Sabtu, 21 Desember 2019

MERDEKA BELAJAR


Ungkapan “merdeka belajar” telah menjadi tranding topic sejak sambutan Mendikbud dalam Hari Guru tersebar luas.  Apa yang dimaksud dengan merdeka belajar sedikit terelaborasi dengan kebijakan Mendikbud yang disampaikan pada rapat koordinasi dengan Dinas Pendidikan se Indonesia pada tanggal 11 Desember 2019.  Merdeka belajar ditandai dengan: (1) penyederhanaan RPP yang dibuat guru untuk mengajar, (2) meniadakan UN dan menggantinya dengan USBN dan uji kompetensi di kelas 4, 8 dan 11, serta survei karakter (3) melonggarkan aturan zonasi dalam PPDB.

 Tulisan ini tidak dalam posisi setuju atau tidak setuju dengan kebijakan tersebut, tetapi ingin mendudukkan dalam konsep pendidikan secara utuh. Jika merdeka belajar dimaksudkan agar siswa dapat mengembangkan potensinya dan belajar sesuai dengan karateristiknya, memang itulah hakekat pendidikan.  Bukankah itu memang hakekat pendidikan, yaitu membantu anak didik untuk mengembangkan potensinya guna menghadapi masa depan.  Bukankah pada hakekatnya pendidikan itu membantu anak didik menjadi orang yang merdeka, sehingga tidak menjadi beban orang lain.

Dalam konteks ini, harus tetap disadari bahwa kemerdekaan diri tidak boleh terlepas dari posisinya sebagai bagian dari komunitas.  Kebebasan yang dimiliki seseorang harus tetap tunduk dalam norma-norma komunitas dimana yang bersangkutan berada.  Keseimbangan hak-hak individu dengan keterikatan terhadap norma-norma komunitas itulah yang menjadi pilar harmoni kehidupan.  Bukankah manusia merupakan makhluk sosial yang selalu hidup dalam komunitas, betatapun kecilnya.

Jika merdeka belajar dikaitkan dengan keberagaman potensi siswa dan keberagaman gaya belajar, Gardner (2010) menyebutkan ada 8 jenis potensi yang mungkin dimiliki oleh anak-anak, sehingga sangat mungkin masing-masing anak dalam kelas kita memiliki potensi yang berbeda-beda.  Ada 3 jenis gaya belajar anak dan masing-masing menyenangi pola pembelajaran yang berbeda. Tentu agar anak berkembang dengan baik, aspek yang dikembangkan harus sesuai dengan potensi yang dimiliki dan gaya belajar yang disenangi.

Pertanyaan, bagaimana wujud nyata merdeka belajar itu.  Conny Semiawan (1983) memperkenalkan istilah Kurikulum Berdifensiasi untuk mengakomodasi perbedaan karateristik siswa.  Sayang sekali, sejauh yang saya tahu belum ada sekolah yang secara jelas menyebutkan menerapkan konsep kurikulum berdiferensiasi itu. Mungkin memang tidak mudah, karena jumlah siswa di Indonesia umumnya besar.  Guru juga terbiasa menjalankan pembelajaran one fit for all. Oleh karena itu saya menduga penerapakan merdeka belajar merupakan tantangan bagi guru di lapangan.

Apakah akan menjadi individualized instruction? Apakah akan menerapkan konsep mastery learning?  Apakah akan menerapkan konsep sks? Apakah akan menerapkan contextual teaching learning (CTL)? Atau gabungan dari berbagai konsep tersebut?  Jujur saya tidak tahu.  Tampaknya merdeka belajar yang disampaikan Mendikbud masih sebagai pemikiran yang mungkin dilandasi pengalaman atau pengamatan terhadap sekolah “sekolah bagus”.  Oleh karena itu, wujudnya nyata merdeka belajar masih dalam bayangan dan belum merupakan suatu kenyataan yang terjadi di sekolah.

Kompetensi guru untuk mampu merdeka juga harus mendapat perhatian. Apapun konsep dan kebijakan pendidikan yang dikeluarkan, pada akhirnya guru yang melaksanakan di kelas atau ruang belajar lainnya. Jika guru tidak mampu memahami kebijakan dan menerapkan di kelas, maka kebijakan akan menjadi “botol baru tetapi anggurnya lama”.  Gagasan menyiapkan guru penggerak untuk mulai menggelindingkan gagasan merdeka belajar mungkin menjanjikan, dengan catatan tidak mengulangi kebiasaan “hangat-hangat tai ayam”.   Jadi gagasan merdeka belajar masih harus menempuh jalan berliku dan the devil is in detail.

Sebenarnya konsep merdeka belajar dapat dikaitkan dengan Manajemen Berbasis Sekolah.  Abu Duhuo (1999) menyatakan bahwa hasil belajar siswa merupakan fungsi dari inovasi guru dalam merancang dan melaksanakan pembelajaran, sementara untuk dapat melakukan inovasi guru harus memiliki kompetensi dan kebebasan untuk memilih model pembelajaran yang diyakini cocok dengan konteks siswa dan sekolahnya.  Dan tugas manajemen sekolah untuk memfasilitasi guru agar memiliki kompetensi dan memberi keleluasaan guru untuk berinovasi.

Dalam merdeka belajar diharapkan siswa dapat belajar sesuatu yang diinginkan dan atau diperlukan dan belajar sesuai dengan gaya yang disenangi.  Untuk menjalankan itu, guru juga harus memiliki kemerdekaan memilih metoda yang tepat bagi siswanya, memilih materi ajar yang sesuai dengan keperluan muridnya.  Untuk mendukungnya, kepala sekolah  juga harus memiliki kemerdekaan dalam mengelola dan memajukan sekolahnya.  Jadi sekolah juga harus merdeka, sebagaimana konsep manajemen berbasis sekolah.

Namun demikian perlu dicatat bahwa kemerdekaan atau katakanlah  penerapan kebebasan memerlukan tiga syarat dasar, yaitu: (1) kedewasaan (maturity), sehingga yang menerima kebebasan itu melaksanakannya dengan penuh tanggung jawab.  Dalam konteks merdeka belajar, guru dan sekolah harus menyadari bahwa tujuan akhir merdeka belajar adalah hasil belajar murid yang optimal. (2) kompetensi guru dan kepala sekolah yang baik (well educated), sehingga tahu bagaimana cara melaksanakan konsep merdeka belajar dengan benar dan tidak asal merdeka. (3) guru dan kepala sekolah memiliki informasi yang lengkap (well informed), sehingga tahu koridor yang tidak boleh dilanggar saat melaksanakan konsep merdeka belajar. Semoga.

Kamis, 12 September 2019

MENJADI PELAYAN HAJI PERLU IKHLAS


Tanggal 10 September 2019 saya terbang dari Jakarta ke Kupang untuk memenuhi undangan Pemprop NTT yang akan membuat grand design pendidikan.  Walaupun transit di Surabaya, saya tidak bisa mampir rumah karena waktunya hanya 45 menit.  Bahkan saya tidak turun dari pesawat. Sesuai instruksi crew, saya tetap duduk di kursi yang sesuai dengan boarding pass dengan membuka hand phone, siapa tahu ada email atau wa yang masuk.  Tentu juga mengabarkan ke isteri kalau sedang transit di Juanda tetapi tidak mampir rumah.

