Kamis, 09 Mei 2019

SHOLAT JUM’AT DI EROPA


Dua minggu di Eropa saya sempat sholat jum’at di dua tempat dan situasi dan kondisinya jauh berbeda.   Tanggal 26 April 2019 saya sholat jum’at di kampus Univeritas Heriot Watt, tempat Kiki-anak saya bekerja.  Universitas tersebut tidak memiliki masjid, dan sholat jum’at-nya di sebuah hall asrama mahasiswa.  Karena hari itu saat-saat liburan, menurut Kiki lokasi sholat jum’at dipindah ke hall yang lebih kecil, tidak seperti biasanya di hal besar.  Lokasinya hanya sekitar 5 menit jalan kaki dari kantor Kiki.

Saya sholat jum’at bersama Roy, menantu saya.  Informasinya sholat jum’at dimulai pukul 13.30, sehingga dari rumah kami (saya, isteri, Roy dan Kiki) berangkat pukul 11.30 naik mobil disopiri Roy.  Mobil diparkir di dekat kantor Kiki, dan kami berjalan kaki menuju hall tempat sholat dengan berjalan kaki.  Jalan menyusuri jalan di pinggir lapangan olahraga yang pada saat ini ada seorang yang sedang lari berkeliling.  Agar mudah kami sudh berwudhu dari rumah.

Kami datang agak awal, sehingga petugas masih menata ini dan itu, walupun sudah ada beberapa jama’ah yang sudah tiba.  Sholat jum’at dimulai tepat pukul 13.30 dan tidak ada adzan di awalnya. Jumlah jamaah saya perkirakan sekitar 200 orang dan sebagian besar “berwajah” Timur Tengah, walaupun juga ada yang “putih” dan “hitam” tetapi jumlahnya sedikit.  Saya menduga sebagian besar mahasiswa, karena usianya masih muda dengan rata-rata bercelana jin.  Ternyata ada jama’ah perempuan namun hanya sekitar 6 orang termasuh ana-anak.

Khotibnya  berasal Pakistan dan khotbah disampaikan dalam bahasa Inggris.  Saya tahu dari Pakistan, karena sempat menyampaikan “kalau di kampung halamannya Pakistan ada tradisi begini-begini.  Khotib tersebut masih muda, saya menduga usianya tiga puluhan atau awal empat puluhan.  Berpakaian rapi dengan memakai jas tanpa dasi dan tidak bersorban maupun berpeci. Mungkin karena mejelang bulan Romadhon, khotbah menjelaskan makna puasa sebagai latihan kesabaran.  Sabar untuk menahan lapar dan minum walapun didekatnya ada makanan dan minuman.  Sabar jika ada godaan dan menurut khatib Rasul menganjurkan kita mengataka “saya berpuasa” jika ada orang berbuat tida baik kepada kita.

Setelah selesai sholat jum’at ternyata hujan rintik-rintik, sehingga saya dan Roy berjalan cepat-cepat, setengah berlari kembali ke kantor dimana Kiki dan ibunya menunggu.  Untunglah hujan di Skotlandia hanya tipis sehingga kami tidak basah.  Apalagi kami memakai jaket karena memang saat itu suhu sekitar 15 derajat.  Kami juga berjalan di bawah pohon-pohon di pinggir jalan, sehingga sedikit banyak juga terlindung dari hujan.

Ketika saya sampaikan khotbah baik, Kiki menjelaskan kalau di Universitas Heriot Watt khotib itu karyawan universitas dan disamping menjadi khatib jum’at juga bertugas menjadi semacam konselor keagamaan.  Jadi di universitas ada “khatib” untuk Islam, Katholik dan Kriten Protestan. Tiga agama yang jumlah warganya cukup banyak di kampus tersebut.  Dipilih yang masih muda agar dapat mudah berkomunikasi dengan mahasiswa.  Berbahasa Inggris secara baik menjadi persyaratan untuk menjadi khatib.

