Kamis, 06 Desember 2012

SERTIFIKASI GURU DALAM JABATAN


Pendahuluan

Sertifikasi guru sebenarnya merupakan amanah UU No 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen.  Pasal 1 butir 1 menyebutkan: “Guru adalah pendidikan profesional dengan utama mendidik, mengajar……..”.   Selanjutnya pada pasal 1 butir 4, disebutkan: “Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan seseorang dan menjadi sumber kehidupan yang memerlukan keahlian, kecakapan dan kemahiran yang memenuhi standar mutu dan norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.”  Pasal 1 butir 12 menyatakan sertifikat pendidikan adalah bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga profesional.  Dari rangkaian ayat-ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagai seorang profesional, guru harus memiliki sertifikat pendidik yang diperoleh setelah yang bersangkutan mengikuti dan lulus pendidikan profesi. 

Pasal 1 butir 11 menyebutkan bahwa “sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru dan dosen.”   Namun yang dimaksud pemberian tentu bukan sekedar “memberikan”, tetapi lebih dahulu menguji dan jika memenuhi persyaratan sebagai profesional, yang bersangkutan diberikan sertifikat pendidik.  Mirip dalam bidang engineering, suatu pesawat yang selesai diproduksi diujicoba dan jika memenuhi persyaratan terbang, diberikan sertifikat sebagai bukti layak terbang.

Apa yang dimaksud dengan pendidikan profesi?  Undang-undang No 14 Tahun 2005 tidak menjelaskan.   Yang menjelaskan hal itu UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pada penjelasan pasal 15 yang berbunyi “Pendidikan profesi merupakan pendidikan tinggi setelah program sarjana yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan persyaratan keahlian khusus.   Pengertian serupa juga kita temui di Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, pada pasal 17.  Berarti calon guru harus lulus pendidikan S1, kemudian mengikuti pendidikan profesi dan pada akhir pendidikan profesi disertifikasi untuk memperoleh sertifikat pendidik.
Improvisasi Berliku dengan Banyak Kepentingan

Ketentuan di atas tampaknya dimaksudkan untuk calon guru.  Bagaimana dengan guru dalam jabatan tidak disebutkan dalam UU No 14 Tahun 2005.  Pada hal sertifikat pendidik merupakan syarat utama guru untuk mendapatkan tunjangan profesi, baik itu guru PNS maupun guru non PNS di sekolah swasta.  Pasal 16 ayat (2) UU No 14 Tahun 2005 menyebutkan bahwa “pemerintah memberikan tunjangan profesi kepada guru yang telah memiliki sertifikat pendidik yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan dan atau satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat. 

Tentu menjadi sangat berat, jika guru dalam jabatan (guru yang sudah mengajar di sekolah) harus mengikuti pendidikan profesi lebih dahulu untuk dapat ikut sertfikasi. Diskusi dengan berbagai pihak yang terlibat dengan penyusunan UU No 14/2005 dapat disimpulkan bahwa sertifikasi guru dalam jabatan tidak harus melalui pendidikan profesi, sebagaimana calon guru.  Oleh karena itu harus dicari pola sertifikasi guru dalam jabatan dan itu harus memiliki landasan hukum yang kokoh. 

Pada pasal 11 ayat (2) UU No 14/2005 disebutkan bahwa sertifikasi dilaksanakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetapkan oleh pemerintah.  Selanjutnya pada pasal 11 ayat (4) disebutkan bahwa “ketentuan lebih lanjut tentang sertfikasi pendidik diatur dalam peraturan pemerintah”.   Dua ayat itulah yang dapat menjadi pintu dan sekaligus menjadi dasar membuat Peraturan Pemerintah (PP) untuk mengatur sertifikasi guru dalam jabatan. 

Menyusun peraturan pemerintah (PP) biasanya memerlukan waktu yang cukup lama.  Apalagi PP ini menyangkut beberapa departemen, termasuk Departemen Keuangan yang nantinya terkait dengan pembayaran tunjangan profesi.  Sementara itu pasal 82 ayat (1) menyebutkan pemerintah mulai menyelenggarakan program sertifikasi 12 bulan semenjak UU No 14 Tahun2005 diundangkan.

Dua hal itu yang membuat pemerintah kebingungan pada tahun 2006.  Mau melaksanakan belum ada PP sebagai dasar, tidak melaksanakan berarti melanggar amanah pasal 82 ayat (1).  Sebagai jalan keluar, Menteri Pendidikan Nasional meminta fatwa kepada Menteri Hukum dan HAM, apakah boleh melaksanakan sertifikasi guru dengan landasan Peraturan Menteri.  Keluarlah jawaban fatwa Menteri Hukum dan HAM no: I. UM. 01.02-253 tertanggal 23  Maret 2007, yang intinya mengijinkan Depdiknas melaksanakan sertifikasi guru dengan landasan Permendiknas, karena faktor kemendesakan.  Berdasarkan fatwa tersebut, Mendiknas menerbitkan Permendiknas nomor 18 Tahun 2007, sebagai landasan pelaksanaan sertifikasi guru.  Jadi sertifikasi guru Tahun 2007 dan 2008 dilaksanakan berlandaskan Permendiknas, karena PP tentang sertifikasi guru baru terbit pada 1 Desember 2008.

Permendiknas No 18 Tahun 2007 dikhususkan untuk guru dalam jabatan, artinya untuk guru yang sudah mengajar di sekolah.  Sedangkan untuk calon guru akan dimasukkan dalam aturan Pendidikan Profesi Guru.  Lantas apa kegiatan atau substansi sertifikasi guru?  Pada awalnya sertifikasi guru dalam jabatan dirancang melalui uji kompetensi berupa tes tulis yang diikuti dengan tes kinerja bagi yang lulus tes tulis.  Perangkat tes sudah disusun dan diuji coba, dengan melibatkan banyak dosen LPTK.

 Pola tersebut dilandasi pemikiran bahwa sertifikasi adalah “kalibrasi” atau pengukuran apakah seseorang sudah memenuhi syarat sebagai guru profesional, sehingga berhak memperoleh sertifikat pendidik.  LPTK yang mengeluarkan sertifikat pendidik harus yakin dan menjamin bahwa yang penerima sertifika pendidik benar-benar memenuhi standar sebagai guru profesional.  

Dalam konsep tersebut sama sekali tidak disinggung pelatihan bagi calon peserta atau mereka yang tidak lulus sertifikasi.  Asumsinya tugas sertifikasi adalah mengukur dan memastikan bahwa guru yang memperoleh sertifikat pendidik, benar-benar telah sesuai dengan standar yang ditentukan.  Sedangkan pelatihan dan atau pembinaan guru, sebelum dan sesudah proses sertifikasi merupakan tugas lembaga lain. 

Dalam perjalanannya ternyata ada pihak-pihak yang tidak setuju dengan konsep tes tulis dan tes kinerja sebagai bentuk sertifikasi guru dalam jabatan.  Terjadi diskusi dan perdebatan sengit, mana yang didahulukan, antara menyejahterakan guru melalui pemberian tunjangan profesi dengan harapan setelah sejahtera para guru akan meningkatkan kompetensi dan kinerjanya atau meningkatkan kompetensi dan kinerja lebih dahulu dan kemudian memberikan kesejahteraan bagi mereka yang sudah memenuhi syarat.  Arus alternatif pertama ternyata begitu kuat, sehingga tes tulis dan tes kinerja yang sudah disusun dan diujicoba menjadi kurang bermanfaat.

