Kamis, 12 September 2019

MENJADI PELAYAN HAJI PERLU IKHLAS


Tanggal 10 September 2019 saya terbang dari Jakarta ke Kupang untuk memenuhi undangan Pemprop NTT yang akan membuat grand design pendidikan.  Walaupun transit di Surabaya, saya tidak bisa mampir rumah karena waktunya hanya 45 menit.  Bahkan saya tidak turun dari pesawat. Sesuai instruksi crew, saya tetap duduk di kursi yang sesuai dengan boarding pass dengan membuka hand phone, siapa tahu ada email atau wa yang masuk.  Tentu juga mengabarkan ke isteri kalau sedang transit di Juanda tetapi tidak mampir rumah.

Dari omongan pramugari dengan petugas darat yang naik ke dalam pesawat, saya mendengar kalau penumpangnya penuh karena ada rombongan jamaah haji. Dan betul setelah itu ada petugas yang mendorong kursi roda untuk bapak-bapak jamaah haji yang tampak sudah sepuh sekali.  Ternyata beliau mendapat kursi nomer 43A, sedangkan kursi saya nomer 43C. Ketika sampai di dekat saya, pramugari bertanya “apakah bapak dapat berjalan?”.   Jamaah tersebut menjawab tetapi dalam bahasa daerah, sehingga pramugari tidak faham.  Untung ada penumpang di kursi belakang yang faham bahasa tersebut dan mengatakan, bapak tersebut tidak berdiri.  Akhirnya petugas pendorong kursi mengangkat beliau.  Agar tidak repot saya menawarkan agar jamaah tersebut duduk di kursi 43C dan saya pindah ke 43A.  Pramugari setuju.


Tidak lama datang berselang datang jamaah lagi yang juga didorong di kursi roda.  Kali ini ibu-ibu, dengan usia yang dugaan saya hampir sama.  Ternyata jamaah wanita itu dapat kursi 43K, berarti di jendela.  Dan ternyata beliau juga tidak dapat berdiri, sehingga petugas yang mendorong mengangkatnya ke kursi, seperti jamaah laki-laki di sebelah saya.  Senang sekali, karena penumpang yang dudul di kursi 43H mau bertukar tempat.

Saya memperhatikan kedua jamaah tersebut, dengan rasa haru, bangga dan kasihan yang campur baur.  Haru karena keduanya tampak lemah tetapi tidak mengeluh sama sekali, baik ketika didorong, diangkat maupun saat kesulitan ketika mendapat pembagian makan malam.  Bangga, karena ada orang yang berusia lanjut tetapi masih bersemangat untuk menjalankan ibadah haji yang semua muslimin/muslimah faham memerlukan tenaga besar.  Kasihan, karena sebagai jamaah usia lanjut sepertinya kurang mendapatkan layanan dari petugas haji.

Ketika semua jamaah sudah duduk, saya melihat ada penumpang yang memakai jaket dan topi bertuliskan "petugas jamaah haji". Saya kurang faham apa saja kuwajiban petugas haji sekarang, walaupun sekian tahun lalu pernah menjadi petugas haji.  Setahu saya ketika penumpang mulai naik pesawat seperti itu, penumpang yang memerlukan bantuan, penumpang lanjut usia, hamil dan membawa anak-anak, dipersilahkan naik lebih dahulu.  Biasanya keluarga diminta untuk mendampingi.  Saya tidak tahu, mengapa petugas haji tidak mendampingi kedua jamaah lansia yang tidak dapat berdiri tersebut. 

Ketika pesawat mulai take off dan pramugari telah memberikan selimut kepada kedua jamaah tersebut, dalam hati saya memuji mbak pramugari.   Biasanya untuk mendapatkan selimut, penumpang harus meminta. Tetapi kali ini, selimut diberikan dan bahkan dipasangkan walaupun kedua jamaah tersebut tidak meminta.  Mungkin juga tidak akan meminta karena tidak dapat berbahasa Indonesia.  Ketika makan malam dibagi, saya sangat terharu karena kedua beliau kesulitan untuk makan.  Jamaah bapak-bapak tidak makan dan hanya minum, sedangkan jamaah ibu-ibu hanya makan pudingnya saja.

Ketika pesawat landing dan jamaah turun, ada seorang ibu yang menggoda jamaah bapak-bapak dengan mengatakan kalau beliau ingin pulang untuk menanam jagung.  Ternyata beliau dokter yang mendampingi jamaah haji. Penumpang biasa pada turun, dan kedua jamaah tersebut menunggu sampai nanti dijemput dengan kursi roda.  Saya kaget dan bingung melihat penumpang berjaket dan bertopi petugas haji itu turun melewati kedua jamaah lansia itu tanpa menyapa dan terus turun.  Mungkin beliau capek, karena sudah mendampingi mulai dari Saudi Arabia. Tetapi bukankah itu sudah menjadi tugasnya dan sudah diketahui ketika bersedia menjadi petugas haji.

Ketika kursi roda datang, ternyata ada petugas haji lain yang memakai kaos.  Beliau cerita kalau sebagai petugas haji.  Oh, mungkin yang berjaket petugas haji dan turun dahulu tanpa menyapa jamaah berkursi roda itu bosnya, sehingga merasa sudah ada anak buah yang mengurus jamaah lansia itu. Petugas muda yang memakai kaos itulah yang mengangkat kedua jamaah lansia itu, dan kemudian petugas garuda yang mengangkat kursi turun tangga. Saya sungguh senang dan bangga, ternyata bu dokter tadi masih di pesawat sampai kedua jamaah lansia itu turun dari pesawat.  Semoga ini menjadi pelajaran untuk kita, yang baik kita tiru sedangkan yang kurang baik kita tinggalkan.