Dari omongan pramugari dengan petugas darat yang naik ke dalam pesawat, saya mendengar kalau penumpangnya penuh karena ada rombongan jamaah haji. Dan betul setelah itu ada petugas yang mendorong kursi roda untuk bapak-bapak jamaah haji yang tampak sudah sepuh sekali.  Ternyata beliau mendapat kursi nomer 43A, sedangkan kursi saya nomer 43C. Ketika sampai di dekat saya, pramugari bertanya “apakah bapak dapat berjalan?”.   Jamaah tersebut menjawab tetapi dalam bahasa daerah, sehingga pramugari tidak faham.  Untung ada penumpang di kursi belakang yang faham bahasa tersebut dan mengatakan, bapak tersebut tidak berdiri.  Akhirnya petugas pendorong kursi mengangkat beliau.  Agar tidak repot saya menawarkan agar jamaah tersebut duduk di kursi 43C dan saya pindah ke 43A.  Pramugari setuju.


Tidak lama datang berselang datang jamaah lagi yang juga didorong di kursi roda.  Kali ini ibu-ibu, dengan usia yang dugaan saya hampir sama.  Ternyata jamaah wanita itu dapat kursi 43K, berarti di jendela.  Dan ternyata beliau juga tidak dapat berdiri, sehingga petugas yang mendorong mengangkatnya ke kursi, seperti jamaah laki-laki di sebelah saya.  Senang sekali, karena penumpang yang dudul di kursi 43H mau bertukar tempat.

Saya memperhatikan kedua jamaah tersebut, dengan rasa haru, bangga dan kasihan yang campur baur.  Haru karena keduanya tampak lemah tetapi tidak mengeluh sama sekali, baik ketika didorong, diangkat maupun saat kesulitan ketika mendapat pembagian makan malam.  Bangga, karena ada orang yang berusia lanjut tetapi masih bersemangat untuk menjalankan ibadah haji yang semua muslimin/muslimah faham memerlukan tenaga besar.  Kasihan, karena sebagai jamaah usia lanjut sepertinya kurang mendapatkan layanan dari petugas haji.

Ketika semua jamaah sudah duduk, saya melihat ada penumpang yang memakai jaket dan topi bertuliskan "petugas jamaah haji". Saya kurang faham apa saja kuwajiban petugas haji sekarang, walaupun sekian tahun lalu pernah menjadi petugas haji.  Setahu saya ketika penumpang mulai naik pesawat seperti itu, penumpang yang memerlukan bantuan, penumpang lanjut usia, hamil dan membawa anak-anak, dipersilahkan naik lebih dahulu.  Biasanya keluarga diminta untuk mendampingi.  Saya tidak tahu, mengapa petugas haji tidak mendampingi kedua jamaah lansia yang tidak dapat berdiri tersebut. 

Ketika pesawat mulai take off dan pramugari telah memberikan selimut kepada kedua jamaah tersebut, dalam hati saya memuji mbak pramugari.   Biasanya untuk mendapatkan selimut, penumpang harus meminta. Tetapi kali ini, selimut diberikan dan bahkan dipasangkan walaupun kedua jamaah tersebut tidak meminta.  Mungkin juga tidak akan meminta karena tidak dapat berbahasa Indonesia.  Ketika makan malam dibagi, saya sangat terharu karena kedua beliau kesulitan untuk makan.  Jamaah bapak-bapak tidak makan dan hanya minum, sedangkan jamaah ibu-ibu hanya makan pudingnya saja.

Ketika pesawat landing dan jamaah turun, ada seorang ibu yang menggoda jamaah bapak-bapak dengan mengatakan kalau beliau ingin pulang untuk menanam jagung.  Ternyata beliau dokter yang mendampingi jamaah haji. Penumpang biasa pada turun, dan kedua jamaah tersebut menunggu sampai nanti dijemput dengan kursi roda.  Saya kaget dan bingung melihat penumpang berjaket dan bertopi petugas haji itu turun melewati kedua jamaah lansia itu tanpa menyapa dan terus turun.  Mungkin beliau capek, karena sudah mendampingi mulai dari Saudi Arabia. Tetapi bukankah itu sudah menjadi tugasnya dan sudah diketahui ketika bersedia menjadi petugas haji.

Ketika kursi roda datang, ternyata ada petugas haji lain yang memakai kaos.  Beliau cerita kalau sebagai petugas haji.  Oh, mungkin yang berjaket petugas haji dan turun dahulu tanpa menyapa jamaah berkursi roda itu bosnya, sehingga merasa sudah ada anak buah yang mengurus jamaah lansia itu. Petugas muda yang memakai kaos itulah yang mengangkat kedua jamaah lansia itu, dan kemudian petugas garuda yang mengangkat kursi turun tangga. Saya sungguh senang dan bangga, ternyata bu dokter tadi masih di pesawat sampai kedua jamaah lansia itu turun dari pesawat.  Semoga ini menjadi pelajaran untuk kita, yang baik kita tiru sedangkan yang kurang baik kita tinggalkan.

Minggu, 25 Agustus 2019

MISKIN INFORMASI DI ERA INFORMASI


Bahwa informasi merupakan sesuatu yang sangat penting dan telah menjadi komoditi yang bernilai uang, tidak ada yang meragukan.  Mungkin Anda pernah ditelepon seseorang yang menawarkan ini dan itu.  Dari mana di penelepon tahu nomor hp Anda?  Jangan kaget, bisa saja si penelepon memperoleh nomer itu dari isian Anda saat menginap di hotel atau isian saat Anda melakukan mengikuti di acara tertentu.  Bukankah kita tidak pernah mengatakan bahwa nomer hp kita rahasia, sehingga bisa saja nomer tersebut dicatat orang.  Kata teman ahli IT, salah satu keuntungan yang diperoleh Google adalah memiliki informasi penggunanya.  Tahun 2014 saya diundang USAID Washington untuk menyampaikan pemikiran tentang peningkatan kompetensi guru di Indonesia. Sebelum saya berbicara, moderator menyampaikan siapa saya dengan detail.  Pada hal, saya tidak pernah mengisi data apapun sebelum itu.  Dari mana dia tahu?  Sangat mungkin melalui isian saya di Google atau di acara-acara lain.

Berangkat dari kerangka pikir bahwa informasi itu sangat penting, menurut saya mencari informasi, mengolah informasi menjadi suatu simpulan sangat penting dikuasai.  Oleh karena itu, kemampuan tersebut harus diajarkan dan ditumbuhkembangkan pada anak-anal kita, khususnya melalui jalur pendidikan.  Bukankah salah satu kompetensi pokok di era digital adalah solving problem creatively (memecahkan masalah secara kreatif).  Tentu untuk memecahkan masalah diperlukan informasi yang cukup untuk dianalisis dan kemudian dicari solusinya yang paling tepat.

Di era digital internet telah menjadi sarana komunikasi yang semakin digemari orang.  Internet juga telah menjadi tempat mengirim data serta menjadi sumber informasi.  Namun harus dicatat, ibarat sungai yang ke dalam alirannya segala jenis air masuk, maka data di internet berbaur antara informasi yang benar dan akurat, informasi yang benar tetapi tidak akurat, dan bahkan data bohong atau yang sekarang dikenal dengan hoax.  Oleh karena itu, kita harus hati-hati menggunakannya.  Internet tetap menjadi sarana mencari informasi yang cepat dan murah, tetapi harus divalidasi kebenaran dan keakuratannya.

