Rabu, 25 Desember 2013

SEPEREMPAT PENDUDUK BUMI BERBAHASA MANDARIN

Untuk kedua kalinya, 7-8 Desember 2013 saya mengikuti Confucius Institute Conference di Beijing.   Sebenarnya agak enggan berangkat, karena banyak kegiatan di kampus.  Namun Pak Ali Mustofa, Direktur Pusat Bahasa Mandarin, mendesak saya perlu hadir karena harus menyampaikan country report mewakili Indonesia.  Untung acaranya hari Sabtu dan Minggu, sehingga tidak terlalu lama meninggalkan kantor.

Menjelang pembukaan saya menyadari bertapa banyaknya peserta konferensi.  Saya tidak tahu jumlah pastinya, tetapi dari daftar pada buku panduan pesertanya 1.720 orang. Dari Asia 172 orang, Eropa 244 orang, Amerika 288 orang, Afrika 60 orang, Oceania 40 orang, diplomat China di negara lain 64 orang dan lainnya dari China sendiri.  Dilihat asal negara, dari Asia hadir wakil dari 33 negara, dari Eropa 35 negara, dari Amerika 16 negara, dari Afrika 27 negara, dari Oceania 3 negara.  Jadi total jenderal 115 negara terwakili dalam konferensi tersebut.  Bukan main.  Saya belum pernah tahu ada konferensi akademik yang dihadiri sekian banyak negara dam sekian banyak peserta.

Sambil berjalan menuju ruangan saya berbincang dengan Pak Ashahari dari Universitas Malaya.  Kami mendiskusikan berapa jumlah penduduk bumi yang berbahasa Mandari.  Kalau yang berada di daratan China saja 1,3 milyar.  Ditambah warga China atau keturuan China di seluruh dunia, ditambah lagi non-China yang mampu berbahasa Mandarin.  Konon mendekati angka 2 milyar.

Nah, kalau penduduk bumi sekitar 7,4 milyar berarti seperempat penduduk bumi ternyata berbahasa Mandarin.  Bukan main.  Saya yakin melebihi orang yang berbahasa Inggris.  Dan kalau pengembangan Confuciun Institute berkembang baik, yang berarti semakin banyak orang mampu berbahasa Madarin, jumlah tersebut dipastikan akan terus naik.

Apa artinya itu semua?  Pengaruh China akan sangat kuat.  Bahasa adalah bagian dari budaya.  Bahasa dan budaya adalah “pintu” untuk memahami orang atau bangsa lain.  Orang yang berbahasa Mandarin pasti terpengaruh budaya China.  Walaupun mereka bukan asli China.  Jika saat ini banyak orang meyakini China akan menjadi kekuatan ekonomi terbesar di dunia, gambaran di atas menambah simpulan bahwa China akan merupakan kekuatan budaya terbesar di dunia.

Saya juga membayangkan berapa biaya yang dikeluarkan oleh China untuk menyelenggarakan acara tersebut.  Pada hal itu acara rutin setiap tahun.  Ditambah lagi juga ada acara serupa untuk setiap regional, misalnya Asia yang juga diadakan setiap tahun.  Ditambah lagi China membantu membiayai setiap Confucius Institut (CI) di semua negara. 

Saya tidak tahu pasti berapa jumlah CI di seluruh dunia.   Peserta dari luar China 804 orang.  Jika diasusmikan setiap universitas/CI diwakili 2-3 orang , jumlah CI kira-kira 350 buah.  Jika setiap CI dapat bantuan 1,5 milyar setiap tahun, berarti China mengeluarkan bantuan sekitar 500 milyar rupiah setiap tahun.  Ditambah biaya untuk konferensi internasional dan regional, sangat mungkin mencapai 3 trilyun setiap tahun.

Apa tujuan itu semua?  Tentu hanya pada pemimpin China yang faham.  Namun pasti ada tujuan yang menguntungkan China.  Mungkinkah itu sebagai bentuk soft diplomacy?   Bukankah negara besar seperti Amerika juga melakukan soft diplomacy dengan memberi beasiswa anak-anak briliyan dari berbagai negara?  Mengundang dan memberi pelatihan kepada tokoh muda dan pejabatan dari berbagai negara?

Jika dugaan itu betul, tampaknya China sedang menyiapkan diri sebagai pengambil tongkat estafet super power.  Jika jumlah penduduk China begitu besar, ekonomi China begitu kuat, cadangan devisa begitu besar dan kini melalui CI sedang menggalang simpati dunia, bukan tidak mungkin era “super power China” akan segera datang.  Apalagi ekonomi Uni Eropa sedang berantakan.  Amerika juga sedang dilanda masalah.

Lantas apa yang dapat dipelajari?  Bukankah Indonesia juga memiliki penduduk yang cukup besar, dan nomor empat di dunia, setelah China, India dan Amerika Serikat?  Bukankah ramalan McKinsey Global Institute ekonomi Indonesia akan menduduki peringkat ke 7 di dunia pada tahun 2030?   Saya tidak berpretensi sebagai ahli dan memang tidak tahu jawabannya.  Namun ada baiknya para ahli dan kita semua memikirkan itu.  Kita tidak boleh tenggelam dalam rutinitas.  Kata orang, masa depan tergantung apa yang kita pikirkan dan kita lakukan saat ini.  Semoga.

Rabu, 04 Desember 2013

MENULIS ITU MENATA NALAR

Beberapa hari yang lalu, sambil menyopir saya mendengarkan radio Suara Surabaya.  Waktu itu ada ungkapan “menulis itu dapat menjadi media pengungkapan pikiran  yang mungkin tidak mudah diungkapan melalui lesan”.    Saya setuju dengan ungkapan itu, karena saya juga sering melakukan.  Biasanya saya masukkan di blog.  Hal-hal yang kita sungkan menyampaikan secara lesan dapat dengan nyaman kita tuangkan dalam tulisan.  Tentu tetap menunjung tinggi etika penulisan.

Saya juga ingin menambahkan pemikiran yang ditulis memiliki jangkauan yang jauh lebih luas dibanding yang disampaikan secara lesan.  Mengapa?  Karena tulisan dapat dibaca banyak orang.  Di era cyber, sekali tulisan masuk ke dunia maya, pembacanya menjadi tak terbatas.  Apalagi sekarang beberapa mesin pencari (searching engine), seperti Google menyediakan fasilitas terjemahan, sehingga naskah yang ditulis dalam bahasa Indonesia dapat dengan mudah diperoleh terjemahannya dalam bahasa Inggris atau bahasa lain.

Oleh karena itu saya mendukung gagasan untuk mengembangkan budaya literasi.  Harus jujur diakui bahwa membaca dan menulis belum menjadi kebiasaan keseharian orang Indonesia.  Konon budaya kita adalah budaya tutur.  Pada saat naik kereta, menunggu kereta, dan menunggu antrean, biasanya kita ngobrol dengan sebelah.  Bahkan banyak orang yang memberi ceramah, tetapi tanpa menggunakan naskah.  Sudah saatnya budaya tutur dilengkapi dengan budaya baca dan tulis.  Dan pendidikan literasi merupakan wahana cocok untuk mengembangkannya.

Budaya tulis dan baca tampaknya juga memegang peran dalam penyebaran gagasan.  Mengapa pemikiran orang Barat banyak mempengaruhi kita, salah satunya karena pemikiran mereka ditulis.  Sementara pemikiran kita banyak yang tersimpan menjadi cerita lesanyang ditularkan secara turun temurun.  Sebagai contoh, taksonomi Bloom yang banyak dikutip oleh ahli pendidikan di Indonesia ditulis pada tahun 1956.  Konsep itu sama tepat dengan yang diungkapkan Ki Hajar Dewantara pada Konggres Taman Siswa Pertama  pada tahun 1930.  Jadi 26 tahun lebih dahulu dibanding tulisan Bloom.   Jangan-jangan Bloom “meniru” Ki Hajar Dewantara.  Atau mungkin karena, pemikiran Ki Hajar tidak ditulis dan disebarluaskan, seakan-akan konsep Bloom lebih diketahui oleh pendidik di Indonesia.

Sekian tahun lalu saya mendapat tugas untuk membaca naskah beberapa teman dosen di Unesa.   Karena sifatnya rahasia, maka halaman yang berisi nama penulis dihilangkan.   Saya berkelakar, walaupun tanpa nama saya dapat mengenali tulisan siapa yang saya baca.  Beberapa teman juga menyampaikan hal serupa.  Artinya, kita dapat mengenali tulisan seseorang yang sering kit abaca tulisannya. 

Saya ingat betul, ada senior di Unesa yang tulisannya sangat runtut.  Kalimatnya pendek-pendek dan sangat cermat menggunakan titik-koma.  Ada senior lain yang kalau membuat naskah, kalimatnya panjang-panjang.  Kadang-kadang satu kalimat terdiri dari 10 baris ketikan.  Ada teman yang tulisannya sangat mudah dimengerti.  Ada juga teman yang tulisannya sangat sulit difahami.  Tampaknya setiap orang memiliki pola tulisan yang khas.

Ada pendapat yang mengatakan bahwa tulisan menggambarkan pola pikir penulisnya.   Pengalaman saya membimbing mahasiswa dalam menyusun skripsi, tesis dan disertasi mendukung pendapat tersebut.  Biasanya mahasiswa yang nalarnya tertata, tulisannya juga runtut.  Sementara mahasiswa yang masih rancu nalarnya, tulisannya juga sudah difahami.  Mahasiswa jenis kedua ini memerlukan waktu untuk menata nalar dan latihan menulis yang runtut tampaknya membantu yang bersangkutan menata nalar berpikirnya.


Itulah alasan kedua saya mendukung ide pendidikan literasi.  Dengan belajar menulis diharapkan kita dapat mengasah nalar agar menjadi lebih runtut dan logis.  Dengan belajar menulis kita menghidupkan budaya baca-tulis.  Dengan belajar menukis kita dapat menuangkan gagasan yang dapat dibaca banyak orang.  Semoga.

Senin, 02 Desember 2013

ANALISIS PENDIDIKAN WAPRES

Di hadapan peserta kuliah umum di Universitas Monash Melbourne, Wapres Boediono mengakui bahwa pendidikan di Indonesia tertinggal (Kompas 16 Nopember 20013).  Menurut Wapres ada tiga tantangan mendasar untuk mengejar ketertinggalan.  Indonesia kekurangan guru bermutu sedangkan guru bermutu yang ada tidak terdistribusi dengan baik, fasilitas pendidikan sangat kurang khususnya di daerah yang jauh dari kota, serta isi dan penyampaikan materi ajar yang tidak sesuai dengan standar.

Kalau dicermati, analisis Wapres akhirnya terfokus kepada guru. Isi dan penyampaikan materi ajar yang tidak sesuai dengan standar karena gurunya kurang bagus.   Apapun kebijakan mutu pendidikan, pada akhirnya guru yang melaksanakan di lapangan.  Jadi wajar kalau  mantan Perdana Meteri China Li Lanqing (2003) menyatakan semua pejabat pemerintah, apapun tingkatannya harus menghormati guru.