Kesan saya pelaksanaan sholat jum’at di Heriot Watt sangat sederhana.  Tidak ada mimbar untuk khotbah seperti di masjid kita.  Sebagai gantinya ada beberapa bangku olahraha yang ditumpuk dan ditutupi dengan sajadah.  Khotbah jum’at relatif pendek dan bersifat general tetapi mengena.  Pelaksanaan sholat-nya sama dengan di Indonesia dan bacaan surah-surahnya mirip di “masjid Al Awabin” di kampung dekat rumah saya, yang kata orang itu tata cara NU.  Namun sesudah selesai sholat imam tidak memimpin do’a seperti di masjid Al Awabin, sehingga mirip di Al Azis yang juga di dekat rumah saya, yang kata orang itu tata cara Muhammadiyah.

Pengalaman sholat jum’at berikutnya di masjid dekat kampus Valencia University.  Hari jum’at pagi saya berusaha mencari masjid dengan menanyakan kepada panitia, tetapi mereka tidak tahu.  Namun isteri saya dapat menemukan di Google map, sehingga waktu break makan siang (13.30-15.00) saya keluar kampus untuk mencarinya dan ketemu. Alhamdulillah. Lokasi masjid hanya berjalan sekitar 500 meter dari lokasi konferensi dan di jalan raya.  Di gerbang masjid, saya bertanya ke jama’ah, jam berapa sholat jum’at dimulai dan dijawab pukul 14.30.

Masjidnya cukup besar dan bersih.  Ada mimbar dengan tangga yang cukup tinggi.  Saat saya masuk sudah ada sekitar 25 orang jama’ah yang sudah di dalam.  Saya mencoba mengamati jamaah yang sudah ada dan juga jamaah yang baru datang.  Rata-rata orang berwajah Timur Tengah atau saya tidak dapat membedakan antara orang Timur Tengah dengan orang Spanyol.  Seperti pernah saya ceritakan pengamatan saya orang Spanyol sangat mirip dengan orang Mesir dan sebagainya. Ada jamaah yang berkulit hitam, tetapi tidak banyak sedangkan dari Asia mungkin hari itu hanya saya.

Khotbah dimulai pukul 14.30an.  Khotibnya memakai baju gamis dengan sorban khas orang Arab dan saya menduga memang orang Arab yang sudah sepuh (senior). Ketika naik tangga mimbar tampak pelan-pelan dengan menekankan tongkatnya pada anak tangga sehingga berbunyi “duk-duk-duk”.  Ada adzan setelah khotib mengucapkan salam. Persih seperti di kampung saya.  Khotbah disampaikan dalam bahasa arab dengan bersemangat.  Sayang saya tidak mengerti dan dalam hati saya menyesal, mengapa dahulu tidak belajar bahasa arab.   Khotbahnya cukup panjang, sampai pukul 15.05.  Jadi kira-kira 35 menit.  Juga seperti di masjid kampung saya, ketika khotbah ada “kotak infaq berkeliling”.  Bedanya yang berkeliling bukan kotak atau kaleng, tetapi orang (jamaah) yang membawa tas kain terbuka.

Menjelang khotbah berakhir saya mencoba melihat berkeliling.  Ternyata masjid penuh, sehingga jumlah jamaah saya kira lebih dari 300 orang.  Tata cara sholat seperti masjid Al Awabin dan setelah selesai sholat imam juga memimpina do’a.  Yang saya tidak faham, setelah itu imam berdiri dan menyampaikan sesuatu.  Saya saya tidak faham, apakah itu pengumunan atau arahan kepada jamaah.

Mengikuti sholat jum’at dua minggu di Eropa saya mendapatkan kesan yang sangat berbeda, walaupun keduanya di lingkunan kampus.  Yang di Edinbrugh di sebuah hal dalam kampus, di Valencia di masjid di luar kampus tetapi sangat dekat.  Di Edinbrugh suasananya sangat khas kampus, sedangkan di Valencia mirip di kampung saya.   Mengapa demikian, jujur saya tidak tahu. Di Valencia tidak ada orang yang dapat menjelaskan karena jamaah yang saya tanya ternyata tidak bisa berbahasa Inggris, sementara panitian konferensi tidak tahun dimana lokasi masjid.