Sabtu, 12 Maret 2011

The Power of Co-Creation:

Buku The Power of Co-Creation: Built it with them to boost growth, productivity, and profits oleh Venkat Ramaswamy dan Francis Gouillart (Free Press, 2011) memaparkan bagaimana Nike (produknya yang kita kenal adalah sepatu), Starbucks (produknya yang kita kenal gerai kopi) dan beberapa perusahaan lain yang berhasil menerapkan co-creation sehingga mampu berkembang pesat, produktif dan meraup keuntungan yang besar.

Kalau dicermati dengan baik, ternyata yang disebut co-creation adalah melibatkan konsumen dan stakeholders konsumen ke dalam platform perusahaan. Cara yang digunakan perusahaan bermacam-macam, tetapi intinya mengajak/melibatkan/mendorong konsumen dan stakeholders terlibat aktif dalam berinovasi dalam menyempurnakan produk dan servis perusahaan agar sesuai dengan kebutuhan konsumen. Media interaksi yang digunakan sangat beragam, antara melalui pertemuan langsung seperti seminar dan diskusi, lewat web, mailist dan sebagainya.

Sungguh menarik, ajakan tersebut ternyata disambut baik oleh konsumen, terbukti sangat banyak konsumen dan stakeholders yang mengikuti acara yang dirancang perusahaan. Bahkan konsumen dan stakeholders banyak yang kemudian secara berkelompok mengembangkan lebih lanjut acara tersebut agar lebih sesuai dengan minat dan waktu mereka. Wakil perusahaan tinggal hadir, karena segalanya diatur oleh mereka. Semua acara tersebut diarahkan agar konsumen dan stakeholders dapat memberi masukan bahkan ikut merancang penyempurnaan produk maupun servis perusahaan. Yang sangat menarik keikutsertaan konsumen dan stakeholders dalam merancang penyempurnaan produk tersebut, kemudian mengubah mereka menjadi konsumen yang loyal bahkan menjadi pemasar kepada orang lain. Mereka tidak lagi sekedar menjadi konsumen, tetapi sekaligus menjadi tenaga pemasaran tanpa menuntut bayaran.

Bagaimana hal itu dapat terjadi? Mereka yang memberi masukan dan terlibat aktif dalam penyempurnaan produk dan atau servis tersebut, kemudian merasa “ikut memiliki” produk dan atau servis yang dihasilkan. Selanjutnya mereka merasa menjadi bagian dari perusahaan, sehingga terdorong untuk ikut memasarkan produk dan servis yang diracangnya. Bahkan kemudian mereka seakan menjadi relawan perusahaan dalam menyempurnakan produk dan servis berikutnya agar sesuai dengan dinamika kebutuhan konsumen dan sekaligus memasarkan hasilnya.

Penerapan co-creation tidak hanya berfungsi sebagai wahana need assessment dalam upaya menyempurnakan produk dan servis agar sesuai kebutuhan dan harapan konsumen. Lebih jauh dari itu co-creation ternyata mampu membuat konsumen dan stakeholders merasa menjadi bagian dari perusahaan. Itu yang mungkin menyebabkan beberapa perusahaan bersedia menyeponsori adanya club-club pengguna produknya, misalnya HD Club, VW Club, Honda Club dan sebagainya. Nampaknya anggota club-club seperti itu kemudian menjadi pelanggan yang loyal dan bahkan merasa menjadi bagian atau anggota dari perusahaan, sehingga dengan sukarela terlibat dalam berbagai kegiatan.

Terinspirasi dari buku tersebut dan juga pengalaman di tempat lain, Unesa memulai acara “open house” dengan mengundang sivitas akademika (dosen, karyawan, mahasiswa). Dalam acara tersebut sivitas akademika diundang untuk mengajukan pendapat dan bahkan kritik bagaimana memperbaiki universitas. Sungguh menarik, responsnya sangat bagus. Mahasiswa yang oleh beberapa teman dikawatirkan akan memberikan pendapat atau kritik yang “nakal” ternyata justru sangat bagus pemikirannya. Misalnya gagasan jum’at bersih yang melibatkan pimpinan, dosen, karyawan dan mahasiswa. Juga bagaimana meningkatkan mutu perkuliahan. Mendapati kenyataan seperti itu, saya sampai pada kesimpulan bahwa mahasiswa itu (paling tidak di Unesa) cerdas dan berkepribadian baik. Buktinya, gagasan dan kritik disampaikan dengan santun dan semuanya sangat berbobot.