Analisis Wapres sejalan dengan simpulan Thomas Friedman terhadap kemajuan pendidikan di Shanghai.  Menurut Friedman, rahasia peningkatkan mutu pendidikan di Shanghai terletak pada: a deep commitment to teacher training, peer-to-peer learning and constant professional development, a deep involvement of parents in their children’s learning, an insistence by the school’s leadership on the highest standards and a culture that prizes education and respects teachers (The New York Times, 22 October 2013).

Untuk mendapatkan guru bermutu tentu diperlukan calon yang pandai, proses pendidikan di LPTK harus bermutu dan pembinaan yang bagus setelah mereka mengajar.  Studi Wang dkk (2003) berjudul Preparing Teachers Around the World mengonfirmasi argumen tersebut. Belanda, Hongkong, Jepang, Korea Selatan dan Singapura adalah negara yang dinilai bagus dalam menyiapkan calon guru dan juga membinanya setelah bekerja di sekolah.  Dan ternyata pendidikan di negara-negara tersebut bermutu baik.

Kesesuaian dengan kajian Friedman dan Wang dkk, menunjukkan bahwa analisis Wapres tersebut valid.  Pertanyaannya, bagaimana langkah untuk menggunakan analisis itu untuk mengejar ketertinggalan pendidikan kita.

Data SNMPTN dua tahun terakhir memberikan harapan untuk memperoleh calon guru yang bagus.  69,4% pendaftar SBMPTN 2013 ingin menjadi guru dan masuk ke LPTK.  Dengan peminat yang banyak, seleksi menjadi ketat dan akhirnya mendapat calon mahasiswa yang bagus. 

Jika mahasiswa baru pandai-pandai, pertanyaan berikutnya apakah proses pendidikan di LPTK cukup bagus.  Belum ada studi yang menggambarkan kualitas pendidikan di LPTK.  Yang pasti mutu LPTK sangat bervariasi.  Dan yang mencemaskan, ketika  minat menjadi guru naik, jumlah LPTK juga naik tajam.  Tahun 2008 jumlahnya sekitar 270an, kini sudah mencapai 415 buah dengan mahasiswa mahasiswa sekitar 1,2 juta orang, dengan lulusan sekitar 250.000 orang per tahun.  Peningkatan jumlah LPTK tersebut sangat mengkawatirkan, karena menyebabkab mutu pendidikan tidak terjaga.   

Pendidikan di LPTK sebenarnya semi kedinasan, karena lulusannya dipersiapkan menjadi guru.  Jika kebutuhan guru setiap tahun hanya sekitar 70.000 orang, sudah saatnya dilakukan pengaturan agar jumlah LPTK dan jumlah mahasiswanya dikendalikan.   Sekaligus diberdayakan agar mampu menghasilkan guru yang bermutu. 

UU Guru dan Dosen, yang mewajibkan guru berpendidikan S1 plus pendidikan profesi (PPG), dapat digunakan sebagai instrumen pengendalian jumlah LPTK.  Hanya LPTK yang memenuhi syarat tertentu yang boleh membuka PPG dan jumlah mahasiswanya juga ditentukan.  Lebih baik kalau mahasiswa PPG diberikan dinas, sebagaimana diamanatkan pasal 23 ayat (1) UU Guru dan Dosen.  Pola pendidikan guru di China yang merekrut calon dari berbagai daerah, diasramakan dan diberi beasiswa merupakan contoh baik bagi Indonesia.  Diambil dari daerah dan diberi beasiswa akan memudahkan penempatan mereka setelah lulus.  Dengan diasrama proses pendidikan dapat dilakukan 24 jam, sehingga efektif untuk pembinaan karakter.

Distribusi guru merupakan masalah yang pelik. Secara agregat jumlah guru kita sangat cukup.  Rasio guru kita lebih baik dibanding Singapura dan Thailand, namun banyak sekolah di pedesaan yang kekurangan guru (Jalal, 2010).  Guru baru enggan ke daerah terpencil, sedangkan guru yang sudah ada di daerah cenderung ingin pindah ke kota.

Tahun 1999 pernah ada program redistribusi guru dengan batuan Bank Pembangunan Asia.  Namun program tersebut tidak berhasil, karena kepindahan guru ke sekolah di pedesaan dimaknai sebagai hukuman.  Oleh karena itu, diperlukan pola karier guru yang mengaitkan perpindahan mengajar di daerah terpencil merupakan bagian dari pembinaan karier. 

Ketidaksesuaikan isi dan metoda pembelajaran tampak juga terkait dengan pembinaan profesionalisme guru.  Secara jujur harus diakui kita belum punya pola yang mapan.  Di negara maju, guru wajib mengikuti pelatihan setiap tahun.  Mereka juga punya Professional Learning Community (PLC) sebagai wahana berdiskusi tentang problem-problem yang dihadapi.

Kita punya MGMP (Musyawarah Guru Matapelajaran) dan KKG (Kelompok Kerja Guru) yang mirip dengan PLC.  Hanya saja kegiatan MGMP dan KKG bisanya hanya untuk menyusun RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran).  Pada hal PLC dan MGMP dan KKG merupakan wahana bagus bagi guru untuk berbagai pengalaman dan gagasan.  Bahkan juga wahana untuk mendatangkan ahli untuk memberikan pencerahan. 

Kita juga pernah punya sanggar MGMP dan KKG yang dikembangkan melalui proyek Bank Dunia.  Sayang sanggar tersebut sekarang tidak ada lagi.  MGMP, KKG dan sanggar tersebut perlu diaktifkan kembali.  Dengan teknologi modern,  kegiatan MGMP/KKG/sanggar tersebut dapat dihubungkan dengan Pusat Sumber Belajar (PSB) di universitas, sehingga dapat saling berbagi pengalaman dan keahlian.  Apalagi sekarang guru sudah mendapatkan tunjangan profesi yang didalamnya ada bagian dana untuk pengembangan profesionalime.

Senin, 25 November 2013

MENCARI PEMIMPIN UNESA MASA DEPAN

Jum’at, 22 Nopember 2013 pukul 16.00 saya diundang BEM Unesa untuk diskusi tentang pemimpin Unesa masa depan.   Saya gembira BEM melakukan langkah itu, karena menunjukkan mahasiswa peduli dengan masa depan kampus.  Jabatan saya sebagai rektor akan berakhir tanggal 25 Juni 2014, sehingga memang sudah waktunya untuk memikirkan rektor yang akan datang.

Namun saya memberi catatan agar tidak tergelincir kepada kepentingan jangka pendek.  Misalnya berpihak kepada orang tertentu yang ingin menjadi pemimpin Unesa.  Oleh karena itu, saya menyarankan BEM lebih berkosentrasi kepada kriteria yang tepat untuk menjadi pemimpin Unesa.  Jika kriteria berhasil dibangun dengan melibatkan banyak elemen di Unesa, selanjutnya melayinkan Senat Universitas untuk menggunakannya.

Pemimpin itu punya sisi situasional.  Setiap situasi memerlukan pemimpin dengan karateristik tertentu.  Artinya pemimpin yang cocok di era 1945 belum tentu cocok untuk era tahun 2000an.  Pemimpin yang cocok untuk memimpin Amerika Serikat belum tentu cocok untuk memimpin Indonesia.  Pemimpin yang sukses memimpin Indonesia belum tentu cocok untuk memimpin Jerman.  Oleh karena itu, untuk menemukan karateristik pemimpin Unesa masa depan, harus diidentifikasi lebih dahulu tantangan yang dihadapi Unesa.

Empai-lima tahun lalu tantangan pokok Unesa adalah rasa percaya diri warganya yang rendah.  Dosen, karyawan dan mahasiswa tidak bangga sebagai warga Unesa.  Banyak diantara mereka yang menggunakan jaket dan memasang stiker universitas/perguruan tinggi lain di mobil atau motornya.   Mengapa?   Banyak faktor.  Unesa belum setenar universitas lain, katakanlah Unair dan ITS.  Kampus Unesa juga belum semegah Unair dan ITS.  Bahkan ketika saya ngobrol dengan beberapa dosen muda dan karyawan dan bertanya, bagus mana kampus Unesa dengan UPI, dengan UNY, dengan UM dan dengan Unnes.  Mereka serentak mengataskan Unesa kalah.

Seorang dosen muda juga mengeluh mengapa masalah pendidikan sering dibahas oleh dosen Unair atau dosen universitas lain.  Sementara dosen Unesa tidak pernah muncul di koran.  Tampaknya pihak koran juga tidak begitu mengenal Unesa dan orang-orang Unesa, sehingga lebih sering menanyakan komentar atau pendapat tentang pendidikan kepada dosen Unair, ITS dan universitas lain.

Bahkan konon ada tamu yang akan ke Unesa, sopir taksi juga tidak mengenal Unesa.  Sopir itu baru tahu ketika tamu tadi menyebut Unesa itu dulu IKIP Surabaya.  Pada hal perubahan itu sudah berlangsung sepuluh tahun.  Jarangnya Unesa muncul di pemberitaan menyebabkan sopir taksi tidak tahu Unesa.

Kondisi itu tampaknya sudah tidak terjadi saat ini.  Peminat SNMPTN 2013 di Unesa telah melampaui Unair dan ITS.  Mahasiswa Unesa juga percaya diri menjadi tuan rumah berbagai pertemuan mahasiswa tingkat nasional.   Beberapa menteri dan pimpinan nasional telah hadir ke Unesa, misalnya Mendikbud, Menko Perekonomian, Menteri Kehutanan, Menteri BUMN,  Wakil Ketua DPR, Dubes China dan sebagainya.

Unesa juga berhasil masuk dalam proyek 7in1 (seven in one) dengan bantuan IDB bersama Unsyah, UNY, Untan, Unlam, UNG dan Unsrat.  Bahkan Unesa ditunjuk sebagai koordinator.  Proyek yang akan efektif mulai tahun 2014 dan memberi dukungan 39,2 juta dolar Amerika itu akan membuat Unesa dapat melengkapi sarana kampus atau bahkan mengubah wajah kampus Unesa.  Dana perbaikan kampus yang selama ini menjadi problem akan teratasi lima tahun mendatang.

Kalau  begitu apa tantangan pokok yang dihadapi Unesa ke depan?  Menurut saya masalah iklim akademik dan kerjasama internasional.  Sebagai organisasi, universitas memiliki ciri khas.  Universitas tempatnya orang-orang yang memiliki kebanggaan keilmuan yang kadang-kadang agak berlebihan.  Dosen dan mahasiswa universitas ternama sering melihat sebelah mata kepada universitas yang lebih kecil.  Dosen dan mahasiswa fakultas atau jurusan top seringkali melihat sebelah mata kepada dosen dan mahasiswa yang kurang favorit.

Pandangan semacam itu terkurangi kepada orang yang memiliki standing akademik kukuh.  Walaupun tahu kalau Pak Budi Darma itu dosen Unesa, tetapi orang-orang Unair, ITS, UGM akan tetap respek karena kapasitas beliau.  Hal serupa terjadi untuk Pak Mohamad Nur dan almarhum Pak Soedjadi.

Menurut saya pemimpin Unesa ke depan, pertama harus memiliki standing akademik yang kukuh.   Mengapa?  Karena secara kelembagaan Unesa belum sekukuh Unair, ITS, UGM, UI dan sebagainya.  Jika rektornya memiliki standing akademik kukuh, akan memudahkan Unesa bergaul dan duduk setara dengan universitas ternama di tingkat nasional.  Dengan demikian akan membuat Unesa dikenal luas dan yang lebih penting dapat terlibat dalam berbagai pengambilan keputusan di tingkat nasional.

