Minggu, 19 November 2023

TERKECOH DI TASHKENT

 Tanggal 15 November 2023, saya bersama rombongan LAMDIK ke Uzbeckistan untuk menjalin kerjasama dengan beberapa universitas dan Kementerian Pendidikan Tinggi setempat. Kami naik Turkish Airline via Istambul dan mendarat di bandara Tashkent, ibukota Uzbeckistan.  Pesawat takeoff dari Jakarta jam 9 pagi dan tiba di Istambul sekitar pukul 18 waktu setempat atau pukul 22 WIB.  Jadi kami terbang sekitar 13 jam.  Tampaknya waktu transit tidak lama, sehingga begitu masuk di gedung bandara, sudah ada petugas yang mengarahkan untuk langsung boarding.  Jadi kami tidak sempat melihat-lihat bandara Istambul, apalagi minum kopi.

Kami tiba di bandara Tashkent sekitar jam 02.00  waktu setempat atau 04.00 wib, tgl 16 November dini hari.  Urusan VOA (visa on arrival) berjalan lancar, mungkin berkat surat dari Kedutaan Besar Republik Indonesia di Uzbeckistan. Begitu keluar imigrasi dan sambil mengambil bagasi, saya mengamati situasi bandara. Kesan saya sangat sederhana, kurang bersih dan pengambilan bagasi juga kurang teratur.  Setelah mendapatkan bagasi masing-masing, kami mendapat informasi kalau penjemputan belum datang, sehingga kami harus menunggu di ruang tunggu yang berada di gedung lain. Situasi ruang tunggu juga tampak kurang bersih. Bahkan ketika ada teman yang ingin ke toilet harus keluar gedung dan membayar.

Setelah penjemputan datang, kami segera meluncur ke hotel Hyatt tempat kami mengingat.  Begitu mendekati hotel, artinya masuk kota saya kaget karena jalan-jalan lebar dan tampak sangat rapi dan bersih.  Karena tengah malam, saya masih belum percaya.  Besuk pagi, ketika bangun tidur dan melihat keluar jendela, saya baru sadar bahwa tadi malam saya terkecoh.  Memang situasi bandara masih tampak belum maju, bahkan ketika check ini saat mau terbang ke Istambul antrean penumpang tampak belum teratur. Tetapi ketika masuk kota situasi jalanan sangat tertata bagus, mirip di Eropa.  Hotel kami menginap juga jangat bagus dan layanannya seperti di negara maju. Demikian juga sajian sarapan pagi mirip hotel Bintang 5 di negara maju. Sarapan pagi dengan menu campuran ala Eropa dan loka Uzbeckistan sangat lengkap. Perbedaan yang menyolong itu mendorong saya mengamati dan mencari tahu mengapa seperti itu.

Tanggal 16 November kami harus mengunjungi 3 universitas dengan diantar oleh mobil kedutaan dan ditemani oleh dua orang staf, yaitu Mbak Sintia Kristiani Saeh, seorang diplomat muda asal Manado dan mbak Jamilah seorang staf lokal yang cantik dan padai berbahasa Indonesia.  Begitu mobil keluar hotel melewati jalanan yang tertata bagus, kami mendapat penjelasan dari mbak Jamilah bahwa itu sudah sejak Uzbeckistan menjadi bagian dari Uni Soviet.  Jadi tata kota Tashkent memang mengikuti gaya Rusia. Semua gedung dibangun agak jauh mundur dari jalan, sehingga memiliki taman yang luas dan umumnya tertata bagus. Apalagi sebagian besar jalannya kembar dengan masing-masing 3 sampai 4 jalur, sehingga terkesan sebagai kota modern.   Hanya saja lalu lintas kurang teratus, khususnya ketika sampai daerah yang lalu lintasnya padat.

Pertama kali kami mengunjungi Tashkent State University of Oriental Studies, kemudian ke Uzbeckistan State World Language University dan setelah makan siang kami ke Tashkent State Pedagogical University. Malamnya kami dijamu oleh Pak Dubes (Prof. Sunaryo Kartadinata) yang kebetulan menjadi salah satu pendiri LAMDIK.  Jika siangnya kita makan makanan ala Uzbekistan yang mirip makanan Timur Tengah dan ada semacam sate sangat besar, makan malam di wisma KBRI  dengan menu masakan Indonesia.  Kami juga sempat melaporkan perkembangan LAMDIK kepada Pak Dubes sebagai pendiri LAMDIK.

 

Dalam obrolan dengan Pak Dubes dan beberapa staf kedutaan, saya mendapat informasi bahwa ketika awal kemerdekaan (1971) Uzbeckistan pernah mengalaman kemunduran ekonomi yang menyebabkan kriminalitas meningkat tajam. Namun sekarang sudah jauh mengalami perubahan. Pembangunan berjalan sangat  cepat dan perekonomian tumbuh dengan baik. Keamanan juga sudah sangat baik.  Tidak heran kalau semakin banyak turis datang ke Uzbeckistan, khususnya untuk ke Samarkan ke peninggalan Al Buhari, sang perawi hadits yang sangat terkenal.

Pada hari kedua kami berkunjung ke Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Inovasi dengan ditemani oleh Pak Dubes.  Setelah itu kami sholat Jum’at.  Saya memang ingin ikut sholat Jum’at di negara tempat kelahiran beberapa ulama besar, antara lain Al Buhari yang terkenal sebagai perawi hadits dan Al Tirmizi.  Di bagian belakang masjid tempat kami ikut sholat Jum’at dan musium yang menyimpan Musag Utsmani. Kamu juga sempat mengunjungi juga.  Untuk masuk ke dalam musium, kami tidak perlu melepas sepatu tetapi membungkus sepatu dengan kantong plastik yang sudah disediakan di pintu masuk.

Beberapa saat setelah kami masuk masjid dan melaksanakan sholat sunah dua rakat, ada ulama yang awalnya saya mengira berkotbah.  Anehnya tidak didahului oleh adzan seperti di Indonesia.  Ternyata setelah selesai, muadzin berdiri mengambil tongkat dan adzan. Sementara ulama tadi berpindah ke mimbar lain yang lebih tinggi dan memberikan kotbah.  Ternyata yang pertama itu bukan kotbah tetapi tausiah yang disampaikan dengan bahasa Uzbeck sedangkan yang kedua merupakan kotbah yang disampaikan dalam bahasa Arab. Konon pola seperti itu juga dilaksanakan di masjid LDII di Indonesia.  Sebelum kotbah, jamaah melaksanakan sholat sunah 4 rakaat. Selesai sholat Jum’at ada dholat jenasah. Yang menarik ketika membaca takbir kedua, ketiga dan ke empat jamaah tidak mengangkat tangan.  Saya sebagai jamaah pendatang ya mengikuti saja tata cara setempat.

Selesai sholat Jum’at kami diantar ke sebuah pasar, menuruti permintaan ibu-ibu yang ikut dalam rombongan.  Pasar yang menual baju mirip pasar Tanah Abang. . Situasi di pasar terkenan masih sederhana, lebih sederhana dibanding Tanah Abang. Menurut mbak Jamilah, pasar tersebut sudah ada sejak jaman Uni Soviet dan belum ada renivasi. Ternyata juga ada tawar-menawar seperti di Indonesia.  Memang harganya lebih murah.  Kopiah ala Uzbeckistan yang di halaman masjid dijual 35 zoom (mata kuang Uzbeckistasn) di pasar ditawarkan 30 zoom, dan konon kalau ditawar bisa dapat harga 25 zoom. 

Sabtu, 18 November 2023

THE POWER OF KEPEPET -2

Judul tulisan kali ini meniru judul sebuah buku yang saya lupa siapa pengarangnya. Saya teringat judul buku itu ketika mengamati fenomena di Dakha Bangladesh.  Jujur saya membaca buku tersebut hanya sepintas dan itupun milik teman.  Namun dari judul dan beberapa halaman saja, saya menyetujuinya.  Rasanya itu sesuai dengan apa yang saya saksikan di berbagai tempat.

Sekian puluh tahun lalu untuk pertama kalinya saya punya kesempatan keluar Jawa dalam suatu penelitian yang dibiayai Unesco. Saat itu lokasi penelitian di pelosok Sulawesi dan kami (saya bersama dua orang teman) harus tinggal di daerah itu sekitar dua minggu.  Di hari kedua di daerah itu, ketika mencoba jalan pagi saya dikagetkan oleh suara orang agak berteriak “kuncine neng ngendi” (kuncinya dimana).  Kenapa saya kaget, karena berada di pelosok Sulawesi mendengar ucapan bahasa Jawa.  Ternyata di daerah itu cukup banyak orang Jawa dan umumnya berdagang, khususnya makanan. Orang yang berteriak tersebut berjualan bakso dan menurut ceritanya cukup laris, sehingga dapat mengontrak sebuah rumah yang cukup baik.

