Selasa, 23 Juli 2013

IR FIRDAUS DAN JEJARING SOSIAL

Pada awal bulan ramadhan saya mendapat sms dari seseorang yang mengaku bernama Firdaus dan teman Pak Fasli Jalal (mantan Wamendikbud yang sekarang menjadi Kepala BKKBN).  Inti sms yang bersangkutan ingin silaturahim.   Saya tidat ingat siapa beliau, namun sms itu saya tanggapi dengan baik dan saya persilahkan datang ke kantor.

Setelah datang, saya baru ingat bahwa kami sering bertemu di kegiatan sosial.  Hanya saja selama ini saya tidak tahu  atau mungkin lupa namanya.  Mungkin karena tidak terlalu akrab dan profesinya berbeda.  Jadi ingat wajahnya tetapi lupa namanya.  Saya hanya ingat orangnya ramah dan cenderung banyak bicara.  Perawakannya sedang, berkulit kuning dan berwajah tampan.  Beliau Ir. Firdaus, seorang pengusaha yang sekarang menjadi Ketua Gapensi Kota Surabaya.

Pada silaturahim itu kami ngobrol tentang banyak hal.  Mulai dari cerita waktu beliau muda dan merantau dari Padang ke Surabaya, aktivitasnya sebagai pengusaha dan aktivitasnya di berbagai organisasi sosial.  Pada saat mau pulang, saya diberi sebuah buku yang banyak gambarnya.  Judulnya: “Ir Firdaus, Dalam Pejalanan Bisnis, Organisasi Profesi dan Organisasi Sosial Kemasyarakatan”.

Setelah mendengarkan kuliah pendek dari Mas Ismail Nachu yang menjelaskan pentingnya kawan dalam menjalankan usaha, saya terdorong membaca buku pemberian Pak Firdaus.  Memang dari obrolan singkat, saya menangkap beliau terlibat di banyak organisasi sosial.  Beliau melakukan banyak inisiasi dalam masalah sosial.  Siapa tahu dapat memperoleh gambaran bagaimana pertemanan beliau dan bagaimana beliau membangunnya.

Dan betul, dari buku itu saya dapat membayangkan betapa luas pergaulan dan pertemanan Pak Firdaus.  Betapa luas aktivitas organisasi dan aktivitas sosial beliau yang tentu saja menjadi sarana membangun jejaring sosial.  Pak Firdaus paling tidak terlibat di delapan Oragnisasi, antara lain sebagai Ketua Gapensi Kota Surabaya, sebagai Wakil Ketua Kadin Surabaya, Ketua Komisi Antar Lembaga KONI JawaTimur, Ketua Forum Pembauran Kebangsaan Jawa Timur, Ketua Gebu Minang Jawa Timur.  Dan masih banyak lagi.

Tentu dari aktivitas di organisasi tersebut Pak Firdaus memiliki banyak teman dan akhirnya menjadi jejaring sosial yang kata Mas Ismail sangat penting untuk mengembangkan usaha.  Apalagi dari foto-foto yang ada di buku tersebut tampak sekali, jejaring Pak Firdaus dengan orang-orang penting.  Misalnya beberapa foto saat beliau mendampingi Pak Jusuf Kalla di beberapa kegiatan. Juga tampak beliau akrab dengan Pak Gamawan Fauzi (Mendagri) dan Pak Fasli Jalal (Kepala BKKBN dan mantam Wamendikbud).  Mungkin kita dapat berkomentar, karena sesama orang Sumatra Barat atau karena Ibu Jusuf Kalla orang sekampung dengan Pak Firdaus.  Atau karena sesama pengurus Gebu Minang.

Namun di foto lain, juga tampak kegiatan Pak Firdaus dengan Pak Ciputra dalam pengembangan kewirausahaan.  Juga ada foto bersama Walikota Surabaya dan Gubernur Sumatra Barat dalam kegiatan pemberian beasiswa bagi mahasiswa keluarga kurang mampu.  Ada juga foto-foto dengan Mahathir Mohamad dan Putra Mahkota Perlis Malaysia, dalam acara pengiriman mahasiswa Indonesia ke Malaysia.  Saya membayangkan betapa luas pergaulan Pak Firdaus.