Melalui diskusi panjang dengan disertai “ancaman pendanaan” akhirnya diputuskan bahwa sertifikasi guru dalam jabatan menggunakan portofolio yang diikuti dengan pelatihan bagi yang tidak lulus.  Kesepakatan menggunakan portofolio didasarkan pada pemikiran bahwa portofolio dapat menggambarkan kinerja dan prestasi guru selama bekerja.  Namun sejak awal, pola tersebut diberi catatan bahwa portofolio mendasarkan bahwa: (1) guru memiliki dokumen bukti kinerja dan prestasi yang dicapai, dan (2) guru berlaku jujur ketika menyusun portofolio. 

Dua catatan tersebut sejak awal menjadi bahan diskusi.  Saya termasuk orang yang mempertanyakannya, karena orang Indonesia termasuk guru belum terbiasa menyimpan dokumen sebagai bahan portofolio.  Kejujuran dalam menyusun portofolio juga menjadi pertanyaan besar pada saat ini.  Namun arus untuk menggunakan portofolio begitu kuat, sehingga apa akhirnya terbit Permendiknas No 18 Tahun 2007 yang menyebutkan sertifikasi guru dalam jabatan menggunakan portofolio yang dilanjutkan dengan PLPG bagi yang tidak lulus.

Dengan landasan tersebut dimulaikan pelaksanaan sertifikasi guru dalam jabatan pada tahun 2007.  Dalam perjalanannya dua hal yang sejak awal dipertanyakan ternyata terbukti.  Guru mengalami kesulitan menyusun portofolio, karena tidak menyimpan bukti-bukti kinerja dan prestasi di masa lalu.  Akhirnya para guru meminta surat keterangan kepada lembaga yang dahulu memberikan sertifikat atau surat keputusan.  Dan pola itu menimbulkan penyimpangan, karena banyak surat keterangan “aspal (asli tetapi palsu).  Apalagi ternyata banyak guru yang tidak jujur dan melakukan berbagai cara agar portofolionya bagus dan lulus.

Kondisi LPTK di Indonesia ternyata sangat beragam, baik kelengkapan program studi maupun kualitasnya.  Pada awal pemilihan LPTK yang layak melaksanakan sertifikasi guru dalam jabatan hanya sedikit LPTK yang layak dan umumnya terdapat di kota besar serta Indonesia Bagian Barat.  Muncul masalah pemerataan dan faktor politik.  Muncul ungkapan “Kami belum layak, karena selama ini kurang mendapat dukungan dari pemerintah. Pada hal, sumberdaya alam kami dikeruk untuk kepentingan negara.”  Kebijakan pendidikan ternyata tidak lepas dari faktor politik, sehingga pada akhirnya Mendiknas menetapkan LPTK yang bertugas melaksanakan sertifikasi guru dalam jabatan, yang mempertimbangkan faktor pemerataan dan kemudahan pelaksanaannya. 

Menyadari keberagaman kualitas LPTK pelaksana sertifikasi guru yang berpeluang menghasilkan kualitas yang berbeda-beda, maka dibentuklah Konsorsium Sertifikasi Guru (KSG) yang bertugas dan berwenang mengatur standar mutu dan pelaksanaan sertifikasi guru.  KSB diketuai oleh Dirjen Dikti dan beranggotakan antara lain perwakilan LPTK yang diambil secara proporsional.

Dalam pelaksanaannya keberagaman kualitas pelaksanaan sertifikasi guru ternyata tidak dapat dihindari.  Walaupun sudah dibuat panduan pelaksanaan, termasuk di dalamnya untuk penilaian ternyata ada LPTK yang cenderung “mahal” dengan argumentasi menjaga kualitas, tetapi juga ada LPTK yang cenderung “murah” dengan alasan kemanusiaan terhadap guru-guru yang sudah sekian lama mengabdi dengan kesejahteraan minimal.  Ada yang berargumen, “guru harus menguasai teori dan konsep pendidikan serta materi ajar dengan baik, setara S1.”  Ada yang berargumen, “yang penting prakteknya yaitu guru dapat mengajar dengan baik di kelas. Banyak guru yang mengajar sangat bagus, walupun tidak banyak menguasai teori.”

Implikasi Pembinaan Guru Berkelanjutan

Studi World Bank terhadap pendidikan di Hongkong dan Shanghai (2010) menyimpulkan bahwa pendidikan di kedua daerah tersebut meningkat signifikan, karena: (1) calon guru dipersiapkan dengan baik, (2) setelah menjadi guru mereka mendapatkan pembinaan profesional yang baik, dan (3) guru memiliki ruang gerak untuk berinovasi ketiga bekerja di sekolah.  Studi tersebut juga menggambarkan pola penyiapan dan pembinaan guru di Hongkong dan Shanghai terintegrasi dan berjalan dengan baik.  Bertolak dari hal di atas, pembinaan guru yang akan diuraikan pada bagian berikut adalah mulai dari penyiapan calon guru, sampai mereka bekerja di sekolah.

Kalau kita cermati secara utuh dan seksama, UU No 14/2005 memiliki visi bagus untuk masa depan guru.  Yang disebut secara jelas, sebenarnya sertifikasi bagi calon guru yang ditempatkan di akhir PPG.  Dengan demikian mutu lulusan PPG dapat dijaga.  Pelaksana PPG juga dibatasi kepada LPTK yang terakreditasi dan ditetapkan oleh pemerintah.  Apalagi, pasal 23 ayat (1) menyebutkan pemerintah mengembangkan sistem pendidikan guru berikatan dinas dan berasrama untuk menjamin efisiensi dan mutu pendidikan.  Dengan pola ikatan dinas, maka jumlah calon guru dapat dikendalikan dan dengan berasrama pembinaan pendidikan calon guru dapat lebih optimal.

Pola ikatan dinas sekaligus dapat menjadi alat distribusi guru.  Secara agregat nasional jumlah guru di Indonesia sebenarnya sudah cukup, namun distribusinya tidak merata.  Banyak sekolah di kota besar kelebihan guru, sebaliknya banyak daerah pedesaan dan daerah terpencil yang kekurangan guru.  Dengan pola ikatan dinas, penempatan guru dapat dilakukan dengan lebih baik dan diarahkan kepada daerah-daerah yang kekurangan.

Bagi  Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pendidikan calon guru sebenarnya analog dengan Akademi Militer bagi TNI, IPDN bagi Kementerian Dalam Negeri, Akademi Statistik bagi BPS, STAN bagi Kemeterian Keuangan dan sebagainya.  Pendidikan calon guru dilaksanakan oleh perguruan tinggi di bawah Kemdikbud dan lulusannya digunakan oleh sekolah di bawah Kemdikbud.  Dengan demikian sangat wajar amanat UU No 14/2005, agar pendidikan calon guru menggunakan pola ikatan dinas, sebagaimana diterapkan di Akmil, STPDN dan sebagainya.

