Kamis, 27 September 2018

KEBIJAKAN ZONASI DALAM PPDB


Tahun ini kebijakan zonasi dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) dilaksanakan secara nasional dan menimbulkan polemik, bahkan Mendikbud terpaksa harus turun tangan.  Sejauh yang saya tahu, PPDB dengan zonasi, artinya penerimaan siswa baru menggunakan pertimbangan utama kedekatan antara tempat tinggal calon siswa dengan sekolah yang diinginkan.  Tentu ada kuota yang diberikan untuk calon siswa yang tempatnya jauh dari sekolah, namun jumlahnya kecil sehingga hanya mereka yang sangat pandai yang dapat memilih sekolah yang jauh dari tempat tinggalnya.

Sebenarnya pola itu bukan sesuatu yang baru.  Seingat saya, Pemkot Surabaya sudah melaksanaan pola itu cukup lama dengan nama sistem rayon.  Saya termasuk mendukung pola itu, dengan dua alasan.  Pertama, banyaknya siswa yang bersekolah di tempat jauh dari rumahnya akan menyebabkan transportasi tambah padat.  Belum lagi jika dihitung berapa banyak bensin atau biaya transportasi yang dihabiskan untuk siswa pulang pergi ke sekolah yang jauh dari rumahnya.  Saya pernah berkelakar, jika di Surabaya ada 1 juta siswa yang bersekolah yang jauh dari rumahnya dan setiap hari memerlukan bensin 2 liter untuk pergi sekolah, maka dalam 1 hari ada 2 juta liter bensin yang dihabiskan.  Jika dalam satu bulan ada 24 hari sekolah, maka dalam 1 tahun diperlukan bensin 12x24x2 juta liter atau 576 juta liter.  Sangat besar bukan?

Kedua, pola rayon akan memaksa pemerintah kota untuk memeratakan mutu sekolah.  Maksudnya mengupayakan agar mutu sekolah merata di semua wilayah.  Jika Surabaya dijadikan contoh dan sudah dikenal SMA yang baik itu “SMA Kompleks” di Surabaya Pusat, maka Pemkot Surabaya harus mengupayakan agar di wilayah Surabaya Utara, Surabaya Timur, Surabaya Selatan dan Surabaya Barat agar ada SMA yang mutunya setara dengan SMA Kompleks, sehingga lulusan SMP di wilayah tersebut punya peluang mendapatkan SMA yang baik.  Itulah mengapa, sebelum pola rayoninasi, Pemkot Surabaya mengembangkan apa yang disebut “sekolah kawasan”.  Saat itu Pemkot Surabaya mengembangkan beberapa sekolah negeri di wilayah Utara, Timur, Selatan dan Barat agar mutunya setara dengan SMA di tengah kota.  Salah satu hasil dari program itu misalnya SMA 15 di Menanggal (Surabaya Selatan), SMP 19 (Surabaya Timur) yang mutunya sudah setara dengan sekolah baik di Surabaya Pusat.

Pentahapan itu yang menyebabkan PPDB dengan sistem rayon yang diterapkan di Surabaya dan kemudian berubah nama menjadi PPDB dengan sistem zonasi tidak menimbulkan gejolak berarti di Surabaya. Tetap ada yang tidak puas, tetapi tidak semasif daerah lain, karena di setiap wilayah sudah ada sekolah yang mutunya baik. Ditambah lagi di Surabaya muncul sekolah-sekolah swasta yang bermutu bagus yang umumnya justru berlokasi di pinggiran kota, sehingga orang tua yang tidak cocok dengan sekolah negeri “terbaik” di daerahnya dapat memasukkan anak ke sekolah swasta tersebut.

Sepanjang yang saya baca di koran dan lihat di televisi, orang tua yang protes umumnya beralasan di wilayahnya tidak ada sekolah yang bermutu bagus, sehingga merasa kebingungan.  Mungkin memang ada sekolah yang bermutu baik dan tidak dibatasi zonasi, tetapi umumnya ber-SPP mahal. Oleh karena itu, orang tua yang keuangannya “terbatas” dan masih memilih sekolah negeri merasa kebingungan untuk mendapatkan sekolah bagi anaknya dan akhirnya protes.

