milik pribadi.  Artinya Siem Reap dikunjungi oleh wisatawan kaya dengan menggunakan pesawat pribadi. Begitu turun dari pesawat dan masuk ke ruang tunggu, saya lebih kaget karena sangat bagus.  Tersedia cukup banyak brosur pariwisata.  Hanya saja sebagian besar menggunakan bahasa Mandarin.  Yang menggunakan bahasa Inggris hanya sedikit. Juga tampak beberapa “bule” yang menunggu barang.

Pandangan saya berubah total saat sudah naik bus kecil menuju hotel.  Memang Sien Reap tidak sebesar Surabaya.  Mungkin sebesar Madiun.  Namun kotanya bersih dan tertata rapi.  Jauh lebih rapi dan bersih dibanding Phnom Penh. Banyak hotel dan restoran sepanjang jalan.  Memang bangunannya tidak tinggi-tinggi seperti hotel di Surabaya.  Mungkin sekitar 5 lantai yang paling tinggi, tetapi tampak tertata rapi.  Lalu lintas juga tidak seramai Phnom Penh, sehingga semua tampak bagus.  Tampak benar sebagai kota wisata yang dikelola dengan baik.

Hotel tempat kami menginap bernama Royal Empire Hotel.  Kecil dan hanya lima lantai, mungkin sekitar 100 kamar.  Tetapi rapi dan petugas front office-nya berbahasa Inggris bagus.  Penataan kamar, termasuk kamar mandi juga sangat baik, seperti hotel bintang 4 di Indonesia.  Waktu sarapan pagi juga tampak menggunakan standar internasional.

Ketika pagi naik bis kecil menuju Angkor Wat saya menyaksikan betapa rapinya penataan kota Siem Reap.  Jalannya lebar, sebagian besar punya “jalan arteri” untuk pertokoan di kiri dan kanan, sehingga parkir tidak mengganggu jalan utama.  Banyak juga resort di jalan menuju Angkor Wat.  Sepertinya banyak turis dengan katong tebal yang berwisata ke Siem Reap.

Mendekati lokasi Angkor Wat, kami memasuki “hutan kecil” di kira dan kanan jalan.  Sepertinya diatur agar menambah daya tarik wisata.  Di tengah hutan kecil tersebut, terdapat pintu gerbang yang mengharuskan wisata berhenti untuk membeli tiket.  Semua wisatawan harus membelok masuk ke lokasi tersebut.  Semua wisatawan turun dan baris satu persatu.  Ternyata difoto dan fotonya tercetak dalam tiket masuk.  Hebat, baru pertama ini ada tiket masuk daerah wisata yang foto pengunjung ikut tercetak disitu.  Menerima dan mencermati itu, saya memutuskan untuk menyimpannya sebagai kenang-kenangan.

Setelah dapat tiket, kami kembali masuk mobil dan meneruskan perjalanan menuju lokasi Angkor Wat.  Masih sekitar 10 menit perjalanan mobil pelan-pelan.  Nah ketika sampai di lokasi Angkor Wat saya jadi kaget lagi.  Ternyata Angkor Wat yang tersohor itu hanya kecil dan tidak terawat.  Mungkin hanya sebesar candi prambanan.  Bangunannya banyak yang rusak dan ditumbuhi tanaman yang merambat.  Patung di candi tersebut sebagian sudah rusak, sehingga wajah patung sudah tidak jelas. Di sana-sini ada daerah yang tidak boleh dilewati karena bahaya kalau runtuh.

Ketika saya mencoba mencermati, saya meragukan keaslian bagian-bagian candi.  Saya menemukan sambungan antar batu diberi semen.  Tentu di jaman candi itu dibangun belum ada semen, sehingga saya menduga sudah ada yang direstorasi.  Kalau kita bandingkan antara kondisi candi yang saat ini ada dan gambar yang ada di brosur berbeda cukup besar.  Sepertinya gambar di brosur itu visualisasi ketika candi masih utuh.  Dan kenyataannya sekarang sudah banyak yang hancur. 

Sepulang dari Angkor Wat saya merasa “kecewa”, jauh-jauh kami kunjungi ternyata hanya seperti itu.  Namun dalam hati saya muncul suatu pertanyaan, bagaimana Cambodia dapat mengemas obyek wisata yang tidak terlalu hebat itu dikunjungi banyak wisatawan. Obyek wisata yang hanya sebesar candi prambanan dengan kondisi sangat rusak dapat sangat terkenal dan banyak orang asing mengunjunginya.  Tampaknya packaging dan marketing yang sangat bagus membuat obyek yang sederhana itu menjadi “laku jual”.  Kita perlu belajar agar obyek wisata kita yang jauh lebih baik, juga selaris Angkor Wat.  Semoga.

Sabtu, 01 Juni 2013

MS SHI HUI

Seperti saya sebutkan terdahulu, begitu tiba di hotel saya langsung ke tempat acara, yaitu di Koh Pich City Hall.  Hanya sempat cuci muka dang anti baju resmi untuk ikut acara pembukaan. Sampai di pintu gedung saya dijemput oleh Pak Ali Mustofa dan seorang panitia.  Mereka berdua mengantar saya sampai tempat duduk dan ke Madame Xu Lin untuk memberi salam.