Salah satu dampak positif sertifikasi dan pemberian tunjangan profesi kepada guru adalah meningkatnya minat lulusan SLTA masuk ke LPTK.  Sejak tahun 2010 jumlah peminat masuk ke LPTK naik secara signifikan yang tentunya menyebabkan mutu mahasiswa LPTK (minimal LPTK negeri) menjadi lebih baik.  Di Universitas Negeri Surabaya, banyak dosen yang menyatakan mutu mahasiswa DIK kini lebih baik dibanding non-DIK.  Dengan demikian kita dapat berharap empat tahun lagi, saat mahasiswa angkatan tahun 2010 lulus, kita akan mulai memiliki calon guru yang lebih bermutu.

Namun dampak negatif juga terjadi.  Meningkatkan peminat masuk ke LPTK juga mendorong banyak LPTK menerima mahasiswa lebih banyak dan bahkan mendorong beberapa pihak mendirikan LPTK baru.  Menurut informasi jumlah LPTK saat ini sudah lebih dari 330 buah dan konon ada LPTK yang menerima mahasiswa lebih 1000 orang untuk satu program studi.  Kalau gejala ini tidak segera diatasi, ditakutkan akan menjadi “bom waktu” beberapa tahun mendatang.  Akan terjadi over supply guru baru dan sangat mungkin mutunya kurang baik.  Sekali lagi, betapa pentingnya menerapkan pasal 23 ayat (1) UU No 14/2005, yaitu pendidikan guru berikatan dinas, agar over supply guru baru dapat dihindari.

Banyak informasi bahwa pemberian tunjangan profesi belum berdampak terhadap peningkatan kinerja guru.  Di sisi lain, paling tidak di Universitas Negeri Surabaya sejak tahun 2010 jumlah guru yang kuliah di S2 meningkat signifikan.  Keadaan yang tidak sejalan tersebut diduga karena keragaman kondisi guru.  Dengan menggunakan teori Maslow keadaan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.  Bagi guru yang masih terperangkap pada kebutuhan hidup, tambahan penghasilan dari tunjangan profesi akan dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan dasar (rumah, kendaraan dsb).  Bagi guru senior yang sudah mapan namun tidak lagi memerlukan tantangan karier, tunjangan profesi akan dimanfaatkan untuk hal-hal membangun relasi/kekerabatan agar lebih mendapatkan respek.  Bagi guru muda atau mereka yang ingin mengembangkan karier, tunjangan profesi digunakan untuk menempuh pendidikan lebih tinggi.  Secara proporsional jumlah kelompok terakhir mungkin belum banyak, sehingga yang menonjol adalah kelompok pertama dan kedua, sehingga terkesan tunjangan profesi belum mampu meningkatkan kinerja guru. 

Keragaman pemanfaatan penghasilan tersebut diduga kuat juga disebabkan belum adanya peta karier guru yang jelas dan arahan pemanfaatan tunjangan profesi guna menunjang kinerja dan karier mereka.  Keterbatasan sumberdaya di Dinas Pendikan Kabupaten/Kota dan LPTMP serta keterbatasan jangkauan P4TK menyebabkan para guru lebih banyak mencari sendiri, bagaimana membina karier dan memanfaatkan tunjangan profesi yang mereka terima.  Dampaknya seakan sertifikasi dan pemberian tunjangan profesi tidak meningkatkan mutu pembelajaran di sekolah.

MGMP dan KKG yang diharapkan menjadi ujung tombak pengembanan guru belum berjalan dengan baik, karena tidak mendapatkan pembinaan yang memadai.  Keterbatasan pengawas di Diknas Kab/Kota, keterbatasan widyaiswara di LPMP dan jumlah P4TK yan terbatas menyebabkan kesulitan membina kegiatan MGMP dan KKG.  Sementara itu, LPTK yang berada jumlahnya cukup banyak dan memiliki sumberdaya yang relatif cukup, tidak memiliki akses langsung.  Kegiatan pre-service dan in-service guru yang terpisah menyebabkan pembinaan guru tidak integratif dan kurang efisien.  Sudah saatnya dicari pola pembinaan guru yang integratif, sehingga lebih efisien dan sinambung.

Senyampang pemberlakukan tunjangan profesi masih berjalan beberapa tahun, pembinaan guru yang telah memperoleh sertifikat dan tunjangan profesi perlu segera dilakukan.  Jika tidak dikawatirkan mereka akan memasuki “zona aman”, karena menikmati kelebihan penghasilan tanpa arahan, tantangan dan keharusan untuk meningkatkan kinerja.  Jika banyak yang melakukan hal itu, akhirnya masyarakat akan menganggap wajar terhadap guru yang “bekerja seperti biasanya/business ad it is”, walaupun telah mendapatkan tunjangan profesi.

Pembelajaran inovatif akhir-akhir ini berkembang di sekolah, khususnya di jenjang sekolah dasar.  Dengan menggunakan berbagai nama atau istilah, SD-SD melakukan inovasi. Sangat menarik, sebagian besar SD yang “berani” melakukan inovasi besar adalah SD Swasta, walaupun juga ada SD Negeri.  Yang menarik, SD seperti itu diminati oleh masyarakat, khususnya orangtua yang terdidik.  Hal itu merupakan indikasi bahwa masyarakat menginginkan pembaharuan pendidikan.

Abu Duhou (199) yang meneliti pelaksanaan School Based Management di banyak negara menyimpulkan bahwa peningakatan mutu pendidikan berasal dari inovasi dalam praktek pembelajaran.  Sedangkan inovasi seperti itu memerlukan dua syarat, yaitu (1) kompetensi, dan (2) ruang gerak untuk melakukan inovasi.  Di Hongkong dan Shanghai, kedua syarat tersebut tampaknya terpenuhi, sehingga terjadi inovasi praktek pembelajaran di sekolah yang berujung peningkatan mutu pendidikan.

Belajar dari pengalaman Hongkong dan Shanghai, maka pembinaan guru agar memiliki kompetensi yang baik dan pemberian ruang gerak untuk berinovasi perlu dilakukan.  Dengan asumsi guru telah memperoleh penghasilan memadai, sesuai dengan teori Maslow mereka akan memerlukan capaian berikutnya.  Pemberian motivasi dengan baik diharapkan akan mendorong mereka melakukan inovasi yang memungkinkan mendapat pengakuan dari rekan sesama guru maupun masyarakat umum.

Peta karier guru sebagai bagian dari pola pembinaan juga perlu mendapat perhatian.  Ketika telah menjadi profesi yang cukup bergengsi dan posisi guru diisi generasi muda yang pandai, maka mereka akan memerlukan tantangan karier.  Apa saja tangga karier guru dan persyaratan apa untuk mencapainya perlu disusun dan disosialisasikan dengan baik.  Pengalaman mengajar di sekolah kecil/pedesaan dapat merupakan bagian dari persyaratan karier guru.  Dengan demikian perpindahan ke sekolah seperti itu tidak dianggap sebagai hukuman, tetapi merupakan bagian penjenjangan karier.  Kemdiknas perlu belajar ke TNI yang relatif telah memiliki pola pembinaan karier yang mapan. 