Fenomena protes orang tua terhadap kebijakan PPDB berzonasi semakin memperkuat keyakinan bahwa mutu pendidikan kita belum merata.  Kesenjangan mutu pendidikan, tidak hanya antara Jawa dan Luar Jawa sebagaimana sering disebutkan orang, tetapi juga di Jawa dan bahkan dalam satu kabupaten/kota. Tidak hanya di kota kecil tetapi juga kota besar. Sebagai contoh di Surabaya, ada sekolah-sekolah yang bagus tetapi juga masih banyak sekolah yang mutunya jauh dari harapan.

Kita dapat melihat ada sekolah yang tergolong cyber school, tetapi juga ada sekolah masih dengan ruang dan papan tulis.  Jika menggunakan tahapan industri, sekolah kita khususnya di kota besar sudah ada yang terketegori industri 4.0, tetapi juga masih ada yang tergolong industri 2 bahkan industri 1.  Jika menggunakan istilah Alvin Tofler, sudah ada sekolah yang tergolong gelombang 3 tetapi juga masih ada sekolah yang tergolong gelombang 1.

Dengan munculnya protes orang akibat kebijakan PPDB berzonasi mengingatkan kita semua bahwa kesejangan mutu pendidikan kita sangat lebar dan mendorong kita semua untuk mengatasinya. Menurut saya, fungsi pemerintah adalah menyempitkan kesenjangan penddidikan.   Enersi pemerintah yang terbatas harus difokuskan untuk membantu sekolah yang mutunya rendah.  Ibarat kita punya anak banyak, biarkan sekolah yang mutunya sudah bagus dan biasanya diminati banyak orangtua untuk mandiri, enersi kita untuk membantu sekolah-sekolah yang mutunya kurang baik dan biasanya tidak diminati oleh orangtua.  Semoga.

Rabu, 19 September 2018

KORUPSI BERJAMAAH: INDIVIDU ATAU SISTEMNYA?


Saat berkunjung ke Jambi kemarin saya mendapat kesempatan ngobrol dengan beberapa teman disana. Salah seorang teman asli Jambi bercerita tentang kasus korupsi yang sedang membelit Gubernur Jambi yang diduga akan merembet ke banyak anggota DPRD.  Menurut teman tadi, saat ini banyak anggota DPRD Jambi dag-dig-dug, karena setelah Sang Gubernur jadi tersangka dan diperiksa intensif oleh KPK, sangat mungkin mereka akan terseret. 

Mendengar cerita itu yang kemudian disambung mengobrolkan kasus yang membeliat 49 orang anggota DPRD Kota Malang, saya jadi bingung.  Saya tidak tahu pasti berapa orang anggota DPR/DPRD dan pejabat yang terjerat kasus korupsi.  Mengapa sangat banyak politisi, yaitu pimpian daerah dan anggota DPR/DPRD yang tersangkut korupsi. Bahkan teman saya yang suka berkelakar, mungkin masih banyak yang lain yang korupsinya tidak terungkap.

Merenungkan fenomena itu, saya jadi teringat kelakar Pak Intan Ahmad (Dirjen Belmawa dan guru besar ITB).  Katanya, kalau dosen mengajar dan banyak mahasiswa yang tidak lulus harus dipertanyakan itu karena mahasiswa yang tidak pandai atau dosennya yang tidak pandai. Jika yang tidak lulus sedikit dan nilai yang diperoleh mahasiswa bervariasi, dapat diduga mahasiswanya kurang pandai. Buktinya ada mahasiswa yang lulus dan mendapat nilai bagus. Namun jika banyak mahasiswa yang tidak lulus dan hampir semua nilainya jelek, jangan-jangan dosennya yang kurang baik. Buktinya banyak yang tidak lulus dan nilainya semua jelek.

