Dua minggu di Eropa
saya sempat sholat jum’at di dua tempat dan situasi dan kondisinya jauh
berbeda. Tanggal 26 April 2019 saya
sholat jum’at di kampus Univeritas Heriot Watt, tempat Kiki-anak saya bekerja. Universitas tersebut tidak memiliki masjid,
dan sholat jum’at-nya di sebuah hall asrama mahasiswa. Karena hari itu saat-saat liburan, menurut
Kiki lokasi sholat jum’at dipindah ke hall yang lebih kecil, tidak seperti
biasanya di hal besar. Lokasinya hanya
sekitar 5 menit jalan kaki dari kantor Kiki.
Saya sholat jum’at
bersama Roy, menantu saya. Informasinya
sholat jum’at dimulai pukul 13.30, sehingga dari rumah kami (saya, isteri, Roy
dan Kiki) berangkat pukul 11.30 naik mobil disopiri Roy. Mobil diparkir di dekat kantor Kiki, dan kami
berjalan kaki menuju hall tempat sholat dengan berjalan kaki. Jalan menyusuri jalan di pinggir lapangan
olahraga yang pada saat ini ada seorang yang sedang lari berkeliling. Agar mudah kami sudh berwudhu dari rumah.
Kami datang agak awal,
sehingga petugas masih menata ini dan itu, walupun sudah ada beberapa jama’ah
yang sudah tiba. Sholat jum’at dimulai
tepat pukul 13.30 dan tidak ada adzan di awalnya. Jumlah jamaah saya perkirakan
sekitar 200 orang dan sebagian besar “berwajah” Timur Tengah, walaupun juga ada
yang “putih” dan “hitam” tetapi jumlahnya sedikit. Saya menduga sebagian besar mahasiswa, karena
usianya masih muda dengan rata-rata bercelana jin. Ternyata ada jama’ah perempuan namun hanya
sekitar 6 orang termasuh ana-anak.
Khotibnya berasal Pakistan dan khotbah disampaikan dalam
bahasa Inggris. Saya tahu dari Pakistan,
karena sempat menyampaikan “kalau di kampung halamannya Pakistan ada tradisi
begini-begini. Khotib tersebut masih
muda, saya menduga usianya tiga puluhan atau awal empat puluhan. Berpakaian rapi dengan memakai jas tanpa dasi
dan tidak bersorban maupun berpeci. Mungkin karena mejelang bulan Romadhon,
khotbah menjelaskan makna puasa sebagai latihan kesabaran. Sabar untuk menahan lapar dan minum walapun
didekatnya ada makanan dan minuman.
Sabar jika ada godaan dan menurut khatib Rasul menganjurkan kita
mengataka “saya berpuasa” jika ada orang berbuat tida baik kepada kita.
Setelah selesai sholat
jum’at ternyata hujan rintik-rintik, sehingga saya dan Roy berjalan cepat-cepat,
setengah berlari kembali ke kantor dimana Kiki dan ibunya menunggu. Untunglah hujan di Skotlandia hanya tipis
sehingga kami tidak basah. Apalagi kami
memakai jaket karena memang saat itu suhu sekitar 15 derajat. Kami juga berjalan di bawah pohon-pohon di
pinggir jalan, sehingga sedikit banyak juga terlindung dari hujan.
Ketika saya sampaikan
khotbah baik, Kiki menjelaskan kalau di Universitas Heriot Watt khotib itu
karyawan universitas dan disamping menjadi khatib jum’at juga bertugas menjadi
semacam konselor keagamaan. Jadi di
universitas ada “khatib” untuk Islam, Katholik dan Kriten Protestan. Tiga agama
yang jumlah warganya cukup banyak di kampus tersebut. Dipilih yang masih muda agar dapat mudah
berkomunikasi dengan mahasiswa. Berbahasa
Inggris secara baik menjadi persyaratan untuk menjadi khatib.
Kesan saya pelaksanaan
sholat jum’at di Heriot Watt sangat sederhana.
Tidak ada mimbar untuk khotbah seperti di masjid kita. Sebagai gantinya ada beberapa bangku olahraha
yang ditumpuk dan ditutupi dengan sajadah.
