Rabu, 21 Agustus 2024

Petani yang Menanam Padi Tidak Dapat Panen Jagung

 Untuk memudahkan memahami filosofi dasar pendidikannya, Ki Hajar Dewantara (2004) membuat metapora bahwa petani yang menanam padi tidak dapat panen jagung. Padi akan tumbuh sebagai padi dan berbuah padi, bukan jagung. Tugas petani adalah mengairi, memupuk dan menyiangi padi yang ditanam agar tumbuh subur dan berbuah bagus.  Metapora tersebut untuk menggambarkan bahwa bahwa anak-anak hidup dan tumbuh sesuai kodratnya sendiri. Tugas pendidikan merawat dan menuntun berkembangnya kodrat tersebut.  Artinya anak terlahir dengan potensinya masing-masing dan itulah yang seharusnya dikembangkan dalam pendidikan, karena hanya dengan cara itu anak mencapai prestasi puncaknya.  Bukan sebaliknya, anak dipaksa untuk mempelajari atau mengembangkan kemampuan yang bukan menjadi potensinya.

Potensi yang dimiliki anak tersebut seringkali disebut kodrat alam, dan bagaimana mendidik anak yang tepat seringkali disebut kodrat jaman.  Jadi menurut konsep Ki Hajar Dewantara, pendidikan itu harus memperhatikan kodrat alam dan kodrat jaman.  Terkait dengan kodrat jaman, Ali bin Abi Thalib yang hidup 1.800 tahun lalu berperan “didiklah anakmu dengan jamannya, karena mereka tidak hidup di jamanmu.  Sepertinya Ali bin Abi Thalib meyakini bahwa jaman terus berubah, sehingga situasi yang dihadapi anak akan berbeda dengan yang dihadapi orangtuanya. Kata “jamannya” harus dimaknai apa yang dipelajari (konten) dan juga bagaimana pembelajaran yang tepat.

Potensi itu merupakan sesuatu yang terpendam dan baru muncul menjadi kemampuan nyata ketika dikembangkan. Pengembangan potensi itulah sebenarnya fungsi dasar pendidikan. Potensi atau sering disebut bakat itu semacam gambar buram (remang-remang), dapat dikenali tetapi tidak tampak jelas dan akan tampak jelas jika ditebali.  Gambar yang tampak jelas itulah kemampuan nyata yang dikuasai seseorang. Tugas pendidikan adalah menebali gambar buram tersebut, khususnya yang diyakini “baik” dan membiarkan gambar buram tetap buram, jika potensi itu diyakini tidak baik atau katakanlah tidak sesuai dengan norma-norma kehidupan.  Dengan kata lain, tugas pendidikan adalah memupuk bakat yang “baik” sehingga menjadi kemampuan nyata dan berguna dalam kehidupan dan membiarkan bakat yang “tidak baik” sehingga tidak tumbuh menjadi perilaku dalam kehidupan.

Pemikiran seperti pula yang melandasi uangkapan Chua-Lim Yen Ching (2023) dari Kementerian Pendidikan Singapore, yang mengatakan bahwa education helps children to be the best they can be.  Menurut Chua, pendidikan harus membantu anak-anak menjadi yang terbaik sesuai dengan potensinya. Anak akan memiliki kemampuan terbaik jika dipandu untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya dan dengan cara-cara yang tepat pula.  Oleh karena itu sekolah dan guru seharusnya mengenali potensi setiap siswanya, sehingga dapat mengarahkan dan memandu untuk mengembangkannya.

 

Bahwa potensi atau sering disebut bakat (aptitude) berkontribusi besar dalam pencapaian hasil belajar, sudah dibuktikan dalam penelitian John Hettie (2009).  Dalam penelitiannya, John Hattie menyimpulkan bahwa potensi siswa (nature) memiliki kontribusi 49% terhadap hasil belajar siswa, sedangkah proses pendidikan (nuture) berkontribusi 51%, seperti tampak pada Gambar 1.2.  Seseorang akan mencapai kemampuan terbaik, jika potensi (nature) bertemu dengan nuture (pembelajaran) yang tepat.  Jika siswa diminta mempelajari sesuatu yang bukan potensinya, walaupun proses pembelajaran berjalan sempurna, yang bersangkutan hanya akan mencapai prestasi 51% dari prestasi idealnya. Sebaliknya jika cara pendidikan yang diterapkan tidak tepat, maka anak tidak akan mencapai prestasi puncaknya.



Perlu dicatat bahwa bakat bukanlah sesuatu yang . Gardner (di dalam Julita, 2024) menyebutkan bahwa ada sembilan bakat (digunakan istilah intelligence), yaitu (1) logical-mathematical, (2) existential, (3) interpersonal, (4) bodily-kinesthetic, (5) linguistic, (6) intra-personal, (7) spatial, (8) naturalist, dan (9) musical, seperti tampak pada Gambar 4. Seseorang mungkin saja memiliki beberapa bakat, misalnya memiliki bakat logical-mathematical dan musical, sehingga yang berangkutan hebat dalam bidang sains dan juga pandai menyanyi.  Di samping itu, ukuran bakat bukanlah punya atau tidak punya, tetapi seberapa besar.  Bagaimana memilih bakat yang terbesar untuk dikembangkan menjadi tugas pendidikan.

