Kamis, 28 Maret 2013

BIRO PERJALANAN UMRAH: ANTARA AKTIVITAS KEAGAMAAN DAN BISNIS


Antrean calon jamaah haji semakin panjang dari tahun ke tahun.  Di awal tahun 2000-an, calon jamaah haji hanya menunggu sekitar 2 tahun untuk dapat berangkat.  Artinya jika kita mendaftar tahun 2001, kita akan  dapat berangkat tahun 2003.  Konon untuk daerah Surabaya, sekarang masa tunggu 12 tahun. Jadi kalau kita mendaftar haji pada tahun 2013 ini, kita baru dapat berangkat tahun 2025.  Ya ampun lama sekali.

Mungkin itu yang menjadi salah satu penyebab banyaknya orang melaksanakan umrah.  Tentu ada sebab lain, misalnya “derajat keislaman” masyarakat semakin baik dan kemampuan ekonomi masyarakat juga semakin meningkat.  Dua faktor itu, saya tarik dari gambaran di kampus secara sederhana.  Kalau ada wisuda di Unesa, diantara sekitar 1.750-an wisudawan perempuan, hanya sekitar 10% yang tidak memakai jilbab. Di saat perkuliahan juga seperti itu.  Sebagian besar mahasiswi memakai jibab. Sepertinya jilbab sudah menjadi bagian dari pakaian mereka. Mudah-mudahan itu indikator derajat keislamannya semakin naik.

Pada saat acara wisuda, jumlah mobil pengantar tidak dapat dihitung lagi.  Kampus penuh sesak dan sering macet di pintu masuk atau pintu keluar.  Jika di masa lalu banyak bemo yang disewa, kini rata-rata mobil yang datang itu jenis Kijang, Avansa, Escudo dan sebagainya.  Tidak terlihat lagi “bemo pelat kuning” yang disewa untuk mengantar wisudawan.  Bahkan saya kaget ketika ada mahasiswa S1 kuliah membawa mobil sendiri.  Semoga itu indikator ekonomi orangtua mahasiswa semakin baik.

Meningkatnya jumlah orang yang ingin haji dan umrah tampaknya mengundang “dunia bisnis” memasukinya.  “Ada gula semutpun datang”, mungkin pameo itu cocok.  Sekarang banyak travel biro yang melayani ibadah haji plus dan ibadah umrah.  Pada awalnya travel biro biasa, tetapi sekarang juga melayani ibadah haji plus dan ibadah umrah juga.  Bahkan ada yang “bergeser” layanan ibadah haji plus dan umrah menjadi garapan utamanya.

Di samping travel biro, sekarang banyak pengajian atau masjid yang juga memberikan bimbingan ibadah haji dan umrah.  Biasanya disebut KBIH.  Nah, antara KBIH dan travel biro kini bekerja sama.  Sepertinya ada semacam pembagian tugas, urusan perjalanan dan sebagainya menjadi tanggung jawab travel biro, sedangkan urusan memandu jama’ah selama menjalankan ibadah haji atau umrah menjadi tanggung jawab KBIH.  Soal pembagian yang lain, saya tidak tahu dan juga tidak ingin tahu.

Apakah itu tidak boleh?  Boleh, bahkan baik, karena melayani orang beribadah tentunya mendapat “nilai ibadah” pula. Demikian pula pembagian tugas, sesuai dengan kompetensi masing-masing.  Semoga niat yang lebih kuat adalah melayani orang lain beribadah dan bukan sekeder bisnis seperti biasanya. Nah, sepertinya disitulah masalah yang muncul.  Bergabungnya “dua lembaga” sepertinya tidak diikuti dengan manajemen yang baik.  Tidak begitu jelas, siapa yang menjadi penanggung jawab utama dan siapa yang sebagai pendukung.

Dari cerita beberapa teman yang melakasanakan ibadah umrah muncul fenomena yang perlu mendapat perhatian.  Bukan untuk mencela atau menyalahkan, tetapi agar lebih profesional. Layanan perjalanan yang kurang baik atau tidak sesuai dengan “janji” brosur dapat menyebabkan jama’ah “nggerundel” dan tidak lagi tenang hatinya saat menjalankan ibadah.  Misalnya perjalanan yang tidak sesuai dengan jadwal di brosur, kondisi hotel dan makanan yang tidak seperti yang diinformasikan, dan sebagainya.

Pada saat hal seperti itu terjadi, biasanya pihak KBIH atau pembimbing ibadah meminta agar jama’ah sabar dan tawakal.  Bukankah ibadah haji dan umrah adalah ibadah yang melatih dan menuntut kesabaran.  Ibadah yang menunut kita berserah diri secara total kepada Sang Khalik. Ibadah yang meladani Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail.  Nasehat itu betul, tetapi tentunya tidak boleh dipakai sebagai “tameng” ketidakprofesionalan” pelaksanaan travel biro.

Pada saat hal itu terjadi, sepertinya pihak travel tidak banyak berperan. Dan bahkan seakan berlindung dibalik “otoritas” pembimbing ibadah.  Pada hal, semestinya hal itu menjadi tanggung jawab pihak travel biro. Ketidak sesuaian jadwal penerbangan sangat mungkin karena kurang lincahnya travel biro mengurus atau kurang cepatnya menginformasikan kepada jama’ah sehingga mereka kaget. Ketidak sesuaikan kondisi hotel dan makanan sepertinya terjadi karena brosur “terlalu melebihkan” atau tidak menjelaskan bahwa beda standar antara di Indonesia dan Makah dan Madinah.  Misalnya, ketika brosur menyebutkan hotelnya “bintang 5” atau “bintang 4” dan tidak diberi penjelasan apa-apa, maka jama’ah akan membayangkan sekelas hotel Sangrila, hotel Hilton, hotel Mencure dan selevel itu.  Pada hal kenyataannya tidak.

Pihak pembimbing haji dan umrah seringkali tidak memahami masalah seperti tadi, mungkin merasa bukan tanggungjawabnya.  Pada hal, prakteknya pembimbing jama’ah itulah yang setiap saat berhadapan dan memberi penjelasan kepada jama’ah.  Biasanya jama’ah tidak “berani” komplain, karena ingat nasehat pembimbing yang harus sabar dan tawakal.  Namun, dari beberapa cerita teman, banyak yang sebenarnya nggrudel.

Tampaknya sisi bisnis cukup kuat dalam urusan tersebut.  Upaya meningatkan efisiensi cukup kuat, sehingga travel biro melakukan berbagai cara. Disitulah terjadinya perbedaan antara apa yang tertulis di brosur dengan apa yang terlaksana di lapangan.  Mungkin bukan yang disengaja dari awal, artinya sengaja membohongi calon jama’ah, tetapi keinginan meningkatkan efisiensi menyebabkan distorsi dalam pelaksanaan. Toh dari pengalaman, jama’ah akan “ditenangkan” oleh KBIH dengan nasehat agar sabar dan berserah diri secara total.  Profesionalitas menjadi kurang mendapat perhatian.  Perpaduan membantu ibadah dan urusan bisnis tampaknya perlu dikelola dengan profesional.  Semoga ke depan semakin baik.

Selasa, 26 Maret 2013

ANAK PENJUAL GASING DI ISTANBUL


Ini pertama kali saya ke Turki.  Beberapa kali teman dari Pasiad (lembaga pendidikan Turki yang mengelola beberapa sekolah di Indonesia) menawari saya untuk berkunjung ke Turki.  Namun karena berbagai hal belum juga kesampaian.  Nah, ketika ditawari mampir ke Turki setelah melaksanakan ibadah umrah, saya mengiyakan.  Toh penerbangan dari Jedah ke Istanbul hanya sekitar  2 jam.

Menginjakkan kaki di Istanbul saya harus mengacungkan jempol.  Kotanya bersih, tamannya sangat bagus dan dipenuhi dengan berbagai macam bunga.  Bunga tulip yang sedang mekar tampak sangat indah. Konon setiap tahun, pemerintah kota Istanbul menanam bunga tulip tidak kurang dari 6,6 juta batang untuk mempercantik kota.  Transportasi macet mirip Jakarta dan Surabaya.  Hanya bedanya ada trem yang menolong masyarakat yang harus bepergian dengan tergesa-gesa dalam kota.

Menunjungi peninggalan kesultanan Otoman, Hagia Sophia, Masjid Biru, Masjid Ayub, Masjid Sulaimania membuat saya semakin terkagum.  Peninggalan sejarah itu terpelihara baik dan dijaga keasliannya.  Pengelolaan wisata religi dengan pengunjung ribuan orang juga dilakukan dengan baik.  Tampaknya pariwisara religi telah dikelola dengan bagus dan ditunjang dengan penyediaan sarana dan prasarana yang bagus pula.  Tidak mengherankan jika pengunjungnya ribuan orang dan sampai harus antre panjang untuk masuk.

Ketika berkunjung ke grand bazaar, semacam pertokoan tempat membeli oleh-oleh saya juga kagum.  Saya tidak menemukan penjual yang bukan orang Turki.  Pertokoan sederhana (tidak seperti mal di Indonesia) tetapi mirip dengan Pasar Turi.  Hanya berlantai satu dan konon didirikan abad ke 16. Bersih dan pengaturannya rapi. Yang dijual sangat beragam, tetapi sepertinya memang dikhususkan untuk oleh-oleh (sovernir) bagi wisatawan.

Kalau ada yang kurang pas menurut saya adalah pengaturan masuk masjid.  Di Istanbul masjid-masjid bersejarah berfungsi untuk tempat ibadah, sekaligus untuk tujuan wisata.  Masjid Biru, Masjid Ayub, Masjid Sulaimania berfungsi ganda semacam itu.  Kita dapat sholat di masjid tersebut, tetapi pengunjung non-muslim juga boleh masuk.  Nah, pintu masuknya menjadi satu dan antre, sehingga menjadi “kurang nyaman” bagi orang yang akan sholat.  Bagi yang belum terbiasa, seperti aneh.  Sementara ada orang sholat, tetapi disekitarnya banyak wisatawan yang melihat-lihat masjid.  Mungkin juga ada yang melihat orang sholat.

Di pelataran halaman atau sekitar tempat wisata tersebut banyak “penjual asongan”, yang menawarkan kaos, souvenir, jaket dan sebagainya.  Yang menarik perhatian saya adalah beberapa anak remaja kecil berumur sekitar 12-15 tahunan menawarkan gasing.  Dengan lincahnya beberapa anak itu mendemonstrasikan cara bermain gasing turki sambil menawarkan: “one lira-one lira”. Beberapa anak menurunkan tawarannya: “five lira for six.”  Cara menawarkan sangat agresif dan tampak sudah terlatih.  Demikian pula cara memainkan gasing.