Khotbah jum’at relatif pendek dan bersifat general tetapi mengena. Pelaksanaan sholat-nya sama dengan di
Indonesia dan bacaan surah-surahnya mirip di “masjid Al Awabin” di kampung
dekat rumah saya, yang kata orang itu tata cara NU. Namun sesudah selesai sholat imam tidak
memimpin do’a seperti di masjid Al Awabin, sehingga mirip di Al Azis yang juga
di dekat rumah saya, yang kata orang itu tata cara Muhammadiyah.
Pengalaman sholat
jum’at berikutnya di masjid dekat kampus Valencia University. Hari jum’at pagi saya berusaha mencari masjid
dengan menanyakan kepada panitia, tetapi mereka tidak tahu. Namun isteri saya dapat menemukan di Google
map, sehingga waktu break makan siang (13.30-15.00) saya keluar kampus untuk
mencarinya dan ketemu. Alhamdulillah. Lokasi masjid hanya berjalan sekitar 500
meter dari lokasi konferensi dan di jalan raya.
Di gerbang masjid, saya bertanya ke jama’ah, jam berapa sholat jum’at
dimulai dan dijawab pukul 14.30.
Masjidnya cukup besar
dan bersih. Ada mimbar dengan tangga
yang cukup tinggi. Saat saya masuk sudah
ada sekitar 25 orang jama’ah yang sudah di dalam. Saya mencoba mengamati jamaah yang sudah ada
dan juga jamaah yang baru datang.
Rata-rata orang berwajah Timur Tengah atau saya tidak dapat membedakan
antara orang Timur Tengah dengan orang Spanyol.
Seperti pernah saya ceritakan pengamatan saya orang Spanyol sangat mirip
dengan orang Mesir dan sebagainya. Ada jamaah yang berkulit hitam, tetapi tidak
banyak sedangkan dari Asia mungkin hari itu hanya saya.
Khotbah dimulai pukul
14.30an. Khotibnya memakai baju gamis
dengan sorban khas orang Arab dan saya menduga memang orang Arab yang sudah
sepuh (senior). Ketika naik tangga mimbar tampak pelan-pelan dengan menekankan tongkatnya
pada anak tangga sehingga berbunyi “duk-duk-duk”. Ada adzan setelah khotib mengucapkan salam.
Persih seperti di kampung saya. Khotbah
disampaikan dalam bahasa arab dengan bersemangat. Sayang saya tidak mengerti dan dalam hati
saya menyesal, mengapa dahulu tidak belajar bahasa arab. Khotbahnya cukup panjang, sampai pukul
15.05. Jadi kira-kira 35 menit. Juga seperti di masjid kampung saya, ketika khotbah
ada “kotak infaq berkeliling”. Bedanya
yang berkeliling bukan kotak atau kaleng, tetapi orang (jamaah) yang membawa
tas kain terbuka.
Menjelang khotbah
berakhir saya mencoba melihat berkeliling.
Ternyata masjid penuh, sehingga jumlah jamaah saya kira lebih dari 300
orang. Tata cara sholat seperti masjid
Al Awabin dan setelah selesai sholat imam juga memimpina do’a. Yang saya tidak faham, setelah itu imam
berdiri dan menyampaikan sesuatu. Saya
saya tidak faham, apakah itu pengumunan atau arahan kepada jamaah.
Mengikuti sholat
jum’at dua minggu di Eropa saya mendapatkan kesan yang sangat berbeda, walaupun
keduanya di lingkunan kampus. Yang di
Edinbrugh di sebuah hal dalam kampus, di Valencia di masjid di luar kampus
tetapi sangat dekat. Di Edinbrugh
suasananya sangat khas kampus, sedangkan di Valencia mirip di kampung
saya. Mengapa demikian, jujur saya tidak
tahu. Di Valencia tidak ada orang yang dapat menjelaskan karena jamaah yang
saya tanya ternyata tidak bisa berbahasa Inggris, sementara panitian konferensi
tidak tahun dimana lokasi masjid.