Saat open house, saya sengaja memberikan nomor HP dan alamat email, serta mengundang peserta untuk tilpun, sms dan ber-email untuk mengajukan pendapat. Hasilnya sangat menggembirakan, walaupun kemudian membuat saya harus menyisihkan waktu untuk menjawab. SMS dan email masuk sangat banyak, dengan berbagai masukkan. Tentu isinya sangat bervariasi, mulai yang memberikan saran sampai yang protes. Namun, secara umum isinya cukup baik dan konstruktif, walaupun bahasanya kadang-kadang menyentak. Yang lebih menggembiarakan, ketika sms dan email itu direspons, berikutnya muncul usulan-usulan yang semakin konstruktif. Sekali lagi saya yakin pada dasarnya mahasiswa Unesa memiliki keinginan untuk memperbaiki kampus.

Ketika gagasan jum’at bersih dengan melibatkan sivitas akademika sebagaimana diusulkan mahasiswa di saat open house diujicoba secara terbatas, ternyata sambutan mahasiswa sungguh luar biasa. Mahasiswa di suatu jurusan, yang selama ini dikenal gedungnya paling “kumuh” justru sangat aktif. Karena sebagian dari mereka, jum’at pagi ada kuliah pembersihan dalam ruangan sudah dimulai kamis malam. Ketika jum’at pagi saya mengunjungi gedung tersebut menjadi kaget, kok sudah bersih dan ternyata sudah dibersihkan kemarin sore. Sungguh luar biasa.

Di saat jum’at pagi bersama-sama membersihkan halaman gedung kuliah muncul celetukan dari beberapa orang, antara lain: “awas kalau ada yang mengotori akan saya lempar batu”. Yang lain menyambung: “pokoknya kalau ada yang buang sampah sembarangan, kita teriaki saja”. Yang lain berkomentar: “kalau bersih ternyata gedung kita cantik ya”. “ini kan ide mahasiswa, pokoknya jum’at bersih itu dari mahasiswa untuk kampus tercinta”. Masih banyak celetukan lain. Intinya mahasiswa senang bersama-sama membersihkan gedung kuliah. Mereka juga sangat bangga dengan mengatakan bahwa kegiatan itu gagasan mahasiswa.

Semangat membersihkan gedung seperti disebutkan di atas ternyata juga terjadi pada karyawan. Karyawan yang membersihkan gedung, setelah selesai melakukan senam pagi. Walaupun sudah berkeringat, tampak sekali karyawan bersemangat membersihkan gedung sambil bercanda. Pengamatan saya, memang beberapa orang yang tampak kurang bersemangat, namun jumlahnya sangat sedikit. Rata-rata mereka melakukan kegiatan bersih-bersih dengan ceria. Saat selesai dan makan kacang hijau yang disediakan oleh kantor, celetukan yang muncul juga mirip dengan mahasiswa.

Dari fenomena tersebut di atas dapat disimpulkan, paling tidak untuk sementara di Unesa, konsep co-creation yang diajukan oleh Ramaswamy dan Gouillart yang didasarkan atas pengalaman di Nike dan Starbuck, ternyata juga dapat diterapkan di dunia pendidikan. Semoga.