SERTIFIKASI GURU DALAM JABATAN


Pendahuluan

Sertifikasi guru sebenarnya merupakan amanah UU No 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen.  Pasal 1 butir 1 menyebutkan: “Guru adalah pendidikan profesional dengan utama mendidik, mengajar……..”.   Selanjutnya pada pasal 1 butir 4, disebutkan: “Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan seseorang dan menjadi sumber kehidupan yang memerlukan keahlian, kecakapan dan kemahiran yang memenuhi standar mutu dan norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.”  Pasal 1 butir 12 menyatakan sertifikat pendidikan adalah bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga profesional.  Dari rangkaian ayat-ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagai seorang profesional, guru harus memiliki sertifikat pendidik yang diperoleh setelah yang bersangkutan mengikuti dan lulus pendidikan profesi. 

Pasal 1 butir 11 menyebutkan bahwa “sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru dan dosen.”   Namun yang dimaksud pemberian tentu bukan sekedar “memberikan”, tetapi lebih dahulu menguji dan jika memenuhi persyaratan sebagai profesional, yang bersangkutan diberikan sertifikat pendidik.  Mirip dalam bidang engineering, suatu pesawat yang selesai diproduksi diujicoba dan jika memenuhi persyaratan terbang, diberikan sertifikat sebagai bukti layak terbang.

Apa yang dimaksud dengan pendidikan profesi?  Undang-undang No 14 Tahun 2005 tidak menjelaskan.   Yang menjelaskan hal itu UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pada penjelasan pasal 15 yang berbunyi “Pendidikan profesi merupakan pendidikan tinggi setelah program sarjana yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan persyaratan keahlian khusus.   Pengertian serupa juga kita temui di Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, pada pasal 17.  Berarti calon guru harus lulus pendidikan S1, kemudian mengikuti pendidikan profesi dan pada akhir pendidikan profesi disertifikasi untuk memperoleh sertifikat pendidik.
Improvisasi Berliku dengan Banyak Kepentingan

Ketentuan di atas tampaknya dimaksudkan untuk calon guru.  Bagaimana dengan guru dalam jabatan tidak disebutkan dalam UU No 14 Tahun 2005.  Pada hal sertifikat pendidik merupakan syarat utama guru untuk mendapatkan tunjangan profesi, baik itu guru PNS maupun guru non PNS di sekolah swasta.  Pasal 16 ayat (2) UU No 14 Tahun 2005 menyebutkan bahwa “pemerintah memberikan tunjangan profesi kepada guru yang telah memiliki sertifikat pendidik yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan dan atau satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat. 

Tentu menjadi sangat berat, jika guru dalam jabatan (guru yang sudah mengajar di sekolah) harus mengikuti pendidikan profesi lebih dahulu untuk dapat ikut sertfikasi. Diskusi dengan berbagai pihak yang terlibat dengan penyusunan UU No 14/2005 dapat disimpulkan bahwa sertifikasi guru dalam jabatan tidak harus melalui pendidikan profesi, sebagaimana calon guru.  Oleh karena itu harus dicari pola sertifikasi guru dalam jabatan dan itu harus memiliki landasan hukum yang kokoh. 

Pada pasal 11 ayat (2) UU No 14/2005 disebutkan bahwa sertifikasi dilaksanakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetapkan oleh pemerintah.  Selanjutnya pada pasal 11 ayat (4) disebutkan bahwa “ketentuan lebih lanjut tentang sertfikasi pendidik diatur dalam peraturan pemerintah”.   Dua ayat itulah yang dapat menjadi pintu dan sekaligus menjadi dasar membuat Peraturan Pemerintah (PP) untuk mengatur sertifikasi guru dalam jabatan. 

Menyusun peraturan pemerintah (PP) biasanya memerlukan waktu yang cukup lama.  Apalagi PP ini menyangkut beberapa departemen, termasuk Departemen Keuangan yang nantinya terkait dengan pembayaran tunjangan profesi.  Sementara itu pasal 82 ayat (1) menyebutkan pemerintah mulai menyelenggarakan program sertifikasi 12 bulan semenjak UU No 14 Tahun2005 diundangkan.

Dua hal itu yang membuat pemerintah kebingungan pada tahun 2006.  Mau melaksanakan belum ada PP sebagai dasar, tidak melaksanakan berarti melanggar amanah pasal 82 ayat (1).  Sebagai jalan keluar, Menteri Pendidikan Nasional meminta fatwa kepada Menteri Hukum dan HAM, apakah boleh melaksanakan sertifikasi guru dengan landasan Peraturan Menteri.  Keluarlah jawaban fatwa Menteri Hukum dan HAM no: I. UM. 01.02-253 tertanggal 23  Maret 2007, yang intinya mengijinkan Depdiknas melaksanakan sertifikasi guru dengan landasan Permendiknas, karena faktor kemendesakan.  Berdasarkan fatwa tersebut, Mendiknas menerbitkan Permendiknas nomor 18 Tahun 2007, sebagai landasan pelaksanaan sertifikasi guru.  Jadi sertifikasi guru Tahun 2007 dan 2008 dilaksanakan berlandaskan Permendiknas, karena PP tentang sertifikasi guru baru terbit pada 1 Desember 2008.

Permendiknas No 18 Tahun 2007 dikhususkan untuk guru dalam jabatan, artinya untuk guru yang sudah mengajar di sekolah.  Sedangkan untuk calon guru akan dimasukkan dalam aturan Pendidikan Profesi Guru.  Lantas apa kegiatan atau substansi sertifikasi guru?  Pada awalnya sertifikasi guru dalam jabatan dirancang melalui uji kompetensi berupa tes tulis yang diikuti dengan tes kinerja bagi yang lulus tes tulis.  Perangkat tes sudah disusun dan diuji coba, dengan melibatkan banyak dosen LPTK.

 Pola tersebut dilandasi pemikiran bahwa sertifikasi adalah “kalibrasi” atau pengukuran apakah seseorang sudah memenuhi syarat sebagai guru profesional, sehingga berhak memperoleh sertifikat pendidik.  LPTK yang mengeluarkan sertifikat pendidik harus yakin dan menjamin bahwa yang penerima sertifika pendidik benar-benar memenuhi standar sebagai guru profesional.  

Dalam konsep tersebut sama sekali tidak disinggung pelatihan bagi calon peserta atau mereka yang tidak lulus sertifikasi.  Asumsinya tugas sertifikasi adalah mengukur dan memastikan bahwa guru yang memperoleh sertifikat pendidik, benar-benar telah sesuai dengan standar yang ditentukan.  Sedangkan pelatihan dan atau pembinaan guru, sebelum dan sesudah proses sertifikasi merupakan tugas lembaga lain. 

Dalam perjalanannya ternyata ada pihak-pihak yang tidak setuju dengan konsep tes tulis dan tes kinerja sebagai bentuk sertifikasi guru dalam jabatan.  Terjadi diskusi dan perdebatan sengit, mana yang didahulukan, antara menyejahterakan guru melalui pemberian tunjangan profesi dengan harapan setelah sejahtera para guru akan meningkatkan kompetensi dan kinerjanya atau meningkatkan kompetensi dan kinerja lebih dahulu dan kemudian memberikan kesejahteraan bagi mereka yang sudah memenuhi syarat.  Arus alternatif pertama ternyata begitu kuat, sehingga tes tulis dan tes kinerja yang sudah disusun dan diujicoba menjadi kurang bermanfaat.