Filosofi tentang pentingnya mengembangkan potensi atau bakat anak dalam pendidikan tersebut, sampai saat ini banyak dilupakan oleh pendidik dan bahkan oleh pengambil kebijakan pendidikan.  Banyak praktik pendidikan yang meminta semua siswa mempelajari materi (pokok bahasan) yang sama, bahkan seringkali dengan cara belajar yang sama, karena pembelajaran dijalankan secara klasikal.  Di akhir pelajaran atau akhir pokok bahasan semua siswa juga diuji dengan tes yang sama. Siswa yag tidak mencapai kriteria ketuntasan minimal (KKM) diharuskan mengikuti remidial dengan berbagai cara.  Pada hal mungkin saja capaian belajar yang tidak mencapai KKM karena siswa tidak memiliki potensi yang terkait dengan materi yang dipelajari.  Orang sering mengatakan pola tersebut dengan istilah one size for all (satu ukuran untuk semua siswa). 

Kondisi tersebut diperparah oleh ego guru.  Setiap guru menganggap matapelajaran yang diampu sangat penting, sehingga siswa diminta mempelajari dan mengusainya dengan baik.  Guru Matematika meminta semua siswa menguasai materi Matematika dengan baik. Guru bahasa Inggris meminta semua siswa menguasai bahasa Inggris dengan baik. Guru Sejarah meminta semua siswa menguasai materi ajar Sejarah dengan baik.  Akhirnya, semua siswa harus mengusasi materi ajar seluruh matapelajaran.

Fenomena tersebut juga terjadi di tingkat perguruan tinggi dan kadang-kadang lebih serius. Setiap dosen berpikir matakuliahnya sangat penting dan meminta mahasiswa mendalaminya. Bahkan dosen yang baru pulang studi S3 dan ketika studi S3 itu melakukan penelitian tertentu, kemudian meyakini apa yang diteliti sangat penting dan meminta mahasiswa mempelajari dan menguasainya. Tidak peduli apakah materi penelitian itu relevan apa tidak dengan keahlian yang sedang ingin ditekuni mahasiswa.


Kritik terhadap pola pembelajaran tersebut sudah sering muncul, seperti tampak pada Gambar 1.4. Kritik tersebut bernada kelakar dengan menggambarkan adanya monyet, gajah, anjing dan ikan mengikuti pelajaran. Di akhir pelajaran mereka diberitahu oleh sang guru untuk mengikuti ujian berenang.  Tentu kita dapat membayangkan siapa yang akan memperoleh nilai tertinggi dan juga dapat membayangkan apakah gajah, monyet dan anjing dapat mencapai KKM.  Sebaliknya jika ujiannya memanjat pohon tentulah monyet yang akan memperoleh nilai tertinggi dan sebaliknya timbul pertanyaan bagaimana dengan gajah, anjing dan ikan dapat mengikuti pelajaran memanjat.  Walaupun kritik tersebut tentu bentuk dramatisasi, tetapi perlu direnungkan oleh kaum pendidik, khususnya para pengambil kebijakan pendidikan.

Di samping memiliki potensi yang berbeda-beda, sangat mungkin siswa juga memiliki gaya berlajar (learning style) yang berbeda pula dan ternyata itu berpengaruh terhadap proses pembelajaran. Banyak ahli yang membahas tentang gaya belajar dan kaitannya dengan proses yang pembelajaran (Jaleel dan Thomas, 2019).  Secara sederhana ada empat gaya belajar siswa, yaitu visual, auditory, kinesthetic dan reading & writing, seperti tampak pada Gambar 1.5.  Siswa akan menikmati pembelajaran jika prosesnya sesuai dengan gaya belajarnya. Misalnya siswa yang memiliki gaya belajar kinesthetic akan menikmati pembelajaran yang dilakukan dengan learning by doing atau hands on.  Siswa yang memiliki gaya belajar auditory sangat sedang mendengarkan penjelasan orang lain. Jika siswa menikmati proses pembelajaran, maka dia akan mengerahkan segala kemampuannya sehingga berpotensi untuk prestasi optimal.

Dengan demikian proses pendidikan seharusnya memperhatikan potensi anak sekaligus gaya belajarnya.  Karena setiap anak memiliki potensi yang berbeda-beda dan juga memiliki gaya belajar yang berbeda-beda, maka seharusnya kita menerapkan kurikulum berdiferensiasi (personalized curriculum) dimana siswa mendapat kesempatan mempelajari sesuatu yang sesuai dengan bakat atau potensinya, dengan cara belajar yany sesuai dengan gaya belajarnya (personalized learning). Dengan demkian proses pendidikan benar-benar dapat mempertemukan bakat (nature) dan cara belajar (nuture) yang tepat.