Fenomena itu terjadi di beberapa tempat, sehingga membuat saya bertanya-tanya.  Apakah mereka sedang berjualan betulan.  Artinya mereka berkerja untuk mencari uang dengan berdagang gasing?  Melihat pakaian dan bersihnya anak-anak tersebut, saya menduga mereka dari keluarga cukup berada.  Karena berbeda dengan pedagang asongan dewasa yang sepertinya memang sedang mencari uang.  Bahasa Inggris anak-anak itu juga cukup fasih.  Sayang, saya tidak sempat bertanya kepada mereka karena mereka sibuk menawarkan dagangan dan saya juga tidak punya waktu banyak.

Melihat itu, saya tadi teringat adanya anak-anak remaja di orchard road Singapore yang juga menawarkan berbagai barang.  Saat itu saya mendapat penjelasan bahwa mereka itu siswa sekolah selevel SMP yang melaksanakan salah satu matapelajaran sekolah.  Mungkin mirip pelajaran kewirausahaan di Indonesia.  Konon, target utamanya adalah mampu menjual barang kepada orang yang tidak dikenal.  Oleh karena itu mereka “berjualan” di orchard road yang banyak turisnya.  Konsepnya mampu meyakinkan pihak lain tentang dagangan merupakan salah modal penting dalam berwirausaha.

Tampak sekali Singapore yang ingin menumbuhkan wiraswastawan dengan sungguh-sungguh, memulainya dari sekolah selevel SMP dengan target yang cukup berat itu.  Dan tampaknya hasilnya nyata.  Proporsi penduduk Singapore yang berwiraswasta cukup besar dan kita tahu bagaimana perusahaan-perusahaan di negara kecil itu mampu menancapkan kaki di Indonesia.

Mungkinkah hal yang mirip dilakukan di Turki?  Jadi anak-anak yang menawarkan gasing itu sebenarnya anak sekolah yang berpraktek berwirausaha?  Saya tidak tahu jawaban pastinya.  Namun mengamati keprofesionalan orang Turki dalam mengelola pariwisata dan bagusnya grand bazaar yang penjualkan hanya orang Turki, sangat mungkin dugaan tersebut benar.  Sudah saatnya kita memikirkan dan mau belajar ke negara lain, ketika ingin menumbuhkan wirausahawan di negara ini.  Bukankah kita ingin menumbuhkan semangat wirausaha kepada generasi muda.  Semoga.

Sabtu, 23 Maret 2013

DAYA TARIK PARIWISATA RELIGI LEBIH KUAT?


Sekian tahun lalu saya pernah diskusi dengan seorang teman tentang fenomena pariwisata di Pulau Bali.  Bali merupakan tujuan wisata paling menarik di Indonesia, baik untuk wisatawan dalam negeri maupun wisatawan asing.  Coba tanya anak-anak muda, kalau diberi bonus untuk berwisata dalam negeri tanpa membayar pilih kemana?  Saya yakin, sebagian besar akan menjawab ke Bali.  Demikian juga kaum orang tua.

Konon banyak orang asing yang tahu tentang Bali dan bahkan pernah ke Bali.  Tetapi mereka tidak tahu Indonesia.  Paling tidak, baru tahu Indonesia ketika di Bali. Mereka tidak tahu kalau Bali itu salah satu pulau di Indonesia.  Kalau toh mereka tahu, ya hanya tahu Bali itu di Indonesia.  Mungkin mereka pernah ke Bali, tetapi sama sekali tidak tertarik berkunjung ke wilayah lainnnya.

Topik diskusi saya dengan seorang teman tadi, mengapa Bali menjadi tujuan wisata yang begitu menarik.  Apakah pemandangan alamnya yang sangat bagus? Atau pantai Kuta yang konon bagus untuk serving? Atau adanya tarian Bali yang banyak macamnya?  Atau adanya upaca Ngaben yang kolosal itu?  Atau iklan wisata ke Bali begitu kuat, sehingga orang yang semula tidak tertarik menjadi tertarik?

Dari diskusi santai itu, saya sampai pada kesimpulan orang senang berwisata ke Bali karena budaya Bali yang khas.  Kalau pemandangan alam, rasanya Sumatra Barat dan Papua tidak kalah dengan Bali.  Pantainya indah?  Rasanya juga tidak.  Mungkin pantai di Jayapura dan Kupang tidak kalah indah.  Di Sulawesi Tenggara akan temoat serving yang lebih bagus.  Tariannya beragam?  Rasanya tari-tarian di Jawa lebih banyak dibanding di Bali.  Upacara ngaben khas?  Iya, tetapi toh upacara ngaben tidak ada setiap saat. Orang tetap datang ke Bali, walupun waktu itu tidak ada acara ngaben.

Lantas mengapa kami, saya dengan teman tadi, sampai pada kesimpulan orang datang ke Bali karena Budaya?  Budaya Bali sangat khas.  Budaya Bali bersumber dari ajaran Agama Hindu yang menyatu dengan adat-istiadat membuat kehidupan di Bali sangat khas. Di setiap sudut desa ada pura.  Upacara keagamaan sangat banyak.  Tarian dikaitkan dengan nilai-nilai keagamaan, sehingga seringkali mengadung ritual yang khas.

Budaya seperti itu akhirnya membentuk tata cara bermasyarakat, pola pertanian, pola kesenian dan segala aspek pola kehidupan menjadi sangat khas.  Coba kita amati, lukisan, patung, pola pertanian dan peternakan, cara memandang pohon besar, batu besar dan apa saja selalu diwarnai dengan nilai-nilai keagamaan.

Mungkin saja kita tidak menyadari itu.  Ketika kita ke Kuta kok ada pecalang yang menjaga pantai, sehingga menarik perhatian.  Kemana kita pergi selalu ketemu pura besar maupun kecil.  Kemanapun kita pergi kita selalu ketemu orang Bali yang berpakaian khas, karena ada upacara.  Menurut kami, itulah yang menyebabkan Bali menarik untuk dikunjungi.  Belum lagi, masyarakat Bali yang sangat terbuka dan tidak melarang wisatawan untuk membaur dengan masyarakat dalam berbagai aktivitas.  Dan itu ternyata merupakan salah satu nilai-nilai religi.

Muncul pertanyaan, jika Bali menjadi tujuan wisata karena budaya, apakah daerah lain yang memiliki budaya khas juga menjadi tujuan wisata kuat?  Jawabnya ya. Coba kita perhatian Jogya, Toraja dan Pagaruyung.  Ketiganya merupakan tujuan wisata yang menarik.  Jika berwisata ke Jawa Tengah tentu kita akan ke Jogya, Prambanan dan Borobudur.  Jika kita ke Sumatar Barat, tentu Pagaruyung merupakan tujuan wisata yang kuat.  Jika kita ke Sulawesi Selatan, pasti ingin ke Toraja.  Jadi ketiganya menjadi tujuan wisata kuat, karena budaya di daerah itu menghasilkan sesuatu yang khas.

Namun beberapa bulan lalu, saya berubah pendapat.  Itu dimulai ketika suatu sore (mungkin dapat disebut juga malam), saya bersama beberapa teman menyertasi Pak Nuh (Mendikbud) berkunjung ke Tebuireng.  Setelah silaturahim dengan Gus Sholah (pemimpin pondok Tebuireng/adik almarhum Gus Dur) dan menikmati suguhan makan malam, sekitar jam 10an kami diantar melihat makam  Gus Dur.  Masya Allah penziarah sangat banyak.  Kata Gus Sholah, pada hari-hari biasa penziarah sekitar 2-3 ribu orang.  Kalau malam Jum’at dan Minggu biasa sampai 10 ribu orang.

Saya jadi berpikir, begitu kuatnya minat masyarakat berziarah. Sampai akhirnya pemerintah mengatur dan memberikan fasilitas.  Dibuatkan pintu khusus, agar kehadiran penziarah tidak megganggu aktivitas pondok pesantren. Konon juga sedang mulai dibangun fasilitas parkir bis agar tidak mengganggu lalu lintas.  Juga muncul penjualan makanan dan oleh-oleh, sehingga menjadi aktivitas ekonomi yang sangat potensial.

Melihat itu, saya jadi ingat kunjungan ziarah ke makam Walisonggo.  Memang tidak sebanyak penziarah ke Gus Dur.  Namun rasanya juga cukup banyak.  Pada hal, tidak pernah ada iklan atau pengemasan wisata ke lokasi seperti itu.  Kalau toh boleh dikatakan ada promosi, hanyalah di pengajian-pengajian yang mengajak berziarah dengan alasan religius.  Jadi wisata religi tampaknya tidak kalah kuat menariknya. 

Mirip dengan itu, juga terjadi wisata religi yang lain, misalnya penziarah ke Petilasan Jayabaya di Kediri, petilasan Raja Brawijaya di Trowulan Mojokerto, Gunung Kawi di Malang, Gua Maria, dan tempat lain. Tentu dengan segmen pasar yang berbeda.  Tetapi logikanya sama, yaitu mereka mengunjungi tempat tersebut karena terkait unsur religi yang dipercayai.

Keyakinan itu menjadi semakin kuat, saat saya mencermati jama’ah umrah di Madinah dan Makah.  Saya tidak punya data yang akurat.  Tetapi dengan penuhnya masjid Nabawi saat sholat fardu, saya menduga jumlah jama’ah tidak kurang dari 5 ribu orang.  Dengan membudaknya jama’ah sholat di masjidil Haram, saya menduga jumlah jama’ah bisa mencapa 8 ribu orang.   Dan mereka itu umumnya juga melakukan wisata religi, seperti ke Arafah, Jabal Nur, Jabal Tsur, Jabal Uhud, masjid Quba dan sebagainya.  Semua lokasi itu terkait dengan sejarah Islam dan kemudian seakan menjadi bagian dari wisata religi.

Pada hal tidak pernah ada promosi untuk umrah.  Juga tidak ada promosi untuk gunung-gunung batu tanpa pepohonan atau padang pasir yang gersang.  Secara fisikal, lokasi tersebut jauh dari indah.  Saya yakin, mereka yang datang bukan ingin menikmati keindahan.  Mereka berkunjung ke gunung-gunung tersebut karena ingin “napak tilas” perjalanan Nabi Muhammad dan sejarah Islam.  Jadi terkait dengan keyakinan keagamaan.

Kembali pada kasus Bali, Jogya dan Toraja, budaya yang khas itu juga terkait dengan religi.  Budaya Bali dipengaruhi sangat kuat oleh Agama Hindu.  Toraja dengan makam-makam yang khas juga dipengaruhi oleh “Agama Todolo”, yaitu kepercayaan masyarakat Toraja tempo dulu.  Candi Borobudur merupakan salah satu produk Agama Buda.  Candi Prambanan produk Agama Hindu.  Budaya Jogya yang khas terkait dengan kraton yang dipengruhi kuat oleh Agama Islam yang mengakomodasi ajaran-ajaran Kejawen. 