Sayangnya, kemampuan mencari dan mengolah informasi belum tumbuh baik di sekolah dan universitas.  Sebagai guru, saya mencoba menumbuhkan kesadaran dan mendorong siswa, mahasiswa dan rekan guru untuk melakukannya.  Ketika mengajar, mengisi pelatihan dan seminar saya mencoba mendorong mahasiwa/peserta, namun tampaknya kurang berhasil. Mereka tahu kalau di internet terdapat banyak data/informasi tetapi belum terbiasa memanfaatkan. Itu terjadi tidak hanya di kampus Unesa tempat saya mengajar, juga di beberapa kampus lain.  Tidak hanya terjadi pada seminar di Surabaya tetapi juga di kota lain.

Tanggal 23 Agustus 2019 saya memberi kuliah umum di FKIP Universitas Mulawarman Samarinda, yang diikuti oleh mahasiswa perwakilan dari berbagai program studi.  Saat itu saya menanyakan: “Jika  rektor Unmul memutuskan untuk memberi beras untuk makan sebulan dan gula untuk membuat kopi atau the dua kali sehari juga selama sebulan, berapa uang yang diperlukan?” Jawaban yang muncul ternyata lucu.  Ada mahasiswa yang menjawab: “Diberi saja uang 50 ribu per hari, dan disuruh mahasiswa mengaturnya”.  Ada juga yang menjawab: “Beras satu kilo 15 ribu dan gula satu kilo sekian ribu”.  Ketika saya tanya berapa jumlah mahasiswa Unmul, ada peserta menjawab 35 ribu.  Saya tanya dari mana didapat, dijawab “kata Pak Dekan”.   Akhirnya saya pandu, ambil hp dan bukan google dan browsing berapa jumlah mahasiswa Unmul.  Saya minta browsing berapa konsumsi beras seorang per hari, berapa gula untuk buat satu cangkir kopi, dan sebagainya.  Setelah itu, saya tanya apakah bisa menghitung berapa uang yang diperlukan Pak Rektor?  Hampir semua menjawab “bisa”.

Tanggal 24, besuknya saya mengisi seminar yg dikuti oleh para guru, mahasiswa dan juga beberapa dosen. Pada sesi tanya jawab, ada seorang guru SMP Negeri 1 Samarinda yang bertanya bagaimana mengubah diri dari guru era lama menjadi guru millennial. Terpicu pertanyaan itu, saya bertanya peserta kepada semua peserta: “Jika walikota Samarinda memutuskan memberi subsidi beras kepada seluruh warganya selama 1 minggu, berapa uang yang diperlukan?”.  Ternyata, mirip dengan sehari sebelumnya.  Tidak ada peserta yang dapat dengan cepat menemukan jawaban.  Ketika saya pandu, dengan mencari data di internet baru mereka mengatakan: “Ooooooo”.

Apa yang dapat disimpulkan data fenomena seperti itu?  Apalagi fenomena seperti itu juga terjadi di beberapa tempat.  Tampaknya di era informasi ini, yang kata beberapa ahli ini zaman “information overloaded” ternyata kita belum pandai memanfaatkannya.  Kita miskin informasi di era informasi.  Walaupun masyarakat Indonesia dikenal paling banyak punya hp, tetapi belum memanfaatkan sebagai alat mencari informasi.  Semoga kita dapat belajar lebih cepat dan lebih baik ke depan. 

Jumat, 23 Agustus 2019

INSPIRASI KEJADIAN DI ASRAMA MAHASISWA PAPUA DISURABAYA


Walaupun tinggal di Surabaya dan ketika muda sering sekali bermain di daerah Pacarkeling, lokasi jalan kalasan di mana asrama mahasiwa Papua itu berada, saya belum pernah melihat asrama tersebut.  Lokasi dimana jl Kalasan berada masih dapat saya ingat, karena dahulu sering bermain di daerah itu. Namun sudah sekian tahun tidak lewat, sehingga tidak tahu kalau ada asrama mahasiwa Papua disitu.  Jadi ketika terjadi peristiwa yang memicu demonstrasi di berbagai daerah, saya hanya bisa membayangkan saja.

Saya bukan sosiolog, juga bukan psikolog, sehingga saya hanya dapat memahami peristiwa itu berdasar pengalaman sebagai orangtua dan guru.  Namun saya berprinsip semua kejadian itu ada hikmahnya.  Semua kejadian itu merupakan pelajaran yang diberikan oleh Tuhan agar kita belajar, mengapa itu terjadi dan bagaimana agar peristiwa yang kurang baik tidak terjadi lagi, sedangkan kejadian yang baik dapat direplikasi.  Itu mungkin yang oleh guru ngaji saya dikatakan mengapa manusia diberi akal untuk berpikir.

Nah, mencermati berita tetang kejadian di jl Kalasan itu dan juga demosntrasi di beberapa daerah serta bagaimana Gubernur Jawa Timur dan Walikota Surabaya, yang kebetulan keduanya wanita, meminta maaf kepada saudara kita di Papua, saya jadi teringat beberapa prinsip pendidikan karakter dan juga kompetensi pokok di era digital.  Mungkinkah kejadian itu memang dijadikan oleh Tuhan untuk membuat kita teringat, menginternalisasi dan kemudian melaksanakan kedua prinsip itu?  Jujur saya tidak tahu dan merasa tidak memiliki otoritas menjawabnya.  Namun, ijinkan di tulisan pendek ini saya berbagi pendapat.

Salah satu kompetensi pokok yang diperlukan di era global adalah living together in a harmony (hidup bekerja dan bermasyarakat secara harmonis). Untuk itu diperlukan tidak syarat dasar, yaitu (1) memiliki kemampuan berkomunikasi, baik sebagai pendengar/pembaca maupun pembicara/ penulis, dan (2) memiliki kemampuan bekerjasama dengan saling menghargai.  Nah untuk kedua kedua kemampuan itu diperlukan kesadaran bahwa perbedaan itu merupakan fitrah, sehingga kita harus dapat menerimanya.  Kita harus memahami dan menghargai saudara atau teman yang berbeda secara fisik, kemampuan maupun budaya.

Dalam konsep pendidikan karakter, kita diajarkan empat prinsip dasar peran manusia dalam kehidupan, yaitu (1) manusia sebagai makhluk Tuhan, (2) manusia pribadi yang mandiri, (3) manusia sebagai bagian dari keluarga/masyarakat/warga negara, dan (4) manusia sebagai bagian dari lingkungan.   Keempat peran tersebut saling terkait, dan peran pertama menjadi roh dari ketiga peran lainnya. 

Sebagai makhluk Tuhan, manusia wajib mengikuti prinsip-prinsip ajaran agama yang dianutnya, dengan keyakinan bahwa itulah yang terbaik bagi dirinya.  Sebagai pribadi mandiri, manusia harus menyadari kelebihan dan kekurangannya, dan memanfaatkan kelebihan yang diberikan oleh Tuhan untuk kebaikan dan berusaha mengurangi kekurangannya.  Sebagai bagian dari masyarakat, manusia harus menjadikan dirinya bermanfaat bagi masyarakat di lingkungannya.  Sebagai bagian dari lingkungan, manusia diamanahi Tuhan untuk menjaga kelestariannya.