Apa yang dapat dipetik dari pengalaman Pak Firdaus membangun jejaring sosial tersebut?  Pertama, jejaring sosial itu dibangun melalui keterlibatan beliau dalam berbagai organisasi dan aktivitas sosial kemasyarakatan.  Ketika terjadi gempa bumi di Sumatra Barat, Pak Firdaus menggalam sumbangan dari masyarakat Jawa Timur.  Kemudian diserahkan oleh Gus Ipul (Wagub Jawa Timur) kepada Gubernur Sumatra Barat.  Dengan begitu tentu hubungan baik akan terjalin antara mereka yang terlibat, khususnya pihak Pemprov Jawa Timur dan Pemprov Sumatra Barat.

Aktivitas sosial ternyata tidak hanya melalui organisasi formal, tetapi juga aktivitas non formal.  Dari gambar dan cerita yang disampaikan, ternyata inisiatif mengembangkan kewirausahaan dapat menggandengkan beliau dengan Pak Ciputra, Ditjen Dikti dan beberapa pemerintah daerah.  Pelatihan mindmap yang difasilitasi mampu mengakrabkan pejabat Kota Surabaya dengan Pak Firdaus. 

Kedua, jejaring sosial mampu membuat Pak Firdaus akrab dan dipercaya oleh banyak pihak, baik para pejabat maupun sesame pengusaha.  Bahkan konon Pak Firdaus sering diminta menjembatani jika ada perbedaan pendapat atau perselihan pendapat antara pejabat maupun antara pengusaha.  Mungkin karena pengusaha tidak terikat hirakhi jabatan, maka dapat bebas ketemu dan berbicara dengan berbagai pihak.  Atau mungkin juga Pak Firdaus memang enak dalam berbicara, sehingga mudah diterima berbagai pihak.


Ketiga, saya menduga luasnya jejaring sosial memiliki kontribusi pekerjaan beliau.  Dari gambar yang ada di buku tampak bervariasinya proyek yang ditangani Pak Firdaus.  Artinya beliau mendapat kepercayaan berbagai pihak.  Jika pepatah mengatakan “tidak kenal maka tak cinta”, sangat mungkin pertemanan beliau yang luas menjadi pintu beliau mendapat kepercayaan untuk mengerjakan berbagai proyek. Tentu kepercayaan itu harus dibuktikan melalui kualitas pekerjaannya.  Semoga kita dapat belajar dari beliau.

Senin, 22 Juli 2013

KULIAH MAS ISMAIL NACHU

Saya mengenal Ismail Nachu sudah cukup lama, mungkin sekitar 13 tahunan.  Saat itu sebagai anak muda aktivis dan menjadi Ketua Masika.   Setelah itu menjadi Sekretaris ICMI Jawa Timur dan sekarang menjadi ketuanya.  Seingat saya saat menjadi Ketua Masika, dia aktif di LSM.  Namun kemudian banting stir menjadi penguasa properti dan sukses.

Ismail Nachu lulusan Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya.  Anak nelayan dari Pasuruan yang saat kuliah harus nyambi kerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan hidup.  Namun sekarang sudah pengusaha properti yang sukses membangun perumahan di Surabaya, Madiun dan Malang.  Sekarang juga membangun ruko di Jalan Ahmad Yani Wonocolo Surabaya, di sudah pertigaan menuju ke Rungkut Industri.

Latar belakang itulah yang membuat Unesa mengundang dia untuk memberikan “kuliah pendek” menjelang berbuka bersama di hadapan pengurus BEM Universitas, BEM Fakultas, BEM Jurusan dan UKM di lingkungan Unesa.  Harapannya Mas Ismail dapat berbagi pengalaman bagaimana mentraformasi diri dari mahasiswa dari keluarga kurang mampu, menjadi aktivis kampus, menjadi aktivis LSM dan menjadi pengusaha muda yang sukses.  Rasanya itu penting bagi aktivis kampus Unesa.

Kuliah pendek itu sengaja digandeng dengan sosialisasi tentang UKT (Uang Kuliah Tunggal).  Dalam UKT Unesa diketahui bahwa sebagian besar mahasiswa Unesa berasal dari keluarga kurang mampu.  Dalam UKT mahasiswa dikelompokkan berdasar kemampuan ekonomi orang tua menjadi lima tingkatan.  Ternyata 57% mahasiswa baru Unesa hasil SNMPTN tahun 2013, termasuk kategori I dan II.  Artinya lebih separuh dari mereka termasuk kategori kurang mampu dan sangat kurang mampu.