Pada tahun-tahun berikutnya, ketika mendapat kesempatan menjelajah daerah luar Jawa saya menjumpai fenomena serupa.  Banyak orang Jawa dan umumnya mereka berkehidupan cukup baik.  Rumahnya relatif baik dan lebih baik dibanding rumah rata-rata pendudukn setempat.  Bahkan ketika tahun 2021 pertama ke Berau Kalimantan Utara saya terperanjat melihat nama-nama rumah makan. Ada rumah makan Madiun, Tulungagung dan sebagainya.  Ternyata pemilik rumah makan itu memberi nama sesuai asal mereka.  Ketika ke Meraoke, saya diajak ke daerah transmigran dan ternyata kehidupan mereka relatif lebih baik dibanding penduduk asli.

Dengan pengalaman itu akhirnya saya memahami dan cenderung membenarkan buku The Power of Kepepet yang menjelaskan orang yang kepepet akan keluar akalnya, tekatnya dan semangat berjuang untuk berkerja keras agar keluar dari situasi kepepet.  Itulah yang menyebabkan para pendatang biasanya lebih sukses dibanding penduduk asli.  Si pendatang merasa kepepet sehingga harus berjuang dan bekerja keras, sementara si penduduk asli santai karena merasa aman di tanah lelulur sendiri.

Ketika mengamati kehidupan di Dakha Bangladesh itu saja jadi teringat apa yang dijelaskan buku tersebut.  Bangladesh, khususnya kota Dakha yang sangat padat penduduk dengan kondisi perekonomian masih terbatas tampaknya membuat banyak orang merasa kepepet, sehingga mengeluarkan kreativitasnya untuk mencari kehidupan yang lebih baik.   Menurut teman di sana, di Dakha banyak orang yang berasal dari pedesaan yang merantau mencari pekerjaan.  Konon sebagian pengemudi rigsaw, yaitu becak ala Bangladesh, berasak dari pedesaan yang merantau ke kota untuk mendapatkan pekerjaan.  Itulah sebabnya mereka rela bekerja keras, menggenjot rigsaw yang tampak sangat berat. Jika pengemudi becak lazimnya duduk di atas sadel, pengemudi rigsaw tidak.  Ketika ada penumpang, pengemudi rigsaw harus menggenjotnya sambil berdiri, mirip pembelap sepeda ketika harus meningkatkan kecepatan.

Di Dakha banyak sekali apartmen yang sedang dibangun. Saya tidak tahu apakah itu kebijakan pemerintah karena penduduk sangat banyak sementara negaranya sangat kecil, sehingga untuk menghemat laham, apartmen menjadi pilihan hunian.  Yang jelas, sepanjang jalan yang saya lewati, di kanan-kiri jalan sangat banyak apartmen yang sedang dibangun.  Saya mencoba mencermati umumnya 5-10 lantai.  Yang menarik tidak satu pembangunan tersebut menggunakan crane, sehingga bahan bangunan dinaikkan dengan semacam kerekan yang dilakukan oleh manusia.  Tampak sekali mereka membangun apartmen secara tradisional.  Saya lihat betapa berat kerja mereka.

Di Dakha ada kendaraan seperti bemo roda tiga yang sekian tahu lalu menjadi kendaraan umum di Indonesia. Mereka menyebutnya CNG, singkatan dari Compressed Natural Gas, karena kendaraan tersebut menggunakan gas alam.  Di beberapa tempat saya melihat rigsaw yang tidak lagi digenjot tetapi diberi motor listrik.  Mereka menyebutkan Electric Bike.  Ternyata itu produksi lokal, artinya dibuat oleh bengkel lokal, bukan buatan pabrik.  Oleh karena itu bentuknya sangat bervariasi. Menurut saya itu suatu keberanian berinovasi

Ketika makan malam dan mencari makanan non Bangladesh ternyata sangat mudah, Banyak restoran di mall yang menyediakan makanan berbagai negara. Namun saya melihat semua yang melayani orang Bangladesh. Iseng-iseng saya bertanya mengapa begitu.  Ternyata itulah inovasi mereka.  Karena banyak orang asing di Dakha dan makanan asli Dakha tidak cocok, maka mereka belajar memasak masakan negara lain dan kemudian menyajikan di restoran.  Sebuah inovasi yang jitu.

Mengamati berbagai fenomena itu dalam hati saya bertanya, apakah itu juga bukti the power of kepepet ya.  Karena kepepet sulitnya kehidupan orang Bangladesh mengeluarkan segala akal agar mampu mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Menurut saya itu contoh Teknologi Tepat Guna yang sesuai dengan konteksnya.  Mestinya SMK di Indonesia juga bisa, apalagi perguruan tinggi sekelas ITS. Dari pada buat Gesits yang seperti hilang dari peredaran, inovasi yang dapat dikerjakan secara lokal akan memberi manfaat nyata buat masyarakat kecil.

Selasa, 07 November 2023

KETEMU YANG DICARI

Seperti saya sebutkan sebelumnya, kami ikut dalam academic conference di Dakha Bangladesh bukan semata-mata ingin memaparkan makalah, tetapi juga ingin bertemu beberapa orang yang kami yakini dapat membantu keinginan Lamdik menjadi full member dari APQN. Oleh karena itu nanti begitu mendapatkan rundown acara, kami akan mencermati dan mencari nama orang yang kami yakini dapat membantu memperlancar keinginan Lamdik untuk menjadi anggota APQN, dan jika mungkin menjadi anggota INQAAHE, seperti disarankan oleh Prof Chan Basaruddin.

Academic conference dilaksanakan di AIUB (American International University-Bangladesh). AIUB merupakan universitas swasta ternama di Dakha yang menurut informasi didirikan oleh keluarga kaya disana.  Panitia conference sangat baik, kami dijemput dan diantar pulang dari hotel ke universitas.  Sesuai jadwal kami dijemput jam 08.00 oleh staf bernama Orun yang memang khusus ditugasi untuk itu datang menjemput.  Jalan masuk menuju AIUB melewati jalan kecil yang dikiri-kanan dipenuhi orang berjualan, seperti kaki lima di Indonesia.  Juga banyak bajaj dan rigsaw mangkaldisana.  Oleh karena itu mobil yang menjemput kami berjalan pelan-pelan yang berkali-kali membunyikan klakson.

Namun demikian, begitu masuk gerbang kampus keadaan berbalik 180 derajat. Kampusnya lumayan besar dan bersih, walaupun gedung-gedungnya sederhana.  Conference dilaksanakan di salah satu gedung berlantai 10.  Pembukaan dilaksanakan di auditorium yang berada di lantai 1.  Tampaknya kami datang relatif awal, karena belum banyak perserta yanh hadir. Kami disambut oleh Ketua Panitia bernama Prof. Dr. Farheen Hasaan.  Belakangan kami tahu bahwa beliau pernah tinggal di Makassar karena suaminya saat itu menjadi pilot Garuda.  Hanya karena ada pandemic Covid 19 suaminya berhenti.


Pada saat registrasi dan kami mendapat rundown acara segera tampak ada beberapa nama yang akan kami dekati, antara lain: Prof.  Jagannath Patil, Chairperson APQR dan mantan President APQN, Stephane Laudwick dari EQAR dan Prof. Olgun Cicek dari INQAAHE. Alhamdulillah kami dapat menemui mereka secara personal dan menyampaikan keinginan Lamdik untuk menjadi full member dari APQN dan INQAAHE.  Ternyata mereka sangat welcome dan meminta kami mengirim email.  Ternyata Prof Olgun Cicek teman Prof. Chan Basaruddin dan titip salam untuk beliau. Foto kami dengan Prof. Olgun segera saya kirim ke Prof. Chan sambil menyampaikan salam Prof. Olgun.

Tepat jam 09.00 acara dimulai dan Prof Farheen merangkap menjadi MC.  Pembukaan diisi dengan sambutan 4 orang, yaitu Prof. Galina Motova sebagai Vice Presiden APQN (beliau dari Rusia), Mr. Ishtiaque Abedin sebagai Chairman dari Board of Trustees AIUB, Dr. Haseena Khan sebagai University Grant Commission Bangladesh, dan Prof. Mesbahuddin Ahmed sebagai Chairman Bangladesh Accreditation Council.  Setelah itu diputarkan video ucapan selamat ulang tahun APQN dari berbagai orang tokoh. Selesai video diputar, Prof. Jagannath Patil sebagai APQR Chairperson dan mantan President APQN dan Prof. Jianxin Zhang sebagai President APQN memberi sambutan.

Setelah sesi foto bersama dan rehat sebentar, dimulai sesi keynote speeches dengan menampilkan dua orang tokoh, yaity Prof. Mesbahuddin Ahmed dan Dr. Stephane Lauwick yang menyampaikan topik Digital Quality Assurance and Journey to Quality Enhancement. Ada dua pertanyaan yang mucul setelah presentasi keduanya, yaitu: (1) jika sains dan teknologi yang didorong menjadi acuan pengembangan universitas, bagaimana dengan sistem nilai yang juga sangat penting dalam kehidupan bangsa, dan (2) jika universitas didorong untuk mengadopsi perkembangan sains dan teknologi dengan membongkar kurikulum yang saat ini digunakan, bagaimana kesiapan dosennya. Prof. Jagannath Patil yang menjadi moderator merespons dengan sangat cerdas dengan mengatakan modernisasi memang harus tetapi jangan meninggalkan humanisasi karena pada ujungnya semua untuk kesejahteraan manusia.