Jika kita memahami peran manusia yang kedua dan prinsip living together in a harmony, rasanya peristiwa di asrama mahasiswa Papua di Jalan Kalasan Surabaya itu tidak perlu terjadi.   Karena sudah terjadi, maka itu harus kita jadikan pelajaran buat kita semua, bagaimana agar kejadian seperti itu tidak terulang kembali.  JIka benar bahwa kejadian itu dipicu oleh oknum mahasiswa yang memperlakukan bendera merah putih tidak selayaknya, maka kita semua harus memahami bahwa bendera adalah lambing negara yang harus kita hormati.  Seingat saya ada lagu kebangsaan yang berjudul “Berkibarlah Benderaku”.   Dalam lagu tersebut ada bait yang berbunyi “siapa berani menurunkan kau, serentak rakyatmu membela”.


Jika benar kemudian ada oknum yang mengata-ngatai mahasiswa dengan ungkapan tidak pantas, maka kita harus memahami bahwa semua warga negara sama kedudukannya.  Tidak boleh ada seseorang yang merasa lebih tinggi dibanding yang lain.  Tidak boleh mengatakan orang lain lebih rendah kedudukannya dibanding dirinya.  Apalagi jika ungkapan itu mengaitkan dengan ras, suku dan agama, yang sangat mungkin menimbulkan ketersinggungan masif.  Yang tersinggung bukan seorang, tetapi banyak orang yang teridentikkan dengan suku/ras/agama yang diolokkan.  Mungkin itulah yang menyebabkan terjadinya demonstrasi di beberapa daerah Papua.

Berlajar dari kejadian itu, siapapun yang merasa menjadi orangtua, sebagai guru, sebagai pemimpin, sebagai tokoh masyarakat, mengingatkan kepada anak-anak kita, saudara-saudara kita agar tidak mengulangi kejadian tersebut.  Dan itu harus kita mulai dari sendiri dan sekarang juga.  Semoga.    


Sabtu, 10 Agustus 2019

IMPOR REKTOR


Sebenarnya saya enggan menanggapi isu ini.  Bahkan ketika seorang kawan memberitahu ada wartawan ingin wawancara tentang isu ini saya mengatakan apa yang perlu ditanggapi.  Mengapa demikan?  Karena saya yakin itu baru wacana, walaupun ada katanya presiden sudah setuju.  Lha, gagasan impor dosen yang relatif lebih sederhana saja sampai saat ini belum tahu jluntrungannya.  Lha, keinginan untuk memotong tunjangan bagi profesor yang tidak dapat menerbitkan artikel di jurnal internasional saja juga tidak jelas kabarnya.  Pada hal yang terkahir ini sudah ada permennya dan konon sudah direvisi setelah mendapatkan banyak reaksi.

Saya mulai terdorong ketika wacana impor rektor melebar kemana-mana bahkan terakhir menyangkut polemik profesor tua tidak produktif yang kemudian memicu reaksi dari UIN Sunan Kalijogo Yogyakarta.  Saya akan mulai tulisan ini tentang profesor lebih dahulu baru nanti tentang rektor.


Bahwa profesor wajib membuat karya ilmiah adalah suatu kewajaran, karena sebagai ilmuwan salah satu kuwajibannya menyebarluaskan pemikirannya kepada masyarakat, khususnya yang memiliki bidang atau ketertarikan yang sama.  Apa tujuannya?  Agar pemikirannya itu diketahui dan mendapatkan tanggapan, baik yang setuju maupun tidak setuju atau bahkan menolak mentah-mentah.  Hanya dengan cara itulah ilmu akan berkembang.  Dalam istilah Einstein, kita ini berdiri di atas pundak-pundak raksasa terdahulu.  Artinya ilmu yang kita pelajari dan kita gunakan saat ini merupakan akumulasi pemikiran/temuan para ilmuwan/ahli di masa lalu.

Sayangnya, tujuan itu saat ini seakan dibalik.  Tujuannya bukan untuk menyebarluaskan pemikirian tetapi mendapatkan poin dan dimuatkan artikel di sebuah jurnal.  Saya jadi teringat, komentar teman muda dari Jojoran Surabaya yang saat ini menekuni material science dan bekerja di NUS (National University of Singapore), teman-teman di NUS lebih senang mempresentasikan temuannya di forum-forum conference yang dihadiri oleh karangan industri, karena tujuan risetnya menemukan sesuatu untuk pada saatnya digunakan di dunia industri.  Jadi jurnal bukankah satu-satunya medua penyebarluasnya pemikiran.  Apalagi banyak jurnal yang ternyata bermuatan bisnis penerbitan.

Jika berpegang pada tujuan publikasi itu menyebarluaskan pemikiran dan pemikiran itu salah satu kuwajiban profesor, sebenarnya penghentian tunjangan bagi profesor yang tidak melakukan publikasi kurang “galak”.  Mestinya, jabatan profesornya yang “dihentikan” karena tidak memenuhi kuwajibannya.  Hanya saja, tampaknya ini berisiko, karena akhir-akhir ini banyak profesor yang bukan dosen.  Artinya orang yang tidak berprofesi sebagai dosen bahkan mungkin juga tidak pernah mengajar tahu-tahu jadi profesor.  Pada hal profesor itu jabatan akademik dosen, yang untuk mencapai itu memerlukan persyaratan yang cukup berat.  Nah, jika jabatan akademik profesor dihentikan bagaimana profesor yang bukan dosen yang konon juga belum tentu memiliki artikel yang dimuat di jurnal ilmiah.  Repot bukan?

Bagaimana dengan impor rektor? Sebenarnya harus dijelaskan dulu apa tujuan mengimpor rektor.  Yang pernah dimuat dimedia, adalah untuk mengangkat peringkat universitas di Indonesia.  Kabarnya pemerintah ingin sekali universitas di Indonesia paling tidak masuk ke peringkat 1-100, sementara sekarang baru masuk di sekitar angka 500.  Pertanyaanya adalah jaminan rektor yang diimpor itu mampu meningkatkan peringkat universitas kita?  Atau apakah ada penelitian yang membuktikan bahwa rektor adalah satu-satunya faktor penentu dalam upaya meningkatkan peringkat universitas?  Jujur saya tidak tahu dan belum membaca penelitian seperti itu.  Oleh karena itu ada baiknya apa kriteria dalam perankingan universitas.

Paling tidak ada tiga lembaga peranking universitas yang dikenal selama ini, yaitu Times Higher Education, Shanghai dan QS.  Times Higher Education menggunakan lima indikator dalam meranking universitas, yaitu; (1) teaching, (2) research, (3) citation, (4) international outlook, dan (5) industry income.  Shanghai menggunakan lima indikator juga, yaitu: (1) PUB: jumlah publikasi di jurnal ternama, (2) CNCI: citasi dari publikasi, (3) IC: kolaborasi internasional, (4) TOP: jumlah publikasi di jurnal-jurnal top dunia, dan (5) AWARD: jumlah penghargaan yang diterima universitas dan dosen dari lembaga internasional ternama.  Sedangkan QS (Quacquarelli Symonds) meranking universitas dengan menggunakan enam kriteria yaitu: (1) academic peer review: keterkenalan universitas oleh para pakar dunia, (2) faculty/student ratio, (3) citation per faculty: sitasi per dosen, (4) employer reputation, (5) international students ratio, dan (6) international staff ration.