Yang disebut kurikulum bukanlah sekedar daftar matapelajaran dan daftar pokok bahasan/topik dalam matapelajaran.  Jika menggunakan istilah yang biasa digunakan di lingkungan Kemdikbud, kurikulum mencackup Standar Kompetensi Lulusan (SKL). Standar Isi, Standar Proses dan Standar Penilaian. Jadi cakupan kurikulum mulai apa yang harus dikuasai siswa (SKL), materi apa yang dipelajari untuk dapat menguasai kompetensi tersebut, bagaimana pola pembelajaran yang dijalani dan bagaimana mengukur apakah SKL sudah tercapai. Hanya saja perlu dicatat karena potensi siswa berbeda-beda, gaya belajar mereka juga berbeda-beda, maka standar-standar tersebut tidak dapat diterapan secara kaku, sebaliknya harus memperhatikan perbedaan karateristik siswa dengan menerapkan Kurikulum Berdiferensiasi.

 


Gambar 1.6. menunjukkan kerangka dasar kurikulum berdiferensiasi.  Sekedar permisalan, siswa yang ingin menjadi programmer dan masuk ke program studi Informatika mengambil  jalur A, siswa yang ingin menjadi dokter dan masuk ke program studi Pendidikan Dokter mengambil jalur C dan seterusnya.  Semua jalur mengandung bagian yang sama, yaitu matapelajaran core (inti) yang disimbulkan dengan warna hijau tua dan bagian itu diikuti oleh semua siswa. Namun disamping itu, setiap jalur memiliki matapelajaran pilihan yang hanya ditempuh oleh siswa yang mengambil jalur tersebut. Jadi matapelajaran yang disimbulkan dengan panah warna merah hanya ditempuh siswa yang mengambil jalur C untuk masuk program studi Pendidikan Dokter, matapelajaran yang disimbulkan dengan ungu hanya ditempuh oleh mereka yang mengambil jalur E yang akan masuk program studi Akuntansi karena ingin menjadi akuntan yang hebat.

Bagaimana proporsi antara matapelajaran inti yang harus diikuti oleh setiap siswa dan matapelajaran pilihan yang hanya diikuti oleh mereka yang mengambil jalur tertentu?  Tidak ada rumus yang baku, karena sangat tergantung kepada perbedaan`karatateristik program studi yang akan ditempuh siswa saat kuliah atau profesi yang ingin ditekuni nantinya.  Yang pasti, semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin banyak proporsi matapelajaran/matakuliah/materi ajar pilihannya, seperti tampak pada Gambar 1.7.  Pada PAUD dan SD kelas awal, proporsi matapelajaran/pokok bahasan pilihan masih sedikit karena masih fokus pada hal-hal yang sifatnya dasar.  Perbedaan yang harus diterapkan sejak awal adalah gaya belajar yang kemudian menjadi dasar perbedaan model pembelajarannya.  Namun ketika di SMP dan siswa sudah mulai memahami potensi dirinya, maka matapelajaran pilihan dan atau pokok bahasan pilihan harus sudah disediakan, sehingga siswa memilih sesuai dengan potensi yang dimilikinya.  Apalagi kalau di jenjang S3 mestinya hanya sangat sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali matakuliah yang harus diikuti oleh semua mahasiswa, karena mereka sudah memiliki topik penelitian yang berbeda-beda.  Bukan berarti mereka tidak boleh dua orang atau lebih mahasiswa menempuh matakuliah yang sama, tetapi yang jelas itu bukan suatu keharusan.

Mungkin kita bertanya, bukankah filosofi bahwa pendidikan seharusnya mengembangkan potensi anak sudah disampaikan Ki Hajar Dewantara 100 tahun lalu, mengapa belum dilaksanakan?  Mengapa sampai saat ini  pembalajaran di sekolah pada umumnya menerapkan pola klasikal?  Tampaknya hal itu dipengaruhi pola oleh pola kerja di industri. Ketika era industri berkembang dan memerlukan banyak tenaga kerja terdidik, kemudian pendidikan juga menerapkan konsep industri secara masal.  Seperti industri yang menerapkan pola kerja standar untuk memproduksi barang, kemudian pendidikan menerapkan satu kurikulum, pola pembelajaran dan tes hasil belajar tersandar untuk semua siswa.  Pada hal proses di industri dan di lembaga pendidikan sangat berbeda. Industri menggunakan bahan yang sama untuk menghasilkan produk barang yang sama, sementara input pendidikan (siswa) sangat beragam dan bahkan tidak ada dua orang siswa yang sama.  Profesi yang nanti akan ditekuni siswa juga sangat beragam.