Melalui diskusi panjang dengan disertai “ancaman pendanaan” akhirnya diputuskan bahwa sertifikasi guru dalam jabatan menggunakan portofolio yang diikuti dengan pelatihan bagi yang tidak lulus.  Kesepakatan menggunakan portofolio didasarkan pada pemikiran bahwa portofolio dapat menggambarkan kinerja dan prestasi guru selama bekerja.  Namun sejak awal, pola tersebut diberi catatan bahwa portofolio mendasarkan bahwa: (1) guru memiliki dokumen bukti kinerja dan prestasi yang dicapai, dan (2) guru berlaku jujur ketika menyusun portofolio. 

Dua catatan tersebut sejak awal menjadi bahan diskusi.  Saya termasuk orang yang mempertanyakannya, karena orang Indonesia termasuk guru belum terbiasa menyimpan dokumen sebagai bahan portofolio.  Kejujuran dalam menyusun portofolio juga menjadi pertanyaan besar pada saat ini.  Namun arus untuk menggunakan portofolio begitu kuat, sehingga apa akhirnya terbit Permendiknas No 18 Tahun 2007 yang menyebutkan sertifikasi guru dalam jabatan menggunakan portofolio yang dilanjutkan dengan PLPG bagi yang tidak lulus.

Dengan landasan tersebut dimulaikan pelaksanaan sertifikasi guru dalam jabatan pada tahun 2007.  Dalam perjalanannya dua hal yang sejak awal dipertanyakan ternyata terbukti.  Guru mengalami kesulitan menyusun portofolio, karena tidak menyimpan bukti-bukti kinerja dan prestasi di masa lalu.  Akhirnya para guru meminta surat keterangan kepada lembaga yang dahulu memberikan sertifikat atau surat keputusan.  Dan pola itu menimbulkan penyimpangan, karena banyak surat keterangan “aspal (asli tetapi palsu).  Apalagi ternyata banyak guru yang tidak jujur dan melakukan berbagai cara agar portofolionya bagus dan lulus.

Kondisi LPTK di Indonesia ternyata sangat beragam, baik kelengkapan program studi maupun kualitasnya.  Pada awal pemilihan LPTK yang layak melaksanakan sertifikasi guru dalam jabatan hanya sedikit LPTK yang layak dan umumnya terdapat di kota besar serta Indonesia Bagian Barat.  Muncul masalah pemerataan dan faktor politik.  Muncul ungkapan “Kami belum layak, karena selama ini kurang mendapat dukungan dari pemerintah. Pada hal, sumberdaya alam kami dikeruk untuk kepentingan negara.”  Kebijakan pendidikan ternyata tidak lepas dari faktor politik, sehingga pada akhirnya Mendiknas menetapkan LPTK yang bertugas melaksanakan sertifikasi guru dalam jabatan, yang mempertimbangkan faktor pemerataan dan kemudahan pelaksanaannya. 

Menyadari keberagaman kualitas LPTK pelaksana sertifikasi guru yang berpeluang menghasilkan kualitas yang berbeda-beda, maka dibentuklah Konsorsium Sertifikasi Guru (KSG) yang bertugas dan berwenang mengatur standar mutu dan pelaksanaan sertifikasi guru.  KSB diketuai oleh Dirjen Dikti dan beranggotakan antara lain perwakilan LPTK yang diambil secara proporsional.

Dalam pelaksanaannya keberagaman kualitas pelaksanaan sertifikasi guru ternyata tidak dapat dihindari.  Walaupun sudah dibuat panduan pelaksanaan, termasuk di dalamnya untuk penilaian ternyata ada LPTK yang cenderung “mahal” dengan argumentasi menjaga kualitas, tetapi juga ada LPTK yang cenderung “murah” dengan alasan kemanusiaan terhadap guru-guru yang sudah sekian lama mengabdi dengan kesejahteraan minimal.  Ada yang berargumen, “guru harus menguasai teori dan konsep pendidikan serta materi ajar dengan baik, setara S1.”  Ada yang berargumen, “yang penting prakteknya yaitu guru dapat mengajar dengan baik di kelas. Banyak guru yang mengajar sangat bagus, walupun tidak banyak menguasai teori.”

Implikasi Pembinaan Guru Berkelanjutan

Studi World Bank terhadap pendidikan di Hongkong dan Shanghai (2010) menyimpulkan bahwa pendidikan di kedua daerah tersebut meningkat signifikan, karena: (1) calon guru dipersiapkan dengan baik, (2) setelah menjadi guru mereka mendapatkan pembinaan profesional yang baik, dan (3) guru memiliki ruang gerak untuk berinovasi ketiga bekerja di sekolah.  Studi tersebut juga menggambarkan pola penyiapan dan pembinaan guru di Hongkong dan Shanghai terintegrasi dan berjalan dengan baik.  Bertolak dari hal di atas, pembinaan guru yang akan diuraikan pada bagian berikut adalah mulai dari penyiapan calon guru, sampai mereka bekerja di sekolah.

Kalau kita cermati secara utuh dan seksama, UU No 14/2005 memiliki visi bagus untuk masa depan guru.  Yang disebut secara jelas, sebenarnya sertifikasi bagi calon guru yang ditempatkan di akhir PPG.  Dengan demikian mutu lulusan PPG dapat dijaga.  Pelaksana PPG juga dibatasi kepada LPTK yang terakreditasi dan ditetapkan oleh pemerintah.  Apalagi, pasal 23 ayat (1) menyebutkan pemerintah mengembangkan sistem pendidikan guru berikatan dinas dan berasrama untuk menjamin efisiensi dan mutu pendidikan.  Dengan pola ikatan dinas, maka jumlah calon guru dapat dikendalikan dan dengan berasrama pembinaan pendidikan calon guru dapat lebih optimal.

Pola ikatan dinas sekaligus dapat menjadi alat distribusi guru.  Secara agregat nasional jumlah guru di Indonesia sebenarnya sudah cukup, namun distribusinya tidak merata.  Banyak sekolah di kota besar kelebihan guru, sebaliknya banyak daerah pedesaan dan daerah terpencil yang kekurangan guru.  Dengan pola ikatan dinas, penempatan guru dapat dilakukan dengan lebih baik dan diarahkan kepada daerah-daerah yang kekurangan.

Bagi  Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pendidikan calon guru sebenarnya analog dengan Akademi Militer bagi TNI, IPDN bagi Kementerian Dalam Negeri, Akademi Statistik bagi BPS, STAN bagi Kemeterian Keuangan dan sebagainya.  Pendidikan calon guru dilaksanakan oleh perguruan tinggi di bawah Kemdikbud dan lulusannya digunakan oleh sekolah di bawah Kemdikbud.  Dengan demikian sangat wajar amanat UU No 14/2005, agar pendidikan calon guru menggunakan pola ikatan dinas, sebagaimana diterapkan di Akmil, STPDN dan sebagainya.