Standing akademik seringkali berujung kepada popularitas.  Namun popularitas tidak selalu berangkat dari standing akademik.  Banyak orang populer tetapi tidak memiliki standing akademik kukuh.  Orang semacam itu kurang cocok sebagai pemimpin univeritas sekelas Unesa, karena akan dicibir oleh orang-orang universitas.  Siapa dia dan apa prestasi akademiknya?  Pertanyaan seperti sering terlontas jika ada orang populer tetapi standing akademiknya tidak kuat.

Kriteria kedua, pemimpin Unesa ke depan harus memiliki integritas yang kuat.  Mengapa?  Untuk mengelola proyek IDB dengan dana 39,2 juta dolar atau sekitar 420 milyar diperlukan integritas kuat.  Bukankah ada PR-2 dan PPK?  Memang ada pelaksana proyek, tetapi rektor sebagai pengambil kebijakan. Godaan mengelola proyek sebesar itu pasti tidak sedikit.  Oleh karena itu diperlukan orang yang tidak mudah tergoda.  Pepatah mengatakan semakin tinggi pohon, semakin kencang angin menerpa.  Diperlukan akar yang kuat agar pohon tidak mudah ambruk diterpa angin.

Apakah kriteria standing akademik dan integritas bukan syarat umum bagi rektor?  Betul.  Namun sangat penting bagi Unesa, yang baru mulai mendapat kepercayaan masyarakat.  Jika rektor ke depan memiliki standing akademik yang kukuh dan integritas yang kuat, kepercayaan tersebut akan berkembang lebih cepat.  Sebaliknya jika tidak, sangat mungkin akan menurun lagi.

Kriteria ketiga adalah kemampuan membangun jejaring internasional.  Ibarat pabrik Unesa belum memiliki merk yang terkenal.  Oleh karena itu perlu menggandeng universitas lain agar Unesa dapat numpang nama universitas tersebut.  Era global memaksa semua universitas bekerjasama dengan universitas lain di luar negeri.  Program double degree, pengiriman dosen dan mahasiswa, penelitian bersama merupakan contoh kerjasama yang harus dilakukan.

Memang saat ini Unesa sudah memiliki kerjasama double degree dengan beberapa universitas, misalnya dengan Utrecht University-Belanda (program S2 internasional Pend Matematika), dengan Curtin University-Australia (program double degree S2 Pend Matematika dan Pend Sains), NIU Amerika Serikat (double degree S2 Pend Bahasa Inggris), pengiriman mahasiswa untuk credit earning ke Burapa dan Prince Songkla di Thailand.   Beberapa rintisan lain masih memerlukan tindak lanjut yang cepat, misalnya rintisan tukar menukar dosen dan mahasiswa dengan Tianjin University di China dan Aichi University of Education di Jepang, penelitian bersama dengan Utah State University di Amerika Serikat.  Flinder University di Autralia telah sepakat untuk melakukan split PhD program untuk PLB, sedangkan Monash University untuk Linguistik.

Unesa masih memerlukan lebih banyak kerjasama intenasional.  Apalagi kerjasama yang selama ini berjalan masih cenderung bersifat satu arah.  Unesa mengirim dosen dan mahasiswa untuk menempuh studi di universitas luar negeri.  Unesa mengundang dosen dari universitas luar negeri untuk mengajar di Unesa.  Masih sangat sedikit mahasiswa asing yang kuliah di Unesa dan masih sangat sedikit dosen Unesa yang mengajar di universitas luar negeri.  Unesa memerlukan pemimpin yang mampu meyakinkan universitas luar negeri untuk mau bekerjasama.

Apa tugas itu tidak cukup dilaksanakan oleh PR Bidang Kerjasama?   Pelaksanaannya memang dapat ditugaskan kepada PR Bidang Kerjasama.  Namun rektor harus dapat memberi arahan dan untuk itu diperlukan memberi teladan.  Apalagi dalam event tertentu rektor harus tampil menyampaikan gagasan di forum internasional.  Setiap tamu dari luar negeri tentu ingin bertemu denga rektor dan pada saat seperti itu rektor harus menyampaikan gagasannya.

Ketiga syarat tadi (standing akademik, integritas dan kemampuan membangun jejaring internasional) menjadi lebih penting, karena rektor harus memberi teladan kepada dosen.  Dapat dibayangkan, apa reaksi dosen yang didorong untuk menulis karya ilmiah dan presentasi di seminar internasional, jika yang menyuruh tidak mampu melakukan.  Dapat dibayangkan, apa reaksi dosen yang didorong untuk melakukan kerjasama penelitian atau mengajar di universitas luar negeri, jika yang menyuruh tidak dapat melakukannya.

Rabu, 20 November 2013

MERGER UNIVERSITAS

Tanggal 17-19 Oktober saya mengikuti konferensi antara Council of Rector of Indonesian State Universities dan Council of University Presidents of Thailand di Kendari.  Di sana bertemu dengan Prof. Roger Frutos, Deputy Vice President for International Relation, Universite Montpellier-2 Perancis. Dia memaparkan strategi pengembangan universitasnya sehingga menjadi universitas yang memiliki reputasi internasional.  Di akhir paparannya, dia mengagetkan banyak orang karena menginformasikan bahwa Universite Montpellier-2 dan Universite Montpellier-1 akan segera merger, menjadi Universite Montpellier.

Sinergi antar universitas merupakan hal biasa di Perancis.  Namun jika kemudian melakukan merger dan itu untuk universitas sekelas Montpellier-1 dan Montpellier-2 tetap merupakan suatu kejutan.  Bayangkan kalau Unair merger dengan ITS tentu menjadi berita besar di Indonesia.

Ketika saya ke Perancis tahun 2008,  beberapa universitas di Grenoble membentuk suatu konsorsium untuk membuka program studi tingkat doktoral.  Ada dua alasan mengapa itu dilakukan.  Pertama, agar lebih efisien karena dapat berbagi dosen dan laboratorium.  Kedua, agar mahasiswa doktoral dapat kuliah dan dibimbing oleh profesor yang benar-benar ahli di bidangnya.  Tampaknya pembentukan konsorsium masih dianggap belum cukup, sehingga kemudian ada dua universitas sekelas Montpellier 1 dan 2 melakukan merger.

Mengapa banyak orang kaget dengan informasi itu?  Karena di Indonesia yang terjadi justru sebaliknya.  Politeknik yang semula berada didalam universitas dipisah menjadi institusi sendiri.  Universitas yang akan membuka program studi baru harus memiliki dosen sendiri secara lengkap.  Bahkan dosen program studi S1 dipisahkan dengan program studi S2/S3.  Jadi program S1 harus memiliki dosen sendiri dan program S2/S3 harus memiliki dosen sendiri, walaupun itu keduanya dalam satu jurusan.  Pada hal, idealnya dosen pengajar S2/S3 juga mengajar di S1.  Di negara maju banyak mahasiswa S3 yang menjadi teaching assistant di S1.  Dan itu hanya dapat terjadi jika profesornya juga mengajar di S1.

Kalau kita bandingkan apa yang terjadi di Perancis dan di Indonesia, tampak sekali berbeda argumennya.  Perancis lebih menekankan aspek efisiensi dan mutu.  Efisiensi dilakukan dengan berbagi dosen dan fasilitas.  Dengan cara itu, tidak perlu setiap jurusan atau perguruan tinggi memiliki dosen sendiri, jika dapat menggunakan dosen di universitas lain anggota konsorsium.  Yang harus dipastikan adalah dosen tersebut masih memiliki waktu untuk mengajar atau membimbing.  Universitas juga tidak harus memiliki laboratorium sendiri, jika ada universitas lain anggota konsorsium sudah memilikinya.  Yang harus dipastikan bahwa di laboratorium itu masih tersedia waktu untuk praktikum.

Jaminan mutu ditempuh agar mahasiswa bertemu dengan profesor yang benar-benar ahli di bidangnya.  Sebagaimana diketahui biasanya profesor memiliki keahlian spesifik.  Tidak mudah setiap universitas mendapatkan profesor semacam itu.  Dari pada mahasiswa dibimbing oleh profesor yang tidak pas bidangnya atau dibimbing oleh profesor yang “belum ahli”, lebih baik mahasiswa dikirim ke universitas lain anggota konsorsium yang punya profesor benar-benar pas bidang keahliannya.

Saya pernah menanyakan, apa tidak sulit mengatur manajemen dengan membuat konsorsium dengan anggota beberapa universitas?  Itu kan masalah manajemen.  Jika perusahaan dapat membuat konsorsium untuk menangani proyek besar, mengapa universitas tidak bisa.  Bukankah sudah ada program double degree, program sandwich dan credit earning yang juga melibatkan beberapa universitas.  Begitu jawaban ringan seorang pimpinan universitas di Grenoble saat itu.

Berbeda dengan Perancis, Indonesia  menjamin mutu dengan memastikan setiap program studi memiliki dosen yang cukup.  Dan bentuk perguruan tinggi sesuai dengan undang-undang.  Dalam konteks ini Indonesia masih dalam tahap kuantitas dan normatif.  Belum masuk ke aspek kualitas dan yang bersifat substantif.  Mungkin karena usia pendidikan tinggi kita masih muda.

Namun demikian tidak ada jeleknya kita mulai berpikir ke arah itu.  Bukankah kita juga sudah punya pengalaman serupa.  Guru SMK Pertanian dididik oleh IPB atau Akademi Pertanian bekerjasama dengan LPTK.  Bidang pertanian dibina oleh orang-orang ahli pertanian di IPB atau Akademi Pertanian, sedangkan bidang kependidikan dibina oleh orang-orang ahli pendidikan di LPTK.  Program serupa juga dilakukan ketika menghasilkan guru SMK Kesehatan.  Bukankah itu juga mirip dengan konsorsium.

Jika konsorsium itu dapat dirintis, kemudian kita bertanya apakah sudah tepat memisahkan politeknik dari universitas induknya.  Tentu acuannya bukan undang-undang, tetapi efisiensi.  Toh undang-undang juga tidak melarang adanya politeknik di dalam universitas.  Toh di negara lain itu sudah biasa.  Toh ketika politeknik berada didalam universitas juga tidak ada masalah.

Ketika ide ini saya sampaikan, ada teman yang berseloroh.  Kalau digabung nanti rektornya cuma satu, terus bagaimana yang lain?  Bukankah dengan begitu menghilangkan kesempatan orang menjadi rektor.  Saya juga ganti berseloroh, kalau begitu apa bedanya dengan orang yang nekat membentuk kabupaten baru walaupun potensinya minim.  Yang penting ada pos jabatan baru untuk bupati, wakil bupati, ketua DPRD dan sebagainya.

Jika merger universitas masih dianggap berat, pola konsorsium sudah saatnya dirintis.  Pembukaan program studi Ekonomi Islam di Surabaya dapat merupakan konsorsium Unair dan IAIN Sunan Ampel.  Pembukaan program studi Bio Engineering mungkin konsorsium Unair dengan ITS.  Penyiapan guru SMK Kesehatan merupakan konsosium Unair dengan Unesa.

