Minggu, 16 Desember 2018

WHAT WORK AT WHAT COSTS


Penelitian John Hettie ini sangat menarik dan mungkin mengejutkan bagi beberapa fihak.  Sebagaimana diketahui banyak orang yang meyakini rasio guru-murid sangat menentukan mutu pembelajaran.  Asumsinya jika jumlah murid daam satu kelas sedikit, guru akan dapat memberi perhatian kepada siswa, sehingga siswa dapat belajar dengan baik dan akhirnya prestasinya maksimal.  Banyak orang juga meyakini belajar kelompok merupakan salah satu cara untuk meningkatkan hasil belajar, karena siswa akan dapat saling membantu dan bahkan dengan belajar kelompok motivasi belajar siswa akan meningkat.  Berikut ini hasil penelitian John Hettie tersebut.

Feed back to pupils










$
Meta cognitive strategy










$
Peer tutoring










$
Collaborative group learning










$
Reducing class size to <20 o:p="">






$
$
$
$
$
Individualized instruction










$
Mentoring pupils








$
$
$
Teaching assistants







$
$
$
$
Improving school buildings
0








$
$
Streaming by ability
-1









$

Dari gambar tersebut umpan balik bagi kepada siswa, misalnya mengembalikan tugas atau PR dengan diberi catatan atau komentar perbaikan merupakan cara yang termurah (digambarkan dengan 1 $, tetapi memiliki dampak 9 poin.  Sementara itu mengatur rasio guru siswa sampai di bawah 20 orang per rombel, memerlukan biaya yang sangat besar, misalnya menambah jumlah guru, ruang kelas dan sebagainya, tetapi dampaknya pada peningkatan hasil belajar siswa tidak seberapa besar, yaitu hanya 3 poin.

Cara kedua yang hasilnya baik dan dapat dilakukan dengan biaya murah adalah apa yang disebut dengan meta cognitive strategy, yaitu membimbing siswa menggunakan cara belajar yang cocok bagi dirinya.  Belajar kelompok menjadi peringkat ketiga, karena meningkatkan hasil belajar siswa sebesar 6 poin dengan biaya murah (1 $).  Teaching assistants, yaitu menyediakan guru bantu bagi siswa merupakan cara yang kurang efisien, karena dengan biaya 4 $ hanya menghasilkan peningkatan hasil belajar 1 poin.

Hasil penelitian John Hettie itu belum tentu juga berlaku di Indonesia atau di sekolah anak kita atau di sekolah tempat Bapak/Ibu mengajar  Namun tetap harus mendapat perhatian.  Mari kita logikakan bersama.  Siapa tahu memang sesuai dengan nalar dan berlaku di tempat kita.

Sepanjang yang saya ketahui dan obrolkan dengan teman-teman guru, memeriksa tugas murid, memberi kometar dan mengembalikan tepat waktu, merupakan tugas yang biasanya tidak disenangi oleh guru.  Terlalu banyak memakan tenaga dan beresiko tinggi?  Mengapa? Karena itu harus dilakukan terhadap pekerjaan sejumlah murid yang kita ajar dan harus memberikan komentar yang tepat, karena jika komentar kita keliru akan kontra produktif atau bahkan disanggah oleh murid. 

Namun murid memang senang jika pekerjaannya diperiksa, diberi catatan dan dikembalikan, karena dapat mengetahui apa yang kurang atau bahkan salah untuk dibetulkan.  Dengan cara itu guru secara tidak langsung membimbing siswa secara individual, apalagi jika siwa diberi kesempatan untuk membetulkan.  Siswa akan termotivasi untuk memperbaiki dan itu artinya belajar dengan serius.

Tutor teman sebaya dan belajar kelompok yang sudah kita kenal baik, ternyata juga terbukti baik pada penelitian John Hettie.  Biayanya murah dan hasilnya lumayan baik dalam meningkatkan hasil belajar siswa.  Semoga.

