Beberapa hari lalu
saya mengadiri kuliah umum tentang peningkatan mutu SMK oleh Dr. Varaprasad
dari Singapore. Beliau seorang konsultan
yang memiliki pengalaman panjang dalam mengembangkan pendidikan vokasi, baik di
Singapore maupun di Timur Tengah.
Kuliahnya sangat menarik karena banyak didasarkan dari pengalamannya
dalam mengembangkan pendidikan vokasi.
Jika diringkas,
kuliahnya terdiri dari tiga bagian. Pertama, Varaprasad menjelaskan fenomena
perubahan pola pekerjaan di era Industri 4.0.
Sebenarnya apa yang dijelaskan oleh Varaprasad, sebagian besar sudah
diketahui umum. Misalnya sampai tahun
2020 diperkirakan 35% core skills akan hilang, pekerjaan yang sifatnya berulang
akan digantikan mesin dan sebagainya.
Namun, Varaprasad memperkenakan istilah baru yaitu NO COLOUR JOBS, yaitu
jenis pekerjaan baru yang memanfaatkan kreativitas, misalnya bloger, vloger dan
sebagainya. Ibu rumah tangga yang juga menawarkan makanan secara online dan
sebagainya.
Varaprasad juga
menjelaskan istilah knowledge based skills.
Menurut dia skills tidak dapat dilepaskan dari pengetahuan
(konsep/teori). Pesepakbola yang baik tidak
hanya pandai menendang bola (skills) tetapi juga faham kemana bola harus
diarahkan dan sebagainya. Dokter bedah
merupakan contoh lain, karena tidak hanya harus terampil membedah tetapi juga
harus faham organ yang ada di sekitar bagian yang dibedah dan bagaimana
memperlakukannya.
Kedua, Varaprasad
menjelaskan pengalaman Singapore mengembangkan pendidikan vokasi. Menurut
Varaprasad, Singapore mengembangkan pendidikan vokasi sesuai dengan dinamika
dunia industri. Oleh karena kurikulum
disusun bersama dengan kalangan industri. Namun demikian, harus diingat bahwa
dunia industri selalu egois, ingin menang sendiri. Mereka ingin kurikulum difokuskan ke
pekerjaan di industrinya tetapi seringkali tidak mampu menampung semua
lulusannya. Oleh karena itu dibentuk
Industrial Training Board (ITB) yaitu suatu lembaga yang merupakan kumpulan
kalangan industri untuk bersama-sama mengembangkan kurikulum pendidikan vokasi.
Untuk mendorong
kalangan industri mendukung pendanaan pendidikan vokasi, pemerintah Singapore
mengeluarkan kebijakan setiap perusahaan yang mempekerjakan karyawan dengan
skill rendah diwajibkan membayar dana yang dikumpulkan oleh sebuah badan
pemerintah. Dana itu dipakai untuk
membiayai pendidikan vokasi. Semua
perusahaan boleh mengirimkan karyawannya, terutama yang skill-nya rendah, untuk
mengikuti pelatihan yang didanai oleh dana tersebut.
Singapore juga
menghadapi kenyataan bahwa lulusan SMP (4 tahun) yang pandai tidak tertarik
masuk ke pendidikan vokasi. Oleh karena
pendidikan vokasi dibuat megah dengan mega kampus yang mampu menampung 10.000
siswa dengan berbagai fasilitas.
Singapore melakukan kampanye bahwa pendidikan vokasi adalah pendidikan
karier. Artinya, siswa menentukan karier
yang akan ditekui kemudian memilih pendidikan vokasi yang cocok. Varaprasad
juga menyampaikan, ketika pendidikan vokasi memperoleh siswa yang pandai
ternyata berdampak sangat baik. Proses pembelajaran berjalan dengan lebih hidup
dan setelah lulus mereka memperoleh jenjang karier yang baik.
Ketiga,
Varaprasad menyapaika hasil observasinya terhadap SMK yang dikunjunginya. Walaupun tidak diungkapkan dengan terbukan,
Varaprasad melihat bahwa yang masuk SMK di Indonesia bukan lulusan SMP yang
tergolong pandai. Oleh karena itu
Varaprasad mengusulkan bagaimana caranya menarik lulusan SMP yang pandai masuk
SMK. Yang dia usulkan dengan mengubah
kepanjanga huruf “K” pada SMK, dari “Kejuruan” menjadi Karier. Jadi kepanjangan
“SMK” nanti menjadi “Sekolah Menengah Karier”.
Apakah perubahan
nama itu (seandainya dilakukan) dapat menarik minat lulusan SMK yang pandai,
masih harus diuji. Masyarakat tampaknya
tidak terlalu terpengaruh dengan nama, dan lebih terpengaruh pada gengsi yang
dihasilkan oleh karier lulusannya.
Mengapa Fakultas Kedokteran sangat populer, karena profesi dokter itu
bergengsi. Mengapa bergengsi, karena
kehidupan dokter umumnya sangat baik.
Mengapa dulu LPTK tidak mampu menarik lulusan SMA/SMK yang pandai?
Karena profesi guru kurang bergengsi.
Mengapa kurang bergengsi, karena kehidupan guru tidak semapan
dokter. Nah, ketika guru mendapatkan
tunjangan profesi sehingga kehidupannya membaik, minat lulusan SMA/SMK masuk
LPTK meningkat, walaupun namanya tetap LPTK.
Lantas bagaimana
strategi untuk mendongkrak mutu SMK?
Sebenarnya kita dapat belajar ke beberapa SMK yang saat inipun mutunya
bagus dan diminati lulusan SMK. SMK
seperti itu umumnya ditunjang dengan sarana yang baik serta dana operasional
yang cukup. Jumlah siswa selalu dibatasi
sesuai dengan kapasitas sarana yang ada.
SMK seperti itu tidak mengandakan dana operasional dari iuran siswa dan
BOS, tetapi memang ada sumber lain yang cukup kuat. Sumber tersebut ada yang dari pemerintah
untuk SMK yang mendapat prioritas khusus, atau dari Yayasan untuk SMK dibawah
yayasan yang kuat atau yayasan yang punya industri atau dari sebuah industri
yang memang sebagai pendukung SMK tersebut. Intinya, SMK memerlukan biaya
operasional yang besar dan tidak mungkin menggantungkan dari iuran siswa.