Setelah menjelaskan tentang UKT, saya mengantar kuliah Mas Ismail dengan mengatakan: “Mas Ismail ini lulusan IAIN, tetapi dapat menjadi pengusaha sukses.  Mas Ismail waktu mahasiswa tergolong kategori sebelah kiri, yaitu kelompok kurang mampu, tetapi sekarang menjadi kelompok kanan, artinya orang yang kaya.  Bagaimana bisa begitu nanti beliau akan berbagi pengalaman. Saya yakin walaupun sekarang adik-adik termasuk kelompok sebelah kiri, nanti setelah lulusan akan mampu bergeser menjadi kelompok sebelah kanan.”
 
Saya sengaja mengikuti kuliah beliau.  Disamping untuk menghormati, saya juga ingin mendapatkan informasi apa kunci hidup beliau yang secara cepat mengubah diri dari aktivis kampus, aktivis LSM menjadi pengusaha dan tetap menjadi aktivis sosial.  Tetap menjadi Ketua ICMI Jawa Timur dan memiliki program mencetak 10.000 saudagar muslim.  Kantor dia boleh digunakan untuk kegiatan ICMI dan dia siap mendampingi mahasiswa dan anak muda yang ingin menjadi pengusaha.

Dengan cermat mendengarkan kuliah pendeknya, saya menangkap beberapa poin penting.  Prinsip-prinsip hidup yang dia terapkan sehingga mampu dengan cepat mentransformasi diri. Pertama, menjadi penguasaha itu mindset.  Bukan kemampuan dan bukan kerja keras.   Untuk menjadi pengusaha, seseorang harus memiliki konsep diri sebagai pengusaha.  Harus menjadi tujuan hidup dan itu dipegang kuat-kuat.  Di benak kita harus tertanam kuat-kuat bahwa ingin menjadi pengusaha dan bukan menjadi pegawai yang digaji orang lain.

Mas Ismail menganalogkan dengan perjalanan.  Orang yang berjalan dari Pasuruan ke Unesa Ketintang, akan cepat sampai kalau dengan jelas memastikan akan ke Unesa dan tahu letak kampusnya.  Setelah itu tahu peta jalan menuju kampus.  Jika tidak akan keblasuk-blasuk tidak cepat sampai atau bahkan tidak pernah sampai.  Artinya harus dipastikan bahwa ingin menjadi pengusaha dan tahu bagaimana jalannya untuk menjadi pengusaha.

Kedua, untuk mendukung ketercapaian tujuan menjadi pengusaha tadi adalah semangat hidup pantang menyerah.  Tidak boleh mudah menyerah. Jika belum tahu peta ke kamous Ketintang harus berupaya bertanya dan mencari tahu.  Setelah itu harus berani memulai langkah menuju kampus dan tidak mudah menyerah jika ada hambatan.  Mas Ismail menceritakan nasehat ibunya, kurang lebih seperti berikut: “Ismail, ibu melahirkan kamu dengan taruhan nyawa.  Jika kamu mudah menyerah dalam kehidupan, berarti kamu mengkhianati perjuanganku saat melahirkan kamu”.

Ketiga, menjadi pengusaha harus banyak kawan.  Kawan sangat penting bagi pengusaha untuk mendapatkan infomasi, mendapatkan bantuan dan mendapatkan dukungan moral.  Pertemanan tidak dapat dibangun sekejap.  Oleh karena itu sejak menjadi mahasiswa dan aktivis kampus atau kegiatan lainnya harus membaguna pertemanan yang luas.  Teman seperti itu sangat berguna setelah menjadi pengusaha yang memerluka informasi, bantuan dari orang lain.

Ke empat, kepercayaan.  Pengusaha tidak akan berkembang jika tidak dipercaya orang lain.  Menjual rumah harus dipercaya pembeli.  Mencari kredit harus dipercaya bank.  Bekerjasama harus dipercaya partner.  Bahkan katanya, membangun rumah tangga harus dipercaya istri/suami.  Nah, untuk dapat dipercaya jujur menjadi kata kunci.  Semoga kita dapat belajar dari Ismail Nachu.