Kamis, 14 November 2013

PENGANGGURAN LULUSAN SMK (Dimuat Harian Republika, Tanggal 14 Nopember 2013, hal 6)

Judul di atas terkait dengan  tulisan di Republika tanggal 7 Nopember 2013.  Tulisan itu menguraikan tingkat pengangguran yang terjadi pada bulan Agustus 2013.    Tingkat pengangguran terbuka (TPT) sebesar 6,25%.  Jika dirinci menurut tingkat pendidikan, TPT untuk lulusan SMK sebesar 11,19%, lulusan SMA sebesar 9,74%, lulusan Diploma I/II/III sebesar 6,01% dan lulusan S1 sebesar 5,50%.

Pertanyaannya mengapa TPT lulusan SMK lebih besar dibanding lulusan SMA?  Bukankah pemerintah sedang memperbanyak SMK dengan harapan dapat menghasilkan lulusan yang segera berkerja?  Jika faktanya TPT lulusan SMK justru lebih banyak yang menganggur dibanding lulusan SMA, kebijakan tersebut perlu dilihat kembali?

Data tersebut di atas tidak dapat serta merta diartikan bahwa lulusan SMK kalah bersaing dengan lulusan SMA dalam mencari pekerjaan.  Masih diperlukan penelusuran lebih lanjut untuk sampai kepada simpulan yang valid.  Namun tetap merupakan sinyal untuk melihat kembali apakah kebijakan memperbanyak SMK memang relevan.

Sebenarnya data tersebut mirip dengan hasil penelitian David  Clark (1983) yang menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan keterserapan lulusan SMA dan SMK di lapangan kerja.  Gaji yang diterima juga tidak berbeda secara signifikan.  Oleh karena itu Clark menyimpulkan investasi di SMA lebih baik dibanding SMK, karena biayanya lebih murah namun hasilnya sama. 

Hasil penelitian Clark sempat merisaukan Depdikbud saat itu.  Kerisauan bertambah kuat, ketika penelitian Muljani Nurhadi (1988) untuk disertasi di State University of New York at Albany juga  menyimpulkan penghasilan karyawan lulusan SMK lebih kecil dibanding kawannya yang lulusan SMA. 

Bukankah penelitian Clark dan Nurhadi sudah 30 tahun lalu?  Apakah data saat ini masih seperti itu? Studi Newhouse dan Suryadarma (2011) sedikit memberi gambaran.  Perbedaan penghasilan lulusan SMK dibanding lulusan SMA sangat kecil dan bahkan tidak signifikan. Tampaknya hasil penelitian Clark, Nurhadi, Newhouse dan Suryadarma dan tulisan Republika konsisten bahwa keterserapan maupun gaji lulusan SMK tidak berbeda dengan lulusan SMA.

Apakah fenomena tersebut juga terjadi di negara lain?  Ternyata tidak.  Studi yang dilakukan oleh Aysit Tansel (1999) di Turkey menyimpulkan bahwa tingkat pengangguran lulusan SMK (vocational high school) lebih rendah dibanding lulusan SMA (general high school).  Gaji lulusan SMK juga lebih besar dibanding dengan gaji lulusan SMA.

Kalau demikian tentu ada faktor lain yang menyebabkan ketidaksamaan kondisi lulusan SMK di Indonesia dan di Turkey.  Dan itu ternyata kualitas SMK.  Untuk SMK yang berkualitas bagus dan memiliki sarana praktek lengkap, lulusannya banyak terserap lapangan kerja dan bahkan diijon sebelum lulus.  Studi Samani (1991) terhadap lulusan STM (SMK Bidang Teknologi) juga menyimpulkan ada perbedaan signifikan keterserapan lulusan antara SMK bagus dan SMK tidak bagus. 

Itu kan data tahun 22 tahun lalu.  Apakah sekarang masih cocok?  Studi Newhouse dan Suryadarma pada tahun 2011 menunjukkan bahwa simpulan studi Samani masih relevan.   Dan itu tampak sejalan dengan tulisan di Republika tadi.

Bagaimana penjelasannya?  Lulusan SMK diharapkan memiliki keterampilan yang tinggi.  SMK yang tidak memiliki fasilitas praktek, membuat lulusannya tidak terampil.  Masyarakat sering menyebut dengan SMK Sastra.  Lulusan seperti itu kalah dalam persaingan masuk dunia kerja.  Tes akademik kalah dengan lulusan SMA, sementara tes keterampilan selalu gagal.  Mereka juga sulit memilih pekerjaan di luar jurusannya di SMK.  Lengkaplah kemeranaan lulusan SMK Sastra itu.

Perlajaran apa yang dapat dipetik?  Jika pemerintah ingin memperbanyak jumlah SMK, harus dipastikan mempunyai fasilitas praktek yang baik.  Dengan begitu lulusannya akan memiliki keterampilan tinggi sehingga mudah terserap di lapangan kerja.  Harus dihindari  membuka SMK Sastra, karena lulusannya akan sulit mendapat pekerjaan dan akhirnya merana.

Daftar Pustaka

Clark,  David H. 1983. How Secondary School Graduates Perform in the Labir Market: A Study of Indonesia.  Washington: World Bank Staff Working Paper # 615.

House, David and Daniel Suryadarma. 2011. The Value of Vocational Education: Hogh School Type and Labor Market Outcome in Indonesia.  Washington DC: Policy Research Working Paper # 5035.

Nurhadi, Muljani A. 1988. The Effects of Schooling Factors on Personal Earning within the Context of the Internal Labor Market in PT Petrokimia Gresik Indonesia. Thesis (PhD) University at Albany, State University of New York.

Samani, Muchlas. 1991.  Keefektifan Pendidikan SMK Jurusan Mesin: Studi Pelacakan terhadap Lulusan SMK di Surabaya.  Disertasi Doktor IKIP Jakarta, 1991.

Tansel, Aysit. 1999. General versus Vocational High School and Labor Market in Turkey. Cairo: The Economic Research Forum.

Rabu, 13 November 2013

GURU SEKOLAH TERPENCIL JUGA PAHLAWAN?

Tanggal 11 sore saya diminta memberi paparan tentang pahlawan dan kaitannya dengan mahasiswa.   Yang menyelenggarakan UKKI Unesa.  Paparan sih biasa-biasa saja.  Yang menarik justru pertanyaan seorang mahasiswa.  Kurang lebih begini.  “Ibu saya berpesan agar setelah lulus kembali mengajar di desanya yang terpencil dan tidak usah menjadi guru PNS”.  Mahasiswa itu meminta pendapat saya terhadap pesan ibunya.

Saya sengaja hati-hati menjawab pertanyaan itu.  Saya mulai dengan mengajak memaknai apa sih pahlawan itu?  Menurut Wikipedia, pahlawan berasal dari bahasa Sansekerta (phala dan wan).  Phala artinya buah.  Pahlawan adalah orang yang perbuatannya menghasilkan “buah” yang bermanfaat bagi orang banyak.  Jadi pahlawan kemerdekaan disebut pahlawan, karena jasanya (perbuatannya) memberikan manfaat besar orang banyak.  Apa itu kemerdekaan Indonesia. 

Jika menggunakan pengertian tersebut, siapa saja dapat menjadi pahlawan. Tidak hanya pahlawan kemerdekaan.  Orang-orang yang dengan kemauan sendiri menghijauan pantai (menanam bakau) agar tidak terjadi abrasi dan banyak ikan disitu, juga dapat disebut pahlawan.  Orang yang membangun masjid di suatu daerah yang belum ada masjid, agar orang lewat dapat sholat, juga dapat disebut pahlawan.  Seorang relawan kesehatan di masyarakat terpencil juga dapat disebut pahlawan.

Tentu saja jika perbuatannya memberikan manfaat orang banyak.  Tentu jika perbuatan itu dilakukan dengan ikhlas dan bukan mengharapkan balasan dari orang lain.  Juga asalnya perbuatan itu dilakukan secara konsisten dan bukan sekedar “hangat-hangat tahi ayam”.

Dengan pengertian tersebut, guru sekolah terpencil dapat disebut pahlawan.  Asalkan disertai niat baik, dikerjakan dengan ikhlas dan bukan sekedar mencari batu lompatan untuk berpindah ke kota.  Mengapa demikian?  Ibarat, uang 1000 rupiah tidak ada artinya bagi orang kaya.  Tetapi uang 1000 rupiah sangat berharga bagi orang miskin yang sedang tidak punya uang untuk membeli nasi.  Guru muda mungkin tidak begitu penting bagi sekolah di kota, tetapi sangat bermanfaat bagi sekolah di daerah terpencil.

Mengapa tidak perlu menjadi PNS?  Saya berpikir positif.   Jika menjadi PNS sangat mungkin pada saatnya ingin pindah ke kota untuk meningkatkan karier.   Jika tidak menjadi PNS mungkin sejak awal ingin menetap di desa itu dan dengan demikian agar berusaha mengembangkan desa terpencil itu.  Bahkan sangat mungkin akan mendirikan sekolah (bersama masyarakat) dan dapat memberi lapangan pekerjaan bagi orang lain.  Jadi semakin kuat “nilai” pahlawannya.

Bagi yang beragama Islam, sebenarnya pengertian pahlawan dapat diacukan dengan Hadis yang menyebutkan  “sebaik-baik manusia adalah yang memberi manfaat kepada orang lain”.   Bukankah sangat dekat maknanya?   Bukankah hadis itu mendorong semua orang menjadi pahlawan.  Bukankah pahlawan sangat mulia di mata Sanga Khaliq?

Apalagi jika diingat Al Qur’an secara jelas menyebutkan “….dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaKu….”   Jadi “menjadi orang yang memberi manfaat bagi oarng lain itu identik dengan menjadi pahlawan dan itu merupakan ibadah kepada Sang Pencipta”.

Apakah untuk menjadi orang baik, menjadi pahlawan harus berbuat yang “besar”.  Rasanya tidak seperti itu.  “Sesungguhnya Sang Pencipta tidak membebani seseorang sesuai dengan kesanggupannya”.   Menyingkirkan paku di tengah jalan, yang mungkin dapat melukai pejalan kaki atau mengenahi ban kendaraan orang, sangat mungkin menjadi wahana menjadi orang baik.  Siapa tahu itu ujian bagi kita, apakah kita mau menolong orang atau tidak.

Dengan contoh sederhana tadi, semoga mendorong kita semua untuk berbuat baik, berbuat yang memberi manfaat bagi orang lain, sekecil apapun. Sesuai dengan kemampuan kita masing-masing.  Semoga itu dikategorikan ibadah kepada Sang Pencipta.

Minggu, 10 November 2013

MENGGESER PARADIGMA KESEHATAN

Sejak beberapa bulan lalu Unesa membantu BKKBN.  Kepanjangan baru BKKBN adalah Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional.  Ketua BKKBN yang baru, Prof. Fasli Jalal adalah mantan Wamendikbud dan mantan Dirjen Dikti.  Setelah beliau dilantik menjadi Kepala BKKBN, kami saling kontak dan sepakat Unesa akan membantu memikirkan pengembangan program BKKBN.

