Tahun
lalu, sebelum covid mengganas, saya diundang ikut dalam forum FGD di Jakarta untuk
memberikan masukan terhadap gagasan menyempurnaan UU Sisdiknas. Saat itu wabah covid sudah mulai muncul dan
sepanjang FGD maupun di penerbangan saya menggunakan masker dan takut untuk
makan atau minum. Saya senang diundang
karena memang UU Sisdiknas sudah ketinggalan zaman, sehingga meskipun harus
bermasker tetapi hadir.
Bahwa sistem persekolahan, termasuk wajib belajar perlu dianalisis memang betul, tetapi apakah itu masalah pokok pendidikan kita? Bukankah banyak pakar dan pemerhati sekarang sedang mempertanyakan eksistensi pendidikan yang sekarang ini ada? Jim Clifton (2016) mempertanyaan eksisten universitas, karena perusahaan sekelas Google dan E&Y dalam merekrut karyawan tidak mensyaratkan lulusan universitas. Yang ditanyakan bukan “kamu lulusan apa atau lulusan mana, tetapi kami bisa apa”. Sebelum itu, Jorgen Moller (2012) mengatakan di mana datang, dalam pendidikan itu tidak penting level apa dan berapa lama masa studinya, yang penting kalau lulus siswa/mahasiswa bisa apa. Jadi yang penting ada yang dipelajari selama proses pendidikan. Dalam bahasa lain, kemampuan apa yang dikembangkan selama proses pendidikan itu.
Di era disrupsi dengan perubahan iptek sangat cepat dan seringkali sangat fundamental. Saya membayangkan, sebentar lagi mobil bensin dan disel akan hilang digantikan mobil listrik yang driverless. Koran akan “mati” digantikan media online. Pabrik kertas akan segera gulung tikar karena kita menju paperless. Kantor-kantor akan banyak yang kosong karena sebagian orang bekerja dari rumah. Anak-anak tidak harus setiap hari ke sekolah karena sebagian proses belajar dengan online. Dokter umum akan segera digantikan oleh online medical software. Kita tidak perlu uang tunai, karena semua transaksi digantikan dengan online, sehingga kantor bank akan berkurang drastis. Robot Sophia akan mejadi teman dan pembantu kita dalam kehidupan sehari-hari. Itulah beberapa gejala yang saat ini muncul yang sangat mungkin segera digantikan teknologi baru yang lebih canggih, nyaman dan lebih efisien, karena grafik Kondratic cycle menunjukkan periodisasi temuan semakin pendek.
Nah, dalam situasi seperti itu sangat tidak mudah menjawab pertanyaan Jim Clifton maupun Jorgen Moller. Apalagi dengan melihat sistem persekolahan saat ini, anak-anak menghabiskan waktu 12 tahun atau bahkan 16 tahun bersekolah/kuliah sebelum memasuki kehidupan nyata, bekerja dan bermasyarakat, sehingga sangat mungkin apa yang dipelajari selama sekolah/kuliah sudah usang saat yang bersangkutan mulai terjun dalam kehidupan nyata di masyarakat. Pada hal Bernie Trilling dan Thomas Fadel (2009) menyarankan untuk dapat merancang pendidikan, kita diminta menjawab minimal 3 pertanyaan dasar, yaitu: 1) membayangkan kehidupan 20 tahun yang akan datang, ketika anak-anak kita sudah lulus dan mulai bekerja dan bermasyarakat, (2) jika pertanyaan itu terjawab, kemudian dipikirkan apa skills yang diperlukan agar anak-anak kita sukses dan bahagia dalam menempuh kehidupan itu, dan(3) jika skills yang diperlukan tersebut ditemukan, dipikirkan bagaimana caranya mengembangkan skills tersebut secara efektif dan efisien.
Banyak
studi yang berusaha mencari jawaban tersebut, dan sekarang sering disebut 4-C (critical
thinking, creativity, communication, collaboration) dan juga ada yang
menambahkan problem solving , self-awareness, self-management dan
sebagainya. Kalau skills tersebut kita
telaah semuanya termasuk dalam kategori generic skills, yaitu kecakapan
(untuk menghindari istilah keterampilan yang sering dimaknai keterampilan
manual) yang diperlukan oleh seseorang apapun profesinya dan dimanakan dia
berada. Dalam kajian Life Skills, semua itu masuk dalam kategori personal
skills, yaitu skill yang diperlukan seseorang walaupun dia bekerja dan
hidup sendirian dan sosial skills, yaitu skills yang diperlukan ketika
seseorang bekerja dan atau berada dalam kelompok.
Pertanyaan yang muncul apakah dengan demikian tidak diperlukan skills yang terkait dengan bidang keahlian tertentu? Bukankah setiap pekerjaan memerlukan skills khusus tertentu, yang biasa disebut dengan specific skills? Dari situlah muncul gagasan shifting paradigm form competence to capability (Anne Gardner & Stewart Hase, 2008; Dilep Kumar, Sashidar Chengapa & Srota Pandya, 2013) atau meminjam istilah Chistofe Nagele & Barbara Stadler (2017) competence and the need of transferable skills. Jika competence dimaknai sebagai kemampuan untuk mengerjakan sesuatu dengan baik, capability dimaknai tidak hanya mampu mengerjakan sesuatu dengan baik tetapi juga mampu menggunakan kemampuan tersebut untuk menghadapi perkembangan iptek (transferable skills).
Dengan demikian filosofinya bukan ini atau itu, tetapi ini dan itu. Jadi dalam konsep capability bukan generic skills atau specific skills, tetapi generic skills dan specific skills. Bukan competence atau transferable skills tetapi competence dan transferable skills. Pertanyaan yang muncul bagaimana proporsinya? Itu sangat tergantung profesi level apa yang dituju. Untuk profesi di level bawah, katakanlah teknisi maka specific skills yang lebih banyak, sedangkan untuk level supervisor ke atas maka generic skills yang lebih banyak. Dengan catatan, keduanya terintegrasi, bukan dipisahkan.