Rabu, 17 Juli 2013

Pak Kadir, Infoglobal dan Pesawat Tempur

Beberapa hari lalu, Ir Abdulkadir Baraja datang ke kampus Unesa.  Beliau datang sebagai Ketua YDSF (Yayasan Dana Sosial Alfalah) untuk “meniru” program SM3T bagi sekolah di pelosok di Jawa Timur.   Ide cemerlang sekaligus wujud kepedulian YDSF kepada sekolah-sekolah di daerah terpencil di Jawa Timur. Program itu diberi nama Jawa Timur Mengajar. Pada saat itu juga ditandatangani MoU antara Unesa dengan YDSF untuk program Jawa Timur Mengajar.  Unesa bertindak sebagai pelaksana dan YDSF selaku peyandang dana.

Di akhir acara Pak Kadir bercerita tentang salah satu perusahaannya, yang bernama Infoglobal.  Katanya perusahaan itu dapat me-replace dashboard pesawat F5 dan F16 milik TNIU AU yang banyak grounded akibat embargo suku cadang.  Saya kaget dan setengah tidak percaya.  Bukankah itu teknologi canggih dan hanya perusahaan besar yang dapat melakukan. Untuk meyakinkan saya, beliau mengajak saya melihat workshopnya di daerah Dinoyo.  Beliau berjanji akan menjemput saya di kampus.

Rabu pagi tanggal 17 Juli 2013, sekitar pukul 8.30 Pak Kadir sudah berada di lobi rektorat Unesa.  Kami segera meluncur ke daerah Dinoyo.  Ketika mobil berbelok di suatu gedung tua, di sebelah kantor Pajak jalan Dinoyo, dalam hati saya bertanya, apakah ini lokasi Infoglobal.  Gedungnya nampak tua dan kurang terawat.  Halamannya ditumbuhi rumput tinggi yang juga tampak kurang terawat.  Di tempat parkir ada beberapa mobil tua.  Atap tempat parkir terbuat dari seng yang sudah karatan dan bolong-bolong.

Ketika kami masuk lewat pintu halaman samping, terlihat speda motor berjajar yang saya duga milik karyawan.  Mungkin sekiar 20 buah.  Di samping gedung workshop tampak gedung lain yang mirip rumah tinggal yang juga kurang terawat.  Teras workshop terbuat dari paving yang juga tampak sudah tua.  Semua mengesankan seperti gedung tua, kurang terawat dan tidak memberi gambaran perusahaan yang membuat barang canggih.  Satu-satunya yang menunjukkan itu, hanya tulisan di gerbang berbunyi “Infoglobal avionic”.

Ketika masuk saya baru kaget.  Begitu membuka pintu, yang saya hadapi adalah model dashboard pesawat F5.  Ketika didemokan bagaimana sistem control di dashboard itu mampu mengendalikan peawat tempur, saya jadi terkagum-kagum.  Workshop dg gedung tua, mampu me-replace sistem control pesawat temput.  Dari demo tampak sekali semua instrumen berjalan dengan baik sesuai dengan tayangan pesawat di layar TV. 

Setelah itu saya diajak melihat karyawan yang sedang bekerja di ruangan yang sama.  Menurut Mas Choirul, pimpinan Infoglobal, ruang itu mirip ruang “R and D”.  Di situlah teknologi kontrol pesawat tempur dipelajari.  Kemudian dirancang penggantinya.  Karena yang asli menggunakan “teknologi lama”, sementara pengganti yang diciptakan menggunakan “teknologi baru”.  Namun  tempatnya harus sesuai dengan yang ada, maka para desainer harus mampu membuat instrumen yang wadahnya (casing-nya) tepat dengan yang lama, fungsinya minimal sama dengan yang lama tetapi menggunakan teknologi baru.  Dan ternyata para anak muda itu mampu.  Suatu prestasi yang menurut saya harus diacungi jempol.

Menurut Pak Kadir dan Mas Choirul, sistem kontrol pada dashboard pesawat F5 dan F16 yang dibuat oleh Infoglobal telah teruji.  Artinya pesawat yang semula grounded telah dapat kembali terbang dengan fungsi yang sama dengan aslinya.  Oleh karena itu, gedung tua dan tidak terawat itu setiap tahun menjadi kunjungan peserta SESKO AU.  Para perwira menengah TNI AU yang konon nantinya akan menjadi pejabat penting itu berlajar ke Infoglobal. Bahkan dari email yang dikirim Pak Kadir, saat pameran di Jakarta stand Infoglobal dikunjungi oleh Menhankam.