Selesai sesi keynote speeches ada rehat, makan siang dan sholat Jum’at.  Kami diantar ke sebuat tempat sholat Jum’at. Informasinya di lokasi itu ada ruang ibadah untuk beberapa agama.  Lokasi sholat Jum’at tidak terlalu besar dan saya tidak tahu apakah itu memang khusus untuk ibadah orang Islam atau juga dapat digunakan oleh agama lain.  Khotbah Jum’at cukup pendek dan berbahasa Arab seluruhnya. Yang sholat Jum’at juga tidak banyak. Mungkin karena hari Jum’at merupakan hari libur di Bangladesh.

Selesai sholat Jum’at dan makan siang, dilanjutkan dengan sesi pleno dengan lokasi di lantai 10.  Ada dua sesi pleno. Pleno pertama menampilkan tiga paper, yaitu: (1) Digital Technologies and Ethical Approach in Quality Assurance: A Case of JUAA oleh Akinori Matsuzaka dari Jepang, (2) Three Development Trends of Higher Education Quality Assurance in the Asia-Pasific Region in Post COVID Era oleh Dr. Jianxin Zhang dan China, dan (3) The Journey towards Quality Enhancement through Quality Assurance: A Case Study on AIUB oleh Md. Imranul Haque.  Ketiga presenter tampak seiring dengan menyoroti apa yang terjadi pada perkuliahan pasca covid-19 dan bagaimana konskuesinya pada akreditasi.  Diskusi setelah presentasi tidak begitu ramai. Mungkin sama-sama sedang mencari pola.

Sesi kedua juga menampilkan tiga makalah, yaitu: (1) 4IR: Needs for Vitalizing Education Curriculum in Bangladesh oleh Sultan Mahmud Bhuiyan, (2) Adoption of Metaverse in Education Sector: Identifying the Enablers and Barriers for Developing Country oleh Nazia Farhana, dan (3) Artificial Intelligence in Higher Education: A Bibliometric Overview oleh Maria Islam. Ketiganya disampaikan oleh teman-teman Bangladesh. Diskusi sesi ini cukup intens karena semua ingin menyampaikan pendapatkan tentang kesiapan universitas terhadap AI dan tantangan yang harus dihadapi.

Setelah magrib, diadakan Gala Dinner di Hotel Westin.  Muncul masalah bagi rombongan dari Indonesia. Kami sepakat pada isteri dan suami yang ikut ke Dakha tetapi tidak ikut conference kita daftarkan ikut gala dinner.  Masalahnya acara molor sehingga kami tidak sempat pulang dulu ke hotel. Akhirnya diputuskan kami yang ikut conference langsung ke hotel Westin, sementara yang dari hotel berangkat pakai mobil hotel.  Alhamdulillah, semua dapat teratasi.   Sebelum gala dinner ada tarian dan musik khas Bangladesh.

Hari kedua terdiri dari sesi parallel dan tim Lamdik kebagian di grup 1 bersama dua pemakalah dari Bangladesh.  Kami berbagi tugas. Yang presentasi Bu Pratiwi dan Pak Eko, sementara saya masuk ke grup 3 yang menampilkan empat makalah, yaitu: (1) The Impact of ChatGPT on Modern Education: Beneficial or Detrimental, (2) Towards Continuous Quality Improvement in Higher Education: Enhancing Educational Quality through Course Outcome, Program Outcome and Program Educational Objectives, (3) Transformative Education: QA Solution for Cross Boundary Education, dan (4) Enhancing Academic Integrity: A Multi-model Deep Learning Approach for Reliable Test Supervision and Dishonesty.  Paper ketiga yang dibawakan oleh Pavel dan Rusia ternyata menyampaikan gagasan tentang double degree.  Oleh karena itu saya menyampaikan pol aitu sudah lama dilakukan di Indonesia, bahkan saat ini mahasiswa didorong mengambil matakuliah di universitas lain atau internship di industri. Topi ke-empat juga mendapat banyak tanggapan, karena mencoba membuat alat deteksi kecurangan saat ujian.

Di acara penutupan, diumumkan bahwa Academic Conference 2024 diadakan di Rusia dan Pavel sebagai calon tuan rumah diminta untuk memberi sambutan.  Pavel memulai sambutan dengan memutar video kota St Petersburg. Tampaknya dia berharap banyak peserta tertarik dan tahun depan ikut conference. Sambutan penutupan dilakukan oleh Timur Kanapyianov sebagai Vice President APQN. Sebelumnya ada penandatangan MoU antara BAC dengan Kementerian Pendidikan China.  Lamdik diberi kesempatan menyerahkan cinderamata ke APQN dan AIUB.  Penutuan diakhiri dengan berfoto bersama.

Sabtu, 04 November 2023

DAKHA BANGLADESH

 Tanggal 2 – 4 Nomber saya ke Dakha Bangladesh untuk ikut academic conference yang diadakan oleh APQN (Asia Pacific Quality Network), sebaga utusan LAMDIK.  Kami hadir ber enam, Prof Aceng, Prof Sofia, Prof, Ivan, Prof Ekohariadi, Prof Pratiwi dan saya.  Isteri saya juga ikut. Keikutsertaan Lamdik di conference tersebut bukan semata-mata memaparkan hasil studi, tetapi ingin mengenalkan diri kepada APQN dengan harapan Lamdik dapat menjadi full member dari APQN.  Tentu juga membangun jaringan dengan lembaga sejenis di luar negeri.

Ini pertama kali saya ke Bangladesh, sehingga sebelum berangkat mencoba mencari informasi seperti apa kota Dakha.  Informasi yang saya dapatkan melalui internet kurang menyenangkan, karena informasinya Dakha merupakan kota yang sangat padat penduduk, sangat macet.  Lebih padat dan lebih macet dibanding Jakarta.  Mungkin karena negara yang relatif baru berkembang dan sedang berbenah diri.  Bangladesh Merdeka pada tahun 1971 setelah melepaskan diri dari Pakistan.  Sebelumnya merupakan Pakistan Timur setelah merdeka dari koloni Inggris.  Konon Indonesia banyak mengimpor kain dari Bangladesh dan setahu saya memang banyak “baju bermerek” kalau dilihat name tage-nya dibuat di Bangladesh.

Kami ke Dakha dengan naik Singapore Airline (SQ) dan transit di Singapore.  Waktu transit ketemu dan ngobrol dengan seorang ibu muda dengan dua anaknya kecil-kecil.  Dia orang Bangladesh yang sekarang tinggal di Sidney.  Anaknya lucu-lucu dan mau bermain dengan saya. Keduannya cewek berusia lima dan tiga tahun, namanya Yara dan Yala.  Ketika tahu Bu Pratiwi alumni Melbourne University dan sekarang mengajar di Unesa, dia tampak kaget. Mengapa tidak mencari pekerjaan di Australia, toh sebagai doktor tidak sulit mendapatkan pekerjaan dan memperoleh PR.  Pertanyaan wajar dari orang-orang dari negara yang memang punya tradisi ber-diaspora, yaitu menetap di negara lain yang memberikan kehidupan lebih baik dibanding di negara asalnya.  Mereka umumnya berpendapat di negara manapun dapat berperan membantu negaranya.

Tiba di bandara Hazrat Shahjalal Dakha hampir jam 11 malam waktu setempat.  Kami harus mengurus visa on arrival (VOA)  karena memang dari Indonesia belum mengurus visa. Ternyata cukup banyak yang antri, apalagi ada beberapa orang yang antri di depan kami  yang bermasalah, sehingga lama sekali. Akhirnya kami pindah antrian dan alhamdulillah, sekitar jam 12 malam selesai. Petugas imigrasi seorangg wanita muda, namanya Sharmin, sehingga teman-teman berseloroh “petugas imigrasinya Bu Sarmini”. Mungkin teman tadi teringat Prof. Sarmini dari Unesa. Di dekat tempat mengurus visa ada bank, sehingga kami menukar uang dolar dengan uang setempat yang bernama Taka. Petugasnya ramah dan lucu, sehingga kami merasa senang.

Selesai urusan visa dan sudah memegang uang Taka, kami menuju ke tempat pengambilan bagasi. Ternyata ada petugas yang memegang kertas bertuliskan Prof. Pratiwi.  Yang berangkutan merupakan petugas bandara yang diminta oleh staf American International Universitity Bangladesh (AIUB – universitas penyelenggara conference) untuk membantu kami.  Jadinya  urusan bagasi lancar.  Selanjutnya kami dipandu keluar bandara dan disitu sudah ada dua orang, satu pertuas AIUB dan satunya petugas dari hotel yang menjemput kami.  Kami menginap di Bengal Blue Berry Hotel. Hotelnya kecil, di tengah kota, dengan style internasional dan memang banyak orang non Bangladesh yang menginap.