Informasi dari BKKBN Jawa Timur, tenaga penyuluh KB hanya 1 atau 2 orang untuk setiap kecamatan.  Jika 2 orang, satu berpendidikan S1 dan yang lain biasanya lulusan SMA.  Saya membayangkan betapa sulitnya melakukan penyuluhan KB dengan tenaga 1 atau 2 orang untuk satu kecamatan.  Apalagi katanya, program KB tidak lagi menjadi program prioritas, sehingga tidak didukung dengan anggaran yang memadai.

Dahulu kepanjanan BKKBN adalah Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional.  Sekarang huruf “K” yang pertama bukan lagi “Koordinasi” tetapi “Kependudukan”.   Dan sebaiknya kependudukan dalam konteks ini tidak hanya dimaknai sebagai jumlah, tetapi juga kualitas.  Jadi tugas BKKBN tidak hanya mengendalikan jumlah penduduk, tetapi juga mengupayakan agar penduduk Indonesia berkualitas.

Biasanya penduduk yang berkualitas memiliki dua indikator utara, yaitu kesehatan dan pendidikan.  Jadi harus sehat dan terdidik.  Sehat menjadi urusan Kementerian Kesehatan, sedang terdidik menjadi urusan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.  Lantas apa tugas BKKBN dalam konteks penduduk yang berkualitas?

Saya bukan dokter dan bukan ahli kesehatan masyarakat.  Namun pengamatan saya, penyuluhan hidup sehat belum banyak tersentuh.   Sepertinya Kementerian Kesehatan sudah sangat sibuk mengurus penduduk yang sakit.  Oleh karena itu menyuluh penduduk agar tidak sakit belum mendapatkan perhatian cukup.

Memang BKKBN merupakan bagian dari Kemernterian Kesehatan.  Namun, apakah BKKBN memiliki enersi untuk menangani itu?   Bukankah untuk menangani penyuluhan KB saja sudah kerepotan?  Itulah yang Unesa mencoba mencari solusinya.  Bagaimana BKKBN dapat melakukan penyuluhan KB sekaligus penyuluhan hidup sehat kepada masyarakat.

Sasaran program KB terutama pasangan usia subur (PUS).  Saya yakin PUS yang menjadi target BKKBN memiliki anak di PAUD/TK/SD/SMP/SMA.  Jadi mereka punya kaitan dengan sekolah-sekolah tersebut.   Mengapa penyuluhan KB tidak dilewatkan sekolah?  Bukankah lebih mudah sampai pada sasaran?

Semua desa memiliki SD, bahkan ada beberapa desa yang memiliki lebih dari satu SD/MI.  Hampir setiap kecamatan punya SMP/MTs.  Hampir setiap kampung punya PAUD dan atau TK.  Dengan menggunakan sekolah sebagai ujung tombak penuluhan KB, maka hampir semua PUS terjangkau. 

Siapa yang melakukan sosialisasi? Apakah guru PAUD/TK/SD/SMP/SMA mau dan mampu melakukannya?   Itulah yang perlu dirancang dan dipersiapkan dengan baik.  Hampir semua guru berpendidikan S1.  Di daerah pedesaan, guru adalah tokoh dan sering menjadi panutan masyarakat.  Dengan demikian, diyakini guru punya potensi untuk melakukan penyuluhan KB.  Apalagi guru biasanya sudah melaksanakan KB.  Pelajaran IPS di SD/SMP/SMA tentu juga menyinggung masalah KB.  Oleh karena itu saya yakin, tidak terlaku sulit membekali guru agar mampu melakukan sosialisasi ke orangtua siswa.

Bagaimana dengan penyuluhan kesehatan?   Bukankah sekolah punya UKS (Usaha Kesehatan Sekolah).  Saya yakin sekolah dan guru tidak kesulitan untuk melakukan penyuluhan hidup sehat kepada orangtua siswa.  Apalagi kalau lingkungan sekolah dapat dijadikan contoh hidup sehat.  Misalnya kantis sekolah, halaman sekolah, toilet sekolah, sanitasi sekolah dan sebagainya.

Apakah guru mau dan punya waktu melakukan semua itu?  Untuk itu perlu dilakukan rundingan antara BKKBN dengan Ditjen yang menaungi PAUD/TK/SD/SMP/MTs/SMA/SMK/MA.  Ini kan tugas negara.  Rasanya semua instansi tersebut mendukung upaya untuk memiliki penduduk dalam jumlah yang tepat dan berkualitas.  Mari kita jadikan sekolah sebagai basis penyuluhan hidup sehat dan KB.  Lebih punya jangkauan ke masyarakat.   Lebih efisien.   Dan sekolah juga mendapat manfaat untuk melakukan edukasi ke masyarakat sekitarnya.  Semoga.

Selasa, 05 November 2013

PENDIDIKAN ITU UNTUK SIAPA?

Seperti saya tuliskan di artikel terdahulu, tanggal 23 Oktober 2013 saya diundang untuk menyampaikan gagasan pada Konferensi Guru-guru Bloger di Universitas Airlangga.  Yang saya sampaikan lebih banyak berupa rangsangan, seperti apa seharusnya pendidikan ketika era cyber sudah benar-benar masuk ke kehidupan masyarakat.  Jika semua informasi sudah dapat diperoleh dari internet, terus apa yang dipelajari anak-anak di sekolah?

Materi yang yang sampaikan tidak banyak dan sebagaina besar sudah pernah saya uraian di blog ini dengan judul “segala info ada di google”.   Intinya model pembelajaran yang menjelaskan informasi dan konsep-konsep dasar sudah tidak relevan.  Semua sudah dapat dibaca di google.  Yang diperlukan, guru memandu siswa untuk berpikir kritis dan memecahkan masalah secara arif dan kreatif.    Dalam bahasa lain disebut high order thinking.  Pertanyaan yang sifatnya what, where dan when sudah tidak cocok lagi.  Mungkin yang diperlukan adalah pertanyaan yang  terkait dengan ungkapan why dan how.  Tidak ada yang aneh.

Yang justru menarik dan ingin saya bagi dengan pembaca adalah dialog yang terjadi saat sesi tanya jawab.  Ada seorang penanya, yang saya yakin guru IPA yang pandai.  Dengan penuh semangat beliau menyampaikan pentingnya menciptakan ilmuwan.  Beliau menyampaikan Indonesia memerlukan banyak saintis yang nanti akan membawa kemajuan negara ini.  Beliau juga menyampaikan saat ini Indonesia kalah dalam persaingan industri karena minimnya ilmuwan.

Sebagai guru yang sudah mengajar lebih dari 35 tahun, saya memahami kerisauan rekan guru mudah tersebut.  Saya juga yakin beliau adalah guru muda yang pandai dan idealis.  Apalagi beliau menyebutkan sebagai lulusan Unversitas Airlangga.  Dugaan saya beliau adalah orang muda yang idealis dan ingin meningkatkan kuliatas pendidikan di Indonesia.  Dan karena bidangnya IPA (mungkin Fisika atau Biologi atau Kimia, saya tidak sempat menanyakan), maka membimbing siswa SMP yang diasuh menjadi saintis.  Keinginan untuk menjadikan anak-anak Indonesia sejajar dengan rekannya di negara maju, mendorong teman guru muda itu menjadi ilmuwan yang tangguh.

Memang salah satu kecenderungan guru adalah “menganggap” matapelajaran yang diampu merupakan matapelajaran penting. Oleh karena itu, ingin sekali guru memberikan bekal yan sangat banyak kepada siswanya.  Akibatnya  seringkali guru minta tambahan jam pelajaran, karena merasa tidak cukup.  Guru Matematika ingin siswanya menjadi Matematikawan.  Guru Sejarah ingin siswanya menjadi sejarawan. Guru ekonomi ingin siswanya menjadi ekonom. Dan seterusnya.

Pertanyaannya, betulkah demikian.  Betulkah siswa harus menjadi ahli berbagai bidang ilmu tersebut.  Bahkan kita dapat bertanya berapa orang ahli Fisika yang diperlukan oleh Indonesia?  Berapa orang lulusan universitas yang menjadi ahli ekonomi?  Berapa orang lulusan SMA yang benar-benar berbakat menjadi ahli sejarah?  Berapa orang ahli Matematika yang diperlukan oleh dunia industri dan atau lembaga riset?

Rasanya, baik di negara maju apalagi negara berkembang, sebagian besar masyarakat bekerja sebagai praktisi.  Praktisi di bidang perdagangan, praktisi di bidang pertanian, praktisi di bidang industri berat, praktisi di bidang kesehatan, dan sebagainya.  Tidak banyak yang bekerja sebagai saintis di lembaga riset dan dosen di perguruan tinggi.

Saya tidak mengatakan bahwa saintis itu tidak penting.  Saintis di berbagai bidang itu sangat penting.  Namun tidak harus semua orang menjadi saintis.  Kalau semua menjadi saintis, siapa yang menerapkan temuan-temuan saintis tersebut.  Jika semua menjadi ekonom, siapa yang menjadi pengusaha dan pedagang?  Jika semua menjadi ilmuwan pertanian, siapa yang menjadi petani dan menangani industri yang terkait dengan pertanian?  Jika semua menjadi periset dalam enersi terbarukan, siapa yang bekerja di industri mobil?  Dan seterusnya.

Ilmuwan haruslah orang-orang idealis.  Yang bekerja sepenuh hati di laboratorium atau perpustakaan dan seringkali tanpa mengenal lelah.  Pada hal biasanya gaji mereka tidak terlalu tinggi.  Apalagi di negara berkembang seperti Indonesia, gaji peneliti tidak besar. Jauh lebih kecil dibanding para birokrat dan praktisi di lapangan.

Oleh karena itu sebaiknya, dari awal dicari “calon ilmuwan”.  Jumlahnya tidak perlu terlalu banyak.  Namun mereka adalah anak-anak cerdas, tekun dan idealis.  Seringkali anak-anak yang agak individualis, karena biasanya peneliti memang cenderung begitu.  Semoga teman guru mudah hebat tadi menemukan anak bombing yang nantinya benar-benar menjadi ilmuwan hebat. 

Nah, kemudian pertanyaannya pendidikan itu untuk siapa?  Jika untuk siswa dan sebagian besar nanti akan menjadi praktisi, sebaiknya pendidikan tidak diarahkan menjadi periset.  Hanya mereka yang memiliki minat dan potensi yang cocok saja yang didorong menjadi periset.  Dan dapat dilakukan melalui kelompok KIR dan sejenisnya.  Apalagi dalam Kurikulum 2013 ada peminatan yang salah satunya dapat diarahkan ke bidang penelitian.  Semoga.

Senin, 04 November 2013

MARI BELAJAR BERPIKIR KRITIS

(Naskah ini merupakan bagian dari buku tentang Berpikir Kritis yang sedang dikembangkan)

Ingat ketela mukibat?  Batang pohon singkong yang disambung dengan ketela tahun dan terbukti menghasilkan umbi singkong yang lebih besar dibanding singkong biasa.  Bagaimana cerita awalnya, sehingga Pak Mukibat menemukan ketela mukibat?  Saya menduga ide itu tidak datang tiba-tiba, ibarat dapat wangsit.  Saya yakin Pak Mukibat menemukan ide itu setelah melalui proses berpikir yang serius.  Sangat mungkin itu memerlukan waktu lama, bahkan sangat mungkin berkali-kali melakukan percobaan.