Yang lebih menarik, gedung tua itu sudah dikunjungi petinggi dari Malaysia dan ditawari untuk pindah ke Kualalumpur dengan dbuatkan gedung bagus.  Konon juga sudah mendapat pesanan dari Iran.  Mungkin untuk me-replace sistem kontrol pesawat tempur Iran tinggalan Amerika Serikat, pada saat era sebelum revolusi Islam.

Dari ruang R and D, saya diajak ke ruang sebelah yang disebut ruang assembling.  Di ruang itu empat anak mudah bekerja, merakin komponen ekeltronik untuk sistem kontrol tadi.  Luar biasa.  Mereka bekerja semi manual dibantu dengan kaca pembesar.  Namun mampu merakit dan menyoder dengan sangat presisi.

Dari ruang assembling, saya diajak melihat ruang desain.  Di ruang itu, lagi-lagi anak muda merancang casing alat-lat avionic.  Kalau alat yang lama ada dan dapat ditiru, tinggal meniru.  Namun kalau tidak ada, mereka mendesain dari nol.  Hasil desain itu kemudian ditransfer ke mesin CNC yang ada di ruang sebelah.  Mesin CNC itu dioperasikan oleh anak SMK yang sedang praktek.

Apa yang dapat dipetik sebagai pelajaran dari Infoglobal Avionic tadi?  Pertama,  ternyata anak-anak Indonesia terbukti mampu mengerjakan teknologi canggih, yang mungkin tidak dibayangkan banyak orang.  Menurut Mas Choirul, memang itu pekerjaan berat yang memeras otak dan semangat pantang menyerah.  Sesuatu yang mungkin tidak pernah diperoleh di bangku sekolah dan bangku kuliah.  Konon untuk memahami teknologi sistem kontrol pesawat tempur F5 perlu waktu dua tahun.  Baru setelah itu memikirkan bagaimana dapat me-replace dengan teknologi yang lebih baru.

Kedua, para anak muda tersebut sangat beragam latar belakang pendidikannya.  Ada yang berpendidikan S1, D3 dan bahkan beberapa tamatan SMK.  Bidangnya juga macam-macam, ada mesin, elektronika, telekomunikasi dan bahkan ada yang statistik.  Ketika saya tanya berapa persen dari apa yang dikerjakan saat ini sudah diperoleh di bangku kuliah, sambil tersenyum rata-rata menyebut angka di bawah 10%.  Artinya sebagian besar harus dipelajari sendiri.  Itulah sebabnya, mereka mengatakan perlu waktu sekitar satu tahun untuk memahami tugas yang sekarang ditangani.  Berarti kemampuan dan semangat belajar sendiri menjadi kunci penting dalam bekerja di Infoglobal.

Ketiga, melihat cara kerja para anak muda itu, rasanya itulah laboratorium yang sebenarnya.  Mereka merancangbangun sesuatu yang canggih.  Mereka memeras otak untuk menemukan desain yang terbaik, menemukan cara kerja yang terefisien, menemukan rakitan yang presisi dan sebagainya.


Rasanya para pendidik, khususnya perancang kurikulum perlu melihat cara kerja anak muda di Infoglobal.  Saya yakin, di era teknologi pola kerja seperti itu yang akan banyak mengisi pekerjaan mendatang.  Infoglobal mungkin dapat menjadi laboratorium bagaimana menyiapkan tenaga hebat untuk era iptek.  Perancang kurikulum perlu menemukan apa sebenarnya bekal utama yang harus dipelajari dan dikembangkan untuk mampu menghadapi era iptek seperti itu. Dan Pak Kadir layak untuk mendapat apresiasi untuk inovasinya.

Sabtu, 06 Juli 2013

PELAJARAN DARI TIMOR LESTE

Seperti saya uraian sebelumnya, tanggal 1 s.d. 3 Juli 2013 saya ke Timor Leste, memenuhi undangan Direktur Katilosa untuk menandatangani MoU, sekaligus melaksanakan pelatihan Pendidikan Inklusif bagi para kepala sekolah di Distrik Baucau.  Waktu tiga hari saya manfaatkan juga untuk mengamati situasi sosial kemasyarakatan, khususnya dalam bidang pendidikan.  Saya juga memanfaatkan untuk bertemu dan berdiskusi dengan teman-teman di Dili dan di Baucau.