Saya membayangkan berapa devisa yang didapat Arab Saudi dengan kedatangan jama’ah umrah.  Belum jama’ah haji yang sangat banyak dan bahkan pemerintah Arab Saudi membatasi.  Jama’ah umrah dan haji seakan menjadi captive market bagi hotel, toko sovernir, rumah makan dan tentu saja biro perjalanan.

Pada hal, infra struktur layanan perhotelan, transportasi dan makanan tidaklah istimewa.  Bahkan dapat dikatakan kurang memadai.  Fasilitas dan layanan hotel bintang 5 di Madinah dan Makah hanya setara dengan hotel bintang 3 di Indonesia.  Lalu lintas sangat semrawut.  Yang baik adalah jalan-jalan lebar dan mulus. Namun karena perilaku berkendara semrawut, akhirnya sering macet.  Tapi toh, jumlah jama’ah umrah terus meningkat.

Tampaknya wisastawan religi tidak mengutamakan layanan.  Namanya juga berziarah. Mereka lebih mengutamakan “manfaat spiritual” setelah melaksanakan kunjungan tersebut.  Oleh karena itu, kualitas layanan menjadi nomor dua.  Namun, kalau instrastruktur dasar seperti jalan, penginapan, transportasi dan rumah makan tersedia secara memadai, saya yakin penziarah akan semakin banyak.  Semoga teman-teman yang menekuni dunia pariwisata memikirkannya

Kamis, 21 Maret 2013

TIDAK ADA SATUPUN LAMPU YANG MATI


Bahwa masjid Nabawi itu besar dan indah rasanya sudah banyak orang yang tahu.  Masjid yang dibangun Nabi Muhammad itu semula kecil dan sederhana, namun seiring dengan banyaknya jamaah yang datang dan seiring kemajuan teknologi, kini masjid diperbesar, diperindah dan dipermodern.  Halaman yang luas, kini diberi payung raksana yang dibuka pada siang hari dan ditutup pada malam hari.

Sound sistem masjid Nabawi, menurut saya sangat bagus.  Saya tidak mengerti seperti apa teknologinya.  Tetapi yang saya rasakan, suara di setiap sudut masjid sama kerasnya.  Tidak keras tetapi suara imam sampai di seluruh pojok masjid dengan derajat kekerasan yang kurang lebih sama. Tida ada “kemresek”,  apalagi ngadat.

 Bahwa jamaah masjid Nabawi ribuan bahkan jutaan orang dapat difahami.  Saya tidak punya informasi berapa rata-rata jumlahnya.  Yang jelas selalu memenuhi masjid yang sangat besar itu.  Layanan masjid juga sangat bagus.  Di dalam masjid tersedia air zamzam yang diletakkan di drum-drum kecil.  Ada yang dingin dan ada yang tidak dingin.  Kalau kita haus tinggal ambil gelas plastic yang ada di dekat drum itu, pencel keran drum, minum dan letakkan gelas bekas ditempat yang disediakan.  Kalau pulang juga boleh mengambil air zam-zam tersebut untuk diminum di penginapan.

Yang menarik untuk dicermati, lampu-lampu di masjid sangat banyak dan indah.  Dan yang mengherankan tidak ada satupun lampu yang mati.  Waktu menyalakan sepertinya tidak bareng.  Ada yang diyalakan sepanjang waktu.  Ada yang dinyalakan waktu sore (asar) dan pagi (subuh), dan ada yang hanya dinyakan waktu malam (isya).  Namun yang saya lihat saat dinyalakan semua lampu hidup.  Artinya tidak ada satupun lampu yang dinyalakan tetapi tidak menyala.  Entah lampunya mati atau ada kerusakan.  Jadi intinya semua lampu menyala, jika memang dinyalakan.

Saya juga mengamati, tembok, pilar-pilar dan lantai sangat bersih.  Tidak tampak debu yang menempel.  Saya beberapa kali bersandar di pilar saat membaca Al Qur’an dan tiangnya bebas dari debut.  Gantungan lampu yang berwarna kuning (konon dilapis emas) juga tampak bersih mengkilat.  Tidak ada coretan di tembok ataupun pilar.  Tembok dan pilar sangat sederhana hiasan dan tata warnanya, tetapi tampak bersih dan terpelihara.

Untuk  lantai saya mengamati selalu dipel setiap malam.  Saat setelah sholat Isya dan sebagian besar jamaah sudah pada keluar (jam 22an) robongan alat pembersih (pengepel dengan mesin) masuk ke dalam masjid.  Petugas vacuum karpet terus bekerja sepanjang waktu.  Namun saya tidak tahu kapan pilar-pilar itu dibersihkan.  Dan juga bagaimana dan kapan lampu dan gantungannya yang jumlahnya sangat banyak itu dibersihkan.

Dalam hati timbul pertanyaan, bagaimana manajemen pemeliharaan masjid Nabawi ya.  Masjid sebegitu besar dengan jamaah ribuan orang dan tidak pernah terputus.  Konon masjid ditutup jam 23 dan dibuka  lagi jam 03 dini hari.  Perilaku jama’ah juga sangat beragam, karena mereka datang dari berbagai negara.  Petugas pembersian sepertinya juga bukan orang Saudi Arabia.  Mungkin orang-orang dari Afrika atau dari Pakistan dan Banglades.

Saya yakin ada konsep manajemen pemeliharaan masjid yang bagus dan kemudian dilaksanakan secara konsisten.  Memang dana tidak menjadi masalah bagi pemerintah Arab Saudi.  Tetapi kalau manajemennya tidak bagus saya ragu apakah uang yang banyak dapat membuat situasi fisik gedung dan sarana masjid begitu prima.  Dengan pula layanannya.  Bagaimana itu dapat terjadi?

Saya menduga, sekali lagi menduga ada beberapa faktor yang menjadi penopang fenomena tersebut.  Pertama, memang ada tekat kuat dari pemerintah untuk memberikan layanan terbaik kepada jamaah.  Buktinya, segala keperluan jama’ah selama di lingkungan masjid disediakan dengan kondisi yang prima.  Air minum ada, toilet sangat bersih, karpet tebal dan bersih, lampu sangat terang untuk membaca di segala sudut masjid.  Bahkan di halaman disediakan blower yang pada siang hari (waktu panas) keluar semburan air dan dihembus bolwer.  Oleh karena terasa sejuk di sekitar blower tersebut.

Kedua, ada konsep manajemen yang bagus.  Alur pekerjaan pemeliharaan sepertinya sangat prima.  Saya melihat penyedopan debu pada karpet berjalan sepanjang waktu.  Dan sungguh menarik bagaimana mereka melakukan pekerjaan di saat aktivitas di masjid tidak pernah berhenti.  Hanya untuk pengepelan sepertinya menggunakan mesin dan dilakukan di malam hari.

Ketiga, tentu didukung dengan dana besar.  Mungkin pemerintah Arab Saudi secara ekonomi juga sangat diuntungkan dengan kedatangan jamaah.  Bayangkan kalau setipa hari ada 5-10.000 jamaah, berarti turisme yang luar biasa besar.  Apalagi pemerintah Arab Saudi tidak perlu membuat kegiatan pemasaran untuk jama’ah haji maupun umrah.

Ke-empat, konsep pemeliharaan dan layanan yang bagus tadi dilaksanakan secara konsisten.  Saya melihat petugas masjid (biasanya disebut askar) tegas.  Misalnya setiap selesai sholat, dilakukan pengaturan jama’ah yang ke raudah.  Untuk dilakukan penyekatan lokasi dengan semacam kain pembatas tebal.  Siapapun tidak boleh melanggar aturan pembatas itu.  Demikian juga saat dilakukan pengepelan lantai atau pemvakuman karpet, semua orang disitu harus pindah.  Saya lihat, pengawas (mandor) yang mengawasi pekerja juga terus mengontrol pekerjaan anak buahnya.

Kita perlu belajar bagaimana manajemen pemeliharaan seperti itu.  Bukankah di Indonesia terkenal belum punya tekat untuk menyiapkan dan menangani pemeliharaan.  Kita lebih suka membuat saja gedung dan fasilitas baru, dari pada memelihara yang sudah ada.  Semoga kita dapat belajar ke Takmir Masjid Nabawi.

Rabu, 20 Maret 2013

BUDAYA KITA TUTUR


Pernahkan Anda mencermati apa yang dilakukan banyak orang ketika lagi nunggu bis, nunggu kereta, di ruang tunggu pesawat, di dalam kereta atau dalam pesawat?   Umumnya ngobrol atau bercanda.  Fenomena itu juga saya jumpai bersama rombongan umrah sepanjang perjalanan.  Dua buku tulisan Agus Mustofa yang dibagikan (setiap jamaah disuruh memilih dua buku secara gratis) saat manasik, tampaknya tidak menarik untuk dibaca.  Ngobrol tampaknya lebih menyenangkan.  Dan mungkin itu aktivitas bagus juga.  Dapat mengakrabkan teman yang baru kenal,  menghilangkan kejenuhan dan mengakrabkan kekeluargaan bagi yang pergi bersama keluarga.  Mungkin saat dirumah jarang punya waktu bersama-sama lebih dari 10 jam.

Memang sekarang juga banyak orang Indonesia yang membaca koran atau majalah saat nunggu sesuatu atau dalam perjalan naik kereta atau pesawat.  Ada juga yang membaca buku, tetapi jumlahnya tidak banyak.  Itulah sebabnya sekarang banyak pedagang asongan yang menawarkan koran atau majalah di terminal, stasiun dan bandara.  Bahkan beberapa penerbangan memberi koran secara gratis sekita penumpang masuk pesawat.

Apakah itu hanya ciri khas orang Indonesia?  Saya tidak faham. Mungkin mereka yang mendalami sosiologi dan antropologi atau bidang sejenis itu yang dapat menerangkan. Yang saya amati, kalau turis asing ke Indonesia dan naik kereta atau pesawat biasanya membaca sepanjang perjalanan.  Biasanya buku yang dibaca tebal dan sepertinya buku sejenis novel.  Demikian pula kalau kita naik kereta di Eropa hampir semua penumpang membaca dan hampir tidak ada yang ngobrol.  Bahkan di Belanda ada gerbong kereta yang ditulisi “Gerbong Tenang”, maksudnya jangan rebut atau berbicara keras di dalam gerbong tersebut.

Mengapa kita senang ngobrol dan tidak suka membaca?  Mungkin itulah yang oleh beberapa orang disebut bahwa budaya kita bukan budaya tulis tetapi budaya tutur.  Masyarakat kita tidak terbiasa menuliskan apa yang dia ketahui atau apa yang dia pikirkan.  Yang biasa dilakukan adalah apa yang diketahui atau yang dia pikirkan itu dituturkan (disampaikan secara lisan) kepada orang lain.