Analog dengan itu, pertanyaannya banyaknya politisi yang tersangkut korupsi itu karena masalah individu atau karena sistem kita.  Yang saya maksud, sistem itu mulai dari pendidikan mereka, sistem politik kita sampai lingkungan kehidupan bernegara kita.  Seorang teman yang berprofesi sebagai polisi bercerita, pencurian/penjambretan itu terjadi karena ada beberapa penyebab, misalnya karena memang si penjahat memang berniat jahat, atau karena si penjahat kepepet kebutuhan tertentu yang memaksa untuk menjambret/mencuru, atau situasi merangsang si penjahat itu menjambret/mencuri.

Apakah cerita teman polisi itu dapat dianalogikan dengan kasus korupsi yang menyangkut politisi?  Saya tidak tahu dan belum pernah mendapat penjelasan.  Jika bisa, maka kita dapat menganalogikan sebagai berikut.  Ada politisi yang korupsi karena memang yang bersangkutan orang “jahat” yang dari “sononya” memang berniat untuk korupsi, misalnya ingin segera kaya dan hidup mewah.  Ada politisi yang korupsi karena kepepet, misalnya harus membayar hutang yang dahulu digunakan untuk kampanye dan sebagainya.  Ada politisi yang sebenarnya tidak berniat jahat dan tidak kepepet, tetapi situasi di tempat kerjanya merangsang dia untuk korupsi.  Misalnya, banyak temannya melakukan korupsi dan justru kariernya menanjak.

Menurut saya, ketika faktor itu tidak harus berdiri sendiri, tetapi sangat mungkin berbarengan dan saling mendukung.  Misalnya yang bersangkutan memang memiliki orang jahat dan situasi merangsang dia melakukan korupsi.  Atau sebenarnya yang bersangkutan bukan orang jahat, tetapi kepepet butuh uang dan situasi merangsang untuk melakukannya.  Atau bahwa ketiga faktor itu saling berkelindan, sudah dasarnya orang jahat, kepepet harus mengembalikan uang yang dahulu digunakan untuk biaya kampanye dan lingkungan memang mendorongnya untuk melakukan korupsi.

Nah, bagaimana kejadian yang menimpa para anggota DPRD di Malang dan lainnya?   Saya kok tidak yakin 41 orang anggota DPRD itu semua orang jahat.  Apalagi yang saya baca di koran, uang yang diterima hanya sekitar 15 juta.  Jadi saya menduga justru faktor situasi yang paling kuat mendorong mereka melakukan korupsi.  Teman saya bercerita, bahwa temannya pernah berseloroh “gila kalau saya tidak ikut, lha semua melakukan dan aman-aman saja”. 

Nah, apakah memang sistem kita yang salah yang menyebabkan para politisi melakukan korupsi?  Jika memang sistemnya yang menyebabkan terjadinya korupsi, sudah dipikirkan bagaimana mengakhiri sistem tersebut.  Saya yakin semua setuju, jika sistem seperti itu yang menyebabkan negara ini berjalan “sempoyongan”. Saya tidak punya kapasitas untuk membahas itu, mungkin teman-teman ahli ilmu politik atau para sosiolog.

Selasa, 18 September 2018

MEMPERTANYAAKAN PENDAPAT SENDIRI TENTANG PROGRAM AKSELERASI

Saya termasuk orang yang tidak mendukung program akselesari di sekolah.  Program yang memperpendek masa studi, dengan cara memberikan kesempatan siswa melompat kelas agar masa studi yang lebih pendek dibanding program biasanya.  Misalnya siswa kelas 2 boleh melompat langsung ke kelas 4, siswa kelas 4 boleh langsung melompat ke kelas 6 dan sebagainya, sehingga masa studi di SD yang lazimnya ditempuh selama 6 tahun dapat ditempuh dalam 5 tahun atau bahkan lebih pendek.  Bahkan ada sekolah yang memiliki program 5 tahun untuk SD, 2 tahun untuk SMP, 2 tahun untuk SMA.  Intinya memberi peluang siswa yang pandai agar lebih cepat menyelesaikan studinya.