Dengan melihat kriteria tersebut diatas, tampaknya peran dosen sangat dominan. TIga atau bahkan empat indikator pada kriteria Times Higher Education tergantung pada dosen, yaitu teaching, research, citation dan international outlook. Kelima indikator pada Shanghai juga sangat ditentukan oleh dosen. Tiga dari enam indikator pada QS: academic peer review, citation, dan faculty/student ration.  Jadi produktivitas dosen, khususnya dalam publikasi dan internaksi akademik tingkat internasional menjadi tumpuan.  Dan keduanya akan dipengaruhi oleh riset dan iklim akademik di kampusnya.

Sekarang pertanyaannya apakah rektor impor mampu mendongkrak indikator tersebut?  Rasanya sangat berat, karena memerlukan gebrakan besar dan memerlukan kucuran dana cukup besar.  Yang lebih tepat kalau riset kolaborasi dengan perguruan tinggi di negara maju dikembangkan, sehingga menjadi modal untuk menulis artikel dan penumbuhan iklim akademik di kampus.  Belajar dari negara maju, universitas yang banyak menghasilkan publikasi biasanya ditopang oleh mahasiswa program S3, karena merekalah yang benar-benar melakukan penelitian day by by, sedangkan pada profesor lebih banyak sebagai pengarah dan pereview.  Nah jika kita ingin mendorong beberapa universitas meraih ranking tinggi, sebaiknya dipilih beberapa yang memiliki program S3 mapan dan kemudian didorong untuk memiliki riset unggulan yang dengan ditopang dengan anggaran yang memadai.

Jika kemudian ingin berkolaborasi dengan tim riset di universitas maju, dapat memanfaatkan dana LPDP.  Sebaiknya pengiriman mahasiswa ke S2/S3 di negara lain, dibawah paying riset kolaborasi.  Sebuah universitas di Indonesia membangun riket kolaborasi dengan partnernya di negara maju dan di dalam dana riset itu ada bagian beasiswa S2/S3.  Pola semacam itu akan sekali dayung dua pulau atau bahkan tiga pulau terlampaui.   Menghasilkan doktor baru, menghasilkan riset yang berkualitas dan juga menghasilkan artikel untuk jurnal ilmiah yang berbobot. 

Lantas bagaimana dengan rektor?  Bukankah manajemen berpengaruh dalam pencipataan iklim kerja yang akhirnya berdampak pada kinerja dosen?  Menurut saya, itu memang benar.  Namun lebih baik kalau pemilihan rektor dibuat open biding dengan equal opportunity baik calon dari dalam maupun luar negeri.  Jadi topiknya bukan impor rektor, tetapi mencari rektor yang kompeten.  Yang perlu dicatat, organisasi universitas tidak sama dengan perusahaan, tidak sama dengan pemerintah daerah, apalagi tentara.  Pola komando tidak akan efektif, karena para profesor itu tidak merasa sebagai “bawahan” rektor, karena merasa punya kepakaran yang mungkin tidak dimiliki rektor.  Juga sering para profesor itu lebih senior dibanding rektornya, atau bahkan rektor itu bekas mahasiswanya.  Belum lagi profesor itu punya masa jabatan pendek (4-5 tahun), sehingga setelah selesai ya menjadi dosen biasa lagi.  Semoga.

Minggu, 21 Juli 2019

BISNIS SEMINAR DAN JORNAL INTERNASIONAL


Dua hari lalu teman saya posting di grup WA menceritakan kekecewaannya menjadi keynote speaker dalam suatu forum seminar internasional.  Intinya dia mengatakan betapa rendahnya mutu seminar tersebut, dengan memberi contoh makalah yang ditampilkan tidak bermutu dan bahkan ada pemakalah yang tampak sekali tidak menguasai apa yang disampaikan.  Teman tersebut memang seorang idealis.  Dia alumni perguruan tinggi top di Indonesia dan universitas cukup terkenal Amerika Serikat.  Sebelum pensiun, dia seorang pejabat di Lembaga bergensi di negeri ini dan setelah pensiun menjadi konsultan di berbagai lembaga internasional.  Jadi, sangat mungkin beliau menggunakan standar tinggi untuk menilai mutu seminar yang dihadiri.   Apakah faktanya seperti itu?  Saya tidak berani menghakimi.  Namun saya juga ingin berbagi apa yang saya ketahui.

Akhir-akhir ini saya dapat banyak informasi adanya seminar internasional, melalui grup WA atau kadang-kadang dikabari oleh teman melalui wa japri atau email.  Biasanya diberi brosur dana tau link ke web seminar yang dimaksud.  Ketika saya baca, selalu ada kalimat terindex scopus dan selalu ditampilkan siapa yang menjadi keynote speaker.  Biasanya ada satu atau beberapa keynote speaker dari negara lain, walupun kadang-kadang yang bersangkutan sebenarnya orang Indonesia yang menjadi dosen di negara lain atau orang asing yang memang tinggal di Indonesia.



Mencermati tema seminar yang sangat umum seakan semua topik makalah bisa masuk, tenggang waktu antara batas akhir makalah masuk dan pelaksanaan seminar yang pendek, dan peserta seminar yang sangat banyak, saya menjadi bertanya-tanya.  Seperti apa mutu seminarnya.  Apalagi melihat biaya seminar yang cukup tinggi.  Itupun masih ada biaya tambaaahan jika pemakalah ingin makalahnya dimasukkan ke jurnal atau prosiding yang terindeks. Oleh karena itu saya memahami ketika seorang teman mengatakan bahwa sekarang seminar internasional telah menjadi bentuk bisnis baru.  Apa berarti itu jelek?  Belum tentu, karena bisnis itu netral, bisa baik dan bisa jelek.  Tergantung niat dan pelaksanaannya.  Namun yang umum, bisnis selalu mencari keuntungan bagi yang pemiliknya. CATATAN: GAMBAR SAMPING SEKEDAR ILUSTRASI, TIDAK DIMAKSUDKAN UNTUK MENUNJUKKAN SEMINAR TERSEBUT TIDAK BERMUTU KARENA MUNGKIN SAJA SANGAT BERMMUTU.

Apa benar terindeks scopus atau lembaga pengindeks lainnya?  Ternyata tidak selalu.  Tahun 2016 ada seminar di universitas cukup terkenal dan kebetulan tema seminarnya spesifik dan terkait dengan bidang saya. Oleh karena itu saya mendorong teman-teman muda untuk berpartisipasi.  Karena makalah harus berupa hasil penelitian, maka akhirnya hanya dua teman yang bisa ikut.  Nah, tahun lalu (2018) saya ditagih salah satu teman muda karena ternyata prosiding seminar tersebut tidak terindeks scopus, walaupun diterbitkan oleh penerbit cukup terkenal di dunia internasional.  Karena saya yang menyusuh teman muda tersebut, saya mencoba menghubungi panitia mengapa prosiding tidak terindeks scopus seperti yang dijanjikan di web.  Jawabnya muter-muter tetapi intinya, tidak dapat terindeks scopus karena mutu makalahnya kurang baik. Jawaban itu dapat saya fahami, jika melihat tenggang waktu pengumuman, batas akhir pengiriman makalah dan pelaksanaan seminar.



