Saya termasuk orang yang tidak menduga begitu banyak orang yang menyambut kepulangan Habib Rizieq Syihab (HRS). Dari layar TV maupun rekaman youtube kita dapat melihat ribuan orang menyemput kedatangan beliau, sehingga wajar kalau kemudian membuat jalan menuju bandara sempat macet beberapa jam. Fenomena yang sama terjadi saat HRS memberikan pengajian di Megamendung daerah Puncak. Orang rela berdiri ditepi jalan mulai dari Ciawi sampai lokasi untuk menyambutnya. Ketika beliau menikahkan putrinya sekaligus acara Maulid Nabi, ribuan orang juga hadir di Petamburan, tempat kediaman beliau. Sungguh luar biasa. Sampai Pemda DKI mendenda panitian sebesar 50 juta rupiah karena dinilai melanggar protokol kesehatan.
Bahwa HRS
adalah iman besar FPI saya yakin semua orang tahu. Bahwa beliau yang menjadi tokoh sentral acara
212 pernah dimuat TV dan media sosial. Bahwa beliau pernah tersangkut masalah
dengan pihak kepolisian dan kemudian umroh dan berdiam di Saudi Arabia selama
3,5 tahun juga banyak disebut media sosial.
Namun begitu gegap gempita masyarakat menyambut beliau pulang “kampung”
betul-betul diluar dugaan saya.
Antusiasme masyarakat menyambutnya seakan melebihi penyambutan pejabat
tinggi negara.
Fenomena
apa itu ya? Jujur, saya tidak punya
kapasitas menjawab. Mungkin teman-teman
yang mendalami psikologi sosial yang dapat memberikan penjelasan secara
akademik. Namun sebagai guru, saya
khawatir suatu saat akan ditanya oleh murid.
Itulah yang menjadi beban pikiran.
Apalagi media TV dan media sosial sangat gencar memberitakan dan para
analis juga banyak mengulasnya di media sosial.
Repotnya, guru kan tidak bebas seperti para analis dalam memberikan
penjelasan, karena terikat dengan kaidah paedagogik maupun kaidah pendidikan
secara umum.
Ada analis yang mengatakan ketika masyarakat dihimpit oleh berbagai masalah kehidupan, akan merindukan “sosok” yang diharapkan dapat memberikan harapan. Nah apakah itu yang terjadi pada fenomena HRS, karena saat ini masyarakat sedang dilanda pandemik covid yang berdampak kepada segala aspek kehidupan. Belum lagi berbagai informasi di media sosial yang sangat gencar memberitakan demonstrasi yang memprotes UU Omnibuslaw dan sebagainya. Betulkah karena kondisi itu kemudian HRS dianggap sebagai “dewa penolong” yang mampu mengeluarkan mereka dari himpitan hidup?
Ada juga analis yang mengatakan bahwa fenomena HRS terkait dengan “psikologi kasihan”. Ketika HRS dilaporkan oleh beberapa pihak terkait dengan beberapa masalah, sampai yang bersangkutan harus mengungsi muncul rasa kasihan dari masyarakat. Rasa kasihan itu kemudian bercampur dengan berbagai masalah lain dan akhirnya mengkristal menjadikan HRS sebagai orang yang “teraniaya” dan harus dibela. Bahkan ada analis yang termasuk kelompok kedua ini berpendapat kemunculan Bu Mega dan Pak SBY sedikit banyak juga ditopang oleh fenomena “kasihan”. Bu Mega dianggap teraniaya pada akhir-akhir Orde Baru. Pak SBY dianggap teraniaya ketika awal mendirikan Parta Demokrat dan kemudian mencalonkan diri sebagai presiden.
Analis lain mengatakan ketokohan HRS sudah diawali ketika pilkada DKI, dimana HRS merupakan salah satu tokoh yang gencar melawan Ahok. HRS-lah dibalik tuntutan hukum ke Ahok yang berbuah penjara itu. Apalagi kemudian dikaitkan dengan peristiwa 212 yang mampu menghimpun ribuan masyarakat tumpah ruah di monas dan dihadiri banyak tokoh. Ketika kemudian HRS terbelit kasus hukum yang oleh beberapa pihak disebut kriminalisasi ulama, ketokohan HRS justru melonjak. Terakhir ketika HRS tinggal di Saudi Arabia dan oleh media sosial dikabarkan dihambat untuk pulang, ketokohan lebih melejit dan akhirnya dirindukan banyak orang. Apakah seperti itu?
Masih banyak analisis lainnya. Namun sekali lagi, secara jujur saya tidak memahami masalah itu. Sebagai guru, saya berharap ada ahli yang melakukan riset tentang fenomena HRS ini sehingga menjadi pelajaran sejarah yang sangat berharga di masa depan. Jika Bung Karno memunculkan sloga Jasmerah (Jangan sekali-kali melupakan sejarah), saya yakin yang dimaksudkan adalah sejarah sebagai pelajaran untuk menyiapkan diri di masa depan. Sejarah bukan sekedar hafalan peristiwa apa, kapan terjadi, siapa yang terlihat dan bagaimana kronologinya. Belajar sejarah bukan seperti menonton ketoprak atau mendengarkan sandiwara radio terus selesai, tetapi menganalisis “mengapa peristiwa itu terjadi” dan apa korelasinya dengan fenomena sekarang ada prediksi kita untuk masa depan.
Di media sosial berseliweran informasi tentang HRS dan seringkali saling bersilang. Ada yang mengatakan begini ada yang mengatakan begitu. Ada yang memuji tetapi juga ada yang mencemooh, dengan argumentasi masing-masing. Itu yang membuat guru menjadi serba salah. Semoga saja ada penelitian akademik terhadap fenomena HRS, sehingga dapat dijadikan pegangan oleh guru jika ada murid yang bertanya.