Saya tidak menentang program itu, tetapi tidak mendukung.  Mengapa? Karena menurut saya, sekolah tidak hanya untuk urusan kognitif, untuk urusan penguasaan materi ajar, tetapi juga menyangkut pengembangan psikologis anak didik. Mungkin saya dipengaruhi oleh cerita teman yang mengatakan, adiknya sangat pandai dan loncat-loncat kelas, sehingga lulus sebagai dokter pada usia 20 tahun.  Namun karena yang bersangkutan “terlalu sibuk” belajar dan tidak memiliki waktu bermain, sehingga sudah menjadi dokter tetapi masih suka main-main seperti anak-anak.  Teman saya juga mengeluhkan, adiknya yang dokter itu kurang ramah, sehingga terkesan sombong.

Apakah itu hanya kasus atau benar-benar akibat dari proses sekolah yang sangat cepat?  Saya tidak tahu.  Namun saya juga belum memiliki bukti bahwa anak yang menempuh pendidikan akselerasi (dipercepat), nanti akan menjadi orang yang suskes setelah dewasa.  Bukankah kesuksesan orang tidak semata-mata ditentukan oleh kemampuan kognitif.  Bukankah kemampuan dalam bidang sosial seringkali ikut berperan besar dalam kesuksesan seseorang.  Argumen seperti itulah yang membuat saya lebih setuju, biarlah anak sekolah sesuai waktu studi yang normal, mendapatkan interaksi sosial yang cukup, dan bahkan membangun jejaring sejak awal.

Namun pendapat saya yang selama ini saya pegang menjadi goyah, ketika beberapa hari lalu mendapat dikiriman rekaman anak Indonesia yang berusia 12 tahun tetapi sudah semester 4 di Waterloo University Canada.  Konon anak itu dari Bogor.  Tidak jelas dimana anak itu menempuh SD, SMP dan SMA. Juga tidak diceritakan bagaimana ceritanya anak itu sampai kuliah di Waterloo University.  Bidang apa yang dipelajari juga tidak disebutkan, walaupun tampaknya bidang MIPA atau teknologi.

Mengapa saya menjadi ragu terhadap pendapat sendiri, setelah menonton video anak itu?  Karena dalam video itu, anak berbicara “sangat dewasa”, walaupun wajahnya memang tampak masih anak-anak.  Bahasanya terstruktur baik, apa yang disampaikan sangat jelas, intonasinya juga sangat baik.  Tampak sekali anak itu secara psikologis sangat dewasa.  Memang tidak jelas apakah yang yang direkam video itu natural atau diskenario ibarat sebuah film.  Dengan asumsi bahwa yang tampil di video itu natural, ternyata anak yang mengikuti program akselerasi tampak sangat dewasa.

Apakah itu hanya kasus khusus?  Hanya terjadi pada orang tertentun yang kebetulan hebat baik IQ maupun EQ bahkan SQnya, saya tidak tahu.  Ataukan anak itu anak cerdas seperti adiknya teman saya, tetapi mendapatkan bimbingan atau perlakukan khusus, sehingga perkembangan psikologis berjalan “cepat” seiring dengan perkembangan kognitifnya?  Jika betul, seperti apa perlakuan tersebut?  Di sekolah atau di rumah oleh orangtuanya?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut sangat penting diajukan, karena jika benar perkembangan psikologis dan sosiologis dapat dipercepat berbarengan dengan program akselerasi, maka kasus adik teman saya tersebut tidak terjadi.  Anak dapat menyelesaikan studinya lebih cepat dan secara psikologis dan sosilogisnya berkembang seiring dengan itu.

Pertanyaan tersebut saya ajukan, karena sejauh pengamatan saya di kelas akselerasi tidak ada perlakukan khusus kecuali hanya untuk materi ajar.  Bahkan terkesan, anak dibebani berbagai tugas yang membuat tidak memiliki kesempatan bermain lazimnya anak-anak lainnya.  Moga-moga ada teman yang dapat menjelaskan.

Minggu, 09 September 2018

WARNA WARNI CARA BERPAKAIAN


Sore kemarin saya harus menunggu isteri di bandara Ngurah Rai Denpasar sekitar 2 jam. Ceritanya saya diundang oleh Undiksa untuk mengisi sebuah seminar tentang Pendidikan Teknologi di Era Industri 4.0.  Nah, karena harinya Sabtu saya mengajak isteri, agar bisa sekedar jalan-jalan di Bali.  Namun, pada hari Jum’at posisi saya sedang di Jogya, sementara isteri di rumah (Surabaya).  Jadinya, saya terbang dari Jogya sedangkan isteri terbang dari Surabaya dan janjian ketemu di bandara Ngurah Rai Denpasar.