Dalam mobil penjemputan dari bandara ke hotel saya dan teman-teman agak takut. Mobil minibus berjalan sangat cepat meliuk-liuk diantara bis, truk, bajaj, motor dan rigsaw.  Lalu lintas di Dakha tampaknye belum teratur. Jalanan jug relatif gelap dan di tengah malam ada saja orang menyeberang jalan.  Banyak pekerja yang sedang memmperbaiki jalan tetapi tanpa penerangan yang memadai. Barier juga dipasang tampa penerangan. Mungkin itu mobil yang kami tumpangi harus meliuk-liuk dan sangat sering membunyikan klakson. Pengalaman yang sangat menarik di Dakha.

Kami sampai hotel sekitar pukul 01 malam. Berarti sudah berganti hari menjadi Kamis tanggal 2 November 2023. Saya dengan isteri mendapat kamar 706. Kamarnya lumayan baik, hanya AC nya bersuara keras, sehingga agak bising. Ketika berwudhu, air panas tidak jalan sehingga lumayan dingin. Setelah sholat jamak magrib-isya, saya segera tidur karena besuknya sudah harus mulai acara.

Ketika makan pagi Bu Pratiwi mendapat informasi bahwa kami tidak perlu ke lokasi conference karena hari itu hanya berisi board meeting dan kami dapat registrasi besuk pagi menjelang acara hari kedua. Oleh karena itu kami sepakat menggunakan hari itu untuk melihat-lihat kota Dakha. Namun ketika ngobrol dengan staf hotel, disarankan kami tidak pergi jauh dari hotel karena situasi di Dakha sedang tidak kondusif karena menjelang pemilihan umum.  Setelah berunding, kami memutuskan hari itu akan keluar hotel setelah sholat dhuhur, terus akan mencari makan siang kemudian jalan-jalan di sekitar hotel.

Kami makan siang di rumah makan Bernama SANTOOR, kira-kita 200 m dari hotel.  Kami jalan kaki dari hotel dan siang itu menyaksikan lebih detail betapa semrawutnya lalu lintas di Dakha.  Mobil, bajaj dan rigsaw (seperti becak tetapi pengemudi di depan atau seperti sepeda ontel dibelakangnya diberi tempat penumpang seperti bejak) parkir tidak teratur. Apalagi banyak penjual kaki lima di pinggir jalan. Mobil, bajaj dan rigsaw banyak yang melawan arus dan sepertinya itu sudah biasa.  Saya juga tidak melihat rambu lalu lintas di sepanjang perjalanan. Mungkin itu yang membuat pengendara mobil, bajaj dan rigsaw berjalan semaunya disertai suara klakson saut-sautan.  Sepanjang jalan saya juga melihat banyak bus yang penuh dengan bekas serempetan. Namun sopir yang kami tumpangi seperti tenang-tenang saja, sepertinya hal seperti itu biasa. Teman-teman berkomentar sopir di Dakha harus sangat mahir dan sabar.

Di rumah makan Santoor kami makan nasi briyani dengan kambing dan ayam. Ketika kami bertanya seberapa besar porsinya dijawab untuk “share”.  Akhirnya kami memesan  3 porsi untuk 10 orang.  Ternyata betul, nasi briyani yang disajikan dalam wadah seperti periuk dari kuningan itu tidak habis dimakan 10 orang. Nasi briyaninya sangat enak, menurut saya lebih enak dibanding yang saya dapatkan di Surabaya.  Sayangnya daging ayam dan kambing di dalamnya tidak banyak, sehingga teman-tema berkomentar nasinya terlalu banyak, tetapi daging ayam dan kambingnya sedikit.  Selesai makan ada yang usul menambah pesan ayam panggang untuk dibawa pulang bersama nasi yang tersisa.  Namun akhirnya tidak jadi, karena bingung bagaimana cara makannya karena kita tinggal di hotel.

Setelah selesai makan, kami ingin melihat taman yang informasinya kami dapat di internet. Petugas yang kebetulan berdiri di depan restoran menunjukkan jalan menuju taman tersebut.  Orang Bangladesh memang ramah dan suka menolong. Jadi betugas tersebu dengan antusias menunjukkan arah taman. Kami berjalan hati-hati sesuai saran tersebut, khususnya ketika menyebarang jalan.  Isteri saya berkomentar bagaimana takutnya Roy (menantu saya yang asli Scotland) jika harus menyebarang jalan di Dakha, karena di Surabaya saja dia takut menyeberang jalan.

Ketika pertama melihat taman dari pintu masuk, kami merasa tamannya tidak lebih baik dibanding taman di Indonesia.  Memang cukup luas tetapi tampak kurang terpelihara.  Namun begitu masuk kami melihat sebuah gedung kecil yang di depannya ada tulisan BOOKWORM.  Awalnya saya bingung, karena biasanya worm diartinya cacing. Tetapi setelah mencari di google, ternyata artinya kutubuku.

Kami segera masuk dan sungguh kaget, karena toko kecil tersebut menjual buku-buku bagus yang bias akita jumpai toko buku Peripluss yang ada di bandara.  Beberapa buku yang pernah saya beli di Periplus, misalnya The History of God tulisan Karen Amstrong dan sebagainya.  Harganya juga jauh lebih murah dibanding di Periplus. Saya lihat buku-buku tersebut banyak terbitan India dengan kertas berwarna coklat muda. Mungkin itu yang membuat harganya murah. Bu Pratiwi tampak sangat antusias dan membeli beberapa buah.  Melihat toko buku itu saya berpikir, jangan-jangan itu salah satu indicator kepedulian Bangladesh terhadap pendidikan dan perkembangan ilmu pengetahuan.

Sepulang dari taman, kami membeli degan yang dijajakan di pinggir jalan. Hanganya 150 taka atau sekitar 25 ribu rupiah.  Kami menikmati karena degannya segar.  Yang menarik penjual degan tersebut dapat berbahasa Inggris, sehingga komunikasi kami dengan dia lancar.  Terpikir di benak saya, apakah orang Bangladesh pada umumnya dapat berbahasa Inggris ya.  Mungkinkah itu karena sebelum merdeka Bangladesh yang masih merupakan bagian dari Pakistan merupakan jajahan Inggris, seperti halnya Malaysia.

Minggu, 29 Oktober 2023

Prof. Dr. Mohamad Nur

 Pagi ini, sepulang dari jalan pagi, saya membuka HP dan mendapati pesan dari Bu Yanti (Prof. Dr. Suryanti) bahwa Pak Nur (Prof. Dr. Mohamad Nur) wafat. Beberapa saat kemudian juga masuk pesan yang sama dari Pak Wasis (Prof. Dr. Wasis). Jujur saya kaget. Memang Pak Mus (Prof Dr. Muslimin Ibrahim) pernah bercerita bahwa Pak Nur sakit tetapi tidak serius. Pak Tri (Prof. Dr. Tri Wrahatnolo) juga pernah cerita kalau Pak Nur sakit.  Usia beliau sekitar 81 tahun, tetapi setahu saya beliau rajin olahraga dan sangat menjaga makanan.

Mendengar berita bahwa Pak Nur wafat, ingatan saya menerawang ke belakang. Saya mengagumi beliau, berhutang budi kepada beliau dan dalam hati saya mengatakan Pak Nur adalah “bapak akademik” saya. Saya mengenal nama beliau sejak mahasiswa tingkat awal, dengan membaca makalahnya. Seingat saya makalah itu disampaikan di acara wisuda yang tentu saya sendiri tidak ikut hadir. Saya lupa judulnya dan dari mana mendapatkannya.  Yang saya ingat makalah itu membahas bagaimana sains dan teknologi digunakan untuk menjelajah angkasa luar.  Sebagai mahasiswa tingkat awal di tahun 1970an awal, lulusan STM dan dari daerah tentu sangat kagum dengan makalah tersebut.

Saya mulai mengenal dekat beliau sekitar akhir tahun 1990 atau awal 1991.  Saat itu saya sedang menempuh S3 dan telah merampungkan penyusunan disertasi, tinggal konsultasi akhir dan ujian. Oleh karena itu saya sering ke kampus. Pada suatu saat saya sholat Jum’at di kampus dan setelah itu pulang. Baru selesai makan siang di rumah, Mbak Atik (staf Pak Nur) menilpun mengatakan saya dicari Pak Nur.  Tentu saya segera kembali ke kampus menghadap beliau yang saat itu menjabat Pembantu Rektor I.  Ternyata saya diminta melanjutkan pekerjaan Pak Cholik (Prof. Dr. Toho Cholik Muthohir) menyusun RIP (Rencana Induk Pengembangan) IKIP Surabaya, karena Pak Cholik sakit. Sejak saat itu saya banyak membantu beliau. Apalagi setelah lulus, saya ditugasi menjadi Wakil Ketua TPP (Tim Perencanaan dan Pengembangan) dan kemudian menjadi Ketuanya. Bahkan saya dikirim ke Philippine untuk ikut pelatihan di Inotech dan kemudian diminta ke London menjajagi pengiriman studi lanjut di ULI (University of London-Institute od Education).