Salah satu dampak positif sertifikasi dan pemberian tunjangan profesi kepada guru adalah meningkatnya minat lulusan SLTA masuk ke LPTK.  Sejak tahun 2010 jumlah peminat masuk ke LPTK naik secara signifikan yang tentunya menyebabkan mutu mahasiswa LPTK (minimal LPTK negeri) menjadi lebih baik.  Di Universitas Negeri Surabaya, banyak dosen yang menyatakan mutu mahasiswa DIK kini lebih baik dibanding non-DIK.  Dengan demikian kita dapat berharap empat tahun lagi, saat mahasiswa angkatan tahun 2010 lulus, kita akan mulai memiliki calon guru yang lebih bermutu.

Namun dampak negatif juga terjadi.  Meningkatkan peminat masuk ke LPTK juga mendorong banyak LPTK menerima mahasiswa lebih banyak dan bahkan mendorong beberapa pihak mendirikan LPTK baru.  Menurut informasi jumlah LPTK saat ini sudah lebih dari 330 buah dan konon ada LPTK yang menerima mahasiswa lebih 1000 orang untuk satu program studi.  Kalau gejala ini tidak segera diatasi, ditakutkan akan menjadi “bom waktu” beberapa tahun mendatang.  Akan terjadi over supply guru baru dan sangat mungkin mutunya kurang baik.  Sekali lagi, betapa pentingnya menerapkan pasal 23 ayat (1) UU No 14/2005, yaitu pendidikan guru berikatan dinas, agar over supply guru baru dapat dihindari.

Banyak informasi bahwa pemberian tunjangan profesi belum berdampak terhadap peningkatan kinerja guru.  Di sisi lain, paling tidak di Universitas Negeri Surabaya sejak tahun 2010 jumlah guru yang kuliah di S2 meningkat signifikan.  Keadaan yang tidak sejalan tersebut diduga karena keragaman kondisi guru.  Dengan menggunakan teori Maslow keadaan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.  Bagi guru yang masih terperangkap pada kebutuhan hidup, tambahan penghasilan dari tunjangan profesi akan dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan dasar (rumah, kendaraan dsb).  Bagi guru senior yang sudah mapan namun tidak lagi memerlukan tantangan karier, tunjangan profesi akan dimanfaatkan untuk hal-hal membangun relasi/kekerabatan agar lebih mendapatkan respek.  Bagi guru muda atau mereka yang ingin mengembangkan karier, tunjangan profesi digunakan untuk menempuh pendidikan lebih tinggi.  Secara proporsional jumlah kelompok terakhir mungkin belum banyak, sehingga yang menonjol adalah kelompok pertama dan kedua, sehingga terkesan tunjangan profesi belum mampu meningkatkan kinerja guru. 

Keragaman pemanfaatan penghasilan tersebut diduga kuat juga disebabkan belum adanya peta karier guru yang jelas dan arahan pemanfaatan tunjangan profesi guna menunjang kinerja dan karier mereka.  Keterbatasan sumberdaya di Dinas Pendikan Kabupaten/Kota dan LPTMP serta keterbatasan jangkauan P4TK menyebabkan para guru lebih banyak mencari sendiri, bagaimana membina karier dan memanfaatkan tunjangan profesi yang mereka terima.  Dampaknya seakan sertifikasi dan pemberian tunjangan profesi tidak meningkatkan mutu pembelajaran di sekolah.

MGMP dan KKG yang diharapkan menjadi ujung tombak pengembanan guru belum berjalan dengan baik, karena tidak mendapatkan pembinaan yang memadai.  Keterbatasan pengawas di Diknas Kab/Kota, keterbatasan widyaiswara di LPMP dan jumlah P4TK yan terbatas menyebabkan kesulitan membina kegiatan MGMP dan KKG.  Sementara itu, LPTK yang berada jumlahnya cukup banyak dan memiliki sumberdaya yang relatif cukup, tidak memiliki akses langsung.  Kegiatan pre-service dan in-service guru yang terpisah menyebabkan pembinaan guru tidak integratif dan kurang efisien.  Sudah saatnya dicari pola pembinaan guru yang integratif, sehingga lebih efisien dan sinambung.

Senyampang pemberlakukan tunjangan profesi masih berjalan beberapa tahun, pembinaan guru yang telah memperoleh sertifikat dan tunjangan profesi perlu segera dilakukan.  Jika tidak dikawatirkan mereka akan memasuki “zona aman”, karena menikmati kelebihan penghasilan tanpa arahan, tantangan dan keharusan untuk meningkatkan kinerja.  Jika banyak yang melakukan hal itu, akhirnya masyarakat akan menganggap wajar terhadap guru yang “bekerja seperti biasanya/business ad it is”, walaupun telah mendapatkan tunjangan profesi.

Pembelajaran inovatif akhir-akhir ini berkembang di sekolah, khususnya di jenjang sekolah dasar.  Dengan menggunakan berbagai nama atau istilah, SD-SD melakukan inovasi. Sangat menarik, sebagian besar SD yang “berani” melakukan inovasi besar adalah SD Swasta, walaupun juga ada SD Negeri.  Yang menarik, SD seperti itu diminati oleh masyarakat, khususnya orangtua yang terdidik.  Hal itu merupakan indikasi bahwa masyarakat menginginkan pembaharuan pendidikan.

Abu Duhou (199) yang meneliti pelaksanaan School Based Management di banyak negara menyimpulkan bahwa peningakatan mutu pendidikan berasal dari inovasi dalam praktek pembelajaran.  Sedangkan inovasi seperti itu memerlukan dua syarat, yaitu (1) kompetensi, dan (2) ruang gerak untuk melakukan inovasi.  Di Hongkong dan Shanghai, kedua syarat tersebut tampaknya terpenuhi, sehingga terjadi inovasi praktek pembelajaran di sekolah yang berujung peningkatan mutu pendidikan.

Belajar dari pengalaman Hongkong dan Shanghai, maka pembinaan guru agar memiliki kompetensi yang baik dan pemberian ruang gerak untuk berinovasi perlu dilakukan.  Dengan asumsi guru telah memperoleh penghasilan memadai, sesuai dengan teori Maslow mereka akan memerlukan capaian berikutnya.  Pemberian motivasi dengan baik diharapkan akan mendorong mereka melakukan inovasi yang memungkinkan mendapat pengakuan dari rekan sesama guru maupun masyarakat umum.

Peta karier guru sebagai bagian dari pola pembinaan juga perlu mendapat perhatian.  Ketika telah menjadi profesi yang cukup bergengsi dan posisi guru diisi generasi muda yang pandai, maka mereka akan memerlukan tantangan karier.  Apa saja tangga karier guru dan persyaratan apa untuk mencapainya perlu disusun dan disosialisasikan dengan baik.  Pengalaman mengajar di sekolah kecil/pedesaan dapat merupakan bagian dari persyaratan karier guru.  Dengan demikian perpindahan ke sekolah seperti itu tidak dianggap sebagai hukuman, tetapi merupakan bagian penjenjangan karier.  Kemdiknas perlu belajar ke TNI yang relatif telah memiliki pola pembinaan karier yang mapan. 