Tidak hanya seminar, tampaknya jurnal internasional juga menjadi juga menjadi lahan bisnis.  Sebenarnya banyak jurnal internasional itu diterbitkan oleh perusahaan dan bahkan lembaga pengindeks seperti scopus juga milik perusahaan. Namun akhir-akhir ini banyak “jurnal internasional” yang agresif mengundang pengirim artikel.  Saya sudah beberapa kali mendapatkan undangan seperi itu via email.  Biasanya setelah saya presentasi di suatu seminar internasional.  Bulan Juni lalu saya juga dapat tawaran seperti itu dengan menunjuk makalah saya di TVET Internasional Conference di Univ Valensia Spanyol. Apakah jurnal seperti itu mirip dengan penyelenggara seminar internasional yang sangat marak akhir-akhir ini?  Saya tidak berani menghakimi walaupun gejalanya mirip. CATATAN: GAMBAR DI SAMPING SEKEDAR ILUSTRASI JURNAL INTERNASIONAL DAN TIDAK DIMAKSUDKAN MENILAI JURNAL TERSEBUT TIDAK BERMUTU, KARENA SANGAT  MUNGKIN BERMUTU TINGGI.

Fenomena ini telah menggeser fungsi seminar, konferensi dan jurnal.  Pemahaman saya, jurnal baik nasional maupun internasional dan juga seminar atau konferensi itu wahana untuk menyampaikan temuan penelitian atau pemikiran dengan harapan dikaji oleh orang lain.  Dikaji untuk dikritisi, dibandingkan dengan temuan lain atau bahkan direplikasi untuk menemukan proposisi sebagai konsep atau teori baru.  Oleh karena itu, sitasi menjadikan ukuran “baik-buruknya” sebuah artikel.  Artikel yang banyak disitasi orang berarti dibaca dan dikutip, baik untuk dikritisi maupun digunakan sebagai dasar penelitian selanjutnya.  Terindeks hanyalah merupakan dampak dari sitasi tersebut dan bukan tujuannya.   Namun gejala terkahir tampaknya telah menggeser keikutsertaan dalam seminar dan pengiriman artikel ke jurnal sekarang banyak untuk mendapatkan poin indeks scopus atau pengindeks lainnya.

Kuatnya keinginan mendapatkan poin dari seminar atau jornal terindeks tersebut yang tampaknya mendorong muculnya “bisnis seminar internasional” dan juga “bisnis jurnal international”.  Bahkan konon sekarang muncul “jasa menyusun artikel untuk jurnal dan makalah untuk seminar internarional”.  Kabar yang saya dapat tarifnya juga berjenjang sesuai reputasi jurnal.  Sekian untuk jurnal yang termasuk Q1, sekian untuk Q2 dan seterusnya.  Dimana ana gula akan muncul semut, ketika ada demand tinggi akan muncul supplier yang menyediakan.  Mungkin metapora itu yang cocok.  Semoga ini semua keliru.

Sabtu, 20 Juli 2019

TUKANG TEGEL, TUKANG KAYU DAN TUKANG LISTRIK


Sudah sekitar 1 bulan ini saya terlibat dalam diskusi online lewat grup WA.  Saya dimasukkan dalam grup itu oleh seorang kawan lama, seorang aktivis di NGO dan pernah menjadi staf khusus Mendikbud.  Karena diskusinya online dan cukup terbuka, saya hanya mengenal beberapa orang saja teman-teman yang terlibat dalam diskusi tersebut.  Ada yang saya kenal baik, ada yang hanya pernah ketemu sekali atau dua kali, ada yang hanya kenal nama tetapi belum pernah ketemu dan bahkan ada yang sama sekali belum kenal. Dari nama-nama yang saya kenal, latar belakang peserta diskusi ini sangat beragam.  Ada guru, dosen, aktivis organisasi guru (belum tentu sehari-hari sebagai guru), aktivis NGO/LSM, pejabat di pemerintahan, pejabat di perusahaan swasta dan bahkan ada pensiunan.

Mungkin karena latar belakangnya beragam, gagasan yang diajukan juga beragam bahkan saya menangkap pola pikir peserta juga beragam.  Oleh karena itu saya merasa sulit untuk mengikutinya secara utuh.  Saya pernah menanyakan kepada penggagas forum ini, diskusi ini akan diarahkan kemana dan hasilnya akan digunakan untuk apa.  Teman tersebut menjelaskan arahnya untuk menemukan apa masalah mendasar tentang pendidikan di Indonesia, dan bagaimana memperbaikinya.  Hasil diskusi ini konon akan disampaikan ke Menteri dalam Kabinet yang akan datang.

Mendapat jawaban tersebut, saya senang dan kagum dengan penggagas diskusi.  Senang karena ternyata banyak pihak yang sehari-hari sibuk dengan pekerjaannya masing-masing yang bahkan di luar bidang pendidikan, merasa ikut memiliki masalah pendidikan.  Buktinya mau menyisihkan waktu untuk terlibat dalam diskusi online ini.  Kagum, karena sang inisiator mau dan berani mengambil langkah untuk menyampaikan hasil diskusi ini kepada pihak yang saya yakin akan memiliki kewenangan menangani pendidikan secara nasional.

Karena akan disampaikan kepada menteri berarti pada level kebijakan nasional, berarti harus bersifat makro dan konseptual.  Disinilah masalah yang repot dalam diskusi tersebut.  Banyak masalah dan gagasan yang muncul merupakan kasuistik di sekolah atau daerah tertentu. Banyak gagasan yang muncul sangat spesifik bahkan parsial.  Akibatnya sering terjadi “perdebatan” akibat pemahaman masalah yang berbeda atau kerangka pikir yang digunakan berbeda. Merespons itu, saya mengajukan metapora diskusi atau lebih tepatnya obrolan tukang tegel, tukang kayu dan tukang listrik sewaktu istirahat makan siang di proyeknya.  Mereka bertiga mendiskusikan tata ruang rumah mewah yang sedang mereka kerjakan.  Dengan pengalaman yang berbeda, diskusi tidak ketemu karena masing-masing menggunakan pola pikir pekerjaannya.  Apalagi mungkin rumah mewah sebenarnya “barang asing” bagi ketiganya.  Oleh pemilik proyek mereka juga hanya diberi gambar apa yang akan dikerjakan, sehingga hanya itu yang diketahui.  Yang menyedihkan diskusi yang seringkali mengarah pada perdebatan yang tidak produktif karena perbedaan pemahaman masalah dan pemahaman masalah yang parsial. 

Apakah teman-teman itu salah?  Menurut saya tidak.  Mereka sudah menyampaikan masalah yang diketahui dan ajuan solusi yang juga diketahui.  Memang itulah yang difahami. Ibarat di pembangunan rumah, tugas arsitek untuk mendengarkan dan kemudian mengambil pelajaran dari apa yang didiskusikan oleh tukang tegel, tukang kayu dan tukang listrik tersebut. Memang tidak semua pendapatnya dapat digunakan, tetapi saya yakin ada hal-hal yang paling tidak menginspirasi sang arsitek untuk menyempurnakan rancangan rumah berikutnya.

Beberapa peserta diskusi lebih banyak mengeluhkan tentang masalah pendidikan yang dihadapi atau diketahui atau diinfokan oleh temannya. Akhirnya forum menjadi semacam tempat berkeluh kesah.  Apa salah?  Tidak.  Karena sangat mungkin memang yang bersangkutan tidak tahu bagaimana pemecahannya atau bahkan tidak faham akan masalah yang sebenarnya. Tugas penggagaslah untuk menganalisis secara kritis mengapa terjadi dan bagaimana agar tidak terjadi lagi atau bahkan bagaimana yang semula masalah itu berubah menjadi sesuatu yang baik.  Dengan menggunakan gambar di samping, pola pikir hindsight berupa keluhan itu dapat digeser ke kanan menjadi insight dengan menelaah mengapa masalah itu dapat terjadi, bahkan harus sampai pola pikir foresight untuk mencari solusi bagaimana itu tidak terjadi dan masalah berubah menjadi sesuatu yang bermanfaat.