Apakah itu jelek?  Menurut saya tidak, karena menuturkan secara lisan juga salah satu cara berbagai pengalaman dan berbagi pemikiran.  Bahkan budaya tutur mungkin berkontribusi terhadap keramahan masyarakat kita.  Hanya saja, daya jangkauan penuturan secara lisan sangat terbatas hanya kepada orang yang dijumpai.  Itu berbeda dengan seandainya apa yang diketahui dan dipikirkan itu ditulis akan dibaca orang banyak.  Bahkan di era internet itu akan dibaca oleh orang “sedunia”.

Budaya tutur yang kita miliki juga membuat banyak nilai-nilai luhur yang hilang, paling tidak berpotensi untuk  hilang.   Ketika saya masih kecil dan tinggal di kampung ada kebiasaan yang disebut dengan “MOCOPAT”.  Ketika ada orang melahirkan, sampai bayi berumur 5 hari (sepasar) atau bahkan 35 hari (selapan), setiap malam ada jagongan.  Setelah isya, bapak-bapak berkumpul di rumah keluarga yang baru [unya bayi dan menembangkan apa yang disebut Mocopat tadi.

Saya pernah mencermati apa yang ditembangkan tadi.  Nadanya sederhana da tidak diiringi alat musik apapun.  Namun isi tembang itu berupa petuah dan harapan tentang kebahagian dan harapan kesuksesan sang bayi.  Tentu dengan bahasa simbul (sanepo) seperti biasanya penyampaikan harapan dalam budaya Jawa.  Sangat indah dan sangat filosofis.

Nah, kebiasaan Mocopat itu kini hampir tidak pernah lagi dilakukan.  Dan karena tidak ada tulisan atau buku yang mengabadikan, sangat mungkin pada saatnya akan punah.  Hal yang sama akan terjadi pada PRANOTO MONGSO dan sebagainya.  Saya masih ingat, almarhun ayah saya memberi tahu, kalau gadung dan uwi (jenis tumbuhan yang merambat) sudah keluar batangnya, yaitu menyebul dari tanah dan menjalar ke pohon terdekat, itu artinya sudah mendekati “labuh” atau awal musim hujan.  Dan kalau batang tersebut sudah keluar daunnya itu artinya labuh sudah datang.

Sayang nasehat seperti itu tidak ditulis dan hanya disampaikan secara lisan dan turun temurun.  Pada hal itu “ilmiah” karena keluarnya batang gadung dan keluarnya daun tadi konon terkait dengan kelembaban udara.  Ketika mendekati musin bujan dan udara lembab akan memancing tumbuhnya batang gadung dan seterusnya.

Budaya tutur yang kita miliki mungkin juga menyebabkan kita kurang senang dan terbiasa membacab dab menulis.  Itu mungkin juga berkontribusi sedikitnya karya tulis dari bangsa kita, temasuk tulisan ilmah (buku dan artikel) dari para ilmuwan.  Bahkan mungkin juga terkait dengan apa yang pernah saya tulis bahwa kemampuan menulis kita rendah.  Konon paling rendah dibanding negara tetangga.

Pada surat pertama yang diturunkan ke Nabi Muhammad adalah perintah membaca.  Saya yakin membaca dalam konteks tersebut juga dimaksudkan untuk menulis.  Apa yang dibaca kalau tidak ada yang ditulis?  Jadi membaca dan menulis adalah ajaran penting dalam Islam.  Dan yakin itu juga berlaku bagi agama lain.  Bahkan dalam peradaban umat manusia.

Jika pemikiran kita ingin diketahui orang banyak, jika budaya kita ingin dapat bertahan lebih baik, maka kita harus mulai menumbuhkan budaya tulis.  Tentu tidak harus dengan membuang budaya tutur, karena budaya tutur juga punya manfaat.  Misalnya menjadikan kita lebih ramah, karena terbiasa ngobrol dengan orang lain.  Jika budaya tulis dapat ditumbuhkan bersama mempertahankan budaya tutur, mungkin kita akan menjadi bangsa yang ramah sekaligus bangsa yang pemikirannya dikenal oleh bangsa lain.  Semoga.

Minggu, 17 Maret 2013

NIAT MENENTUKAN HASIL


Saya sudah sering ketemu orang yang berangkat umrah di bandara.  Bahkan saat pergi ke Eropa Februari lalu, saya satu pesawat dengan rombongan umrah selama perjalanan dari Jakarta ke Abudabi, baik berangkat maupun pulangnya.  Saya amati pada umumnya jamaah yang akan umrah terlihat khas.  Tidak hanya pakaiannya yang biasanya serba putih atau seragam batik dengan tanda Lembaga Bimbingan Haji/Umrah tertentu.  Namun perilakunya juga tampak sabar dan santun.  Mengapa ya?

Pertanyaan itu sedikit terjawab, saat saya mengikuti manasik minggu tanggal 10 Maret lalu. Ustad Agus Mustofa, pengarang serial buku Tasawuf Modern, yang memandu manasik itu menjelaskan bahkan menyakinkan peserta bahwa ibadah umrah adalah praktek dan bukan teori.  Artinya mempraktekkan ibadah dan bukan sekedar menteorikan.  Untuk itu, niat menjadi awal ibadah yang harus dipegang teguh.  Kalau niatnya jalan-jalan nanti dapatnya ya pengalaman jalan-jalan.  Kalau niatnya ziarah ya dapatnya pengalaman ziarah.  Kalau niatnya memenuhi panggilan Sang Khalik, insya Allah menjadi tamuNya. Kalau niatnya ingin mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, insya Allah ya akan dekat denganNya.

Ustad Agus Mustofa menjelaskan hidup adalah proses belajar dan banyak ujian.  Demikian pula selama perjalan umrah akan banyak ujian.  Orang yang menjalankan ibadah umrah akan menemuhi berbagai kejadian, bertemu dengan berbagai orang, dan semua itu merupakan proses belajar dan proses ujian.  Bejalar tentang ayat-ayat Illahi yang digelar dimuka bumi dan ujian untuk menghadapi berbagai peristiwa.  Bukankah setiap kenaikan kelas atau kenaikan jabatan ada ujian?  Mungkin ujian seperti itu juga untuk menguji apakah kita sudah waktunya naik kelas dalam keber-agama-an kita. 

Ujian tentang kesabaran, kerelaan, ketawakalan dan keikhlasan.  Kita akan diuji apakah sabar ketika menerima berbagai cobaan.  Apakah memiliki kerelaan untuk berbagi.  Apakah memiliki kerelaan untuk berkorban.  Apakah memiliki kerelaan untuk membantu orang lain.  Apakah tetap tawakal ketika apa yang diinginkan tidak tercapai.  Apakah tetap tawakal ketika menghadapi cobaan.  Apakah dapat dapat ikhlas berserah diri, ketika Sang Maha Agung membeikan takdirNya.

Mendengarkan tausiah itu, saya berpikir mungkin itu yang menyebabkan perilaku jamaah umrah tampak khas.  Mungkin niat yang kuat untuk ibadah membuat mereka sabar dan santun.  Mungkin niat yang kuat membuat mereka tidak mudah ketika menghadapi hal-hal yang kurang mengenakkan.  Saya teringat ketika pesawat Garuda terlambat lebih 5 jam di Muskat Oman, saat saya ke Eropa Februari lalu.  Banyak penumpang mengeluh, bahkan menggerutu karena kelapasan.  Namun saya amati jamahan umrah tampak tenang-tenang saja.

Saya menjadi semakin yakin akan logika itu, ketika ikut rombongan jamaah umrah.  Berangkat dari Juanda jum’at pukul 14.35 dan transit di Jakarta untuk berangkat Ke Madinah pukul 20.30.  Kami dianjurkan memakai baju putih dan celama gelap.  Menenteng tas kecil warna hijau untuk tempat paspor dan barang-barang penting lainnya.  Saya merasakan dorongan untuk berperilaku “baik” sangat kuat, karena sedang dalam perjalanan ibadah.  Apakah itu juga terjadi pada jamaah lainnya?  Saya tidak tahu. Namun pengamatan saya selama di Madinah, khususnya ketika di Masjid Nabawi tampak sekali jamaah mampu menahan diri. 

Ketika sedang sholat atau berdo’a dan dilangkahi orang, pada umumnya tenang saja.  Demikian pula digiring askar untuk bergeser juga manut saja. Bahkan ketika menunggu sholat Isya ada anak seumuran SD (mungkin berumur 8 tahubn) mengambilkan minum untuk diberikan semua jamaah di sekitarnya. Tentu dia tidak kenal siapa yang diberi, tetapi dia dengan senyum memberikan ke semua orang disekitarnya.  Mengapa begitu, mungkin teman psikolog atau yang memperlajari neuropsychology yang dapat menjelaskan.

Saya menduga, niat yang kuat akan menjadi komitmen dan akhirnya menjadi inner driver untuk mengerjakan sesuatu. Niat yang kuat tadi seakan juga menjadi kontrol diri ketika menghadapi ujian atau peristiwa yang “kurang menyenangkan”.  Niat yang kuat mungkin menjadi pegangan alam bawah sadar untuk mengontrol perilaku kita.

Memang semua itu baru dugaan saya. Sekali lagi para psikolog yang paling berwenang untuk menjelaskan.  Dan jika benar, pemaknaan prinsip dalam ibadah “innamal a’malu bin niyat”, mungkin dapat diperluas  Bukan hanya terkait dengan syah tidaknya ibadah, tetapi juga berhasil tidaknya sutau kegiatan.  Niat yang kuat menjadi inner driver seseorang untuk berusaha sekuat-kuatnya untuk mencapainya.  Dan jika hipotesis ini betul, para orang tua dan guru dapat menggunakannya menumbuhkan motivasi belajar dan motivasi kerja anak-anak.  Dan semoga dorongan berbuat baik itu uterus berlanjut dalam kehidupan keseharian. Semoga.

Senin, 11 Maret 2013

MENGAPA KEMAMPUAN MENULIS MAHASISWA KITA SANGAT RENDAH?


Sebagai guru besar, saya memiliki kuwajiban membimbing mahasiswa S1/S2/S3 saat menyusun skripsi, tesis dan disertasi.  Saya juga sering menguji kelayakan proposal tesis dan disertasi, serta menguji tesis dan disertasi sebagai bagian akhir mahasiswa menempuh program S2/S3.  Kadang-kadang saya juga diminta menguji kelayakan proposal tesis atau disertasi di beberapa universitas lain.  Ketika memberi kuliah saya juga selalu memberi tugas kepada mahasiswa untuk menyusun makalah. 