Beberapa bulan lalu, stasiun TV swasta menyiarkan peternak kambing di daerah Rungkut Surabaya.  Peternak itu memelihara kambing di perkotaan, tetapi kambing maupun kotorannya  tidak berbau.  Akibatnya peternakan kambing itu banyak dikunjungi orang dan kambingnya laris manis. 

Mengapa kotoran kambing itu tidak berbau?   Karena makanannya diatur secara khusus.  Bagaimana awal peternak tersebut menemukan makanan kambing yang dapat membuat kambing dan kotorannya tidak berbau?  Saya yakin peternak tersebut tidak serta merta menemukan makanan kambing yang membuat kotorannya tidak berbau.  Pasti itu melalui poses yang cukup lama.  Saya menduga peternak itu berkali-kali melakukan eksperimen sampai menemukan ramuan makanan yang tepat.

Saya pernah mendapat penjelasan awal munculnya restoran yang menggunakan nama Dapur Desa, Bumbu Desa, Warung Ndeso, Pawon dan sebagainya.  Konon, pada awalnya ada orang yang mengamati banyak warung-warung kecil dengan makanan tradisional tetapi dikunjungi masyarakat kelas menengah.  Ketika ada resepsi, makanan di gubuk yang menyajikan makanan tradisional lebih diminati orang dibanding makanan utama. Dari situ orang tersebut memikirkan bagaimana caranya “membawa” makanan tradisional ke restoran yang kondisinya cocok untuk masyarakat kelas menengah.  Dan akhirnya terciptalah restoran semacam Dapur Desa, Bumbu Desa, Warung Ndeso dan sebagainya.

Ijinkan saya menceritakan bagaimana awal muculnya ide Universitas Negeri Surabaya (Unesa) membangun Ranunesa, sebuah busem di kampus Unesa Ketintang.  Pada waktu itu beberapa teman memikirkan mengapa kampus Unesa Ketintang selalu banjir.  Ternyata disebabkan oleh dua faktor.  Pertama,  area kampus Ketintang lebih rendah dibanding area sekitarnya.  Mengapa? Karena kampus Ketintang dibangun paling awal, ketika lahan sekitarnya nasih berupa sawah.  Setelah kampus Ketintang dibangun, area di sekitarnya dibangun kantor Telkom dan perumahan.  Nah, halaman gedung dan perumahan yang dibangun belakangan tersebut dibuat lebih tinggi.  Akhirnya kampus Ketintang mirip cekungan panci.

Kedua, di depan kantor Telkom ada sungai yang mengalirkan air hujan dari daerah perkampungan Ketintang Barat dan Karangrejo.  Pada awalnya sungai itu mengalir melalui tepi Jalan Ketintang PTT Gang V dan masuk ke sungai di sebelah rel kereta api dan selanjutnya masuk ke sungai yang lebih besar ke arah Jemursari.

Ketika muncul banyak warung di Ketintang PTT Gang V, sungai tersebut menjadi menyempit.  Pada saat itu Unesa membuat sungai di pinggiran timur kampus Ketintang untuk menampung air hujan.  Tidak ada yang tahu kejadiannya, kemudian sungai dari depan kantor Telkom disambungkan dengan sungai di dalam kampus Ketintang.  Dan sungai di bawah warung-warung Ketintang PTT Gang V cenderung buntu.  Dengan demikian, area kampus Unesa Ketintang menjadi tampungan air hujan setempat dan aliran air hujan daru daerah Ketintang Barat dan Karangrejo.

Berangkat dari simpulan tadi, agar kampus tidak banjir harus punya busem yang dapat menampung air hujan setempat maupun air hujan dari Ketintang Barat dan Karangrejo.  Pada musim hujan, air di busem tersebut diupayakan dalam level terendah agar mampu menampung air hujan tadi.  Bagaimana caranya?  Dengan memompa keluar ke sungai besar di sebelah selatan kampus.  Berapa daya tampung busem yang dibutuhkan, berapa kemampuan pompa yang diperlukan dan bagaimana agar air yang sudah dipompa keluar tidak masuk kembali, menjadi problema baru yang harus dipecahkan.  Dan itu memerlukan analisis yang cermat.

Saya menduga Pak Mukibat dan peternak kambing tanpa bau di Rungkut maupun penemu restoran Dapur Desa menerapkan pola pikir yang mirip dengan penemuan Ranunesa.  Contoh-contoh tersebut menggambarkan bagaimana orang atau sekelompok orang berpikir kritis.  Mengkritisi sesuatu fenomena yang dijumpai.  Mengapa fenomena itu terjadi.  Dan akhirnya menemukan bagaimana mengatasinya atau bahkan memanfaatkan untuk keperluan tertentu. Kemampuan berpikir kritis dilakukan untuk menganalisis mengapa fenomena itu terjadi, apa penyebabnya. 

Dari hasil analisis itu, seringkali memunculkan ide bagaimana mengatasinya atau bagaimana memanfaatkannya.  Tahap kedua ini disebut tahap berpikir problem solving (memecahkan masalah).  Dan biasanya pemecahan masalah dan pemanfaatan itu dilakukan secara kreatif.  Dengan begitu tahap kedua juga disebut berpikir kreatif.  Itulah sebabnya, berpikir kritis, berpikir problem solving dan berpikir kreatif seringkali bergandengan.

Ketiga jenis berpikir tersebut tergolong berpikir tingkat tinggi (higher order thinking) yang sangat penting.  Mengapa?  Karena tiga tahapan itulah yang menghasilkan gagasan baru.  Pada hal gagasan baru itulah yang menjadi salah satu faktor penentu kemajuan.   Hampir semua temuan-temuan dalam industri maupun dalam kehidupan keseharian didapatkan melalui proses berpikir kritis dan problem solving secara kreatif.

Apakah pola berpikir kritis juga penting untuk kehidupan sosial kemasyarakatan?  Apakah juga bermanfaat untuk memecahkan masalah?   Saya yakin jawabnya “ya”, sangat penting dan dapat untuk memecahkan masalah.   Munculnya POSYANDU, saya duga sebagai hasil berpikir kritis, berpikit problem solving dan berpikir kreatif.  Saya menduga pada awalnya ada orang yang mengamati banyak anak-anak kecil di perkampungan yang lingkungannya kurang sehat.  Ibu-ibu di perkampungan biasanya kurang peduli kepada kesehatan anaknya.  Sementara itu jarak perkampungan dengan rumah sakit atau puskesmas agak jauh.  Situasi itu yang saya duga memunculkan gagasan awal dari Posyandu (Pos Layanan Terpadu).  Suatu tempat layanan pemeriksaan kesehatan dan penyuluhan kesehatan bagi ibu dan anak-anak.

Begitu pentingnya ketiga pola pikir tersebut (berpikir kritis, berpikir kreatif dan memecahkan masalah) banyak ahli pendidikan menganjurkan agar pendidikan mengutamakan pengembangannya.  Banyak sekolah di negara maju yang sudah menerapkannya.  Dan ternyata pengembangan ketiga pola pikir tersebut sudah dapat dimulai pada tahap anak-anak.  Eagle View Elementary School di negara bagian Virginia Amerika Serikat mengembangkan tiga pola pikir tersebut dan bahkan menjadikannya sebagai ikon sekolah, yaitu Be Critical Thinker, Be Problem Solver and Be Creative.

Di Indonesia juga banyak sekolah yang secara khusus menekankan pengembangan kemampuan berpikir kritis, berpikir kreatif dan problem solving.  Sekolah yang menggunakan nama “sekolah alam” biasanya melakukan itu dan bahkan dibarengi dengan pengembangan karakter/akhlak. 

Salah satu ciri sekolah seperti itu biasanya anak-anak banya diajak untuk mengamati lingkungan atau memperhatikan suatu kejadian.  Misalnya lalu lintas yang macet, sungai yang banjir, pasar yang menjual banyak buah, halaman sekolah yang rumputnya tidak tumbuh, tukang becak yang nongkrong menunggu penumpang dan sebagainya.   Anak-anak kemudian dipancinh pertanyaan “mengapa kok macet ya?”, “mengapa kok dapat banjir ya?”, mengapa banyak sekolah mangga di pasar ya?”, dan sebagainya.  Dari pertanyaan itu dilanjutkan dengan diskusi.  Tentu diskusi yang sesuai dengan tingkat perkembangan berpikir anak.

Pada sekolah seperti itu biasanya pertanyaan yang diawali dengan kata “apa, siapa, dimana dan kapan”, tidak dianjurkan.  Yang dianjurkan adalah pertanyaan yang diawali dengan kata “mengapa dan bagaimana”.  Soal-soal pilihan ganda juga tidak dianjurkan.  Yang dianjurkan adalah soal cerita yang memberi kesempatan anak untuk menuangkan pikirannya.  Pikiran yang mungkin berbeda dengan pikiran guru pembuat soal.

Proses pembelajaran yang diharapkan di sekolah seperti itu adalah terjadinya diskusi antar siswa.  Tugas guru adalah mengajukan pertanyaan pancingan agar terjadi diskusi.  Jika sudah terjadi tugas guru selanjutnya adalah memandu agar diskusi terarah.  Guru harus menghindari memberikan jawaban tetapi memandu agar siswa menemukan jawabannya sendiri.  Guru yang baik adalah yang siap “dibantah” atau berdiskusi dengan siswa, yang punya pendapat yang berbeda dengan guru.

Sekolah semacam itu banyak diminati oleh masyarakat, walaupun uang sekolahnya relatif mahal.  Ketika SD biasa kekurangan murid, sekolah seperti itu justru dibanjiri peminat.  Anak-anak yang masuk biasanya berasal dari keluarga  kelas menengah dan orangtua yang relatif terdidik.   Banyak juga mereka yang pernah menempuh pendidikan di luar negeri.

Mengapa demikian?  Belum ada studi tentang itu.  Namun dari pengalaman ngobrol dengan orangtua anak yang sekolah semacam itu, biasanya mereka tidak puas dengan sekolah “biasa” yang cenderung mengajarkan hal-hal yang mekanistik dan kurang merangsang anak untuk berpikir kritis.  Pada hal dalam kehidupan nyata di masyarakat, kemampuan berpikir kritis dan kemampuan memecahkan masalah secara kreatif itulah yang diperlukan.  Bahkan ada ungkapan dari mereka: bukankah tugas sehari-hari adalah memecahkan masalah.

Bagi yang ingin bagaimana cara berpikir kritis dan bagi guru yang ingin mengajarkan berpikir kritis sekarang sangat banyak tersedia bacaan.  Yang paling mudah buka saja Google dan ketika pencarian untuk “berpikir kritis” atau”critical tinking” atau “teaching critical thinking”, maka akan muncul ratus pilihan web yang memuat artikel atau buku atau modul untuk berpikir kritis.  Beberapa buku yang dapat ditemukan antara lain: Critical Thinking and Reading: Empowering Leaners to Think and Act, oleh Allan R Neilsen (1989) (sebuah hasil riset yang disponsori oleh Educational Research di Washington); buku untuk guru dengan judul Critical Thinking Across Curriculum: Developing Critical Thinking Skill, Literacy and Philosophy in the Primary Classroom oleh Mal Leicester dan Denise Taylor (2010); buku untuk mahasiswa LPTK dengan judul Critical Thinking Skill for Education Students oleh Brenda Judge, Patric Jones dan Elaine McCreery (2009).  Ketiganya dapat diunduh dari internet secara gratis.  Masih banyak lagi buku atau artikel yang dapat diunduh dari internet.