Berikut ini pelajaran yang dapat dipetik dari Timor Leste.  Pertama, sepanjang perjalanan dari Dili ke Baucau saya menyaksikan bahwa lahan di kiri dan kanan jalan terkesan gersang.  Walaupun masih ada hujan, tetapi banyak lahan yang hanya ditumbuhi rumput atau semak yang tidak subur.  Sepertinya tanah disana mengandung kapur, sehingga tanaman tidak dapat tumbuh dengan baik, walaupun pada musim hujan.  Bahkan ada beberapa bukit yang seperti betul-betul gundul.

Kedua, kondisi sosial ekonomi tampaknya “masih memprihatinkan”.   Saya menyaksikan pola pertanian di sepanjang perjalanan masih sangat tradisional.  Pak Lorentino juga mengakui kondisi  tersebut.  Dia bercerita ketika naik mobil dari Yogyakarta ke Solo menjumpai pertanian yang sangat maju.  Oleh karena itu, Pak Lorentino ingin mengundang petani dari Klaten untuk mengajari petani petani di Timor Leste.

Saya juga menyaksikan banyak orang yang mandi di sungai dan pulangnya membawa air dalam jirigen.  Melihat itu, saya teringat kebiasaan masyarakat di kampung saya pada tahun 1960an. Saya bertanya apakah orang Timor Leste tidak memiliki sumur?  Ternyata memang belum.  Artinya upaya untuk memiliki sumber air bersih belum menjadi tradisi masyarakat.  Mereka masih menggunakan apa yang ada atau yang nampak di depan mata.

Sebagian besar rumah beratap rumbai atau daun alang-alang atau sejenis itu.  Pada umumnya lantai dari tanah.  Dinding rumah terbuat dari papan atau semacam sesek. Halaman juga tampak kumuh dan belum dimanfaatkan untuk menanam sesuatu atau keperluan lainnya.  Kebersihan tampaknya belum menjadi tradisi masyarakat.

Namun demikian di kota Dili terdapat rumah dan gedung bagus dan bahkan terkesan mewah.  Kantor pemerintahan yang baru dibangun juga tampak mewah.  Beberapa kompleks pertokoan juga sedang dibangun dengan kondisi cukup baik.  Ketika menuju Baucau saya ditunjukkan rumah pribadi Pak Ramos Horta dan rumah kediaman Pak Xanana Gusmau yang cukup megah.

Kesenjangan tampaknya cukup terlihat antara elit dan masyarakat pada umumnya.  Mungkin ini ciri masyarakat yang baru mulai tumbuh.  Kalangan elit mampu menangkap kesempatan, sehingga segera melejit.  Mereka itulah yang mampu membangun rumah bagus.  Sementara sebagian besar masyarakat yang tidak mampu menangkap peluang itu tetap hidup serba kekuarangan.

Yang lebih mengejutkan saya, Timor Leste belum memiliki mata uang sendiri.  Mata uang yang digunakan adalah dolar Amerika Serikat.  Hampir semua barang sehari-hari, seperti mie instan, makanan kecil, semen, besi beton dan sebagainya berasal dari Indonesia.  Konon dikapalkan dari Surabaya.  Akibatnya harga barang-barang seperti itu lebih mahal dibanding di Indonesia.

Ketiga, pendidikan di Timor Leste juga masih memprihatinkan.  Menurut Menteri Pendidikan Timor Leste, saat pisah dari Indonesia banyak sekali guru-guru yang kembali ke tempat asal.  Pada hal saat itu sebagian besar guru di Timor Leste berasal dari daerah lain.  Akibatnya Timor Lester kekurangan guru.  Lebih parah lagi, guru yang pergi itu sebagian besar guru MIPA yang tidak mudah dicari dari tenaga setempat.

Kondisi gedung sekolah juga tampak kurang terawat.  Menurut Pak Lorentino gedung sekolah seperti itu dibangun saat masih bersatu dengan Indonesia.  Saat ini Timor Leste belum mampu membangun banyak sekolah baru.  Bahkan sepertinya memelihara sarana sekolah yang sudah ada juga tidak mudah.