Sebenarnya jam penerbangan sudah diatur, agar datangnya hampir bersamaan.  Namun begitulah penerbangan kita.  Penerbangan isteri saya dari Surabaya delay sekitar 3 jam, sehingga yang mestinya datang lebih dahulu, kedatangan isteri saya justru di belakang kedatangam saya sekitar 2 jam.  Jadi saya harus menunggu di bandara sekitar 2 jam, agar dapat ke hotel sama-sama.

Saya memutuskan menunggu di taman kecil di dekat pintu masuk gedung terminal dari arah kedatangan.  Maksud saya agar isteri tidak perlu mencari-cari, karena begitu masuk gedung terminal sudah ketemu.  Saya juga lebih mudah melihat kedatangan isteri.  Apalagi di dekat itu ada monitor yang melaporkan kedatangan pesawat, sehingga saya dapat melihat apakah pesawat dari Surabaya sudah mendarat.

Karena lokasi taman kecil itu di pinggir jalan menuju tempat pengambilan bagasi dan juga pintu keluar, maka semua penumpang yan datang melewatinya.  Jadilah saya mengamati para penumpang yang lewat selama sekitar 2 jam, termasuk yang mampir berfoto ria di taman itu, maupun di dekat baliho tentang run and pace yang akan diadakan pada tanggal 9 September 2018. Macam-macam ulah mereka, apalagi yang membawa anak atau cucu hampir semuanya mampir untuk berfoto ria.

Tentu kita tahu, bandara Ngurah Rai adalah pintu masuk wisatawan, baik domestik maupun asing.  Dengan demikian yang lewat di dekat saya juga campuran orang asing maupun orang Indonesia. Tentu itu hanya perkiraan saya, karena saya sering kesulitan menebak, ini orang Indonesia atau Malaysia atau Thailand.  Ini orang bule atau orang Indonesia yang berdarah campuran, karena salah satu orangtuanya orang asing, baik itu orang Barat atau mungkin Jepang.  Saya juga sulit membedakan orang Indonesia keturunan Tionghoa atau memang orang dari China atau Taiwan atau Hongkong yang sedang berwisata.  Saya juga tidak dapat membedakan orang Indonesia keturunan Arab atau memang orang Timur Tengah yang datang ke Indonesia. Nah, saya baru bisa menebak-nebak, kalau mereka berbicara.

Karena tidak punya kepentingan apa-apa, selain nunggu kedatangan isteri, akhirnya saya sekedar melihat orang yang lewat.  Nah, yang saya segera lihat adalah cara mereka berpakaian.  Ada yang berpakaian “resmi”, pakai jas atau batik, ada yang berpakaian kasual, ada juga yang sangat santai dengan celana pendek dan kaos oblong dengan sandal jepit.  Itulah yang menarik perhatian saya, sehingga akhirnya selama sekitar 2 jam saya mencermati cara orang berpakaian.

Sangat menarik. Sangat warna warni. Bule yang lewat saat itu hampir semua bepakaian santai, misalnya celama jin dengan kaos oblong.  Wisatawan dari Asia Timur ada yang pakaiannya lebih santai dari para bule, misalnya dengan “tank top yang terkesan seadanya” tetapi juga banyak berpakaian kasual.  Nah, cara berpakaian orang Indonesia juga sangat menarik untuk diamati.  Ada yang berpakaian relatif formal dengan baju batik atau jas tanpa dasi. Mungkin dalam perjalanan untuk acara resmi.  Namun juga ada sangat santai, dengan bersandal jepit, celana pendek dan kaos oblong belel.  Bahkan juga yang berpakaian seksi dengan rok super mini dan kaos ketat.  Namun demikian, dari warna pakaian tidak ada yang mencolok. Selama 2 jam seingat saya hanya ada 1 orang ibu muda yang bercelana panjang berwarna kuning cerah dan bagi hijau bermotif bunga.  Lainnya dengan warna pakaian soft, seperti putih, krem, biru muda, biru hitam dan sejenis itu.