Kamis, 03 Maret 2011

BUDAYA SEKOLAH SEBAGAI KUNCI PENDIDIKAN

Buku karangan Bernie Trilling dan Charles Fadel berjudul “21st Century Skills: Learning for Life in Our Times” (Jossey-Bass, 2009) diberi sebuah prolog yang sangat menarik. Prolog itu menceritakan ada tamu para pejabat penting dari Kementerian Pendidikan China yang mengunjungi Napa New Tech High School di Northern California, sebuah sekolah yang terkenal dengan inovasi project approach dalam pembelajaran. Tamu tersebut melihat sebuah ruang kelas yang mirip perpaduan antara ruang konferensi di perusahaan dan studio produksi media. Di ruang tersebut, mereka mendapat penjelasan beberapa inovasi yang dikerjakan siswa.

Dalam pertemuan setelah itu, Mr. Zheng salah satu delegasi bertanya: “Dimana di sekolah ini Anda mengajarkan kreativitas dan inovasi?” “Saya ingin tahu bagaimana Anda mengajarkan itu”. “Kami ingin siswa kami belajar hal itu”. Direktur sekolah tersebut, Mr Paul, menarik napas panjang, menyusun jawaban, kemudian tersenyum dan menjawab dengan pelan: “Saya mempunyai beberapa berita tidak bagus dan juga beberapa berita bagus”. “Berita yang kurang bagus, bahwa hal itu tidak ada dalam kurikulum kami”. “Itu terkandung dalam udara yang kita hirup atau mungkin terkandung dalam air yang kita minum”. “Itu ada dalam budaya kami, dalam kewirausahaan, dalam keinginan kami untuk menemukan sesuatu yang baru, dalam kemauan kami menghadapi dan memecahkan masalah kehidupan………”. “Seperti di China, sekolah kami juga harus fokus ke materi ajar yang nanti diujikan pada ujian akhir sekolah yang dapat menentukan masa depan siswa”. “Namun sekolah kami dapat menumbuhkan semangat inovasi dan kreativitas melalui project yang dikerjakan siswa”. “Kami yakin, kemampuan itu sangat penting untuk dapat sukses memecahkan permasalahan di era teknologi dan global”.

“Lantas, apa isi berita yang menggembirakan?”, lanjut Mr. Zheng. Mr. Paul: “Berita baiknya, dengan diberi peluang dan dorongan yang tepat, ternyata siswa kami dapat belajar dengan penuh kreativitas dan inovasi”. “Dan itu memerlukan guru yang bagus, untuk menemukan keseimbangan antara belajar fakta, prinsip, teori untuk dapat memecahkan masalah yang dihadapi”.

Apa yang dapat dipetik dari prolog buku tersebut, khususnya bagi pendidikan di Indonesia? Ternyata sekolah di Amerika juga terjebak kepada keharusan menyelesaikan kurikulum yang untuk mengerjakan soal-soal pada ujian akhir sekolah. Mirip dengan di Indonesia, sekolah juga mengeluh karena harus berpacu menyelesaikan kurikulum yang nanti akan diujikan pada Ujian Nasional maupun Ujian Sekolah. Namun, Napa New Tech High School yakin bahwa sekolah harus dapat menumbuhkan kreativitas dan daya inovasi siswa, kemampuan yang sangat diperlukan di era mendatang. Oleh karena itu, Napa New Tech High School mencari cara agar siswa tetap belajar materi yang ada di kurikulum, tetapi juga tumbuh kreativitas dan inovasinya.

Melalui pola pembelajaran project approach ternyata keinginan tersebut dapat tercapai. Melalui pembelajaran project approach, siswa dapat belajar isi kurikulum dan sekaligus mengembangkan daya kreativitas dan inovasi. Dalam setiap matapelajaran, siswa mendapat tugas kelompok untuk memecahkan masalah kehidupan sehari-hari dengan menggunakan konsep dan teori yang telah dipelajari. Nah, dalam mengerjakan tugas tersebut, siswa didorong untuk menyelesaikan masalah secara kreatif dan menemukan inovasi baru. Karena setiap matapelajaran memberikan tugas kelompok untuk memecahkan masalah kehidupan keseharian secara kreatif dan inovatif, maka penumbuhan kreativitas dan inovasi seakan telah menjadi budaya di Napa New Tech High School. Melalui pola tersebut, kurikulum dapat diselesaikan dan siswa dapat mengerjakan ujian akhir dengan baik, dan bersama dengan itu, kreativitas dan inovasi siswa juga berkembangan dengan baik.