Minggu, 02 Desember 2012

KERETA API HANYA BERHENTI 1 MENIT


Saya ke Jepang bersama rombongan kesenian, baik dosen maupun mahasiswa bulan Nopember 2012 ini.  Mereka pentas di beberapa universitas dan juga di Togo Town (semacam kantor kabupaten untuk Indonesia).  Tentu saja mereka membawa seabrek peralatan musik dan tari.  Dan itulah yang membuat kami repot dalam perjalanan.  Saat check in pesawat memerlukan waktu lama, dan bahkan memerlukan packing khusus.

Yang membuat kami deg-degan adalah saat harus membawa seabreg peralatan tersebut naik kereta api cepat (namanya saya lupa) dari Tokyo ke Nagoya. Konon jaraknya Tokyo-Nagoya sekitar sama dengan Surabaya-Jogya dan itu hanya ditempuh kurang dari dua jam.  Mengapa deg-degan? Bukan karena takut akan kecepatannya terus mabuk atau tabrakan. Tetapi karena,menurut informasi kereta api di Jepang hanya berhenti selama satu menit di stasiun.  Kami bingung bagaimana menaikkan peralatan yang begitu banyak dalam satu menit.  Di Indonesia, kereta api cepat sekelas Argobromo Anggrek berhenti sekitar 10 menit di stasiun yang dilewati.

Memang ini bukan yang pertama saya ke Jepang.  Tetapi baru kali ini naik kereta api dan membawa seabreg barang.  Untuk mendapatkan akal, kami datang  ke stasiun sekitar 2 jam sebelum jadwal keberangkatan.  Maksudnya untuk mempelajari situasi dan mencari akal bagaimana dapat menaikkan seabreg peralatan dalam satu menit.  Saya juga ingin tahu seperti apa kebiasaan penumpang kerata api di Jepang. 

Ternyata semua kereta api yang lewat di stasiun itu adalah kereta listrik, yang di Indonesia biasa disebut KRL.  Di peron stasiun terdapat papan elektronik yang memuat kereka api apa yang akan datang dengan jam kedatangannya.  Di setiap peron hanya tercantum tiga kereta api yang segera datang. Setelah kereta datang dan berangkat lagi, namanya terhapus digantikan kereta berikutnya. Dan selama dua jam saya di peron, semua kereta api datang tepat waktu dan betul hanya berhenti selama satu menit, langsung berangkat.

Calon penumpang baru masuk peron hanya beberapa menit sebelum kereta api datang, sehingga peron terlihat sepi.  Mungkin mereka yakin kereta api datang tepat waktu, sehingga berani datang tepat waktu juga.  Ungkapan bahwa orang Jepang on time dan bukan in time ternyata terbukti benar.  Konon kalau ada orang datang ke acara terlalu awal, di Jepang dianggap orang “tidak punya pekerjaan atau memboroskan waktu”, sedangkan jika datang terlambat dianggap orang tidak mengerti aturan.

Memang ada beberapa calon penumpang yang sudah datang di peron agak lama sebelum kereta aspi datang.  Tapi jumlahnya tidak banyak dan umumnya mereka langsung duduk di bangku yang tersedia dan terus membaca.   Ada juga beberapa calon penumpang yang membuka laptop. Saya mencoba melirik apa yang dikerjakan dengan laptopnya.  Sayangnya koran yang dibaca maupun layar laptop tersebut memuat huruf kanji, sehingga saya tidak mengerti mereka membaca apa atau mengerjakan apa. 

Pada umumnya mereka berpakaian rapi dan sebagian besar memakai jas.  Jasnya rata-rata warna gelap, sehingga terkesan sangat formal.  Pak Nasution, seorang teman yang lama tinggal di Jepang memberi tahu bahwa standar pakai kantor di Jepang memang jas, sehingga mungkin sekali mereka baru pulang dari kantor.  Memang waktu itu sekitar jam 17an waktu setempat.

Posisi berhenti kereta api sudah diatur dengan baik sekali.  Di peron ada tanda posisi pintu kereta api dengan indikator nomer gerbong.  Disitu ada pagar pendek dengan pintu geser.  Ketika kereta api datang dan bertenti tepat seperti posisi yang diberi tanda, pintu pagar tersebut terbuka tepat bersamaan dengan terbukanya pintu gerbong kereta api.  Di lantai peron dekat pintu geser tersebut terdapat tanda garis putih berbentu kotak.  Ternyata itu untuk tempat penumpang antre sebelum masuk kereta api.  Calon penumpang datang ke peron, umumnya langsung antre di kotak tersebut.

Saya mengamati penumpang kereta api tidak banyak.  Jumlah penumpang yang masuk untuk satu pintu sekitar 5-15 orang.  Masih ada waktu pintu masih terbuka, tetapi tidak ada lagi penumpang masuk.   Jika masih ada penumpang lain, saya hitung dalam satu menit setiap pintu dapat dilewati/dimasuki sekitar 25 penumpang.

Namun itu perhitungan kalau penumpang tidak membawa barang bawaan seperti penumpang di Jepang yang pada umumnya hanya membawa tas kantor.  Bagaimana dengan rombongan Unesa yang membawa alat-lat music seabreg?   Saya coba perkirakan, mungkin satu menit pintu terbuka hanya dapat masuk sekitar 10 orang.  Pada hal jumlah rombongan 29 orang.

Seperti di Indonesia, gerbong kereta api di Jepang punya dua pintu pada setiap sisi dan keduanya untuk pintu masuk. Kalau begitu dua pintu hanya mampu dilewati sekitar 20 orang dengan membawa peralatan musik.  Nah, apa boleh buat kami harus mencari akal dan harus bisa. 

Sesuai tiket yang kami beli, kami berada dalam satu gerbong.  Tapi agar semua rombongan dapat masuk gerbong dalam satu menit, terpaksa kami masuk melalui empat pintu.  Dua pintu di gerbong yang akan kami tempati, satu pintu gerbong di depannya dan satu pintu gerbong di belakangnya.  Setelah masuk, kemudian berjalan pindah ke gerbong yang sesuai dengan nomor tiket.  Dan alhamdulillah, kami berhasil dengan akal itu. 

Sukses mengakali kereta api yang berhenti hanya satu menit.  Namun dilihat penumpang lain.  Di samping wajah kami memang berbeda dengan orang Jepang, sehingga dianggap asing.  Mungkin cara kami naik dan pindah gerbong dianggap aneh.  Untungnya tidak ada yang mengolokkan.  Atau mungkin ada, tetapi tentu dengan bahasa Jepang, sehingga kami tidak mengerti. 

Tentu kami segera mencari tempat duduk.  Seperti informasi yang saya dapatkan, penumpang kereta api di Jepang umumnya membaca atau tidur atau membuka laptop.  Di kereta api itu sebagian besar tidur, mungkin capai karena pulang kerja.  Mengikuti petunjuk teman yang lama tinggal di Jepang, kami usahakan diam selama perjalanan.  Kalau terpaksa ngobrol dengan teman sebelah ya pelan-pelan.

Apa yang dapat dipetik dari pengalaman tersebut?  Tepat waktunya jadwal kerena, sehingga penumpang dapat mengatur waktunya.  Posisi berhenti gerbong yang sudah diatur baku, sehingga penumpang dpt mengetahui dimana harus menunggu.  Displin penumpang antre saat naik maupun turun.  Kereta yang sunyi, sehingga penumpang dapat tidur dengan nyenyak. 