Selasa, 11 Desember 2018

TANGGUH


Bulan November lalu saya mendapat kesempatan mengikuti diskusi dengan teman-teman di Singapore, khususnya di The Head Foundation (THF) dan juga sempat berkunjung ke Nanyang Institute of Education (NIE).   Saya sempat membeli buku berjudul “Can Singapore Fall?”.   Inti buku itu mempertanyakan mungkin Singapore pada saatnya akan “runtuh”.  Buku itu dimulai dengan uraian periode “kejayaan dan keruntuhan” suatu negara atau kerajaan.  Romawi pernah jaya dan kemudian runtuh. Otoman di Turki pernah jaya dan kemudian runtuh.  Inggris pernah menguasai dunia dan sekarang digeser oleh Amerika.  Amerika sekarang jaya dan sangat mungkin akan digeser oleh negara lain.  Nah, bagaimana dengan Singapore yang sekarang dianggap sebagai negara kecil tetapi jaya akan mengalami keruntuhan atau paling tidak kemunduran?  Itulah pertanyaan yang diajukan di awal buku dan kemudian disusul dengan analisis disertasi usulan agar Singapore tidak runtuh.

Salah satu analisis yang menarik, khususnya dari sisi pendidikan adalah siklus karateristik manusia.  Buku itu mengajukan tesis “hard time makes strong men, strong men make good time, good time make weak men, dan weak men make hard time”.   Jadi kehidupan yang sulit akan menumbuhkan generasi yang tangguh, generasi yang tangguh akan menghasilkan kehiudpan yang baik, kehidupan yang baik akan membuat generasi muda lembek dan mudah menyerah, dan akhirnya generasi yang lemah itu akan menghasilkan kehidupan yangsulit.  Menurut buku itu, kehidupan di Singapore saat ini merupakan kehidupan yang baik dan ditengarai mulai menunjukkan dampak pada generasi mudah yang lemah.  Nah, pertanyaan yang muncul bagaimana caranya membuat generasi mudah tidak lemah (bahkan tetap tangguh) walaupun mereka hidup di situasi yang serba baik.

Membaca buku itu,saya jadi teringat buku “Mision Ini Posible” yang ditulis oleh Misbahul Huda beberapa tahun lalu.  Buku ini menceritakan pengalaman pribadinya bagaimana memulai kehidupan yanh keras penuh tantangan sampai menggapai kesuksesan.   Misbahul Huda mengajuka tesis, “kesuksesan itu ditopang oleh ketangguhan usaha yang dilandasi keinginan 24 karat”.  Jadi kunci suskes uitu terletak pada ketangguhan untuk mencapai keinginan yang sangat kuat.

Ketangguhan sebagai kunci suskes juga ditemukan oleh penelitian Angela Duckworth yang videonya banyak beredar.  Duckworth menggunakan istilah “grit” yang artinya tidak ketekunan melakukan usaha dalam jangka panjang dengan pantang menyerah.  Diibaratkan grit itu seperti lari marathon yang memerlukan daya tahan dalam waktu yang lama.  Bukan lari sprint yang dapat selesai dalam waktu pendek.

Saat menyusun Buku Induk Pendidikan Karakter tahun 2010an, diajukan empat karakter penting untuk ditumbuhkan pada anak-anak kita, yaitu jujur, cerdas, tangguh dan peduli.   Dengan bekal empat karekter itu diyakini anak-anak kita dapat menggapai kesuksesan.  Tidak kesuksesan sebagai pribadi tetapi sebagai warga masyarakat dan warga bangsa. Jika cerdas (banyak akal) dan tangguh merupakan bekal sukses secara pribadi, maka jujur dan peduli merupakan bekal untuk sukses sebagai warga masyarakat dan warga bangsa.  Jadi tangguh juga sudah menjadi salah satu karakter yang secara eksplisit disebutkan dalam pendidikan karakter kita.  Pertanyaannya adalah bagaimana karakter tangguh itu dapat ditumbuhkembangkan.  Itulah tugas semua orang yang menyebut dirinya pendidik, ahli pendidikan dan orang yang peduli kepada pendidikan. Semoga.