Ketika diskusi tentang
pendidikan, kita menganalogkan proses pendidikan itu dengan proses produksi di sebuah
industri. Dengan menggunakan diagram
input (raw input dan instrumenatal input), proses dan output, lantas kita
mengatakan agar outputnya memenuhi standar begini, maka inputnya harus begini
dan prosesnya harus begini. Mirip dengan
pabrik roti, berdasarkan berkali-kali percobaan untuk menghasilkan roti Boy
yang enak, maka komposisi campuran bahannya harus begini, mengaduknya harus
begini, memanggangnya dengan alat begini, dengan suhu segini, lamanya sekian
dan seterusnya. Pokoknya semua harus sesuai dengan standar. Konon prinsip itulah yang dipegang ketika
pembuatan roti Boy dilakukan di berbagai tempat dan oleh banyak orang, tetapi
rasanya sama. Konon prinsip yang sama
juga diterapkan oleh makanan cepat saji yang banyak diwaralabakan di Indonesia.
Nah, apakah proses
pendidikan dapat disamakan dengan membuat roti Boy atau menggoreng ayam
McDonal? Rasanya tidak. Ok-lah jika kita
ingin mendapatkan output yang terstandar, yang biasanya disebut dengan standar
kualitas lulusan (SKL) atau capaian pembelajaran (CP) lulusan. Namun yang pasti, raw input pendidikan tidak
dapat kita standarkan seperti pembuatan roti.
Setiap siswa atau bahkan mahasiswa itu unik. Mungkin kita dapat berasumsi mereka memiliki
bekal awal minimal tertentu, tetapi bukankah mereka memiliki gaya belajar yang
berbeda-beda, motivasi belajar yang berbeda-beda.
Nah, jika proses
pembelajaran dikonsepkan agar siswa dapat belajar maksimal sehingga mencapai
kompetensi yang diinginkan, maka setiap anak memerlukan proses pembelajaran
yang berbeda-beda. Itu tidak berarti
guru harus mengajar anak secara individual, tetapi paling tidak pola
pembelajaran yang sukses diterapkan di kelas A belum tentu cocok diterapka di
kelas B. Jadi tidak ada model
pembelajaran yang cocok untuk semua kelas.
Di situlah pentingnya kita guru untuk melakukan improvisasi agar
pembelajaran yang dilaksanakan sesuai dengan situasi dan kondisi kelasnya. Itu yang mungkin menjadi dasar Aboedohuo
menyebutkan peningkatan hasil belajar siswa banyak ditentukan oleh inovasi guru
dalam mengajar.
Kalau proses
pembelajarannya memerlukan improvisasi (bahasa canggihnya disebut inovasi),
maka instrumental input (sarana dan sebagainya) yang diperlukan sangat mungkin berbeda. Siswa yang cerdas sangat
mungkin tidak memerlukan hands on terlalu banyak, jika hanya untuk memahami
sebuah konsep karena mampu berpikir abstrak.
Namun siswa yang kurang cerdas memerlukan itu untuk memudahkan memahami
konsep yang abstrak. Itulah sebabnya
(konon) hanya anak-anak yang cerdas yang mampu belajar stereometri dengan baik,
karena konsep-konsep di dalamnya sangat sulit dipraktekkan atau dibuatkan alat
peraga.
Jika proses
pembelajarannya tidak mungkin dibakukan secara kaku, keperluan instrumental
input juga tidak mudah dibakukan secara kaku, lantas bagaimana membuat standar
sekolah yang baik? Katakanlah bagaimana
kita membuat instrumen akreditasi sekolah?
Disitulah ketidakmudahannya.
Memang sulit, tetapi bukan tidak dapat dikerjakan. Ibarat membuat instrumen sikap, memang sulit
tetapi bukan berarti tidak dapat dibuat.