Dari pengalaman tersebut, salah satu kekurangan mahasiswa, baik jenjang S1, S2 maupun S3 adalah kemampuan menyusun kalimat.  Awalnya saya mengira kalau itu penilaian subyektif saya, tetapi saat berdiskusi dengan sesama dosen penguji mereka juga memiliki penilaian yang sama.  Bahkan seringkali, ketika ujian kelayakan proposal dosen penguji berseloroh: “Kalimat ini seperti tidak selesai”. “Kalimat ini membuat kita sakit kepala”. “Kalimat ini kok tidak punya subyek ya”.  Dan sebagainya.  Intinya banyak kalimat dalam proposal tersebut yang terasa janggal, sulit dimengerti dan tidak memenuhi kaidah bahasa Indonesia.

Pada awalnya saya mengira kalau kejadian seperti itu hanya pada mahasiswa S1. Maklum belum terbiasa harus membuat karya tulis ilmiah. Tetapi ternyata juga terjadi pada mahasiswa S2 dan bahkan beberapa mahasiswa S3.  Saya juga pernah menguji kelayakan disertasi mahasiswa S3 dari PTN lain, ternyata bahasanya juga sulit difahami. Berarti masalah iyu tidak hanya terjadi di Unesa.  Dan akhir-akhir ini saya juga membimbing tesis beberapa guru yang sedang kuliah di program S2 Unesa.  Ya ampun, beberapa juga cukup parah kalimatnya.

Mengapa ya?  Bukankah mereka itu sudah mendapat pelajaran Bahasa Indonesia mulai dari SD, SMP, SMA, S1 dan sebagainya?  Bukankah mereka sudah ujian matapelajaran Bahasa Indonesia dan lulus UN SMP, UN SMA.  Bukankah mereka juga menempuh matakuliah bahasa Indonesia di perguruan tinggi?  Bukankah guru yang sedang menempuh S2 setiap hari mengajar dan tentunya menggunakan bahasa Indonesia sebagai pengantar?

Saya sempat berseloroh kepada teman-teman dosen jurusan Bahasa Indonesia, mungkin ini perlu diteliti.  Dikaji secara diagnostik untuk dicari penyebabnya.  Konon keruntutan struktur tulisan dan ucapan, menggambarkan keruntutan cara berpikir.  Orang yang bicaranya runtut berarti jalan pikirannya juga runtut.  Orang yang tulisannya runtut berarti jalan pikirannya runtut.  Berdasar asumsi itu, berarti banyak mahasiswa S1/S2 dan bahkan ada mahasiswa S3 yang berpikirnya tidak runtut.  Dan jika itu benar, merupakan pekerjaan besar untuk mengevaluasi pendidikan kita.  Bukankah salah satu tugas pendidikan adalah membangun kemampuan berpikir logis.  Berarti harus runtut.

Ada teman memberi komentar karena pelajaran mengarang tidak lagi banyak dilakukan di sekolah.   Dengan begitu siswa/mahasiswa tidak terbiasa membuat karangan.  Namun, bukankah ada pelajaran bahasa Indonesia yang tentunya ada pokok bahasan “menulis”?.  Bukankah siswa dan mahasiswa juga membuat laporan saat praktikum?  Bukankah mereka juga membuat laporan ketika melakukan kegiatan ekstra kurikuler?

Seorang teman yang kebetulan guru Bahasa Indonesia memberi penjelasan.  Walaupun terkesan membela diri, namun penjelasannya patut direnungkan.  Teman tersebut menjelaskan bahwa, memang ada pokok bahasan menulis, tetapi itu hanya bagian kecil dari apa yang dibahas dalam matapelajaran bahasa Indonesia.  Dan itu tidak mendapat penekanan karena tidak ada dalam ujian, baik Ujian Nasional, Ujian Sekolah dan bahkan dalam ulangan-ulangan di akhir semester.

Memang dalam ulangan atau Ujian Sekolah, ada bagian soal yang siswa harus membuat isian dalam bentuk kalimat.  Namun hanya kalimat-kalimat pendek dan tidak berupa rangkaian suatu alur cerita.  Itulah sangat sedikit proporsinya dalam keseluruhan soal.  Memang dalam ulangan, UJian Sekolah maupun Ujian Nasional, ada soal-soal “membaca”.  Namun biasanya bentuk soal dari bacaan itu berupa pilihan ganda.

Tidak puas dengan informasi tersebut, saya mencoba mencari tahu ke guru Kimia.  Jawabannya hampir sama.   Laporan praktikum Kimia tidak banyak membuat kalimat.  Biasanya sudah ada format yang disediakan dan mahasiswa tinggal mengisi.  Mengapa begitu?  Guru Kimia menjelaskan, yang dipentingkan apakah tahapan praktikum yang dilakukan betul.  Apakah hasil pengamatan dan pengukurannya betul.  Dan, apakah kesimpulan yang dibuat betul.  Jadi penyusunan kalimat tidak menjadi perhatian dalam laporan seperti itu.

Belum puas, saya mencoba bertanya dengan guru PPKn.   Apakah dalam matapelajaran PPKn tidak ada tugas membuat laporan atau sejenis, yang memaksa siswa menuliskan kegiatan dengan cukup intens?  Kembali jawaban yang saya peroleh tidak memuaskan.  Ada tetapi tidak banyak.  Yang banyak, siswa harus membaca sehingga mengerti.  Kalau ulangan, sebagian besar bentuk soal berupa pilihan ganda. Kalau toh ada yang isian hanya sangat sedikit.  Ujian Sekolah dan UN soalnya semua pilihan ganda.

Mendapat gambaran dari tiga guru tersebut saya bepikir, apakah karena soal dalam ulangan, Ujian Sekolah dan Ujian Nasional bentuknya pilihan ganda ya?  Apakah karena soalnya seperti itu, guru tidak mementingkan siswa membuat karangan, membuat laporan yang lengkap dan sejenis itu?

Saya jadi teringat peristiwa tahun 1992-an.  Saat itu saya menjadi anggota Tim Peneliti (diketuai Prof Mohamad Nur) melakukan penelitian pola pembelajaran di SMA.  Saya bertugas ke Pekanbaru dan kebetulan mengamati pembelajaran Kimia dan dilanjutkan berdiskusi dengan gurunya.  Nah, saat diskusi saya menanyakan, mengapa praktikum tidak intens pada hal labnya lengkap.  Jawabannya sungguh mengejutkan.  Pak, kami menyiapkan anak-anak agar sukses dalam UN (seingat saya waktu itu namanya Ebtanas).  Soal-soal UN tidak terkait banyak dengan praktikum.  Lantas apa perlu saya menghabiskan waktu banyak untuk praktikum.  Jangan-jangan, nanti siswa malah gagal dalam Unas.

Kalau, argument empat guru tadi dirangkai tampak sekali bahwa ungkapan “teaching for the test” terjadi di Indonesia.  Artinya, guru akan mengajar apa yang nanti diujikan.  Bentuk dan jenis soal akan menggiring pola pembelajaran.  Dan tampaknya bentuk dan jenis soal-soal UN menjadi kiblat penyusunan Ujian Sekolah maupun ulangan di akhir semester.  Sudah saatnya kita memikirkan bentuk soal UN, US maupun ulangan agar mampu mendorong siswa terbiasa menulis.  Bukankah komunikasi bagian penting dalam kehidupan, dan tentunya termasuk komunikasi dalam bentuk tulisan.  Bukankah menulis dapat mengasah keruntutan berpikir. Semoga.

Minggu, 10 Maret 2013

BAGUS ADIMAS PRASETIO


Tanggal 9 Maret 2103 Unesa melaksanakan wisuda ke-76.  Jumlah wisudawan 1.515 orang terdiri dari doktor, magister, sarjana dan ahli madya (D3).  Seperti biasanya, upacara wisuda di Unesa berlangsung sederhana yang cepat.  Agar khitmat, acara dibagi dua pagi antara pukul 8.00 – 11.00 dan siang pukul 13.00-16.00.  Jadi peserta pagi sekitar 750 orang demikian pula peserta siang hari.

Semua berjalan seperti biasanya.  Kecuali adanya Bagus Adimas Prasetio.  Siapa dia?  Lulusan S2 (magister) program studi Seni dan Budaya.  Kebetulan dia tuna netra.  Sebenarnya sudah sering Unesa memisuda S1 atau S2 yang berkebutuhan khusus atau menyandang ketunaan.  Namun biasanya mereka dari program studi Pendidikan Luar Biasa (PLB). Namun kali ini, Bagus lulus S2 Pendidikan Seni dan Budaya dengan IPK 3,43.  Judul tesisnya “Pengembangan Buku Ajar Seni Musik untuk Panduan Guru SLB-A YPAB Surabaya, Berbasis Pemecahan Masalah pada Materi Pelajaran Piano”.

Saya tidak sempat berbicang banyak.  Saya hanya sempat bertanya sekilas tentang kegiatannya sehari-hari saat berfoto bersama.  Seperti biasanya, setiap ada wisudawan penyandang ketunaan saya ajak befoto bersama, setelah  acara foto rektor bersama para pemuncak yang mendapat piagam penghargaan.  Selebihnya saya bertanya tentang Mas Bagus kepada Kaprodi S1 Seni Budaya, Dr. Trisakti.

Dari pengamatan saya saat bersalaman memberi ucapan selamat setelah Mas Bagus menerima ijasah dari Asisten Direktur I Pascasarjana (Prof Ismet Basuki) dan juga saat berfoto bersama. Juga dari dialog singkat sambil foto bersama dan informasi yang saya terima dari Bu Trisakti, saya menangkap ada dua pelajaran penting dari Mas Bagus, yang ingin saya bagi dengan pembaca.

Pertama, saya bertambah yakin bahwa Sang Khalik itu Maha Adil.  Mas Bagus yang disatu sisi dikaruniai tuna netra, di sisi lain dikaruniai kemampuan dalam bidang musik dan ketekunan serta keuletan yang luar biasa.  Ternyata Mas Bagus adalah pianis handal dan sekaligus mengajar piano.  Judul tesisnya menunjukkan bahwa dia punya pemahaman yang bagus terhadap proses pembelajaran musik di SLB, apa masalah yang dihadapi dan bagaimana solusinya.

IPK 3,43 memang tidak istimewa bagi “orang normal” namun sudah termasuk bagus.  Namun jika dilihat bahwa Mas Bagus tuna netra, capaian seperti sungguh sudah sangat istimewa.  Secara mudah dibayangkan bahwa kira-kira 60 % matakuliah mendapat nilai B dan 40 % matakuliah mendapat nilai A. Dapat dibayangkan bagaimana Mas Bagus mampu mengikuti kuliah bersama teman-teman yang dapat melihat dan ternyata mampu meraih prestasi yang bagus.