Di Indonesia sebenarnya juga ada beberapa sekolah yang menerapkan pola project work, walaupun tidak tepat sama dengan di Napa New Tech High School. Setahu saya, Sekolah Alam Insan Mulia Surabaya (SAIMS) dan SMP Muhammadiyah Gresik Kota Baru (GKB) menerapkan project work walaupun tidak untuk setiap matapelajaran, tetapi merupakan tugas gabungan untuk seluruh matapelajaran. Prestasi kedua sekolah tersebut dalam UASBN dan UN juga sangat bagus, berarti isi kurikulum dapat terselesaikan dengan baik. Dari pengematan saya, kreativitas siswa di kedua sekolah tersebut juga tumbuh dengan baik.

Jadi kreativitas dan inovasi dapat ditumbuhkan lewat pola pembelajaran yang dilakukan secara konsisten sehingga menjadi budaya sekolah. Pola itu ternyata tidak mengganggu penyelesaian isi kurikulum dan bahkan membantu pencapaiannya. Yang diperlukan adalah kreativitas guru untuk menemukan pola pembelajaran yang tepat. Siswa ternyata cukup cerdas, sehingga tidak semuanya harus dijelaskan oleh guru. Project dapat dirancang sedemikian rupa agar mendorong (mungkin juga memaksa) siswa belajar sendiri. Project dapat dirancang untuk mengaitkan materi kurikulum dengan kehidupan sehari-hari, sehingga pemahaman siswa lebih baik. Project dapat dirancang untuk mengaitkan isi satu matapelajaran dengan matapelajaran lain, sehingga pemahaman siswa menjadi lebih utuh. Yang penting, tugas project untuk memecahkan masalah keseharian secara kreatif, jika dilakukan secara terencana dan konsisten dapat menumbuhkan daya kreativitas dan inovasi siswa. Semoga.

Selasa, 01 Maret 2011

DAPATKAN UN MENGGANTIKAN SNMPTN?

Dapatkan UN menggantikan SNMPTN, sehingga perguruan tinggi tidak perlu mengadakan seleksi masuk? Dapatkan perguruan tinggi menggunakan nilai UN sebagai bahan seleksi masuk, persis seperti seleksi masuk SMA yang menggunakan nilai UN SMP dan seleksi masuk SMP yang menggunakan nilai UASBN sebagai bahan seleksi? Bukankah dengan begitu dapat dilakukan penghematan besar?

Wacana itu sebenarnya sudah mulai didiskusikan beberapa tahun lalu, pada saat Pak Bambang Sudibyo menjadi mendiknas. Seingat saya beberapa kali Pak Bambang Sudibyo menyampaikan gagasan itu dan memberikan contoh kasus di beberapa negara dimana perguruan tinggi menggunakan skor ujian nasional bahkan ujian sekolah sebagai bahan seleksi masuknya.

Beberapa pihak yang mendukung gagasan tersebut dengan memberikan gambaran bahwa anak-anak yang memperoleh skor tinggi di UN, biasanya juga dapat masuk ke perguruan tinggi favorit melalui jalur SNMPTN. Dengan demikian diduga skor UN akan paralel dengan skor SNMPTN, sehingga mestinya skor UN sudah mewakili atau menggantikan skor SNMPTN. Di pihak lain, ada yang kurang setuju dengan gagasan tersebut, karena tujuan kedua tes/ujian tersebut berbeda. Ada lagi yang kurang setuju, karena meragukan kredibilitas UN. Beberapa tahun terakhir ini, pemerintah melibatkan pengawasan UN dengan maksud agar kredibilitasnya baik. Apakah jika UN kredibel lantas SNMPTN dapat dihapus dan seleksinya masuk perguruan tinggi menggunakan skor UN? Itulah yang perlu dikaji secara baik.