Buku-buku dan artikel tersebut memuat pengertian berpikir kritis dengan contoh-contoh dalam kehidupan sehari-hari.  Juga memuat cara dan startegi berpikir kritis, tahapannya dan bahkan memuat bagaimana mengajarkannya.  Artinya untuk belajar berpikir kritis ataupun mengajarkan berpikir kritis, kita dapat belajar dari buku0buku dan artikel tersebut.

Apa perbedaan antara berpikir kritis dan orang yang kritis?  Dalam kehidupan sehari-hari sering kita mendengar istilah “orang kritis”, yaitu orang yang cenderung mencari kesalahan orang lain, kesalahan konsep atau kekeliruan suatu produk.  Seperti halnya setiap aktivitas lain, berpikir kritis dapat dilandasi pikiran positif tetapi juga dapat dilandasi pikiran negatif.  Proses berpikir nya relatif sama, namun hasilnya berbeda karena landasan atau tujuannya berbeda.

Contoh-contoh yang disebut di atas, penemuan ketela mukibat, penemuan kotoran kambing tidak berbau, penemuan Dapur Desa dan penemuan Ranunesa, adalah hasil berpikir kritis dan kreatif yang dilandasi tujuan dan pikiran positif.  Namun juga ada contoh lain yang sering kita baca di koran. Gubernur DKI Jokowi yang senang blusukan dikritik menghabiskan anggaran untuk kegiatan tersebut.  Ada orang yang menghibung berapa biaya yang dikeluarkan.  Mungkin itu contoh berpikir kritis tetapi dilandari pikiran negatif.

Terkait dengan contoh itu, ada kata-kata bijak yang perlu direnungkan.  Pada akhirnya ilmu hanyalah alat.  Alat untuk mencapai tujuan.  Tujuan yang dapat positif atau negatif.  Dan itu tergantung kepada hati dan niatnya.  Artinya “ilmu berpikir kritis” pada dasarnya netral. Tergantung pikiran dan niat orangnya.  Jika niatnya positif akan dapat menghasilkan gagasan baru yang cemerlang.  Jika niatnya negatif sangat mungkin menimbulkan fitnah atau paling tidak pikiran suudhon atau kerucigaan yang tidak diperlukan.

Apakah berpikir kritis merupakan kosep baru dalam dunia pendidikan dan psikologi?  Saya yakin tidak. Kalau kita mencermati taksonomi Bloom, berpikir kritis dapat diidentikkan dengan gabungan berpikir analisis, sintesis dan evaluasi.  Tahapan berpikir yag sering disebut berpikir tingkat tinggi.  Bukankah berpkir kritis dimulai mempertanyakan mengapa fenomena atau kejadian itu berlangsung?  Apa faktor-faktornya?  Kemudian digandengkan dengan konsep lain, sehingga kita dapat menyimpulkan fenomena itu terjadi karena begini.  Dan jika dilakukan ini dan itu kejadiannya akan menjadi lain.  Bukankah itu gabungan berpikir analisis, sintesis dan evaluasi?

Yang tampak berbeda adalah arahan berpikir kritis itu untuk memecahkan masalah.  Seperti disebutkan di atas bahwa berpkir kritis pada umumnya langsung bersambung dengan pemecahan masalah.  Paling tidak mencari alternatif yang lebih baik.  Misalnya ketika kita mencermati lalu lintas ke kampus, mengapa selalu macet.  Setelah menemukan faktor penyebabnya, biasanya kita terpicu untuk memikirkan cara agar tidak macet.

Apakah anda ingin berlatih berpikir kritis?  Atau anda ingin mengajarkan berpikir kritis kepada siswa atau anak?  Jika ya, “Ten Takeaway Tips for Teaching Critical Thinking” yang dimuat di www.edutopia.org/stw-kipp-critical-thinking-10tips-for-teaching., layak untuk dibaca.  Sepuluh tip tersebut merupakan strategi yang baik untuk mengajarkan berpikir kritis dan juga untuk belajar secara mandiri. Berikut sepuluh tip yang dimaksud.

1. Bertanya, bertanya dan bertanya.  Bertanya atau mempertanyakan fenomena atau kejadian merupakan langkah awal atau bahkan tonggak pertama dalam berpikir kritis.  Misalnya mempertanyakan mengapa kalau akan hujan udara menjadi panas sekali.  Mengapa kalau musim mangga harga mangga sangat murah.  Mengapa orang di pedesaan saling mengenal dengan tetangganya, sementara orang kota tidak.  Mengapa mahasiswa Unesa banyak yang berasal dari luar kota.   Mengapa sejak tahun 2011 jumlah peminat masuk LPTK meningkat secara signifikan.  Dan seterusnya.

Pertanyaan tersebut dapat untuk diri sendiri atau juga ditanyakan kepada siswa yang diajari berpikir kritis.  Jika ternyata siswa atau anak-anak tidak segera merespons dapat juga kita berikan jawaban yang salah dan siswa tahu kalau itu salah.  Misalnya pada saat musim mangga di pasar jarang ada mangga, sehingga harganya murah.  Biasanya jawaban yang tampak salah akan merangsang siswa untuk mengatakan “itu salah” dan kemudian mengajukan pikirannya.

2. Mulai dengan mencermati fenomena dan berusaha mengidentifikasi faktor apa saja yang terkait.  Fenomena yang dipertanyakan dicermati dengan baik dan mencoba mencari faktor apa saja yang berpengaruh terhadap fenomena tersebut.   Misalnya tentang mengapa di pedesaan orang saling mengenal, sementara di perkotaan banyak orang yang tidak mengenal tetangganya.  Untuk itu kita dapat mulai bertanya: apa yang menyebabkan orang satu dan lainnya saling mengenal.  Asal usulnya sama atau bahkan masih ada hubungan kekerabatan.  Jenis pekerjaan sama atau sejenis, sehingga membuat saling ketemu.  Waktu kerja tidak terlalu padat sehingga punya waktu luang untuk saling bertemu di luar pekerjaan. Dan seterusnya.

Jika anda mengajarkan kepada siswa, anda dapat mengajukan pertanyaan tersebut.  Bahkan dapat sedikit provokatif.  Misalnya mana yang menjadikan orang mengenal satu sama lain, yang sering ketemu atau yang jarang ketemu.  Mana yang sering ketemu dengan tetangga, orang kota atau orang desa.  Mana yang memudahkan saling mengenal, mereka yang memiliki hubungan kekerabatan atau tidak.  Mana yang membuat orang saling mengenak, orang yang pekerjaannya sama atau yang berbeda.  Seterusnya, pertanyaan mengapa orang desa lebih mengenal satu sama lain, sementara banyak orang kota tidak mengenal tetangganya?

3. Upayakan berdiskusi dengan teman.  Berdiskusi atau bahkan berdebat merupakan wahana bagus untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis.  Misalnya mencermati lalu lintas yang macet, kita dapat berdiskusi apakah karena kendaraan yang lewat melebihi kapasitas jalan.  Apa bukti dan data yang mendukungnya.  Apakah orang yang berlalu lintas tidak tertib.  Jika itu apa data yang mendukungnya.  Apakah akibat adanya proyek yang mengganggu lalu lintas.  Atau ada penyebab lainnya?  Berbagai dugaan tersebut akan menarik didiskusikan, karena masing-masing memerlukan data dan telaah kritis.  Dan dengan melalui diskusi, kita dapat mengasah kemampuan berpikir kritis.

Jika kita dalam posisi mengajarkan berpikir kritis, kita dapat mendorong siswa untuk saling berdiskusi dan bahkan berdebat.  Masing-masing siswa didorong untuk mengajukan argumentasi yang berbeda dan kemudian menjelaskan argument itu kepada temannya.  Jika siswa lambat memulai diskusi, kita dapat mengajukan pertanyaan atau statement pancingan.  Misalnya, mungkinkan jalan macet karena banyak galian pipa PDAM?  Atau mungkin karena banyak motor yang jalannya tidak tertib. Dan sebagainya, dengan tujuan siswa memberikan respons yang beragam dan kemudian mulai mendiskusikannya.

4. Modeling sangat penting.  Seperti kata orang bijak, cara belajar yang paling mudah adalah dengan meniru orang lain.  Biasanya yang ditiru adalah mereka yang hebat atau orang yang telah sukses melakukan.  Cerita tentang pengusaha restoran mengembangkan Dapur Desa dan beberapa orang di Unesa membuat busem Ranunesa dapat menjadi model.

Model yang ditiru sebenarnya tidak hanya orang, tetapi juga binatang atau bahkan tumbuhan.  Konon pondasi cakar ayam ditemukan Prof. Sediyatmo dengan mengamati pohon kelapa.  Mengapa pohon kelapa yang akarnya serabut tidak roboh diterpa angin.  Konon pondasi sarang labah-labah ditemukan dengan terinspirasi bentuk sarang labah-labah, yang begitu kuat menaham tabrakan binatang terbang.  Pada sarang labah-labah hanya terdiri dari semacam benang yang sangat kecil.

Jika anda ingin mengajarkan berpikir kritis kepada siswa, jalan yang terbaik adalah anda sendiri menjadi modelnya.  Menjadi model secara utuh, mulai dari mempertanyakan fenomena, mengidentifikasi berbagai faktor yang terkait , membandingkan dengan fenomena di tempat lain atau kejadian lain, melakukan diskusi bebas dengan banyak orang, dan mencari alternatif pemanfaatan atau pemecahannya.

5. Mendorong pikiran altenatif yang kontroversi.   Gagasan baru seringkali lahir dari pikiran yang “liar”.  Mengkritisi sebuah fenomena juga memerlukan pikiran yang “liar”.  Artinya, ketika kita mempertanyaan sebuah fenomena kita harus berani mengajukan dugaan-dugaan yang liar, agar menemukan faktor-faktor yang mungkin selama ini dianggap aneh.  Kita juga dapat mempertanyakan hal-hal yang dianggap aneh atau tabu.  Misalkan mengapa perkawinan sejenis disahkan di negara tertentu.  Mengapa banyak orang percaya pada UFO atau percaya bahwa Sultan Jogya beristerikan Ratu Laut Selatan.  Mengapa Rudi Rubiandini, profesor dan dosen teladan ITB tetapi melakukan korupsi.  Mengapa da’i dan tokoh partai sekelas Lutfi Hasan Ishaq melakukan korupsi.   

Dengan pertanyaan atau permasalahan tersebut kita akan terdorong memunculkan ide liar.  Misalnya, memang betul bahwa Sultan Jogya secara turun temurun beristerikan Laut Selatan karena suatu “perjanjian dengan makhluk halus” atau itu hanya cara penguasa zaman dulu untuk mendapatkan legitimisasi dari masyarakatnya.   Adanya negara yang mengesahkan perkawinan sejenis itu sudah bagi dari tanda-tanda akhir zaman, tanda-tanda kiamat sudah depat.  Atau negara adalah negara demokratis yang memfaslitasi hak setiap warga negara.  Perbedaan pandangan yang ekstrem akan mendorong terjadi diskusi atau perdebatan dan mendorong terjadinya proses berpikir kritis.