Mungkin di program studi PLB sudah tersedia bacaan dan fasilitas yang mendukung penyandang tuna netra seperti Mas Bagus.  Namun di program studi Seni Budaya belum menyediakan.  Dengan demikian, secara prinsip Mas Bagus terpaksa mengikuti kuliah seperti teman lainnya yang dapat melihat.  Sekali lagi, jika tidak memiliki kelebihan dia tentu akan kesulitan.

Kedua, daya juang dan optimisme.  Saat salaman dan dialog singkat saya menangkap semangat juang dan optimisme yang sangat kuat pada Mas Bagus.  Sama sekali tidak tampak kesan minder atau ragu-ragu pada dia.  Ketika salaman menjelang foto bersama dia memanggil nama saya dengan jelas dan mantap.  Tentu diberi tahu petugas, tetapi cara menyebut nama saya tampak tidak ada keraguan.  Cara menjabat tangan juga terkesan mantap.

Ketika saya tanya apa kegiatan sehari-hari, dengan mantap menjawab: “sebagai pianis dan mengajar piano”.  Dari Bu Trisakti saya mendapat infomasi memang dia sebagai pianis yang handal dan menajar di YPAB.   Saya jadi kagum, walaupun tuna netra tetapi Mas Bagus “bekerja” dan melanjutkan kuliah ke jenjanh S2.  Konon tesisnya juga termasuk sangat baik.
Semoga kita dapat belajar kepada Mas Bagus Adimas Prasetio. 

Kamis, 07 Maret 2013

SEGALA INFO ADA DI GOOGLE, TERUS TUGAS SEKOLAH APA YA?


Rabu tanggal 6 Maret 2013 saya diminta mengisi acara rapat koordinasi kepala sekolah/madrasah di lingkungan Lembaga Ma’arif Gresik.  Semula yang akan mengisi Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Prof Musliar Kasim.  Ketika beliau tidak dapat hadir, dilimpahkan kepada Mas Sukemi, Staf Khusus Mendikbud Bidang Komunikasi Media.  Ketika ternyata Mas Kemi juga tidak dapat hadir, lantas saya diminta mewakili.  Jadi saya datang sebagai “pemain pengganti yang kedua”.

Topik yang harus saya sampaikan tentang Kurikulum 2013 dan Mas Kemi sudah meng-email paparan yang harus saya sampaikan.  Tentang materi yang saya sampaikan, rasanya tidak penting saya bagi di tulisan ini.  Materinya standar dan sudah sering dibahas dalam berbagai forum.  Namun ada dua hal penting yang muncul dalam sesi tanya jawab, yang rasanya penting untuk dibagi melalui tulisan pendek ini.

Pertama, salah seorang peserta bertanya: “Kurikulum diubah untuk memenuhi tantangan zaman”.  “Apakah Kurikulum 2013 ini sudah memenuhi tantangan zaman?”.  “Apa sebenarnya tantangan zaman yang paling besar dihadapi oleh sekolah?”.  Menurut saya kepala sekolah yang bertanya itu cerdas dan mau bepikir ke depan.  Oleh karena itu, saya berusaha menjawab dengan metaphora dengan harapan memicu dia dan peserta lainnya berpikir keras.

Saya bertanya kepada peserta: “Kalau saya ingin tahu berapa penduduk Kabupaten Gresik, kemana informasi itu dicari?”.  Banyak yang menjawab dan yang paling banyak menyebut “ke Kantor Statistik”.  Saya jawab: “kesuwen (terlalu lama)”.   Saya sambung dengan komentar: “Tadi waktu mau mulai acara, moderator minta saya menuliskan CV”.  “Dalam hati saya bilang, ini cara kuno”.  Lantas saya tanya lagi: “Jadi kemana mencari informasi jumlah penduduk Kabupaten Gresik?”.   Ada yang menjawab: “Buka Google.”

Walaupun hanya satu atau dua orang yang menjawab itu, tetapi saya gembira.  Artinya guru sudah mulai tahu bahwa Google dapat memberi informasi tentang berbagai hal.   Oleh karena itu, saya mengacungkan jempol ke arah peserta yang menjawab tadi.  Saya sambung dengan komentar: “Kalau panjenengan (Anda) membuka Google dan mengetik nama saya, akan muncul informasi tentang saya.”  “Bahkan ada fotonya dalam berbagai acara”.   “Jadi dari pada minta saya menulis CV, lebih baik buka Google akan dapat CV lebih lengkap.”

“Kalau segala informasi dapat diperoleh di Google, lantas apa ya tugas guru?”  Mendapat pertanyaan seperti itu para peserta justru tertawa.  Itulah sebenarnya tantangan pendidikan, khususnya sekolah di era mendatang.  Pola pembelajaran yang terfokus memberikan dan menjelaskan informasi sudah tidak relevan, karena tugas itu sudah diambil alih internet.  Jadi tugas mengajarkan kognitif level 1 (knowledge-remembering-mengetahui-mengingat) dan bahkan level 2 (comprehension-understanding-memahami) dari Bloom sudah diambil alih  internet.  Oleh karena itu, tugas guru adalah kognitif level berikutnya.

Sekitar tahun 2002-an saya pernah menulis artikel yang intinya, pada akhirnya dalam kehidupan tugas manusia itu adalah memecahkan masalah.  Dan untuk itu, tahapan yang perlu dilakukan adalah menggali informasi, mengolah informasi sehingga menjadi masalah yang utuh, merancang berbagai alternatif solusi dan terakhir mengambil keputusan mana yang paling tepat untuk dilakukan.  Jadi itulah yang perlu diajarkan atau dikembangkan kepada siswa.  Bukankah pada akhirnya setelah lulus siswa akan memasuki kehidupan di masyarakat yang isinya seperti itu.

Jika internet saat ini sudah menyediakan berbagai informasi, maka tugas sekolah/guru adalah memandu menggali informasi.  Nah, mengolah informasi yang berasal dari berbagai sumber itu tidak dapat dilakukan oleh internet.  Dan itulah menurut saya yang menjadi tugas sekolah/guru.  Juga tahapan berikutnya, yaitu memandu siswa merancang berbagai alternatif solusi serta memilih mana yang paling tepat.

Jika itu dikaitkan dengan pertanyaan pemandu berpikir, pertanyaan “apa”, “berapa”, “dimana” dan “kapan” sudah dijawab oleh internet.  Yang harus dipandu guru adalah mencari jawaban dari pertanyaan “bagaimana”,  “mengapa”, dan “apa yang akan terjadi kalau…..”.   Dalam bahasa psikologi belajar, mungkin disebut berpikir tingkat tinggi (high order thinking).

Uraian di atas bukan dimaksudkan bahwa pendidikan hanya mencakup domain kognitif saja.  Tentu mencakup kompetensi secara utuh mencakup kognitif, afektif dan psikomotor.  Mencakup pikiran, hati dan tangan.  Tugas sekolah/guru adalah mengintegrasikan ketiga domain dalam satu kesatuan yang utuh, misalnya dalam suatu tugas kelompok.

Pertanyaan atau komentar kedua  yang juga penting untuk dibagi, adalah: “Jika silabus, buku guru dan buku siswa dibuat oleh pemerintah, apakah itu tidak memasung kreativitas guru?”.   Menurut saya, ini juga pertanyaan yang bagus.  Tampaknya saat ini, si penanya berkreasi untuk menyusun model rpp, silabus dan buku yang cocok dengan siswa dan sekolahnya.  Nah, dia kemudian khawatir kreativitas itu terpasung dengan adanya rpp, silabus dan buku dari pemerintah.

Kekhawatiran yang wajar dan bahkan positif.  Namun tampaknya yang bersangkutan belum faham bahwa rpp, silabus dan buku yang disusun pemerintah itu adalah pedoman dasar.  Setiap guru boleh memodifikasi sesuai dengan kondisi sekolah dan siswanya.  Namun, bagi yang belum atau tidak mampu memodifikasi, silahkan digunakan.  Guru kita beragam.  Bagi yang belum mampu, ya gunakan saja.  Bagi yang mampu, ya silahkan menyusun sendiri.  Semoga.

INDEKS KEBAHAGIAAN


Suatu saat Gubernur Jawa Timur yang akrap dipanggil Pak De Karwo menjelaskan bahwa proporsi orang miskin di Jawa Timur turun dari 16,68% pada tahun 2009 menjadi 13,08% pada tahun 2012.   Namun beliau mengingatkan setelah mencapai angka sekitar 10% akan sangat sulit untuk menurunkan.  Mengapa?  Kata Pak De Karwo karena itu terkait dengan masalah budaya.  Lantas beliau memberi ilustrasi. 

Ada petani yang namanya Pak “X”.  Dia termasuk petani miskin yang ingin diberdayakan agar terbebas dari kemiskinan.  Petugas dari Pempop Jatim menjelaskan banyak hal yang dia harus lakukan agar tidak lagi miskin dan bisa hidup bahagia.  Pak “X” bertanya: “Apa sih yang disebut hidup bahagia?”.   Pertugas Pemprop menjawab: “Ya biar hidupnya senang, pagi-pagi dapat minum kopi sambil merokok dan tidak dikejar-kejar juragan untuk kerja di sawah”.   Mendengar jawaban itu, Pak “X” menjawab ringan: “Lha kalau itu, sekarang setiap pagi saya sudah minum kopi dan merokok”.  “Saya juga sering tidak mau disuruh kerja oleh juragan”………..

Mendengar uraian itu, saya teringat cerita Mas Widi Pratikto.  Beliau adalah guru besar ITS yang pernah menjadi Dirjen Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dan juga pernah menjadi Sekjen Departemen Kelautan dan Perikanan.   Pada saat menjabat Dirjen Pesisir dan Pulau-pulau Kecil pernah bercerita tentang kegiatan lucu saat melakukan pemberdayaan nelayan di pantai utara Pulau Jawa,

Departemen Kelautan dan Perikanan menemukan bahwa kehidupan para nelayan di pantai utara Pulau Jawa pada umumnya miskin dan terjerat tengkulak.  Oleh karena itu dilakukan upaya pemberdayaan.  Dimulailah dengan survai tentang pola hidup mereka.  Hasilnya menunjukkan bahwa konsumsi rokok di masyarakat nelayan miskin sangat tinggi.  Sebagian besar penghasilannya untuk rokok.  Oleh karena itu dilakukan upaya untuk mencegah rokok, paling tidak mengurangi konsumsi rokok.

