Sabtu, 21 Agustus 2021

BERHUTANG BUDI KEPADA BUDI DARMA

 

Pagi tadi saya kaget ketika dapat kabar Prof Budi Darma wafat.  Saya tahu, bahkan sedikit ikut mengurus ketika almarhum masuk rumah sakit sekitar 2 minggu lalu. Beliau terkena covid bersama ibu Budi Darma dan seorang putranya.  Putranya, Mas Hananto sudah sembuh dan pulang untuk perawatan di rumah.  Beberapa hari kemudian Ibu Budi Darma juga sudah dibolehkan pulang. Tinggal almarhum Prof Budi Darma. Kemarin saya gembira, karena info dari rumah sakit kondisi beliau sangat baik. Tinggal batuk yang belum sembuh.  Namun tadi pagi dapat kabar, kondisinya menurun. Kesadarannya menurun dan tekanan darahnya juga menurun. Sudah dilaporkan ke dokter dan sudah mendapatkan terapi. Yang membuat khawatir, penyampaikan data itu disertai permintaan kepada keluarga di rumah untuk mendo’akan agar segera sembuh. Tiba-tiba sekitar jam 8-an ada kabar beliau wafat. Kok cepat sekali.

Walaupun sesama pengajar di Unesa, saya tidak mendapat kesempatan berinteraksi intens dengan almarhum. Bidangnya yang sangat berbeda dan usianya juga terpaut lumayan. Saat saya menjadi dosen muda, beliau sudah menjadi rektor.  Nah, saat saya akan studi S2 dan ada “halangan”, itulah pertama kali saya mengenal beliau. Saya harus menandatangani surat pernyataan setia kepada Pancasila, UUD 1945 dan Pemerintah Republik Indonesia, di depan beliau. Maklum mantan demonstran yang sempat dibui. Tanpa jaminan itu mungkin saya tidak diijinkan sekolah lagi.  Saya merasa berhutang budi, karena almarhum mencarikan pintu agar saya dapat sekolah.  Tanpa itu mungkin perjalan karier saya akan berbeda.

 

Walaupun tidak sering, kalau pas bertemu saya sering ngobrol dengan beliau. Kesan saya, almarhum sangat santun. Lebih sering menggunakan bahasa Jawa kromo, daripada bahasa Indonesia. Walaupun “sastrawan besar” penampilan sehari-hari rapi. Orang Jawa menyebutnya klimis. Rambutnya dipotong pendek dan disisir rapi. Ketika para PNS diwajibkan memakai baju safar abu-abu, beliau juga memakainya. Pokoknya kalau tidak mengenal, tidak mengira beliau itu sastrawan.  Saya tidak tahu dan belum pernah mendapatkan penjelasan mengapa begitu. Ketika baru pindah ke perumahan dosen di Kampus Ketintang dan saat itu belum ada aliran PDAM ke perumahan, menurut cerita beliau sering mengambil air ke Gema sendirian dengan membawa ember. Kesederhanaan hidup memang tampak dalam diri almarhum.

Bagaimana tentang karya-karyanya?  Baik novel maupun cerpen?  Jujur otak saya terlalu tumpul untuk menangkap pesan dibalik novel maupun cerpennya.  Saya tidak faham, sehingga tidak berani memberi komentar. Apakah saya pernah membaca?  Pernah.  Novel atau mungkin kumpulan cerpen berjudul Orang-orang Blomington, Olenka dan Nyonya Tarlis, pernah saya baca.  Ya, karena tidak mampu menangkap pesan di dalamnya, sehingga serasa membaca cerita Api DI Bukit Menoreh karta SH Mintardja, saja.

Sastrawan besar itu telah pergi menghadap Sang Pencipta. Pasti banyak yang merasa kehilangan.  Mahasiswa bimbingannya tentu bingung bagaimana nasib disertasi dan tesisnya. Teman-teman sesama sastrawan dan budayawan kehilangan kawan untuk berdiskusi. Unesa kehilangan icon besarnya.  Namun demikian itulah siklus kehidupan, lahir, kanak-kanak, remaja, dewasa, tua dan akhirnya akan kembali ke Yang Menciptakan.

Selamat jalan Prof Budi Darma, semoga Allah swt memberi tempat terbaik bagi panjenengan.

Jumat, 06 Agustus 2021

MENGAPA SEMAKIN TINGGI PENDIDIKAN SEMAKIN KURANG BERANI KERJA MANDIRI?