6. Memilih topik yang relevan.  Agar kita terdorong untuk melakukan kajian dengan sungguh-sungguh, sebaiknya memilih fenomena atau topik yang relevan dengan pekerjaan atau kehidupan kita.  Misalnya pedagang mempertanyaan mengapa buah impor membanjiri pasar kita.  Guru/dosen mempertanyakan, kalau semua informasi sudah ada di Google lantas pendidikan kita ke depan seperti apa.  Mahasiswa mempertanyakan, mengapa banyak Bank atau perusahaan besar menerima karyawan baru tanpa membedakan jurusan asalnya?  Tentu disesuaikan dengan tingkat berpikirnya. Misalnya siswa SD atau SMP diminta membahas mengapa kucing dan anjing selalu bermusuhan.

Topik yang terkait dengan dirinya atau kehidupan sehari-harinya, akan membuat orang tertarik melakukan kajian secara sungguh-sungguh.  Mengapa? Karena itu terkait dengan eksistensi dirinya atau yang ada disekitarnya tetapi belum tahu mengapa itu terjadi.   Jika perlu diberikan pancingan pertanyaan.  Misalnya ada pertanyaan kepada mahasiswa.  Apakah pegawai Bank gajinya besar?  Mengapa banyak pejabat Bank bukan lulusan Fakultas Ekonomi?  Mengapa sekarang banyak Bank besar menerima calon karyawan dari semua jurusan?  Kepada siswa SMP ditanya dapat tidak anak kucing dan anak anjing dibiasakan hidup bersama sejak kecil.

7. Melakukan diskusi ala Socrates.   Di masa hidupnya, Socrates membuat pola diskusi agar setiap muridnya bertanya kepada yang lain.  Pertanyaan yang dapat mengungkap logika yang bertanya maupun yang menjawabnya.  Dengan cara itu Socrates ingin muridnya mengasah kemampuan berpikir logis dan analisis.  Untuk itu format diskusi dibuat informal sehingga antara satu murid dengan murid lain dapat saling mengajukan pertanyaan.

Kalau anda ingin mengasah kemampuan berpikir kritis, maka buatlah kelompok diskusi informal yang membahas berbagai hal.  Dan antara satu peserta dan peserta lainnya saling bertanya, berdiskusi bahkan berdebat.  Agar diskusi dapat merangsang pemikiran kritis, disengaja dibuat pertanyaan yang bernada tidak setuju atau menentang jawaban yang diberikan teman.

Untuk anda yang ingin mengajarkan berpikir kritis kepada siswa, sebaiknya siswa dibagi dalam kelompok-kelompok yang saling tidak setuju.  Misalnya kelompok A harus mengajukan pertanyaan dan pendapat yang tidak setuju dengan kelompok B.  Dan sebaliknya.  Dengan cara itu, masing-masing kelompok akan berusaha mencari argument (pikiran kritis) untuk bertahan atau menentang pendapat kelompok lainnya.

8. Berpikir kritis tidak hanya diukur dengan tulisan.  Kemampuan berpikir kritis dapat dilhat dari berbagai aspek.  Tulisan, baik buku, artikel ataupun cerita memang dapat menggambarkan kekritisan pikiran seseorang terhadap suatu masalah.  Namun diskusi dan tanya jawab dalam suatu foru juga dapat menunjukkan kemampuan berpikir kritis dan logis seseorang.  Oleh karena itu, kita dapat berlatih menuangkan pikiran kritis melalui tulisan di koran, artikel di majalah/jurnal, cerita pendek, novel bahkan sebuah buku.

Bagi guru yang ingin mengetahui kemampuan berpikir kritis siswa, dapat meminta siswa menuliskan kajian terhadap suatu fenomena.  Juga dapat meminta siswa menulis cerita pendek tentang kejadian yang dilihat atau dialami.  Juga dapat meminta mereka berdiskusi dan mengamati cara mereka mengajukan pertanyaan maupun menjawabnya.

9. Saling menilai antar teman dapat menjadi cara menilai kemampuan berpikir kritis.  Teman juga merupakan penilai yang baik terhadap kemampuan berpikir kritis seseorang.  Oleh karena itu, ketika sedang belajar berpikir kristis, kita dapat meminta teman untuk menilai apakah tulisan kita, pertanyaan kita, jawaban kita dan argument yang kita ajukan menunjukkan kemampuan berpikir kritis.   Teman kita minta menilai seberapa kritis pemikiran kita dari tulisan dan argument yang kita ajukan saat berdiskusi.

Cara serupa juga dapat diterapkan saat kita mengajarkan berpikir kritis.  Siswa dapat kita minta menilai temannya.  Antar teman saling menilai dan pada akhirnya setiap siswa mendapat penilaian dari teman lain.  Mirip dengan sosiometri yang biasa digunakan dalam penilaian teman sejawat.

10. Melangkah mundur.   Ini sangat penting bagi mereka yang mengajarkan berpikir kritis kepada siswa.  Guru harus siap “mundur ke belakang” untuk memberi kesempatan siswa mengajukan pikiran-pikiran kritis yang mungkin berbeda atau bahkan berlawanan dengan apa yang dipikirkan oleh guru.  Dengan cara itu siswa akan percaya diri mengajukan gagasan dan pada akhirnya menjadi pemikir yang kritis.

Sepuluh langkah di atas pasti bukan satu-satunya cara untuk belajar berpikir kritis.  Masih banyak cara lain.  Dan kita sebaiknya juga mengkritisi apakah memang 10 langkah tersebut paling efektif dalam belajar berpikir kritis.   Untuk itu anda perlu mencermati orang yang kritis dan kreatif, mendiskusikan dengan teman lain, sehingga dapat menemukan cara lain yang lebih efektif.

Seperti dijelaskan pada bagian awal bahwa berpikir kritis dengan berpikir kreatif biasanya bergandengan dan berujung pada pemecahan masalah atau munculnya gagasan baru.  Pertanyaannya bagaimana cara belajar berpikir kreatif.  Apakah berpikir kreatif dapat dipelajari atau bawaan sejak lahir.

Menjadi perdebatan panjang apakah berpikir kreatif dapat dikembangkan pada seseorang.  Tampaknya para ahli sampai pada simpulan bahwa kemamuan berpikir kreatif dapat dikembangkan.  Walaupun sudah pasti dipengaruhi oleh potensi dasar yang dimiliki.  Artinya, bagi anak yang potensi kreatifnya tinggi tentu lebih mudah dikembangkan.  Sebaliknya pada anak yang potensi kreatifnya tidak terlalu besar, lebih sulit diajari untuk kreatif. Namun tetap saja dapat meningkat.

Pertanyaannya apakah untuk menjadi kreatif seseorang harus berpikir out of the box.   Berpikir yang sama sekali berbeda dengan apa yang ada, sehingga orang lain tidak menduga.  Atau bepikir kreatif dapat dilakukan secara gradual.  Untuk itu saya menganjurkan untuk membcara buku Inside The Box, yang disusun oleh Drew Boyd dan Jacob Goldenberd.  Drew Boyd adalah  pensiunan dari pejabat penting di Johnson & Johnson, sedangkan dan Jacob Goldenberd adalah  profesor bidang Marketing di Columbia University.

Melalui riset panjang dua orang itu menemukan bahwa sebagian besar produk kreatif tidak dilakukan melalui berpikir out of the box, melainkan inside the box.   Bahkan mereka membuktikan bahwa kreativitas dapat dilatih melalui suatu cara yang disebut Systematic Inventive Thinking (SIT).  Ada lima teknik dalam SIT, yaitu subtraction, division, multiplication, task unification dan attribute dependency.

Melaui pola pikir substration, pengembang suatu produk melakukan inovasi dengan  mengurangi bagian atau komponen produk yang bukan utama, sehingga pembuatan/pelaksanaan produk menjadi lebih efisen.  Budget hotel yang akhir-akhir berkembang dan penerbangan yang menerapkan low cost carrier (LCC) yang diterapkan oleh Air Asia dan Lion Air adalah contohnya.  Mereka mengurangi layanan yang tidak penting karena pelanggan tidak memerlukan atau menganggap itu penting.  Untuk hotel, banyak pelanggan yang hanya memerlukan tempat untuk tidur/istirahat dengan nyaman.  Mereka tidak memerlukan fasilitas seperti kolam renang, sarapan pagi sebagainya.  Oleh karena layanan itu dihilangkan, sehingga tariff hotel menjadi lebih murah.  Hal serupa diterapkan oleh penerbangan LCC dengan mengurangi layanan makanan dan minuman selama penerbangan.

Melalui pola pikir division, inovasi dilakukan dengan kreativitas memisahkan komponen produk agar lebih nyaman penggunaannya.  Remote control untuk TV dan AC membuat kita lebih mudah menggunakannya.  Demikian pula printer yang dapat dihubungkan dengan komputer melalui sinyal.  Pola itu juga diterapkan untuk telepon rumah yang dibuat portable.

Melalui pola pikir multiplication,  inovasi dilakukan dengan kreativitas mengopi bagian yang sudah ada untuk keperluan lain, sehingga fungsi produk menjadi lebih baik.  Tambahan roda kecil pada speda untuk anak-anak adalah contoh inovasi ini.  Dua roda kecil tambahan yang dipasang di bagian belakang sepeda, sebenarnya hanya “copy” dari roda yang sudah ada sebelumnya.  Tetapi dengan tambahan itu anak-anak menjadi lebih aman, karena sepeda tidak dapat ambruk.

Melalui pola pikir task unification, inivasi dilakukan melalui kreativitas menggabungkan beberapa fungsi produk menjadi satu agar lebih simpel.  Tas punggung yang dapat untuk membawa buku, laptop dan sedikit pakaian adalah contoh kreativitas ini.  Demikian pula layanan one stop shoping atau layanan satu atap di kantor pemerintah.  Intinya dengan satu produk, baik barang atau layanan, beberapa keperluan dapat terlayani sekaligus.

Melalui pola pikir attribute dependency, inovasi dilakukan melalui kreativitas menemukan sebuah produk yang dapat mengatur diri sendiri agar tidak merepotkan penggunanya.  AC yang dapat mengatur suhu seperti yang diinginkan, wiper kaca mobil yang dapat mengatu sendiri kecepatan sesuai dengan curah hujan, telepon genggam yang mati sendiri setelah beberapa lama tidak dipakai, adalah contoh inovasi tersebut.


Kalau kita mencermati inovasi-inovasi produk tersebut diatas, baik berupa benda ataupun layanan, dapat diduga inovasi itu didasari untuk meningkatkan “kualitas” produk.  Jadi dari awal tujuannya untuk memecahkan masalah dari produk yang sudah ada yang dinilai kurang baik atau kurang dapat bersaing.  Untuk itu dilakukan telaah kritis terhadap produk yang sudah ada.  Disinilah tahapan berpikir kritis berfungsi.  Dari hasil telaah tersebut dilakukan inovasi yang tentu saja mengandalkan daya kreativitas, sampai pada akhirnya masalah dapat diselesikan melalui inovasi tertentu.  Itu artinya, pemecahan masalah selalu menggunakan kemampuan berpikir kritis.