Nah, ceritanya terjadi dialog kurang lebih sebagai berikut: “Pak, panjenengan kan penghasilannya kecil”. “Mbok rokoknya dikurangi atau tidak perlu merokok, biar bisa untuk kebutuhan keluarga yang lain”. “Biar ditabung untuk membeli  jaring yang baru”.  Begitu kurang lebih nasihat petugas.   Sang nelayan menjawab: “Bu, saya tidak punya apa-apa”. “Jadi semua ini milik juragan”.  “Jadi penghasilan saya ya kecil sekali”. “Saya tidak bisa ini dan itu seperti orang kaya”.  “Saya hanya bisa menikmati rokok”.  “Kalau merokok juga tidak boleh, terus apa kenikmatan yang boleh saya dapat?”.

Dua cerita di atas menunjukkan ada perbedaan tolok ukur tentang kebahagiaan dan kenikmatan hidup.   Paling tidak perbedaan kebiasaan hidup yang itu telah menjadi “kenikmatan”.  Saya juga pernah mengalami hal lucu seperti itu.  Kira-kita tahun 1980-an, almarhum ayah saya diundang oleh pabrik makanan ternak, karena menjadi juara 1 peternak kecil se Jawa Timur.  Waktu itu memang ayah berternak ayam petelor.  Ingat saya jumlah ayamnya hanya sekitar 300 ekor.

Selama dua hari ayah saya mengikuti “pembinaan” dan diberi penginapan di hotel Mojopahit Surabaya. Tiba-tiba pagi sekali ayah kerumah.  Saya bertanya dalam bahasa Jawa, yang kira-kira terjemahannya: “Lho Bapak, kok pagi-pagi ada apa?”.  “Kan masih ada acara hari ini?”.  Beliau menjawab: “Mau mandi tidak ada ciduknya”.  “Masak disuruh beredam seperti kerbau”. “Mau ke belakang sudah”. 

Jadi, mandi dengan bath tube yang oleh “orang modern” dianggap nikmat oleh almarhum ayah saya dinilai seperti mandinya kerbau.  Closet duduk yang katanya modern dianggap tidak enak.  Sekali lagi, tampaknya baik dan tidak baik, nikmat dan tidak nikmat, itu sangat subyektif.  Tidak dapat digeneralisasi, yang baik untuk si A tentu baik untuk si B.  Yang dianggap nikmat oleh si A belum tentu dianggap nikmat oleh si B.  Apa memang begitu?

Namun saat berkunjung ke besan yang tinggal di Orkney Scotland, saya mendapat informasi bahwa orang yang tinggal di Orkney merupakan the most happiest  people di Inggris Raya. Jadi orang-orang yang tinggal di Orkney paling bahagia dibanding penduduk Inggris lainnya. Nah,  kalau begitu ada ukuran universal kebahagian hidup?  Buktinya dapat mengukur tingkat kebahagiaan orang. Mungkin semacam indeks kebahagiaan orang.  Apa yang ukurannya?

Jujur saya tidak tahu.  Mungkin teman-teman ahli sosiologi atau teman-teman yang mendalami agama atau mendalami religi yang tahu.  Seingat saya Robin Sarma, pengarang buku “The Monk Who Sold His Ferary” menyinggung tentang kebahagiaan hidup.  Buku-buku keagamaan juga banyak yang mengupas hal itu.  Tentu dari perspektif masing-masing.  Namun, sangat mungkin ada faktor-faktor yang bersifat universal.  Jika itu dapat ditemukan, akan dapat dipakai pedoman untuk membuat masyarakat bahagia.

Ketika tinggal selama tiga hari di Orkney, saya mencoba mencari apa yang menyebabkan penduduknya sangat bahagia.  Berikut ini dugaannya saya.  Pertama, secara ekonomi kecukupan.  Menantu saya yang asli Orkney bercerita pada umumnya orang Orkney punya pekerjaan yang pasti dan secara ekonomi berkecukupan.  Dari rumah yang ada di sana tampak tidak mewah, tetapi lingkungannya asri dan tenang.  Rumahnya juga terawat baik, sehingga dapat diduga mereka punya uang untuk merawatnya.

Kedua, tersedia layanan kesehatan yang terjangkau.  Wilayah Orkney kecil, tetapi ada rumah sakit ada  semacam puskesmas dan ada semacam perawat/tenaga kesehatan desa.  Jika ada orang sakit mudah mudah mendapat pelayanan.  Apalagi, memang ada jaminan kesehatan.  Jadi orang tidak perlu membayar.

Ketiga, tersedia layanan pendidikan yang terjangkau.  Sebagaimana bidang kesehatan, pendidikan di Scotland memang gratis sampai S1.  Memang di Orkney tidak ada perguruan tinggi, karena merupakan pulau di sebelah utara Scotland.  Tetapi sampai SMA tersedia sekolah yang  mutunya bagus.  Transportasi ke mainland Scotland juga mudah, sehingga tidak ada masalah bagi yang akan kuliah.

Ketiga, keamanan sangat kondusif.  Ketika di Orkney saya tinggal di rumah di dekat rumah besan yang kebetulan dibuat menjadi home stay.  Besan berpesan, kalau ada perlu apa-apa masuk saja ke rumah, pintu tidak dikunci.  Berarti keamanan sangat bagus.  Di kampung saya di Ponorogo, kalau malam rumah masih dikunci.  Jadi mungkin Orkney lebih aman dibanding di kampung Ponorogo.

Ke-empat, lingkungan tempat tinggal nyaman.  Lingkungan Orkney memang peternakan sapi atau domba.  Hanya saja peternakan kecil yang dimiliki oleh pribadi, jadi bukan perusahaan.  Banyak padang rumput hijau  yang diselingi tanaman Barley.  Semua jalan aspal mulus.  Lalu lintas sepi, hanya ada satu-dua mobil yang lewat.  Kecuali di kotanya yang merupakan kota pelabuhan.  Jadi lingkungan tempat tinggal terasa nyaman.

Mengapa saya mendiskusikan indeks kebahagiaan?  Bukankah salah satu tujuan pendirian negara ini untuk memajukan kesejahteraan umum?  Berarti membuat agar rakyat sejahtera dan bahagia.  Kalau gemerlap kota London tidak mampu membuat penduduknya sebahagia penduduk Orkney, jangan-jangan bukan gemerlap itu yang membuat orang bahagia.  Rasanya kita perlu mencari apa indikator atau indeks kebahagian dan itu yang harus diusahakan agar terpenuhi oleh negara, seperti tujuan yang termuat di pembukaan UUD 1945.  Semoga.

Senin, 04 Maret 2013

APA KARATERISTIK GURU YANG BAIK


Ketika mengisi acara seminar atau pelatihan kepada para guru, saya sering mengakhiri presentasi dengan mengutip ungkapan: “bad teacher tells, good teacher shows, great teacher inspires”.  Guru yang tidak baik bercerita, guru bagus memberi contoh, guru yang hebat memberi inspirasi.  Biasanya tidak ada yang mempertanyakan, karena caption itu saya tampilkan di akhir presentasi dan tidak saya bahas.

Dalam suatu seminar dengan topik “Guru Masa Depan”, caption itu saya tampilkan di awal dan saya elaborasi.  Akibatnya banyak yang mempertanyakan.  Ada peserta yang menyatakan bahwa para guru sudah memiliki pegangan “guru sebagai EMASLIM”, artinya guru sebagai educator, manager, administrator, supervisor, leader, innovator, dan motivator.

Saya senang peserta dapat menjelaskan guru sebagai EMASLIM.  Artinya guru sudah memahami tugas dan fungsinya, sebagai educator sampai motivator.  Itu adalah tugas atau fungsi guru.  Jadi tugas guru tidak hanya mengajar dalam pengertian menjelaskan materi ajar, memberi tugas, memberikan tugas dan sebagainya. Itu hanya salah satu tugas guru, yaitu sebagai pengajar.  Guru masih memiliki tugas lain dan lengkapnya yaitu EMASLIM.

Lantas apa hubungannya dengan ungkapan bad teacher tells, good teacher shows, great teacher inspires?   Ungkapan ini merupakan kegiatan guru saat menjalankan tugas dan fungsinya.  Jika saat mengajar, membimbing serta tugas lainnya, guru hanya bercerita “begini dan begitu” maka yang bersangkutan tergolong guru yang kurang baik.  Jika guru mampu memberikan contoh bagaimana melakukan sehingga menjadi teladan itulah guru yang baik.  Jika kemudian mampu memberi inspirasi kepada siswanya, sehingga siswa terdorong melakukan itu tanpa disuruh/diawasi bahkan terdorong berbuat lebih baik, itulah yang disebut memberi inspirasi.  Dan guru yang mampu memberi inspirasi itulah guru yang hebat.

Ketika mendapat penjelasan itu, masih ada peserta yang bertanya.  “Ya pak, itu akan seakan dampak dari bagaimana guru mengajar dan membimbing murid”.  “Lantas untuk dapat berbuat seperti itu apa modal yang diperlukan guru?”.  Saya senang mendapat pertanyaan itu, karena menunjukkan yang bersangkutan ingin belajar.  Oleh karena itu, saya mencoba menjelaskan dengan rinci sebagai berikut.  Saya teringat methapora yang digunakan oleh Gus Ipul (Wakil Gubernur Jawa Timur) sehingga saya gunakan sebagai contoh.

Kalau ingin menjadi guru yang baik, diperlukan empat bekal pokok.  Pertama, harus pandai.  Harus “lebih pandai dari siswanya”.   Jika guru kalah pintar dengan murid, dapat dibayangkan guru tersebut tidak akan dihormati atau bahkan disepelekan.  Guru yang pandai akan membuat murid percaya dan bahkan berwibawa di hadapan murid.  Wibawa karena kepandaian akan memberikan dampak besar dalam proses belajar mengajar.  Siswa akan memperhatikan penjelasan guru.   Siswa akan mengerjakan serius tugas yang diberikan guru.

Namun guru yang pandai itu tidak cukup, maka bekal yang kedua dan ini sangat penting, yaitu guru harus siap dan berusaha sungguh-sungguh membuat muridnya lebih pandai dari dia sendiri.  Artinya sang guru harus berusaha membuat muridnya lebih pandai dari dirinya.  Berarti sang guru harus siap “dikalahkan” oleh muridnya.  Jangan sampai seperti cerita guru silat, yang konon selalu “menyembunyikan” jurus pamungkas agar tidak dikalahkan oleh muridnya.

Konskwensi dari syarat kedua tadi, maka dalam proses belajar mengajar guru harus siap didebat oleh murid.  Mengapa demikian?  Karena ketika siswa didorong dan dimotivasi untuk belajar keras, mencari informasi dari segala sumber dan menggunakan pola pikir lateral, sangat mungkin siswa memiliki gagasan dan pendapat yang berbeda dengan gurunya.  Dengan demikian, guru harus siap didebat dan bahkan kalah ketika adu argumen dengan siswa.  Dan, sebenarnya ketika kalah argumen itulah, sang guru telah berhasil.  Artinya, telah berhasil membuat siswanya lebih pandai dari dirinya.