Ketika pagi hari Di Dili maupun di Baucau saya melihat banyak anak yang berangkat sekolah.  Banyak dari mereka yang hanya membawa sebuah buku tulis.  Mirip seperti yang saya temukan di pedalaman Sumba Timur.  Ternyata mereka tidak memiliki buku pelajaran. Mirip di kampung saya tahun 1970an. Dapat dibayangkan bagaiama kesulitan sekolah, ketika anak-anak tidak memiliki buku pelajaran.

Yang lebih unik, seperti diceritakan Pak Lorentino, buku pelajaran menggunakan bahasa Portugis, tetapi guru mengajarkan menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Tetun.   Mengapa demikian?  Karena banyak guru yang tidak lancar berbahasa Portugis, apalagi siswanya.  Para guru pada umumnya lulusan sekolah ketika masih bersatu dengan Indonesia.  Jadi wajar kalau tidak dapat berbahasa Portugis. Akibatnya, ketika pemerintah Timor Leste memutuskan bahasa pengantar di sekolah menggunakan bahasa Portugis, mereka kesulitan.

Apa yang dapat dipelajari dari gambaran di atas?  Keputusan politik, yaitu pemisahan Timor Timur dari Indonesia dapat dilakukan dengan cepat.  Namun dampak sosial kemasyarakatan ternyata memerlukan penyelesaian yang panjang.  Waktu 13 tahun belum cukup untuk menyelesaikan.  Masalah bahasa dalam pendidikan dan mata uang merupakan contoh nyata.  Semoga menjadi pelajaran bagi kita. 

Kamis, 04 Juli 2013

LORENTINO GUTERES

Namanya mengingatkan kita kepada orang yang pada masa “perpisahan” Timor Timur menjadi Timor Leste banyak menghiasi koran dan televisi, yaitu Enrico Guteres.  Dan memang sama-sama orang dari sana, sehingga wajar kalau berasal dari satu marga.  Bedanya Lorentino memilih menjadi warga Timor Leste, sedangkan Enrico Guteres memilih menjadi warga negara Indonesia.

Pak Lorentino, begitu dia dipanggil, adalah direktur Katilosa, sebuah NGO Timor Leste yang bergerak di bidang penanganan orang cacat.  Katilosa bekerjasama dengan Unesa untuk mengembangkan pendidikan inklusi di Timor Leste.  Tanggal 2-4 Juli 2013 saya diundang Katilosa ke Baucau, kota kedua di Timor Leste, untuk menandatangani MoU, sekaligus mengisi pelatihan guru.

Orangnya kecil dengan tinggi sekitar 155 cm. Kulitnya terang dan rambutnya berombak dan tidak keriting.  Dari tampilan Pak Lorentino lebih mirip orang NTB atau Sulsel.  Berbeda dengan orang Timor Leste yang pada umumnya yang berkulit gelap dengan rambut keriting.  Bahasa Indonesianya lancar dengan logat yang mirip orang Jawa.  Jadi kalau tidak kenal orang mengira dia orang Indonesia, yang berasal dari Jawa atau NTB atau Sulawesi Selatan.

Saya bertemu dia pertama kali di Denpasar.  Saat menunggu pesawat untuk penerbangan Denpasar-Dili, dia tiba-tiba muncul.  Pak Jarwanto memperkenalkan saya dengan dia.  Ternyata dia dalam perjalanan pulang dari Korea Selatan.  Sepertinya dia sudah mengatur, kembali ke Timor Leste tepat orang yang diundang datang ke sana.  Walaupun baru ketemu, dia segera akrab dan banyak bercerita.

Tiba di Dili, dialah yang menyopiri kami menuju Baucau dengan mengendarai Toyota Landcruiser.  Badannya yang kecil menyebabkan seperti lucu saat menyopiri mobil jip yang begitu besar.  Selama perjalanan saya duduk disampingnya, sehingga dapat ngobrol selama perjalanan selama sekitar 4 jam.  Obrolan dengan aneka topik.  Mulai yang sangat ringan, misalnya sudah bulan Juli tetapi masih banyak hujan.  Sampai yang agak sensitif, mengapa pemerintah Timor Leste memilih bahasa Porto sebagai bahasa nasional.

Dari obrolan, saya menangkap Pak Lorentino orang yang energik dan punya pergaulan sangat luas.  Lulusan seminari untuk jenjang SMP dan SMA itu, kemudian kuliah di Universitas Katholik Widya Mandira Kupang.  Pada waktu Timor Timur pisah dari Indonesia, dia belum lulus dan terpaksa berhenti.  Selanjutnya bekerja di UN selama 5 tahun sambil menyelesaikan kuliah di Dili. 