Mencermati pakaian orang yang lalu lalang di bandaa Ngurah Rai, saya jadi teringat amatan berpakaian orang dari berbagai negara/daerah yang pernah dimuat di blok ini.  Orang Jerman dan Belanda umumnya berpakaian dengan warna soft.  Saya tidak pernah melihat orang Jerman (asli-bukan pendatang) yang memakai pakaian berwarna cerah/mencolok, misalnya merah, kuning dan hijau.  Sebaliknya teman-teman dari Afrika banyak yang senang memaka baju berwarna cerah dan warna-warni.  Setahu saya, di Indonesia juga ada orang daerah tertentu yang umumnya berpakaian warna soft tetapi juda ada daerah yang orang-orangnya senang berpakaian warna cerah.

Saya tidak tahu, apakah cara berpakaian terkait dengan kepribadian atau tidak. Apakah terkait dengan tradisi seseorang atau tidak.  Yang saya amati sore itu, ternyata cara berpakaian orang sangat bervariasi, baik orang-orang Indonesia maupun orang-orang Asia Timur.  Yang justru tidak banya variasi adalah turis bule. Mungkin teman psikologi yang dapat menjelaskan.

Kamis, 06 September 2018

NOT THE SONG BUT THE SINGER: Pengalaman memandu diskusi di Bank Dunia Jakarta


Tanggal 4 September 2018, saya diminta memandu diskusi di forum pendidikan diadakan oleh Bank Dunia Jakarta bersama Balitbang Dikbud Jakarta.  Diskusi dibagi menjadi tiga putaran dengan tiga topik yang berbeda namun saling terkait.  Saya kebagian memandu putaran pertama, dengan topik Performance Based Teacher Pay dan Teacher Hiring, dengan pembicara Dr. Subandi (Deputi Bidang Pembangunan Manusia dan Masyarakat Bappenas), Dr. Supriano (Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan), Noah Yarrow (Team Leader Bank Dunia Jakarta dan Timor Leste), dan Dewi Susanti (Senior Social Development Specialist Bank Dunia).  Putaran kedua dipandu oleh Pak Ismunadar dari ITB dengan topik Performance Based BOS dengan pembicara Dr. Hamid Muhammad (Dirjen Dikdasmen), Dr. Kamarudin Amin (Dirjen Pendais Kemenag), Javier Luque (Education expert Bandu Dunia Jakarta), Rafael de Hoys (Lead economist di Education Unit Bank Dunia Latin Amerika).  Putara ketiga dipandu oleh Bu Najeela Shihab dari UI, dengan topik Education performance index dan student assessment, dengan pembicara Dr. Totok Suprayitno (Ka Balitbang Dikbud), Dr. Bahrul Hayat (UIN Jakarta dan mantan Sekjen Kemenag), Blane Lewis (Direktur ANU’s Indonesia Project), Rythia Afkar (Economist Bank Dunia).  Peserta diskusi sekitar 40 orang, umumnya pejabat di Kemdikbud, staf Bank Dunia. Fihak luar yang diundang antara lain, pemerhati pendidikan dari perguruan tinggi maupun NGO, misalnya Prof Satryo (dosen ITB dan mantan Dirjen Dikti), Dr. Abdul Malik (konsultan pendidikan ADB), Dr. Itje Chodijah (aktivis Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan), Prof T. Basarudin (Ketua BAN PT dan dosen UI), Dr. Jahja Umar (UIN Jakarta dan mantan Kepala Pusat Penelitian), Prof Iwan Pranoto (dosen ITB).