Apakah prinsip tersebut bersifat universal?  Menurut saya, ya.  Kalau siswa lebih pandai dari gurunya, berarti generasi muda lebih pandai dibanding generasi yang lebih tua.  Bayangkan, jika murid lebih “bodoh” dibanding gurunya, berarti generasi muda lebih “bodoh” dibanding generasi sebelumnya.  Berarti akan ada penurunan peradaban bangsa.

Bekal ketiga, meminjam methapora Gus Ipul, ibarat dokter tahu dosis obat yang harus diberikan kepada pasien.  Inilah sebenarnya sari pati dari pedagogik.  Yaitu, tahu bagaimana cara mengajarkan dan membimbing siswanya.  Maksudnya cara mengajar dan membimbing yang sesuai dengan karateristik siswa, materi yang sedang dipelajari dan situasi dan kondisi saat itu.  Guru harus faham karateristik siswa dan karateristik bahan ajar.  Dengan dua dasar tersebut dan dengan bekal ilmu pedagogik yang mumpuni, guru dapat menentukan bagaimana memandu siswa agar dapat belajar dengan optimal.

Bekal ke-empat, adalah kesediaan menjadi panutan atau teladan.  Perilaku keseharian guru harus dapat menjadi contoh bagi murid.  Guru harus bersedia “mengendalikan diri” agar perilakunya layak menjadi teladan siswa.  Apa itu penting?  Sangat penting.  Sudah ada pepatah lama “guru kecing berdiri, murid kencing berlari”.  Artinya, jika ada perilaku guru yang kurang baik, akan ditiru murid dan bahkan lebih jelek lagi. 

Tidak hanya itu.  Jika perilaku guru tidak baik di mata murid dan masyarakat, biasanya rasa hormat yang terbangun oleh ketiga bekal di atas akan hilang.  Wibawa yang terbangun dari kepadaian dan kemampuan mengajar seakan terhapus oleh perilaku yang tercela.  Dan jika hal itu terjadi, ketaatan siswa terhadap arahan guru akan hilang.  Semoga kita memiliki empat bekal tadi dan pada saatnya dapat memberi inspirasi kepada murid kita.  Semoga.

Jumat, 01 Maret 2013

SERTIFIKASI TIDAK MAMPU MENINGKATKAN MUTU GURU?


Pagi di penghunjung bulan Februari 2013 saya diminta mengisi kuliah umum bagi mahasiswa PPG-SM3T Unesa.  PPG (Pendidikan Profesi Guru) adalah amanah UU no 14/2005 tentang Guru dan Dosen, yang mengamanatkan guru itu harus menempuh pendidikan setingkat S1 atau D4 dahulu, kemudian menempuh program pendidikan profesi guru.  SM3T (Sarjana Mendidik di Daerah Tertinggal, Tepencil dan Terluar) adalah program pengiriman Sarjana Pendidikan untuk selama satu tahun mengajar di daerah 3T.  Sebagai penghargaan, mereka yang telah menyelesaikan program tersebut diberi beasiswa mengikuti PPG.

Ini mahasiswa baru dari program baru, sehingga mereka akan menjadi mahasiswa angkatan pertama.  Dengan senang hati saya memenuhi permintaan tersebut dan ingin memberikan dukungan dan kontribusi agar pada saatnya mereka menjadi guru yang profesional.  Sebagaimana disebutkan dalam UU no 14/2005, guru adalah sebuah profesi.  Lulusan PPG akan memperoleh sertifikat pendidik sebagai bukti formal sebagai guru profesional.

Isi kuliah umum tidak penting saya sampaikan, tetapi justru pertanyaan salah satu mahasiswa yang rasanya perlu dibagi informasinya.  Salah seorang mahasiswa bertanya atau lebih tepatnya meminta pendapat saya.  “Menurut  studi Bank Dunia sertifikasi guru dan tunjangan profesi yang diberikan kepada guru belum mampu meningkatkan kinerja mereka”.  “Guru menganggap sertifikasi dan tunjangan profesi sebagai peningkatan kesejahteraan, bukan peningkatan kinerja”.  Begitu yang disampaikan salah seorang mahasiswa.

Sejak awal persiapan sertifikasi dan pada saat itu saya diminta mengetuai tim sertifikasi di Jakarta, saya meyakini sertifikasi dan tunjangan profesi tidak akan banyak mengubah keadaan guru yang kini sudah di lapangan.  Mengapa?  Pertama, para guru yang sekarang bertugas di sekolah adalah rekruitmen pada saat prestise guru kurang baik di mata masyarakat.  Akibatnya yang masuk ke IKIP/FKIP/LPTK saat itu bukanlah lulusan SLTA yang bagus.  Seringkali yang masuk adalah mereka yang tidak diterima pada perguruan tinggi pilihan pertama.  Bahkan ada kelakar:  “Dari pada tidak kuliah, di IKIP juga tidak apa-apa”.  Ada juga kelakar, kalau punya anak gadis dan agak nakal, diancam: “Awas kalau terus nakal nanti saya kawinkan dengan guru”. 

Ketika memberi pelatihan atau workshop dengan para guru, saya sering bercanda: “Anak dokter biasanya ingin masuk Fakultas Kedokteran”. “Anak jenderal biasanya ingin masuk AKABRI”.  “Anak insinyur biasanya ingin masuk ITB atau ITS”.  “Lha kalau anak guru, inginnya masuk kemana?”.  “Ingin masuk IKIP?”.  Biasanya para guru tertawa.  Dan saya menimpali: “Jangan, yang menjadi guru dan hidupnya pas-pasan, cukup bapak atau ibu saja”.

Pengamatan saya menunjukkan, mereka yang sudah masuk menjadi mahasiswa IKIP/FKIP/LPTK dan berprestasi bagus banyak yang tidak mau menjadi guru. Ada yang bekerja di pemerintah daerah.  Ada yang bekerja di Kementerian.  Ada yang bekerja di perusahaan.  Bahkan ada yang sudah menjadi guru beberapa lama, kemudian pindah ke lembaga lain.  Mungkin mencari pekerjaan yang lebih besar gajinya atau lebih bergengsi di mata masyarakat.

Contoh lain, banyak guru yang pindah menjadi pejabat di Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota/ Propinsi atau dinas-dinas lain di pemerintah daerah.  Namun hampir tidak ada pegawai di Dinas-dinas pemerintah daerah yang pindah menjadi guru.  Bahkan ketika awal desentralisasi pendidikan dan ada ide pegawai Kanwil Pendidikan (sebelum berubah menjadi Dinas Pendidikan Propinsi) dikurangi dan ditugaskan menjadi guru, banyak yang tidak mau dan memilih pindah ke Dinas lain.

Apa artinya semua itu?  Guru belum menjadi pilihan profesi bagi anak-anak atau orang-orang terbaik.  Pekerjaan sebagai guru seakan “dihindari” dan mau kalau sudah terpaksa.  Akibatnya yang menjadi guru adalah mereka yang tidak memperoleh kesempatan di tepat yang lebih baik.  Tentu tidak semua seperti itu.  Banyak orang pandai yang memang ingin mengabdikan diri sebagai guru.  Namun harus diakui jumlah “pahlawan pendidikan” seperti itu tidak banyak.  Kelakarnya “kita ini manusia biasa, ya ingin mendapatkan pekerjaan yang bergengsi sekaligus gajinya besar”.

Kedua, guru merupakan pekerjaan yang relatif sulit untuk berubah dengan cepat.  Guru selalu berhadapan dengan siswa yang posisinya “dibawah”.  Guru pada umumnya merasa pandai karena yang dihadapi siswa.  Guru pada umumnya merasa apa yang dilakukan selama ini sudah tepat.  Ketika mengajar di kelas, tidak ada orang lain yang mengawasi guru.  Kecuali waktu ada pengawas atau program tertentu.  Dengan begitu pada umumnya guru yakin sudah menerapkan cara mengajar yang paling cocok dengan siswanya.  Sudah berusaha agar siswanya menguasai materi yang diajarkan.  Ibarat momen inersia, posisi guru sudah mapan dengan titik berat di posisi terendah, sehingga susah untuk digoyang.

Kalau sertifikasi dan tunjangan profesi tidak mampu meningkatkan kinerja guru, lantas apa manfaatnya?  Manfaatnya adalah untuk guru di masa datang.  Dengan adanya sertifikasi dan guru mendapat tunjangan profesi, pelamar masuk IKIP/FKIP/LPTK meningkat tajam.  Di Unesa ada program studi yang perbandingan pendafar dan yang diterima 40 : 1.  Artinya untuk 40 pelamar hanya 1 orang yang diterima.  Dengan situasi seperti itu, yang diterima tentu lulusan SLTA dengan nilai bagus.  Prof Suyono, Dekan FMIPA Unesa pernah mengatakan mahasiswa Kependidikan di MIPA lebih baik dibanding mahasiswa non Kependidikan.  Yang masuk menjadi calon guru Matematika lebih baik akan masuk akan menjadi Matematikawan.

Namun mereka itu baru lulus S1 sekitar tahun 2014 atau 2015.  Saat itu kita dapat berharap muncul SPd-SPd yang mutunya bagus.  Jika mereka kemudian mengikuti program PPG, mulai tahun 2015 kita akan memiliki calon guru profesional yang bermutu bagus.  Masih beberapa tahun lagi, tetapi harapan itu sangat besar.

Menjelaskan kepada mahasiswa, saya membagi informasi dari para senior.  Konon tahun 1950-an profesi guru sangat bergengsi.  Hanya lulusan SD dengan nilai bagus yang dapat masuk SGB.  Ketika SGA dibuka, hanya lulusan SMP yang nilainya bagus yang dapat masuk SMA.  Konon Ir. Abdul Kadir Baraja, pensiunan dosen ITS yang membidani sekolah Al Himah dan beberapa sekolah lain, dulu ingin mauk SGA tetapi tidak diterima.  Akhirnya masuk SMA dan kemudian kuliah di ITS, seterusnya menjadi dosen ITS.  Lulusan SGB/SGA era lalu banyak yang menjadi tokoh pendidikan, seperti Prof Rakajoni (almarhum), Prof Tilaar dan sebagainya.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Prof Mohammad Nuh sering menggambarkan keadaan guru saat ini seperti air dalam tangki.  Airnya tidak seberapa jernih.  Untuk itu, saat ini dilakukan upaya penjernihan sambil pelan-pelan ada yang luber, alias pensiun.  Yang lebih penting setiap tahun diharapkan dimasukan air baru yang jernih (guru baru bermutu bagus).  Dengan begitu pelan tetapi pasti kondisi air di tangki akan semakin jernih.  Dengan serifikasi dan khususnya masukkan guru baru hasil PPG, kondisi guru di Indonesia akan semakin baik.  Semoga.