Secara jujur saya salut dengan penggagas diskusi tersebut bersama timnya, yang dengan cerdik menggiring arah diskusi tanpa menegasikan masalah dan gagasan parsial yang dimunculkan peserta.  Sangat mungkin tim pengggas faham bahwa peserta diskusi sangat heterogen, baik pengalaman maupun pemahamannya terhadap pendidikan jika harus dilihat secara makro level nasional.   Sangat mungkin banyak peserta yang belum tahu dinamika pengambilan keputusan dengan berbagai variabelnya, sehingga terkesan menyederhanakan masalah.  Semoga saja forum tersebut akhirnya dapat menyusun naskah rekomendasi yang komprehensif, disertai dengan prioritas penanganan yang kreatif dan doable. Semoga.

Sabtu, 13 Juli 2019

MGMP ITU IBARAT PENGGILINGAN PADI


Tanggal 9 Juli 2019 saya diundang dalam suatu diskusi yang salah satu materinya hasil studi tentang KKG/MGMP yang disampaikan oleh Prof Anita Lie dari Universitas Katholik Widyamandala Surabaya.  Saya tidak tahu, apakah penelitian itu terkait dengan program Kemdikbud untuk merevitalisasi MGMP atau tidak.  Dengan semboyan MGMP Reborn, tampaknya Kemdikbud melalui Ditjen GTK ingin menjadikan MGMP (semoga juga KKG) menjadi wahana utama pembinaan guru menuju guru professional.

Penelitian itu melakukan observasi dan wawancara dengan pejabat Dinas Pendidikan yang terkait dengan pembinaan guru, pengurus KKG/MGMP dan para guru.  Walaupun tidak menyimpulkan secara tegas, penelitian itu menemukan banyak KKG/MGMP yang tidak berjalan dengan baik.  Pertemuan KKG/MGMP seringkali untuk forum menyusun RPP secara bersama-sama.  Wawancara dengan para stakeholder tersebut mengungkap bahwa kegiatan MGMP/KKG tidak berjalan dengan baik karena tidak ada “motor penggerak” yang aktif, karena kesibukan guru dengan tugas sehari-hari, jarak kegiatan KKG/MGMP yang jauh dari lokasi sekolah tertentu, tidak ada biaya untuk transportasi, tidak ada biaya untuk operasional KKG/MGMP, kesulitan mencari nara sumber dan sebagainya.

Saya agak bingung mendapatkan informasi tersebut.  Apakah betul KKG/MGMP itu tempat guru mendapatkan pengetahuan baru dari nara sumber?  Apakah KKG/MGMP itu menjadi semacam pola pelatihan guru?  Setahu saya pelatihan guru yang selama ini berjalan tidak banyak meningkatkan kemampuan guru dalam proses pembelajaran.  Apalagi akhir-akhir ini pelatihan guru lebih diarahkan untuk meningkatkan skor UKG yang ternyata tidak selalu parallel dengan kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran.

Seingat saya KKG/MGMP itu dikreasi pada akhir tahun 1970an, kalau tidak salah melalui Proyek PKG yang dibiayai Bank Dunia. Seingat saya pola KKG/MGMP itu mengadopsi apa yang disebut sebagai PLC (professional learning community) di negara asalnya, baik itu di Amerika Sekitar maupun negara lainnya.  Di negara asalnya, PLC lebih merupakan wahana bagi guru untuk berbagi pengalaman dan gagasan bagaimana meningkatkan kualitas pembelajaran yang dilakukan.  Oleh karena itu, saat diminta memberi tanggapan terhadap presentasi Bu Anita Lie, saya menggunakan metaporan penggilingan padi.  Beras digiling menjadi putih bukan karena bergesekan dengan mesin penggilingan, tetapi putih karena bergesekan antar butir beras.  Fungsi mesin giling adalah memutar agar butiran beras saling bergesekan.

Apa  maknanya?  KKG/MGMP adalah wahana bagi guru untuk saling belajar, bertukar pengalaman dan bertukas gagasan.  Prinsip asah, asih, asuh itulah yang perlu diterapkan dalam kegiatan KKG/MGMP.  Jadi yang melakukan belajar kelompok tidak hanya siswa tetapi juga guru.  Apakah dengan demikian tidak diperlukan nara sumber?  Sekali waktu ya, khususnya untuk memecahkan masalah yang para guru tidak dapat menyelesaikannya sendiri.  Atau ketika ada konsep atau teori baru, yang pada guru sulit memahaminya.   Jadi yang wajib adalah belajar bersama, sedangkan mendatangkan nara sumber sifatnya sunah.

Apakah pemikiran tersebut dapat berjalan, jika selama ini para guru selalu ingin dilatih atau diberi pengetahuan oleh nara sumber?   Mungkin cara anak kecil belajar makan dapat sebagai metapora.  Jika ingin anak kita dapat makan sendiri, biarlah dia belajar walaupun mungkin berlepotan dan lama.  Jika terus disuapi memang akan bersih dan cepat selesai makannya, namun akan selamanya anak tersebut tidak bisa makan sendiri.  Biarlah para guru di KKG/MGMP belajar saling tukar pengalaman dan gagasan untuk memecahkan masalah yang dihadapi.  Mungkin pada awalnya tidak lancar dan memerlukan pendampingan.  Namun secara bertahap mereka akan semakin bisa dan pada saatnya akan lancar.  Semoga.

Selasa, 09 Juli 2019

BELAJAR DARI PENGALAMAN VIETNAM


Bank Dunia baru menerbitkan laporan dengan judul World Development Report.  Buku ini menjelaskan apa yang perlu dilakukan dunia pendidikan mengantisipasi perkembangan pola kerja akibat perkembangan teknologi yang sangat cepat.  Uraian seperti itu sudah banyak dibahas ahli lain, dengan judul misalnya pendidikan di era industry 4.0 dan sejenis itu.  Intinya, ketika semua data dan informasi dapat digitalisasi dan semua pekerjaan yang sifatnya pengulangan dapat dilakukan oleh robot, maka pendidikan harus mengembangkan kemampuan berpikir analisis-kritias dan kreativitas, sehingga dapat digunakan untuk memecahkan problem yang dihadapi.  Itulah yang sekarang disbut dengan HOT (high order thinking/berpikir tingkat tinggi).

Yang menarik dari buku ini justru data negara mana yang pendidikannya mampu menghasilkan siswa dengan kemampuan berpikir tingkat tinggi, yang diukur dengan apa yang disebut dengan harmonized test score dan human capital index, seperti gambar samping. Vietnam tampaknya menjadi negara yang mengejutkan, karena dari harmonized test score maupun human capital index melampaui semua negara Asean, kecuali Singapore.  Pada hal jika dilihat dari GDP per kapita yang menggambarkan “kekayaan” negara itu, Vietnam masih tergolong “miskin”, karena GDP per kapita-nya masih lebih rendah dibanding Indonesia dan Philippines.   Artinya, alasan selama ini bahwa pendidikan di Indonesia belum baik karena kita belum punya dana cukup untuk membiayainya menjadi tidak relevan.