UN (ujian nasional) berfungsi sebagai evaluasi akhir suatu jenjang pendidikan dan diarahkan untuk mengecek daya serap terhadap kurikulum yang berlaku. Dalam bahasa lain, UN pada dasarnya ingin mengukur ketercapaian kompetensi sebagaimana diamanatkan oleh kurikulum. Oleh karena itu soal-soal UN dibuat atas dasar isi kurikulum. Jika siswa menguasai seluruh isi kurikulum, maka seharusnya yang bersangkutan mendapatkan skor 100. Jika siswa menguasai 90% kurikulum seharusnya yang bersangkutan mendapatkan skor 90. Dengan demikian, jika proses pembelajaran berjalan dengan baik dan banyak siswa yang menguasai seluruh isi kurikulm, maka sebagian besar siswa mendapat skor 100 atau mendekati 100. Jika kondisi seperti itu digambarkan secara grafis akan membentuk kurva yang juling ke kanas. Artinya sebagian besar siswa berasa di sebelah kanan, yaitu mendekati skor maksimal.

Karena tujuannya untuk mengecek daya serap kurikulum, maka perbedaan skor antar siswa tidak penting dalam UN. Daya bahasa pengembangan tes, daya beda tidak penting dalam soal UN. Yang dipentingkan dalam penyusunan soal adalah validitas isi dan validitas konstruk untuk memastikan sama dengan kompetensi yang dituntut oleh kurikulum. Tingkat kesukaran soal tidak perlu dirisaukan, karena acuan yang digunakan adalah kompetensi sebagaimana dituntut kurikulum. Yang penting kontruk soal sudah sesuai dengan konstruk kompetensi yang dituntut oleh kurikulum.

Apakah hasil UN sangat bagus, dalam pengertian sebagian besar siswa mendapat nilai tinggi atau sebaliknya hasil UN sangat jelek, dalam pengertian sebagian besar siswa mendapat skor rendah, kita tidak dapat menyalahkan soal UN. Sepanjang validitas isi dan validitas konstruk soal tersebut dapat dipertanggungjawabkan, maka sedikit atau banyaknya peserta yang dapat menjawab soal tersebut atau mendapatkan skor tinggi tidak menjadi masalah.

SNMPTN dan juga seleksi masuk pada suatu lembaga pendidikan fungsinya adalah untuk membedakan calon yang yang lebih potensial dan yang kurang potensial untuk sukses dalam menempuh kuliah. Dengan asumsi penguasaan kurikulum SMA merupakan faktor penting dalam kesuksesan kuliah, maka soal-soal SNPTN juga didasarkan pada kurikulum SMA.

Apakah dengan demikian soalnya sama dengan UN? Mestinya tidak. Karena fungsinya untuk membedakan calon, maka dalam penyusunan soal, daya beda soal SNMPTN haruslah bagus. Idealnya dalam SNMPTN tidak ada dua peserta yang mendapatkan skor nilai sama. Oleh karena itu tingkat kesukaran soal SNMPTN sebarusnya memperhatian kemampuan peserta. Jika soal terlalu mudah, hasilnya tidak dapat membedakan anak sangat pandai dengan yang sedikit dibawahnya, karena mereka sama-sama mendapat skor 100. Sebaliknya jika soal terlalu sulit, hasilnya tidak dapat membedakan yang sangat lemah dan sedikit di atasnya, karena sama-sama mendapat nilai yang sama. Tingkat kesukaran soal SNMPTN seharusnya ditengah-tengah, artinya peserta yang kemampuannya ditengah-tengah kelompok akan mendapatkan skor 50. Mereka yang lebih pandai akan memperoleh skor di atas 50 dan yang kurang pandai akan mendapatkan skor di bawah 50. Semakin jauh kemampuan peserta dengan temannya yang di tengah-tengah, seharusnya semakin banyak beda sakornya. Nah, oleh karena itu jika skor-skor nilai peserta SNMPTN digambarkan dalam bentuk grafik akan berupa kurva normal.