 

Minggu malam lalu saya ikut FGD dengan teman-teman ISPI. Topik yang dibahas, meminjam istilah Prof Waras, adalah me-reka pendidikan masa depan.  Mencoba mengkonstrukti pendidikan yang yang cocok dengan era disrupsi yang diprediksi akan terus terjadi, bahkan semakin cepat.  Salah satu yang presentasi adalah Prof Ace Suryandi dari UPI.  Data di bawah ini adalah data yang dipaparkan.

Saya mencoba mencermati data tersebut dan timbul pertanyaan: (a) mengapa semakin tinggi pendidikan semakin sedikit yang bekerja secara mandiri dan berusaha dengan dibantu pekerja keluarga? (kolom 3 dan 4) (b) mengapa semakin tinggi pendidikan semakin besar proporsi yang menjadi pekerja? (kolom 6), (c) mengapa proporsi lulusan SMK yang bekerja mandiri dan berusaha dibantu oleh pekerja keluarga atau pekerja tetap lebih sedikir dibanding lulusan SMA? (3,4,5).

 Jika semakin tinggi pendidikan justru semakin sedikit yang bekerja secara mandiri termasuk yang dibantu oleh keluarga dan sebaliknya justru semakin banyak yang menjadi pekerja (bekerja ikut orang lain), berarti penumbuhan kemandirian yang kita lakukan dalam pendidikan tidak berhasil.  Apakah ini yang menyebabkan jumlah entrepreneur kita sangat sedikit, hanya sekitar 3%, lebih sedikit dibanding negara lain. Sementara di Singapore mencapai 7% dan Malaysia mecapai 5%.

Mungkinkah ini sebagai akibat dari pendidikan di jaman penjajahan Belanda karena konon saat itu pendidikan untuk menyiapkan anak-anak menjadi karyawan, baik untuk pemerintah jajahan maupun perusahaan.  Atau ini akibat dari pendidikan di era industri yang sering disebut diarahkan untuk menghasilkan orang-orang untuk mendukung industri manifaktur yang kala itu menjadi primadona. 

Bukankah Undang-undang Sisdiknas menyebutkan bahwa pendidikan bertujuan untuk menghasilkan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Kreatif dan mandiri dua sifat yang belum berhasil kita tumbuhkan dalam pendidikan kita. Bukankah Ki Hajar Dewantara mengatakan bahwa salah satu inti pendidikan adalah memberdekaan peserta didik, baik lahir maupun batin.  Artinya anak mampu mandiri dan tidak tergatung kepada orang lain.

Nah, kalau filosofi dan Undang-undang mengamanatkan agar pendidikan menghasilkan orang yang mandiri, sementara faktanya seperti tampak pada tabel di atas, apakah berarti pendidika kita kurang berhasil? Jika demikian, apa sebanya?  Dan bagaimana memperbaikinya?  Mungkin sudah saatnya dikaji secara mendalam untuk mencari penjelasannya.

Fenomena kedua yang menurut saya perlu mendapat perhatian pada data tersebut adalah kenyataan bahwa lulusan SMK yang bekerja secara mandiri dan bekerja dengan dibantu keluarga atau orang lain lebih kecil dibanding temannya lulusan SMA.  Data lain konon menyebutkan jumlah pengangguran lulusan SMK lebih banyak dibanding lulusan SMA.  Lantas apa yang dapat dijelaskan dari data data tersebut?

SMK dirancang untuk menghasilkan lulusan dapat segera memasuki dunia kerja.  Kebekerjaan merupakan sasaran pendirian SMK.  Artinya lulusannya segera bekerja, baik bekerja ikut orang atau bekerja mandiri.  Nah, kalau ternyata datanya seperti itu bagaimana menjelaskan?

Ada kawan yang mengatakan, perusahaan lebih senang memilih lulusan SMA dibanding lulusan SMK, karena lebih mudah diajari.  Apakah lulusan SMA umumnya lebih cerdas, karena beberapa penelitian menunjukkan lulusan SMP yang pandai umumnya masuk ke SMA?

Namun mengapa yang bekerja mandiri juga banyak lulusan SMA?  Bukankah di SMK ada pendidikan kewirausahaan yang secara khusus dimasuksudkan untuk mendorong lulusannya untuk bekerja secara mandiri?  Apakah program ini juga kurang berhasil?  Jika demikian apa sebabnya?  Tampaknya masih banyak hal yang harus dipikirkan, dianalisis untuk menemukan solusinya. Semoga.