Mengapa Vietnam dapat melakukan itu?  Itulah pertanyaan yang menggoda dan mendorong kita untuk melihatnya. Jujur, saya belum mendapatkan jawabannya.  Saya memang pernah ke Vietnam, kalau tidak salah tahun 2012 atau 2013.  Tetapi saat ini saya tidak melihat hal-hal yang khusus dalam pendidikannya.  Mungkin saya kurang jeli.  Kesan sepintas yang saya dapat: (1) orang Vietnam sangat percara diri, walaupun negaranya relative terbelakang (saat itu).  Saat menjadi tuan rumah suatu konferensi internasional, tempatnya di kampus yang kondisinya kurang baik.  Sidang dilakukan di ruang kuliah yang mirip ruang kelas SMA di Indonesia masa lampau.  Namun ketika memberikan sambutan dan juga presentasi, mereka sangat percaya diri. Orang Vietnam menyakini hanya mereka yang mampu mengalahkan Amerika dan konon itu ditanamkan kepada anak-anak sejak SD. (2) Mereka tampak merupakan pekerja keras dan tidak enggan menangani pekerjaan “kasar”.  Saat pelaksanaan konferensi, para pimpinan menunggui sampai acara selesai dan tidak segan turun tangan saat ada peralatan ngadat.

Saya yakin di luar dua faktor tersebut, Vietnam memiliki startegi khusus untuk mendongkrak mutu pendidikannya sehingga melejit. Dari informasi sana-sini yang saya mencoba mencari, infonya Vietnam menggunakan tiga strategi, yaitu di awal fokus ke pendidikan dasar (PAUD dan SD), mengutamakan pada pembinaan guru, dan melibatkan orangtua dalam mendorong siswa dalam proses pembelajaran di sekolah dan di rumah.

Jika informasi itu benar, berarti mirip dengan apa yang dilakukan Shanghai. Thomas Friedman (penulis buku best seller: The World is Flat) mencermati pendidikan di Shanghai dan menyimpulkan, pendidikan disana melejit karena: (1) menangani pendidikan/pelatihan guru dengan baik, (2) mengutamakan belajar kelompok, baik bagi siswa maupun guru melalui PLC (semacam KKG/MGMP), (3) melibatkan orangtua dalam pendidikan, dan (4) menerapkan pola kepemimpinan sekolah dengan standar tinggi.

Jadi apa yang dapat kita pelajari dari informasi sepintas tentang Vietnam tersebut, tentu sambil mendapatkan informasi yang lengkap?  Merenungkan itu, saya jadi teringat kejadian tahun 2017 lalu.  Saat itu saya diminta oleh Kemdikbud untuk ke Korea Selatan selama 1 minggu mengamati program pendidikan vokasi.  Ketika pulang dan bertemu dengan seorang pejabat Kemdiikbud, saya diminta menyampaikan hasil kunjungan dalam satu kalimat.  Saya menyampaikan: “orang Korea Selatan kalau belajar sungguh-sungguh”.  Artinya mereka memiliki program yang jelas, terukur dan itu dilakukan dengan kerja keras.  Apakah orang Korea Selatan sangat pandai? Menurut saya tidak, sama saja dengan orang Indonesia.  Nah, tampaknya apa yang terjadi di Vietnam juga tidak jauh dari apa yang dilakukan oleh Korea Selatan. Semoga.

Senin, 08 Juli 2019

SYSTEM THINKING DAN PARETO


Minggu lalu saya terlibat  dalam 3 kali diskusi dengan topik yang hampir sama, yaitu rekonstruksi pendidikan.  Dua kali, lebih tepatnya dua hari,  di Balitbang Dikbud dan sekali di forum FGD yang diadakan oleh NU Circle.  Tampaknya, menjelang kabinet baru banyak pihak yang ingin menyumbangkan pemikiran bagaimana memperbaiki mutu pendidikan ke depan.  Niat yang baik.  Walaupun ada juga orang yang curiga, itu untuk kendaraan memperkenalkan diri ke pemegang kekuasaan.  Bagi saya, sudahlah biarkan apa niatnya, yang penting sebagai komponen bangsa yang menekuni bidang pendidikan dapat menyumbangkan pemikiran.

Mengikuti 3 kali diskusi tersebut, kesan saya kita terbiasa menyampaikan symptom (meminjam istilah bidang kedokteran) dan bukan penyakit di balik symptom itu.  Kita biasa menyampaikan fenomena berupa kasus-kasus yang teramati, dan kurang biasa menganalisis apa penyebab fenomena itu terjadi.  Mungkin itu yang menyebabkan penyelesaian masalah pendidikan terkesan tambal sulam dan tidak pernah tuntas.

Sepanjang saya pernah belajar, setiap fenomena yang tampak itu terkait dengan berbagai hal yang sangat mungkin tidak tampak.  Dalam teori system thinking, faktor tersebut saling mempengaruhi.  Jika keterkaitan dan hubungan sebab akibat antara berbagai faktor itu dapat ditemukan, maka dapat ditemukan fenomena yang tampak itu akibat oleh apa.  Ibarat orang sakit panas, dapat diketahui apakah itu akibat demam atau tipus atau demam berdarah.  Jika penyebab itu diketahui maka pengobatan dapat dilakukan dengan tuntas.



Teman-teman BAN SM (Badan Akreditas Nasional Sekolah dan Madrasah) pernah menganalisis data-data lebih dari 12 ribu sekolah dan menemukan hasil seperti gambar di samping.  Jika dicermati dengan saksama, manajemen sekolah merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap kompetensi lulusan. Memang tidak da pengaruh langsung, tetapi berpengaruh terhadap kinerja guru, pengadaan sarana-prasarana, penyediaan anggaran.  Sementara kinerja guru berpengaruh terhadap proses pembelajaran, baik langsung maupun melalui pemilihan bahan ajar (pelaksanaan kurikulum).  Pada akhirnya proses pembelajaran itulah yang menentukan kualitas lulusan.

Simpulan bahwa manajemen sekolah sangat berpengaruh terhadap kinerja sekolah dapat dikonfirmasi secara empirik, karena ketika sekolah berganti kepala sekolah seringkali kondisi sekolah berubah signifikan.   Secara teoritik, sekolah disebut sebagai organisasi yang longgar sistemnya, sehingga pimpinan memiliki kewenangan yang sangat luas, sehingga kebijakan yang diambil dapat mengubah situasi sekolah secara signifikan.

Jika simpulan tersebut digunakan sebagai dasar perbaikan mutu pendidikan dan kemudian dikaitkan dengan konsep Pareto, maka manajemen sekolah menjadi faktor krusial yang memiliki pengaruh berantai pada mutu sekolah.  Dengan demikian, jika energi terbatas, maka usaha peningkatan mutu pendidikan sebaiknya dimulai dari perbaikan manajemen sekolah.  Manajemen sekolah dapat berjalan dengan baik, jika kepada sekolah memiliki kompetensi bagus dan mendapatkan kesempatan cukup untuk melakukan inovasi.   Oleh karena itu, mendapatkan kepala sekolah yang baik dan memberikan ruang gerak yang cukup agar yang bersangkutan berinovasi merupakan salah satu kunci peningkatan mutu pendidikan.