Sekitar 6 tahun membantu beliau saya merasa mendapat banyak ilmu dan merasa mendapat bimbingan menjadi akademisi yang benar. Apalagi kemudian saya diajak dalam beberapa penelitian.  Salah satunya penelitian Hibah Bersaing multiyear sekama lima tahun.  Tampaknya beliau menggunakan penelitian itu untuk wahana melatih para yuniornya.  Seingat saya banyak yang awalnya ikut, tetapi secara perlahan berguguran dan tinggal beberapa orang saja. Tampaknya banyak teman yang tidak tahan tuntutan tinggi Pak Nur yang dikenal perfectionist. Dapat dibayangkan kalau mengoreksi naskah daru yuniornya bisa sampai 3 atau bahkan 4 kali baru disetujui.  Biasanya beliau mengoreksi dengan ballpoint yang bewarna bitu atau hijau.  Bahkan suatu saat kami, beliau dan para yuniornya, menyiapkan laporan penelitian sampaj jam 02 pagi dan beliau masih belum setuju.  Ketika saya memberanikan diri mengatakan bahwa sudah jam 03, pada hal beliah harus ke Jakarta dengan pesawat jam 05, beliau menjawab kira-kira “masih ada 120 menit”, karena beliau akan berangkat ke bandara jam 04.

Memang terbukti teman-teman yang tahan mengikuti Pak Nur, di kemudian hari menjadi akademisi handal, bahkan beberapa diantaranya menjadi pejabat penting di Unesa.  Seperti kata Pak Wakil Rektor I (Prof. Dr. Madhlazim) Pak Nur adalah panutan bagi banyak yuniornya.  Pekerja keras, sangat teliti dan banyak ide.  Seingat saya, beliau yang menelorkan RKT (Rencana Kegiatan Tahunan) yang memuat apa saja yang akan dikejakan selama satu tahun, apa targetnya, kapan waktunya, berapa bianya dan siapa penanggungjawabnya.  Saat RKT pertama dibuat dan belum ada program excel (paling tidak kami belum tahu), sehingga saya sebagai Ketua TPP bersama Pak Budi Sampurno (Bendahara DPP) harus bekerja keras menghitung angaran setiap kegiatan agar pas.

Beberapa peristiwa lucu yang saya ingat saat bekerja dengan Pak Nur adalah terkait dengan makanan.  Beliau sangat perhatian dengan asupan makanan, mungkin karena harus kerja keras.  Untuk makan beliau tidak mau sembarangan, harus yang bergisi dan dari restoran.  Salah satu makanan yang saat itu favorit adalah TAMI yang hanya ada di restoran Anda.  Kejadian lain, beliau punya kulkas di kantornya untuk menyimpan buah. Nah, kami para staf tahu dimana  kunci kulkas disimpan. Suatu saat, pas beliau tugas keluar kota dan kami diberi tugas yang harus segera diselesaikan sehingga kerja sampai malam. Karena lapar, saya memberanikan diri mengambil apek dari kulkas dan saya bagi ke teman-teman, Saya bilang ke teman-teman, kan harus kerja keras sampai malam, jadi ya harus makan yang sehat dan cukup. Nah, setelah datang dari luar kota, konon Pak Nur minta Mbak Atik membeli apel. Mbak Atik berkomentar apakah apel di kulkas habis. Pak Nur berkomentar “paling diambil Pak Muchlas saat kerja lembur”.  Dapat cerita itu saya tentu tertawa, ternyata Pak Nur tahu yang berani mengambil buah dari kulkasnya hanya saya

Sabtu, 28 Oktober 2023

SISTEM NILAI KITA BERGESER?

Sekian tahun lalu ada kelakar. Konon ada seorang tokoh di negeri ini ulang tahun dan seluruh anak cucunya berkumpul. Satu persatu cucunya ditanya minta hadiah apa.  Tentu anak-anak senang, sehingga minta macam-macam.  Dasar beliau orang kaya, sehingga cucunya minta apapun tidak kawatir karena pasti dapat membelinya.  Tiba cucu yang sudah agak besar, ketika ditanya minta hadiah apa, tidak mau menjawab.  Diulangi lagi, minta apa tetap tidak mau menjawab. Setelah didesak menjawab “saya malu eyang”.  Yang menarik, si eyang menjawab “kalau malu saya tidak punya”.

Apa yang diceritakan di atas tentu bukanlah kejadian sesungguhnya. Namanya juga lelucon yang dibuat, didramatisasi oleh si pengarang. Namun mungkin saja itu sebuat satire yang sengaja dibuat oleh seseorang yang merasa mengintakan pembaca atau pendengar bahwa ada perilaku tokoh yang dianggap kurang baik.  Saya teringat lelucon itu karena rasanya akhir-akhir terjadi dalam kehidupan sesungguhnya saat ini.  Orang-orang yang pernah korupsi dan bahkan dipenjara tidak sungkan untuk tampil ke publik, menyampaikan pendapat di media televisi maupun media lainnya. Bahkan beberapa diantaranya menjadi pimpinan suatu organisasi yang katanya memperjuangkan nasib rakyat.  Ketika masih berada di dalam penjarapun, ada yang tidak sungkan tampil di media masa, sambil tertawa.

Ada versi yang lain.  Ada pimpinan yang ditangkap karena korupsi, pada hal beberapa hari sebelumnya yang bersangkutan mengadakan “apel integritas” yang diikuti oleh banyak karyawan bawahannya.  Konon pada apel tersebut yang berangkutan menekankan bahkan mengancam jika ada karyawan korupsi akan dipecat.  Orang menjadi bertanya-tanya ketika beberapa hari sesudah itu justru yang bersangkutan ditangkap KPK.  Pada hal penangkapan KPK selalu didahului dengan pengintaian cukup lama. Jadi saat yang bersangkutan memimpina apel integritas, petugas KPK yang sedang mengintai tersenyum.  Jika si pengintai itu orang Jawa, mungkin berguman “ora ndelok gitoke” yang artinya kurang lebih “tidak melihat kesalahan sendiri”.

Versi lain lagi. Ada tokoh yang menghujat tokoh lain yang konon menjadi “lawannya”. Ee, beberapa waktu kemudian yang bersangkutan membela tokoh yang dihujat itu mati-matian. Pada hal publik masih apa yang dahulu diucapkan atau bahkan ada rekaman yang dimuat oleh media masa.  Seakan-akan kejadian itu membenarkan ungkapan bahwa bagi orang tertentu, tidak ada kawan atau lawan abadi. Yang ada adalah kepentingan abadi.  Siapa yang yang berbeda atau menghalangi kepentingannya menjadi lawan dan siapa yang mendukung kepentingannya menjadi kawan.

 

Apakah sistem nilai kita sudah bergeser, sehingga korupsi dianggap bukan sesuatu yang salah dan mengambil sesuatu yang bukan haknya.  Apakah pendapat bahwa korupsi itu sama dengan mencuri dan yang dicuri adalah uang rakyat, sudah tidak belaku lagi?  Apakah pameo yang mengatakan bagi seorang tokoh yang dipegang itu omongannya, sudah tidak berlaku lagi ya?  Apakah satunya perkataan dan perbuatan haruslah menjadi pedoman dalam kehidupan, sudah tidak berlaku ya?  Apakah kata bijak bahwa seorang tokoh haruslan konsisten dengan apa yang dikatakan sudah tidak berlaku ya?

Jujur saya tidak tahu dan bahkan bingung.  Sebagai pendidik saya merasa kesulitan kalau harus menjelaskan fenomena itu. Untung tidak pernah anak siswa dan mahasiswa yang bertanya.  Biarlah para ahli psikologi, ahli filsafat, ulama, pendeta, pastur yang mencari jawabnya. Biarlah masyarakat yang menilainya.  Biarkan sejarah yang akan mencatat dan membuktikan “siapa dia”.

Mungkin ada yang berdalih, bukankah dahulu Bung Karno, Bung Hatta, bahkan Buya Hamka juga pernah dihukum. Bukankah Anwar Ibrahim yang sekarang menjadi Perdana Menteri Malaysia juga pernah dihukum. Saat ini juga ada tokoh yang dahulu pernah dihukum di jaman Orde Baru. Namun sepanjang pengetahuan saya, empat orang  yang disebutkan pertama dan beberapa tokoh muda tersebut dihukum bukan karena korupsi tetapi karena berbeda pandangan atau katakankah menentang pemerintahan atau penguasa saat itu.