Walaupun tampaknya pembicara dan pesertanya “tokoh-tokoh” plus “bule-bule” Bank Dunia, ternyata pemikiran yang muncul hampir tidak ada yang baru dan juga tidak terlalu dalam.  Pada saat membahas performance based teacher pay, yang muncul hasil studi Bank Dunia bahwa tidak ada dampak tunjangan profesi terhadap hasil belajar siswa, absensi guru yang mendapat tunjangan profesi justru lebih tinggi dibanding rekannya yang belum mendapatkan tunjangan profesi.  Itu temuan 3 tahun lalu dan sudah sering dibahas.  Menurut saya studi itu hanya “dipermukaan” karena tidak mengungkap faktor penyebabnya.  Hasil belajar yang dilihat dari nilai UN rasanya tidak cukup valid untuk menentukan kinerja guru. Kita sama-sama tahu banyak variabel yang berpengaruh terhadap nilai UN.  Kehadiran guru juga demikian.  Saat studi itu dilakukan, baru separuh guru yang mendapat tunjangan profesi dan pada umumnya mereka guru senior.  Semua orang faham bagaimana tingkat kehadiran guru jika dikaitkan dengan senioritas.  Jadi simpulan bahwa tunjangan profesi tidak bepengaruh terhadap kinerja guru adalah sebuah simpulan yang terlalu simplifikatif.  Bahkan Pak Supriano menunjukkan pengaitan tunjangan profesi dikaitkan dengan kinerja guru sedang dirumuskan mekanismenya.

Ketika membahas teacher hiring, tim Bank Dunia mengusulkan agar seleksi menjadi guru dilakukan dengan ketat, sehingga hanya mereka yang “pandai” yang menjadi guru.  Apakah itu hal baru?  Menurut saya tidak. Hampir semua orang mengatakan begitu. Yang menjadi masalah adalah bagaimana operasional keinginan itu.  Bahkan pasal 23 ayat (1) UU 14/2005 tentang Guru dan Dosen mengamanatkan kepada pemerintah untuk mengembangan pendidikan guru berikatan dinas dan berasrama agar lebih efisien dan bermutu.  Jadi kesadaran pentingnya mendapatkan calon guru yang bermutu sudah ada.  Sekali lagi yang menjadi problem adalah kemauan dan kemampuan untuk melaksanakannya. 

Pada putaran kedua, Dr. Rafael dari Bank Dunia mencotohkan bagaimana sebuah distrik di Brasil mampu menggunakan anggaran semacam BOS untuk meningkatkan mutu pendidikan. Bagaimana pemberian BOS dikaitkan dengan kinerja sekolah.  Apa itu sesuatu yang baru?  Tidak. Sudah banyak diskusi tentang efektivitas BOS, bahkan mempertanyakan apakah BOS tidak diarahkan untuk mengurangi kesenjangan mutu pendidikan, sehingga hanya sekolah “level bawah” yang mendapatkan.  Juga sudah dibahas adanya duplikasi perhitungan anggaran pendidikan (yang di dalamnya ada komponen BOS) dari DAU yang dihitung oleh pemerintah pusat tetapi juga dihitung lagi di propinsi/kabupaten/kota. Akibatnya, di sebagian besar kabupaten/kota anggaran pendidikannya mengandalkan dari DAU, sedangkan yang berasal dari PAD sangat minim.   

Pada pembahasan student assessment di putaran ketiga juga tidak ada yang baru, bahkan seakan ada kontradiktif.  Dr. Rythia Afkar dari Bank Dunia menyarankan penggunaan standardized test sejak kelas awal SD, sementara itulah yang ditentang banyak fihak karena tes seperti itu tidak merangsang anak berpikit alternatif.   Sementara Dr. Blane Luwis justru menjarankan penggunaan education index yang diperoleh dari normalized skor hasil belajar digabung dengan tingkat kenaikan kelas.

Yang menggelitik adalah, walaupun yang diungkapkan di forum itu praktis tidak ada yang baru, tetapi banyak peserta mengangguk-angguk.  Saya tidak tahu apa pikiran peserta di balik itu.  Yang saya takutkan, mereka begitu mempercayai apa yang disarakan tim Bank Dunia karena yang menyampaikan “bule” apalagi dilabeli ahli Bank Dunia.  Tampaknya ungkapan not the song but the singer masih berlaku di kalangan elit pendidikan kita.  Kita silau karena yang mengatakan pada “bule” dan bukan terhadap apa yang dikatakan.