Ketika acara sudah selesai, Ibu Chen Jing, Direktur CI Unesa dari China, memperkenalkan saya dengan sekretaris Madame Xu Lin.  Ternyata gadis yang tadi menjemput saya bersama Pak Ali Mustofa.  Bu Chen Jing mengatakan sekretaris yang cantik sekali.  Dan memang betul, Ms Shi Hui sangat cantik.  Saya duga usianya sekitar 25-30 tahun.  Pakaiannya sederhana, hanya rok, baju dan blazer warna hitam.  Berkulit putih, hidung sangat mancung dengan mata tidak terlalu sipit.  Sepertinya tidak pakai make up atau kalau memakai sangat tipis.  Sangat ramah dan lebih penting sangat helpful.  Berusaha membantu apa keperluan peserta.

Ketika akan bertemu dengan Ibu Xu Lin tanggal 30 pagi, Ms Shi Hui yang menyambut kami di ruang transit, mempersilahkan duduk dan mengambilkan minum.  Sepertinya dia yang mengatur acara pertemuan pagi itu.  Ketika saya dengan Pak Felix Kasim (rektor UK Maranatha Bandung) akan ke hotel setelah makan siang, Ms Shi Hui yang mengatur dan mencarikan mobil.  Bahkan ketika saya berdiri setelah selesai makan, Ms Shi Hui mendekatai saya dan bertanya perlu apa.  Saya benar-benar kagum atas upayanya membantu peserta konferensi.

Apakah memang seperti itu prinsip kerja staf Hanban, saya tidak tahu.  Tetapi kalau mengamati kerja mereka selama konferensi sepertinya betul. Ketika tiba di bandara, ada petugas yang menjemput.  Pada hal saya datang terlambat satu hari.  Memang bahasa Inggrisnya tidak lancar, tetapi petugas penjemput sangat ramah dengan membawa papan bertulis CI Conference.  Ketika saya angkat tangan, dia langsung menyongsong saya, mengambil koper dan meminta saya menunggu mobil yang akan segera datang.

Karena ada peserta yang beragama Islam dan ingin makanan halal, pada acara makan selalui disediakan tempat untuk makanan halal.  Di hotel ada ruangan khusus dengan makanan halal.  Saat makan siang di restoran juga disediakan ruang khusus untuk makanan halal. Biasanya yang makan di situ  peserta dari Indonesia, Malaysia, Jordan dan Pakistan.   Kami dapat makan dengan tenang tanpa takut keliru ambil makanan.

Acara diatur dengan rapi.  Termasuk naik bis dari hotel ke tempat acara diatur dengan rapi. Di kartu/bad peserta telah dituliskan kode bis yang harus digunakan.  Kebetulan saya dapar bis D.   Untuk makan di hotel maupun di restoran peserta diberi kupon untuk diserahkan kepada petugas ketika masuk restoran.   Semua berjalan tertib.  Kita juga harus tertib, kalau lupa membawa kupon makan, tidak akan diijinkan masuk restoran.

Saya jadi teringat ketika mengikuti International Confucius Institute Conference di Beijing pada bulan Desember 2011.  Saya merasa perlu hati-hati karena pengalaman kesulitan di bandara Guangzhou tahun 2010.  Waktu itu saya akan ke Wuhan dan transit di Guangzhou.  Saya kesulitan untuk mencari gate.   Semua tanda bertulisan China sehingga saya tidak dapat membaca.  Bertanya, termasuk ke bagian informasi, saya mendapat kesulitan karena mereka tidak dapat berbahasa Inggris.  Terpaksa tilpun ke teman di Jakarta sudah sering ke Guangzhou dan ternyata harus pindah terminal, dengan melewati lorong yang cukup panjang.

Oleh karena itu, sebelum berangkat ke Beijing saya menyiapkan berbagai hal, termasuk bagaimana pergi dari bandara ke hotel.  Ternyata semua sudah diatur dengan rapi oleh panitia.  Memang hanya sedikit yang dapat berbahasa Inggris, tetapi semua diatur dengan tanda.  Termasuk nomor bis dan tempat parkir bis diberi tanda.  Oleh karena itu, tanpa bertanya asalkan melihat  tanda kita dapat mudah mencari sesuatu.  Saya juga diberitahu bagaimana cara bepergian, yaitu dengan bertanya kepada petugas front office di hotel.  Mereka akan mengambil kertas dan menuliskan alamat yang dituju, termasuk ongkos taksi dengan huruf China.  Kita tinggal menunjukkan kertas tersebut kepada sopir taksi dan kalau dia mau akan bilang OK.

Kembali kepada Ms Shi Hui, sepertinya dia orang terpercaya di lingkungan staf Hanban.  Di akhir pertemuan dengan Madame Xu Lin, beliau pesan kalau ada sesuatu informasi disilahkan menghubungi Ms Shi Hui.  Termasuk saat konferensi, sepertinya banyak staf Hanban yang bertanya ke dia.  Karena kita ingin, konferensi CI Asia tahun depan dapat diselenggarakan di Indonesia, saya pesan ke Pak Ali Mustofa untuk selalu kontak dengan Ms Shi Hui untuk meyakinkan bahwa Indonesia siap.   Tentu Pak Ali tidak keberatan untuk ber-email ria dengan sekretaris cantik, ramah dan helpful.  Semoga.