Rabu, 20 November 2024

UNIVERSITAS DI PERSIMPANGAN JALAN

 Seorang kawan yang merupakan pensiunan guru besar lingkungan menyampaikan kegembiraannya menanggapi penjelasan Prof Satryo Brodjonegoro, Menteri Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi. Ungkapan kegembiraan itu diunggah di group para senior yang umumnya juga para guru besar yang sudah pensiun.  Ketika ditanyakan apa yang membuatkan gembira, dijawab “keinginan Prof Satryo untuk mengembalikan perguruan tinggi ke jati dirinya”.  Ketika ditanya ke jati diri yang mana, beliau menjelaskan dengan panjang lebar, yang intinya “perguruan tinggi sebagai lembaga akademik”.

Memang sejak dekade akhir ini perguruan tinggi seakan di persimpangan jalan.  Apakah akan tetap menjadi lembaga akademik atau lembaga yang pragmatis mengikuti dinamika bisnis. Sebagai lembaga akademik, perguruan tinggi seharusnya menjadi tempat persemaian generasi masa depan yang mampu berpikir kritis-kreatif untuk pembangunan bangsa dan negara, dengan berlandaskan etika dan moral. Sebagai lembaga akademik, perguruan tinggi seharusnya menjadi tempat para dosen melakukan tridarma secara utuh dan saling terkait. Dosen melakukan penelitian dan hasilnya dijadikan bahan utama dalam memberi kuliah. Dengan demikian isi perkuliahan selalu baru dan merupakan state of the art dari bidang yang diajarkankan.  Penelitian dan pengabdian kepada masyarakat merupakan dua kegiatan yang resiprokal.  Masalah yang ditemui saat melakuan pengambian kepada masyarakat menjadi pemicu untuk melakukan penelitian. Sebaliknya hasil penelitian digunakan untuk memecahkan masalah yang terjadi di masyarakat. Jadi produk perguruan tinggi bukan hanya lulusan tetapi juga hasil-hasil penelitian yang berguna untuk memecahkan problema kehidupan dan atau mengembangkan ilmu pengetahuan.

Dengan konsep tersebut, dosen memerlukan alokasi waktu kerja yang pporsional.  Dosen tidak boleh menghabiskan waktu hanya memberi kuliah, karena tugas penelitian juga memerlukan waktu yang cukup.  Sebaliknya dosen juga tidak dapat menghabiskan waktu untuk penelitian karena memberi kuliah dan membimbing mahasiswa juga memerlukan waktu.  Kalau pengabdian kepada masyarakat lazimnya tidak setiap minggu tetapi dalam blok waktu tertentu.

Berapa proporsinya waktu antara ketika darma tersebut?  Rasanya tidak baku, tergantung intensitas masing-masing dan setiap semester dapat saja berubah.  Kalau diasumsikan waktu kerja dosen itu 12-16 sks, mungkin alokasi penelitian 4-8 sks, pengajaran 4-8 sks, dan pengabdian kepada masyarakat 2-4 sks. Kalau 1 sks itu diterjemahkan menjadi 3 jam kerja (mohon dicatat, jika memberi kuliah itu termasuk membuat persiapan, pelaksanaan perkuliahan dan memeriksa tugas mahasiswa), maka dengan beban 16 sks setara dengan 48 jam kerja seminggu.

Tampaknya perguruan tinggi kesulitan untuk menerapkan konsep tersebut.  Yang sering dijadikan argument adalah masalah anggaran. Untuk melakukan penelitian (baca: yg serius) memerlukan dana yang tidak sedikit, sementara untuk dana yang tersedia cukup terbatas.  Bagi perguruan tinggi negeri, konon anggaran dari pemerintah sangat sedikit. Bagi perguruan tinggi swasta yayasan (badan penyelenggara) pada umumnya tidak dapat memberikan anggaran, sehingga perguruan tinggi harus mencari sendiri. 

Apa yang terjadi?  Akhirnya banyak perguruan tinggi berpikir pragmatis, menggalang dana dari mahasiswa.  Jika menaikkan SPP dirasa berat, jalan keluarnya menambah jumlah mahasiswa.  Dan tentu itu mengakibatkan beban tugas dosen untuk memberi kuliah menjadi besar.  Seorang dosen muda bercerita beban memberi kuliah semester di kampusnya, rata-rata 20 sks.  Dapat dibayangkan dengan beban memberi kuliah seperti itu, kapan dosen melakukan penelitian, bahkan kapan dosen menyiapkan bahan kuliah dan memeriksa tugas-tugas mahasiswa.  Lebih jauh, mungkin dapat dibayangkan seperti apa mutu pendidikan yang dihasilkan.

Mengharapkan anggaran penelitian dari pemerintah, tampaknya masih sulit karena disamping anggaran pendidikan tinggi jga terbatas, fokusnya belum ke arah penelitian. Mengharapkan dana dari industri tampaknya juga masih jauh dari harapan, karena karateristik industri kita belum memerlukan banyak riset.  Industri besar yang logikanya memerlukan riset, umumnya merupakan industri multinasional yang induknya di negara lain, sehingga risetnya dilakukan di negara tersebut. Di Indonesia lebih banyak untuk produksi bahkan perakitan.

Yang sungguh menarik untuk dikaji, industri besar dan itu lokal, baik BUMN maupun swasta akhir-akhir ini justru mendirikan perguruan tinggi sendiri  yang konon itu menggunakan dana CSR mereka. Alih-alih membantu riset perguruan tinggi yang sudah ada, malah dana tersebut digunakan untuk mendirikan perguruan tinggi.  Konon itu untuk membantu menyediakan layana pendidikan tinggi bagi generasi muda.

Harus diakui bahwa situasi dilematis tersebut tidak mudah dipecahkan.  Mau idealis dengan menerapkan konsep sebagai lembaga akademik, anggaran yang tersedia tidak mampu mendukung.  Mau pragmatis mutu pendidikan dipertanyakan.  Untuk memecahkan diperlukan political will dari pemerintah, kemana perguruan tinggi harus dikembangkan. Semoga.