Sebagai pendidik dan orang yang pernah meneliti dan menulis buku Pendidikan Karakter, saya ngeri melihat fenomena ini.  Mengapa?  Karena menurut apa yang say abaca “fenomena yang terjadi berulang-ulang dan dibiarkan lama-lama akan menjadi kebenaran”.  Saya takut kalau fenomena yang saya ceritakan di atas terus terjadi, maka pada akhirnya masyarakat akan menganggap hal seperti itu benar.  Jangan-jangan itu yang menyebabkan pendidikan karakter “gagal”, karena contoh yang terjadi di masyarakat tidak sama dengan diajarkan oleh guru di sekolah.

Senin, 02 Oktober 2023

SEKALI LAGI PENDIDIKAN KARAKTER

Minggu di grup WA yang saya ikut beredar video yang memuat seorang siswa SMP di Cilacap menganiaya temannya.  Saya merasa ngeri melihat kejadian itu.  Hari berikutnya kejadian itu banyak dimuat di berbagai media. Bahkan menurut siaran TV video tersebut menjadi topik pembahasan di media internasional. Konon yang menganiaya itu seorang pimpinan gang yang beranggotakan 30 orang. Siswa teman sekolah yang melihat penganiayaan itu tidak berani melerai karena takut.  Berita terebut belum reda, di TV muncul berita ada remaja Perempuan yang juga dianiaya oleh temannya di Sulawesi Selatan dan akhirnya menjadi utusan polisi.

Sebagai seorang pendidik dan juga pernah menulis buku tentang Pendidikan Karakter, saya bingung merenungkan kejadian tersebut.  Mengapa remaja itu tega menganiaya temannya dengan sangat brutal. Pada hal menurut berita, penganiayaan di SMP Cilacap itu hanya karena korban mengaku menjadi anggota kelompok, sementara yang di Sulawesi Selatan korban dekat dekat dengan pacar di pelaku.  Mungkin teman-teman yang mendalami psikologi sosial perlu melakukan kajian mengapa alasan yang menurut saya sepele itu dapat mendorong anak remaja melakukan penganiayaan yang sampai masuk ke ranah pidana.

Mengingat kedua pelakunya remaja dan bahkan yang di Cilacap melakukannya dengan pakaian seragam sekolah, muncul pertanyaan apakah pendidikan karakter yang selama ini dilaksanakan tidak berhasil ya?  Pentingnya pendidikan karakter telah disampaikan oleh Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara pada tahun 1930.  Pasal 3 Undang-undang Sisdiknas juga menyebutkan pentingnya karakter.  Dari 8 aspek yang ingin dicapai pendidikan, empat diantaranya merupakan karakter, yaitu beriman, berakhlak mulia, mandiri dan bertanggungjawab.  Sejak saya di SD seingat saya Budi Pekerti menjadi salah satu penilaian dalam rapor. Ketika Prof Mohammad Nuh menjadi Mendikbud secara khusus memiliki program Pendidikan Karakter yang saat itu saya sebut Revitalisasi Pendidikan Karakter, karena sudah ada sebelumnya walaupun kurang berhasil. Mendikbudristek Nadim Makarim juga menjadikan Karakter sebagai salah satu program utama, sehingga ada suvai karakter dalam Asesmen Nasional.  Bahkan perundungan menjadi salah satu butir dalam Akreditasi Sekolah/Madrasah/

Pertanyaannya mengapa masih ada siswa yang menganiaya temannya?  Apakah itu pertanda Pendidikan Karakter belum berhasil untuk tidak mengatakan gagal?  Dalam hal serius seperti ini sebaiknya kita jujur dan tidak mencari dalih apalagi menutupi.  Yang paling penting, jika kita masih yakin bahwa pendidikan karakter itu penting, mencari sebab mengapa itu gagal. Mungkin konsep berpikir “From Hindsight to Foresight” yang pernah diajukan oleh Fishhoff dapat digunakan untuk mencari jalan keluar. Fishhoff menyarankan agar menggerutu, menggunjing, menyesali suatu kejadian (hindsight) harus dihentikan dan sebagai gantinya kita harus melakukan analisis mencari sebab musabab mengapa itu terjadi (insght).  Jika sebab musabab itu ditemukan, kita mencari solusi agar kejadian itu tidak terulang kembali (foresight).

Ketika akan menulis buku Pendidikan Karakter, saya dengan beberapa teman melakukan studi cukup lama. Kami melakukan survai ke berbagai daerah, wawancara dengan berbagai kalangan dan mengamati beberapa sekolah/madrasah/pondok pesantren yang berhasil melaksanakan pendidikan karakter.  Kami menyimpulkan bahwa pendidikan karakter yang efektif dilakukan melalui proses pembudayaan yang disertai keteladanan.  Meminjam istilah Pak Dahlan Iskan, karakter tidak dapat diajarkan tetapi dapat ditularkan.  Jadi yang mengajar harus berkarakter lebih dahulu sebelum mengajarkan (menularkan) kepada siswa/santri atau kepada orang lain. Konon almarhum Kyai Hamid dari Pasurusan suatu saat memberi tausiah dan ditengah-tengahnya berhenti.  Ketika ditanyakan mengapa berhenti, beliau menjelaskan tausiah yang disampaikan belum beliau laksanakan, sehingga beliau merasa tidak berhak menyampaikan kepada jamaah.  Nanti setelah melaksanakan, tausiah akan disampikan. Artinya, seseorang tidak boleh menyuruh orang lain melakukan sesuatu kalau yang bersangkutan sendiri belum melaksanakan.

Mungkinkah kita orang-orang dewasa, orangtua, pada pendidik, para pimpinan negeri ini belum berperilaku seperti yang kita harapkan kepada anak-anak?  Mungkinkah perilaku anak-anak yang kita anggap kurang baik itu justru hasil meniru perilaku kita?  Mungkinkan anak-anak yang menganiaya temannya itu meniru perilaku kita?  Rasanya pertanyaan-pertanyaan itu perlu direnungkan sebagai refleksi diri sebagai orangtua, sebagai pendidik, dan juga mereka yang menyandang jabatan pemimpin di negeri ini.

Kamis, 28 September 2023

SERASA MENJADI TURIS KAYA

Sudah agak lama saya dengan isteri ingin berlibur melepaskan kejenuhan bekerja.  Kami berdua pernah diskusi bagaimana kalau berlibur ke Bali, menginap di hotel yang berlokasi di tepi pantai, sehingga dapat berjalan-jalan di pantai sambil menikmati sunset. Sayangnya sulit menemukan waktu yang cocok. Belum lagi mesti berhitung berapa budget yang harus dikeluarkan, agar dapat hotel yang nyaman.  Nah ketika LAMDIK punya program Penyamaan Persepsi sekaligus melakukan Asesemen Kecukupan pertama bagi asesor batch 4 dan dirancang dilaksanakan di Denpasar saya sangat sangat senang.  Apalagi jadwal mengajar isteri juga pas longgar sehingga bisa ikut.

 
Agar efisien, sebelum mengikuti acara Penyamaan Persepsi saya memutuskan untuk melakukan monev (monitoring dan evaluasi) pelaksanaan akreditasi di dua universitas di Denpasar, yaitu Universitas Mahasaraswati dan Universitas PGRI Mahadewa.  Kami melakukannya bertiga dan ditemani dua orang staf. Jadi kami berlima, yaitu Pak Aceng, Pak Muhdi, mbak Wati, Mas Rizal dan saya. Karena dalam satu hari harus melakukan monev di dua universitas, kami memutuskan harus dapat memulainya pukul 08.00, sehingga saya harus berangkat dari Surabaya pukul 06.00 dengan pesawat Super Air Jet. Alhamdulillah penerbangan dan perjalanan dari bandara Ngurah Rai ke Universitas Mahasaraswari juga lancar, sehingga kami hanya terlambat beberapa menit.

Monev berjalan lancar dan jujur saya kaget ketika semua dosen di kedua universitas tersebut menilai sistem IT, instrumen dan asesor LAMDIK sangat baik.  Dalam hati saya bertanya-tanya apakah mereka “takut” mendapat nilai jelek sehingga harus memuji LAMDIK. Tetapi ketika saya minta mereka memberikan alasan mengapa menilai baik, mereka memberikan contoh yang masuk akal.  Misalnya mengapa mereka menilai sistem IT LAMDIK baik karena mudah mengisikan data. Mereka juga mudah mendapatkan jawaban ketika ada masalah.  Mengapa menganggap instrument LAMDIK baik, karena mudah difahami dan cocok dengan prodi kependidikan. Bahkan mereka menitip pesan, agar instrument tidak dirubah walaupun ada Permendikbudristek nomer 53 Tahun 2023.  Mengapa menganggap asesor LAMDIK baik, karena “tidak galak” dan bahkan banyak memberikan bimbingan, misalnya dalam melaksanakan microteaching dan mengembangkan kurikulum.  Asesor juga melaksanakan Asesmen Lapangan (AL) sesuai dengan jadwal. Yang juga sangat menarik, di Universitas Mahasaraswati ada program studi yang sudah selesai AL tetapi belum masuk ke Majelis Akreditasi sehingga belum diumumkan hasilnya.  Saya tanyakan kepada Ketua Prodi berapa perkiraan skor yang diperoleh.  Ternyata tidak jauh berbeda dengan skor yang diberikan oleh asesor saat AL.  Artinya pemahaman asesor dengan dosen tidak jauh berbeda.