Pada suatu pertemuan PTN Jawa Timur di IAIN Sunan Ampel Surabaya, pakar dari ITS melaporkan bahwa korelasi antara skor UN dan SNMPTN tahun 2010 tidak berkorelasi secara signifikan. Saya memberi komentar, yang memang harus tidak berkorelasi. Bahkan jika korelasi antara keduanya signifikan, malah perlu dipertanyakan. Mungkin datanya keliru. Jika datanya benar, berarti soalnya keliru. Mengapa? Bagi yang pernah belajar statistik tentu faham, data yang berbentuk grafik kurva normal dan yang berbentuk juling tentu tidak akan berkorelasi secara signifikan.

Bukankah siswa yang pandai akan mendapat skor tinggi pada UN maupun SNMPTN? Memang, tetapi grafiknya akan berbeda. Karena pada SNMPTN soalnya disusun pada tingkat kesulitan tengah-tengah dan dengan daya beda bagus, sehingga idealnya dapat menghasilkan skor yang berbeda pada setiap peserta dan grafiknya grafik kurva normal. Sementara itu soal UN disusun atas dasar isi kurikulum, sehingga jika proses pembelajarannya bagus, sebagian siswa akan mendapat skor nilai bagus dan grafiknya juling ke kanan, sebaliknya pada sekolah yang proses belajarnya kurang bagus, sebagian besar siswa akan mendapatkan skor rendah dan grafiknya juling ke kiri.

Mungkinkah hasil UN mendapatkan grafik berupa kurva normal? Mungkin, tetapi itu berarti penguasaan materi siswa hanya sekitar 50% dari kurikulum. Sebagian besar siswa memperoleh skor 50 dan hanya sedikit yang memperoleh skor sekitar 80 apalagi 100. Dan jika itu terjadi, berarti proses pendidikan di SMA kurang bagus, buktinya daya serap rata-rata hanya 50%.

Apakah itu berarti UN tidak dapat menggantikan SNMPTN? Jika soal yang digunakan tetap seperti konsep ideal, maka UN tidak dapat menggantikan SNMPTN. Jika diinginkan, maka harus ada perubahan pola soal UN. Penyusunan soal UN juga harus memperhatikan daya beda, sehingga dapat membedakan peserta satu dengan lainnya. Dan itu tidak mudah, karena begitu harus memperhatikan daya beda, tingkat kesukaran soal harus tengah-tengah, yang seringkali tidak sejalan dengan tuntutan kurikulum. Memang masih ada cara penyusunan soal yang memperhatikan daya beda dan juga mengacu pada patokan tingkat kesukaran kurikulum, tetapi kemudian jumlah butir soal menjadi banyak.

Hal lain yang mendapat perhatian jika UN akan menggantikan SNMPTN adalah kondisi siswa. Karena acuannya kurikulum, maka sekolah yang mutunya kurang bagus, logikanya skor yang diperoleh siswa juga kurang bagus, walaupung mungkin diantara mereka ada yang mempunyai kemampuan dasar (sebut saja IQ) bagus. Pada hal, kemampuan dasar seringkali juga berperan bagus dalam kesuksesan studi berikutnya. Kita menyaksikan banyak perguruan tinggi yang menggunakan Tes Potensi Akademik (TPA) untuk tes masuk, dengan asumsi TPA memiliki peran lebih tinggi dibanding penguasaan materi SMA untuk menempuh pendidikan tinggi. Bahkan untuk jenjang S2/S3 hampir semua menggunakan TPA untuk tes masuk.

Oleh karena itu, jika UN akan menggantikan SNMPTN perlu dipikirkan bagaimana untuk anak berpotensi bagus tetapi karena sesuatu belajar di sekolah yang kurang baik. Jika semua siswa SMA punya tes psikologi, maka hasil tes psikologi dapat menjadi pendamping UN saat yang bersangkutan masuk ke perguruan tinggi. Jika siswa tidak memiliki tes psikologi mungkin perlu TPA sebagai penggantinya. Semoga.