Menurut dia, banyak “ahli” dari UN yang membantu Timor Leste itu sebenarnya tidak pandai.  Gajinya sangat besar, tetapi tidak dapat berbuat banyak.  Mereka tidak faham kondisi dan budaya Timor Leste, sehingga hanya ingin membuat Timor Leste meniru negaranya.  Pada hal situasi dan konsisinya jauh berbeda.  Akhirnya dia berhenti dan mendirikan Katilosa.

Selama tiga hari bersamanya, diam-diam saya mengagumi dia.  Orang NGO tetapi begitu luas jaringan pergaulannya.   Saat di Baucau, hampir setiap ketemu orang menyapanya.  Berarti dia dikenal luas oleh masyarakat Baucau.  Saat makan malam, Direktur Pendidikan Distrik Baucau tampak sangat menghormatinya.  Saat pembukaan Pelatihan Pendidikan Inklusi bagi kepala sekolah, tampak sekali Wakil Menteri Solidaritas Sosial, Sekretaris Daerah Baucau juga sangat menghormatinya.  Saat memberi sambutan, tampak dia seorang orator hebat yang meyakinkan semua pihak pentingnya memperhatikan nasib orang cacat.

Pak Lorentino juga aktif di berbagai kegiatan. Kedatangannya ke Korea Selatan mewakili KOI Timor Leste. Dia menjadi salah seorang pengurus KOI dan juga pimpinan Persatuan Renang Timor Leste.  Dia bercerita kenal baik dengan Ibu Rita Subowo, Ketua KOI dan juga mantan Menpora,  Pak Andi Malarangeng.  Dia bercerita bagaimana saling mendukung saat pertandingan bulu tangkis di Inggris beberapa tahun lalu.

Ketika kami diajak berkunjung ke Menteri Pendidikan Timor Leste, ternyata Pak Lorentino kenal baik dengan Pak Menteri.  Mereka sempat bercanda karena pernah adik kelas ketika di SMP-SMA Seminari.  Dia juga yang meyakinkan Menteri Pendidikan Timor Leste perlunya mengundang Unesa untuk melakukan pelatihan guru dan mengirim guru muda Timor Leste untuk kuliah di Unesa.  Dan sangat ajaib, Menteri Pendidikan menyetujui usul itu.  Saat itu dipustuskan untuk mengirim guru muda atau calon guru untuk kuliah di program studi PLB di Unesa.  Menteri Pendidikan Timor Leste juga menyetujui untuk melakukan pelatihan guru MIPA dengan mengundang Unesa.

Apa yang dapat dipelajari dari fenomena Pak Lorentino?  Pertama, pola pikirnya yang terbuka. Pada saat masih banyak orang Timor Leste “ragu-ragu” bekerjasama dengan Indonesia, dia sudah melangkah.  Pikiran bahwa Indonesia pernah “menjajah” difahami sebagai bagian sejarah masa lalu.  Yang penting menatap ke depan dan untuk itu Indonesia adalah pilihan terbaik.  Tetangga terdekat, memiliki budaya yang sangat mirip, dan kenyataannya banyak anak Timor Leste yang kuliah di Indonesia.  Apalagi 60% barang yang beredar di Timor Leste didatangkan dari Indonesia.

Kedua, jejaringnya yang sangat luas.  Dengan “bendera” NGO, dia dapat bergaul dengan berbagai pihak.  Mulai dari kalangan masyarakat biasa, politisi dan pejabat pemerintahan. Bahkan dengan organisasi internasional. Aktivitasnya di berbagai kegiatan mendukung pengembangan jejaring itu.  Demikian pula pengalaman bekerja di UN selama lima tahun.  Penguasaan bahasa Inggris yang bagus, bahasa Portugis, bahasa Indonesia dan tentu bahasa Tetun, membuat Pak Lorentino mudah bergaul dengan berbagai pihak.

Ketiga, kemauan kerja keras.  Selama tiga hari saya menyaksikan bagaimana dia kerja keras sampai malam hari untuk mengurusi pelatihan.  Itupun ditambah menyopiri kami ke berbagai tempat.  Termasuk mengajak makan malam serta mengatur pertemuan dengan beberapa pejabat di Timor Leste.  Semoga kita dapat belajar darinya.