Apakah semuanya acara monev berjalan mulus?  Tidak.  Pertama, kami tidak sempat sarapan (makan pagi) saat di bandara Ngurah RAi karena mengejar waktu. Untuk “mengganjal” perut terpaksa segera makan kue yang disuguhkan saat monev di Universitas Mahasaraswati.  Untungnya kami bertiga, sehingga dapat bergantian ketika melakukan diskusi dengan pada dosen.  Kedua, kami salah memperhitungkan waktu sholat Jum’at. Berdasarkan informasi di Google, kami memperkirakan perjalanan dari Universitas PGRI Mahadewa ke masjid sekitar 15 menit. Oleh karena itu monev di universitas itu diatur selesai pukul 12.00.  Ternyata jaraknya jauh dan lalu lintas padat.  Akhirnya kami memutuskan musafir saja dan tidak ikut sholat Jum’at.

Jum’at sore dan Sabtu pagi LAMDIK belum punya kegiatan, karena Penyamaan Persepsi baru dimulai Sabtu jam 14.00.  Oleh karena saya dan isteru memanfaatkan waktu Jum’at sore dan Sabtu pagi untuk berjalan menyusuri pantai Kuta. Kebetulan kami menginap di hotel Inna Kuta yang lokasinya mepet pantai. Jadi saya dengan isteri menggunakan waktu pagi dan sore hari untuk berjalan menyusuri pantai Kuta, sambil menikmati sunset. Saya juga memanfaatkan kesempatan untuk belajar menjadi fotografer mengambil gambat sunset.  Yang mengagetnya, ternyata ada teman yang mengambil foto dan bahkan video saat kami berdua saat berjalan di pantai.  File dikirim via WA dengan ungkapan “pantas dicontoh”.  Mungkin maksudnya, sudah tua tapi rukun berjalan bersama di pantai.

Kegiatan Penyamaan Persepsi dimulai pukul 08.00 pagi dan pukul 17.00 sudah istirahat. Akhirnya Sabtu sore, Minggu pagi dan Minggu sore juga saya manfaatkan untuk jalan-jalan di pantai.  Sungguh menyenangkan.  Saya merasa seperti turis yang kaya, sehingga dapat menginap di hotel cukup baik, berlokasi tepat di tepi pantai Kuta dan tidak perlu memikirkan biayanya. Apalagi saya dan isteri mendapat kamar nomer 2338 yang jendelanya menghadap pantai dan konon kamar yang termasuk mahal sewanya. Dalam hati saya bersyukur dan terima kasih kepada teman-teman di LAMDIK yang mengatur acara di Denpasar.

Ketika lima kali jalan-jalan di pantai Kuta dan saat sore saya melihat ribuan orang melakukan hal yang sama, saya berpikir layak kalau saat Pandemi Covid 19 masyarakat Bali seakan merasa “kiamat”.  Bayangkan, seandainya jumlah orang yang jalan-jalan dan santai di pantai Kuta itu 2.000 orang dan setiap orang mengeluarkan biaya 200 ribu untuk makan dan minum setiap hari, berarti di sekitar Kuta terbelanjakan uang 400 juta rupiah. Jumlah uang yang sangat besar, sehingga jika itu hilang akan sangat berdampak terhadap kehidupan masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari pariwisata tersebut.

Rasa gembira bertambah saat menyaksikan kegiatan Penyamaan Persepsi berjalan lancar dan mendapat laporan dari Prof. Ekohariadi sebagai Ketua Divisi Akreditasi bahwa hampir semua prodi yang di AK sudah dapat diselesaikan.  Para asesor batch 4 yang baru pertama kali melaksanakan AK menyatakan senang dan merasa dapat belajar banyak dari asesor yang lebih “senior” yang sudah beberapa kali melaksanakan akreditasi. Semoga tahap selanjutnya, yaitu AL bagi prodi tersebut juga berjalan lancar.

Minggu, 10 September 2023

ETIKA PENELITIAN

Selasa tangal 29 Agustus 2023 saya diundang oleh Universitas Ciputra Surabaya (UC) untuk menyampaikan pengalaman tentang etika penelitian.  Saya agak kaget menerima permintaan tersebut, karena: (1) Saya sudah pensiun sebagai dosen PNS sehingga intensitas saya dalam penelitian sudah jauh menurun. Bukan karena tidak kepengin meneliti, tetapi fasilitas untuk itu sudah sangat terbatas. Memang saya masih menjadi dosen dengan NIDK, tetapi hak dan kuwajibannya hanya untuk bidang pendidikan, katakankah memberi kuliah dan membimbing penyusuan skripsi/tesis/disertasi. (2) Dengan usian di atas 70 tahun tentu saya harus menghemat enersi, sehingga menghindari penelitian lapangan yang harus mengumpulkan data sendiri.

Etika penelitain sebenarnya sudah banyak dibahas oleh berbagai buku.  Gambar di sebelah saya ambil dari suatu situs tertentu, dan itu saya pilih karena paling sederhana dan mudah difahami. Pertama, jujur (honesty), artinya peneliti tidak boleh bohong dan tidak boleh menyembunyikan sesuatu data/ informasi yang seharus dibuka kepada publik. Tentu dengan memperhatikan nilai/norma yang berlaku. Kedua obyektif, artinya dalam memberikan penilaian harus apa adanya dan tidak dipengaruhi oleh subyektivitas.  Obyektif dalam penelitian kuantitatif dipadankan dengan valid atau sahih dan dalam penelitian kualitatif dipadankan dengan keabsahan data. Ketiga akurat, artinya dalam pengukurannya harus akurat.  Ibarat menimbang emas jangan menggunakan timbangan beras karena kurang akurat, demikian pula jika mengukur persetujuan orang terhadap suatu gagasan jangan hanya ditanya setuju atau tidak, karena ada yang sangat setuju atau sekedar setuju dan juga da yang tidak setuju atau bahkan ada yang sangat tidak setuju. Ke-empat efisien, artinya penelitan harus fokus pada apa masalah yang ingin ditemukan dan tidak melebar kemana-mana.  Dalam bahasa lain, penelitian tidak perlu terlalu luas tetapi harus mendalam dan itu artinya fokus pada apa yang ingin ditemukan.

Apakah pelanggaran etika yang sering terjadi dalam penelitian?  Menurut pengalaman saya membimbing mahasiswa, ada tiga jenis yaitu plagitasi, falsifikasi dan fabrikasi.  Tentang plagiasi semua orang faham yang artinya menyontek tulisan orang lain. Yang seringkali lebih mengganggu mengutip dari kutipan tetapi tidak menyebutkan yang dikutip.  Pernah saya mencurigai mahasiswa yang mengutip artikel di suatu jurnal, tetapi ketika saya tanya isi jurnal secara utuh tidak dapat menjawab. Ternyata yang bersangkutan mengutip dari tulisan orang yang mengutip jurnal tersebut.  Tetapi dia “mengaku” mengutip langsung ke jurnalnya.

Falsifikasi yang sering terjadi adalah mengubah data dan itu sering ketika datanya tidak normal kemudian diubah agar normal sehingga memenuhi syarat untuk dianalisis dengan metoda tertentu.  Atau kadang-kadang ketika hipotesis yang diajukan tidak terbukti, kemudian datanya diubah agar menjadi terbukti. Kejadian tersebut terjadi karena si peneliti tidak tahu kalau ada metoda analisis lain yang tidak mensyaratkan datannya normal.  Yang bersangkutan juga tidak faham bahwa hipotesis tidak harus terbukti di lapangan. Yang penting harus dapat menjelaskan beberapa kemungkinan mengapa tidak terbukti. Bahkan hipotesis yang tidak terbukti membuka peluang untuk menyempurnakan teori yang digunakan untuk membangun hipotesis tersebut.

Apa yang disebut fabrikasi?  Mengarang data, pada hal yang bersangkutan tidak melakukan pengumpulan data. Biasanya kejadian seperti itu ketika si peneliti pernah melihat penelitian sejenis dan tahu bentuk dan skala datanya seperti apa.  Berdasarkan itu kemudian yang bersangkutan mengarang data penelitiannya.  Bagi penguji atau penelitian yang berpengalaman data hasil fabrikasi mudah terlihat karena biasanya ada yang janggal.

Terhadap yang saya paparkan praktis tidak ada yang mempertanyakan. Namun pada saat diskusi ternyata justru muncul pertanyaan yang menarik.  Ada yang menyampaikan pernah mendapat tawaran dari suatu perusahaan yang dapat membantu dalam pemilihan sampel dan pengumpulan data.  Perusahaan tersebut menyatakan mempunyai ribuan data orang dengan tingkat pendidikan, pekerjaaan dan sebagainya. Dengan begitu sangat mundah mencari subyek penelitian atau informan yang cocok.  Terhadap infomasi itu kemudian berkembang diskusi, dari mana perusahaan tersebut mendapat data. Bukankah data pribadi seperti itu bersifat rahasia. Jangan-jangan data tersebut merupakan data tidak legal, artinya diperoleh dengan cara tidak sah.