Kamis, 29 November 2012

BELAJAR DARI JEPANG: DARI MANA DIMULAI?





Tanggal 14 sampai dengan 20 Nopember 2012 saya berkesempatan ke Jepang, untuk dua acara: (1) mengikuti rapat rektor PTN Indonesia dengan rektor perguruan tinggi di Jepang, dan (2) mendampingi tim muhibah seni mahasiswa Unesa ke beberapa perguruan tinggi di Jepang.  Pada saat kosong, saya meluangkan waktu mengunjungi beberapa kuil yang saat ini difungsikan sebagai obyek wosata  dan Disneyland di Tokyo.

Tentang keindahan musim gugur di Jepang yang colorful tidak perlu saya ceritakan.  Yang pasti daun pepohonan berwarna-warni, hijau, kuning dan coklat, laksana bunga yang indah.  Keindahan kuil juga tidak perlu saya ceritakan.  Yang pasti, kuil-kuil bersih dan terawat dengan baik. Yang ingin saya berbagi cerita dengan pembaca adalah perilaku pengunjung kuil dan Disneyland.

Pengunjung Disneyland dan kuil-kuil di Jepang berjumlah ribuan. Dari wajahnya, saya yakin sebagian besar mereka tulis lokal, yaitu orang Jepang.  Apalagi ketika mendengar mereka berbicara dengan temannya, saya lebih yakin lagi.  Memang ada orang asing, orang “bule”, orang Asia Tenggara dan turis dari negara lain, tetapi jumlahnya sangat sedikit.   Tampaknya wisata telah menjadi kebiasaan orang Jepang.  Tidak hanya di hari libur, di hari kerja juga banyak turis lokal yang mengunjungi Disneyland dan kuil.  Banyak pengunjung kuil yang melakukan “ritual ibadah”, tetapi lebih banyak yang tidak.  Berarti sebagian besar betul-betul turis.

Disneyland maupun kuil-kuil di Jepang sangat bersih.  Walaupun ada ribuan pengunjung hampir tidak ada sampah.  Sungguh mengagumkan dan menimbulkan tanda tanya bagaimana itu dapat terjadi.  Saya mengamati dengan cermat.  Tempat sampah juga tidak terlalu banyak.  Petugas kebersihan dengan seragam putih-putih memang selalu keliling, tetapi hampir tidak mendapatkan sampah.  Yang banyak dipungut adalah daun-daun yang gugur.

Apakah tidak ada pengunjung yang merokok atau makan kue sehingga tidak ada sampah yang dibuang?  Ternyata banyak juga turis yang makan kue-kue, minum maupun makan es krim.  Lantas kemana sampahnya?  Saya mencoba mengamati dengan cermat.  Ternyata mereka memasukkan pembungkus roti/kue yang dimakan ke dalam tas atau saku dan baru membuang setelah menemukan tempat sampah. 

Yang sangat membuat saya kagum, adalah pemandangan ketika menonton parade di Disneyland.  Waktu itu sekitar jam 14an.  Parade tentang isi Disneyland di seluruh dunia.  Pengunjung berada di tepi jalan akan dilalui parade.  Diatur, yang paling depan duduk dengan alas kertas atau plastik yang mereka bawa.  Yang di belakang berdiri.  Mereka yang cacat (umumnya berkursi roda) diberi tempat khusus. Saya berdiri di belakang dan di depan saya sekelompok ibu-ibu yang mengajak anak-anaknya.  Nah, waktu itu di depan saya ada anak yang sedang makan semacap sop merah dengan tempat gelas plastik.  Tampaknya cara anak itu memegang gelas belum bagus, sehingga tumpah sedikit.  Apa yang dilakukan ibunya?  Ibunya mengambil tisu dan membersihkan sop yang tumpak ke jalan, kemudian memasukkan tisu bekas tersebut ke dalam tas.  Bukan main, saya terbengong-bengong melihatnya.  Bukan karena ibu anak itu cantik (dan memang cantik seperti tipologi ibu muda Jepang), tetapi kok mau-maunya mengelap jalan hanya ada tumpahan sop merah yang juga tidak seberapa.

Bagaimana dengan para perokok?  Orang Jepang yang merokok selalu di tempat untuk merokok. Saya tidak menumpai orang merokok di tempat umum.  Yang sangat menarik, mereka berdiri mengitari tabung tempat abu dan putung rokok, sehingga mudah memasukkan puntung maupun abu rokok.  Bahkan banyak orang merokok yang membawa portable tray dan memasukan abu maupun puntung rokoknya ke dalam portable trey tersebut dan memasukkan ke dalam saku.  Saya juga melihat ada orang yang menggunakan bungkus rokok untuk menampung abu dan puntung rokok, kemudian dimasukkan ke dalam saku.  Sungguh mengagumkan ketaatan orang Jepang untuk mengikuti aturan.

Dari pengamatan tersebut, saya menjadi faham mengapa Disneyland dan kuil-kuil di Jepang begitu bersih.   Yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah bagaimana orang Jepang begitu pada aturan, termasuk menjaga kebersihan.  Saya menanyakan kepada teman yang kebetulan lama tinggal i Jepang.  Ternyata kebersihan telah menjadi budaya masyarakat.  Orang Jepang berpendapat, jika ada orang membuang sampah tidak pada tempatnya berarti menyurun orang lain memungut sampah tersebut dan membuangnya ke tempat sampah.  Orang Jepang menganggap orang yang membuang sampah tidak pada tempatnya adalah orang yang tidak tahu diri.

Ketika di Disneyland saya menjumpai orang antre panjang, sehingga saya mencoba mencari tahu mereka antre apa.  Bahwa orang Jepang disiplin dalam antre sudah banyak yang tahu.  Namun yang saya amati tersebut, orang antre untuk foto di dekat pohon natal.  Pada saat itu memang ada pohon natal yang sangat besar dengan berbagai hiasan. Tampaknya banyak orang yang ingin foto di pohon natal dengan hiasan warna-warni itu.  Dan mereka rela antre dengan tertib sehingga masing-masing orang dapat berfoto tanpa terganggu orang lain?  Apa ada yang mengatur ternyata tidak ada.  Saya mencoba menungui tempat itu. Ternyata pada awalnya  ada orang yang berfoto, kemudian ada orang lain yang juga ingin foto di tempat sama.  Karena mereka terbiasa antre, terjadilah antrean.  Sekali lagi sungguh hebat.

Antrean serupa ternyata juga saya jumpai ketika pengunjung kuil ingin minum air dari sumber yang diyakini mengandung tuah kesehatan, kekayaan dan kebahagian bagi yang minum.  Pengunjung rela antre panjang untuk dapat giliran minum.  Hebatnya yang antre tertib termasuk anak kecil-kecil yang juga ingin minum air tersebut.

Rasanya itu merupakan pelajaran berharga bagi kita.  Kita perlu belajar bagaimana Jepang dapat menumbuhkan kesadaran masyarakat, termasuk anak-anak dapat mengikuti aturan dan menjaga kebersihan begitu tertib.   Pertanyaannya, dari mana kita harus mulai?