Seorang dosen UC yang lain justru bercerita ketika bekerjasama dengan peneliti senior di negara maju pernah ditanya ethical clearance, ketika mengumpulkan data penelitiannya.  Artinya apakah dalam mengumpulkan data mememuhi standar etika yang berlaku.  Dengan kata lain, etika dalam pengumpulan data juga harus mendapat perhatian.  Mendengar penjelasan itu, saya jadi teringat ketika menguji disertasi S3 tentang proses pembelajaran di Akademi Kemiliteran.  Promovendus meminta taruna mengisi kuesioner untuk “menilai” proses belajar-mengajar oleh dosen dan setiap taruna menyebutkan nama dalam kuesioner tersebut.  Secara berkelakar saya menyebutkan pasti tidak ada taruna yang menilai proses belajar-mengajar dosennya tidak baik. Taruna pasti takut mengatakan yang sebenarnya karena dapat diketahui oleh dosen dan itu akan sangat beresiko bagi yang bersangkutan.

Pertanyaan lain yang muncul bagaimana etika bagi dosen pembimbing/promotor yang ingin namanya masuk di artikel yang ditulis bimhingannya.  Sebenarnya itu sudah merupakan kelaziman di dunia internasional. Namun, dosen pembimbing sebagai co-writer dan bukan first writer.  Bagaimana kalau seorang dosen yang membimbing beberapa mahasiswa kemudian ingin memanfaatkan datanya untuk dianalisis dengan cara lain yang berbeda dengan yang dikerjakan oleh mahasiswa.  Menurut saya itu boleh, selama disebutkan dari mana data yang digunakakan.  Saya beberapa kali menggunakan data hasil akreditasi BAN SM dan juga LAMDIK untuk saya analiais dan menjadi artikel d jurnal. Tentu harus seijin yang “memiliki” data, sebagai sebuah ethical clearance.

Menjelang usai muncul pertanyaan, bagaimana kalau ada dosen senior yang meminta yuniornya memasukkan namanya dalam suatu artikel yang sedang ditulis. Dengan berkelakar saya mengatakan “kalau tida ikut bekerja apakah layak mendapat upah”.  Maksudnya kalau senior tersebut tidak ikut terlibat dalam penelitian, apa yang pantas namanya dicantumkan.  Respons saya ditanggapi oleh peserta lain bahwa hal seperti itu terjadi dan yang Yunior tidak berani menolak.  Semoga itu hanya merupakan kasus dan tidak banyak terjadi di negeri ini.

Kamis, 27 Juli 2023

VIETNAM MENJADI PERHATIAN DUNIA

Akhir-akhir ini Vietnam menjadi perbincangan masyarakat internasional.  Banyak barang yang aslinya produk Jepang, Korea Selatan dan beberapa negara maju lainnya, kini dengan merk yang sama tetapi dibuat atau dirakit di Vietnam. Dalam dunia olahraga, Vietnam juga sudah diperhitungkan, paling tidak di tingat Asean. Beberapa orang Vietnam juga sudah mulai menjadi tenaga profesional di lembaga internasional, walaupun belum menduduki jabatan strategis.  Pada hal kita tahu, dibanding negara-negara di Asean lainnya (kecuali Myanmar), Vietnam termasuk paling belakang memulai pembangunan, setelah dilanda peperangan.  Seorang kawan mengatakan, Vietnam itu seperti raksasa yang baru bangun tidur terus menggeliat mengagetkan orang di sekitarnya.

Dalam bidang pendidikan, hasil harmonized test score siswa Vietnam juga mengagetkan bahwa ahli.  Gambar berikut menunjukkan harmonized test score siswa Vietnam melampaui negara-negara di Asean, keculai Singapore yang memang terkenal memiliki pendidikan dengan mutu sangat baik.  Hasil tersebut juga melampaui  China, Turkey, Argentina, India dan Afrika Selatan.  Pada hal dari sisi ekonomi yang diindikatori dengan GDP per kapita Vietnam lebih miskin dari negara-negara tersebut.  Jika mutu SDM merupakan salah satu faktor kemajuan bangsa dan pendidikan merupakan salah satu pilar utama peningkatan mutu pendidikan, maka apa yang terjadi di Vietnam menarik untuk dikaji. Majalah The Economist 29 Juli 2023 secara khusus membahas masalah tersebut.


Dari berbagai bacaan dan pengamatan ketika berkunjung ke Vietnam, berikut ini yang saya duga menjadi faktor utama mengapa mutu pendidikan di Vietnam sangat baik.

 

1.   Rasa Percaya Diri Orang Vietnam Sangat Tinggi

Kalau kita bertemu dan berdiskusi dengan teman dari Vietnam, kita akan merasakan bertapa orang Vietnam sangat percaya diri.  Mereka mengakui bahwa negaranya miskin tetapi yakin akan pada saatnya akan menjadi negara besar.  Mereka sering membanggakan bahwa hanya bangsa Vietnam mampu mengalahkan negara besar, yaitu Amerikan Serikat.  Dan ternyata itu memang secara sistematis ditumbuhkan di sekolah.  Cerita dalam Perang, bahwa tentara bersama-sama rakyat Vietnam mampu mengusir Amerika Serikat telah menjadi pengetahuan anak-anak kecil. Guru setingkat SD sepertinya secara sistematis menanamkan pengetahuan tersebut, sehingga menumbuhkan rasa percara diri pada siswanya. Kalau meminjam istilah yang digunakan oleh Carrol Dweck, pendidikan di Vietnam sejak di tingkat bawah sudah menumbuhkan growth mindset, yang sangat penting dalam mengembangkan diri selanjutnya.

 

2.  Walaupun Masih Miskin, tetapi Kesadaran akan Pentingnya Pendidikan Sangat Bagus Di Masyarakat Vietnam. 

Walaupun miskin orang Vietnam ingin anaknya mendapatkan pendidikan yang bermutu.  Oleh karena itu akan berusaha dengan segala cara agar anaknya dapat masuk ke sekolah yang diyakini bermutu bagus. Mungkin itu diilhami oleh ungkapan Ho Chi Minh, founding father Vietnam yang mengatakan “For the sake of ten years’ benefit, we must plant trees. For the sake of a hundred years’ benefit, we must cultivate the people”.  Sebenarnya ungkapan tersebut bukan asli dari Ho Chi Minh, karena sama dengan ungkapa di China.  Namun karena siswi masyarakat di Vietnam sangat paternalistik, mereka meyakini itu pesan dari Sang Pendiri Negaranya.

 

Kesadaran masyarakat tersebut akhir-akhir ini dikapitalisasi oleh kebijakan pemerintah, dengan mengatakan bahwa orangtua harus bergandeng tangan dengan sekolah dalam menangani pendidikan.  Orang tua harus dengan sungguh-sungguh memantau dan bahkan mendampingi anaknya belajar.  Mungkin juga ini diilhami oleh pengalaman Shanghai yang juga melibatkan secara aktif orang tua dalam proses pendidikan dan terbukti mampu meningkatkan mutu pendidikan.

 

3.     Pembelajaran di Sekolah Sangat Efektif.

Ketika berkunjung ke sekolah-sekolah di Vietman kita akan menyaksikan betapa efektifya proses pembelajaran di kelas.  Tampak sekali guru sangat sungguh-sungguh dalam bekerja membimbing muridnya.  Improvisasi guru di kelas juga sangat mengesankan. Mereka berani keluar dari pakem mengajar agar siswanya menikmati situasi pembelajaran.  Tampaknya manajemen sekolah juga memberi keleluasaan kepada guru untuk berimprovisasi dalam mengajar. dan

Apakah pendidikan gurunya sangat  tinggi?  Ternyata tidak. Bahkan banyak guru yang latar belakang pendidikannya belum sarjana.  Pelatihan yang dilakukan secara rutin, pengelolaan guru yang dilaksanakan secara baik dan kesungguhkan bekerja sebagai bagian dari pemerintah, tampaknya membuat kinerja guru sangat baik.

 

4.     Manajemen Pendidikan Terpusat dan Efektif. 

Manajemen pendidikan di Vietnam terpusat dan sangat ketat kontrolnya.  Penggunaan anggaran di Vietnam dikontrol dengan ketat.  Waktu ngobrol dengan beberapa kepala sekolah, saya mendapatkan kesan anggaran sekolah benar-benar diarahkan ke proses pembelajaran, bukan sarana fisik.  Oleh karena itu jika dilihat tampilan luarnya, gedung sekolah dan bahkan kampus perguruan tinggi di Vietnam termasuk sangat sederhana.  Namun peralatan yang digunakan oleh guru dalam mengajar cukup baik.