Sebagai orangtua, lebaran ini saya
dikunjungi banyak kerabat, mulai anak-cucu sendiri (kandung), keponakan dan
teman-teman muda, Kebanyakan membawa anak-anaknya, mulai yang sudah mulai
bekerja, sedang sekolah atau kuliah dan banyak juga anak-anak kecil. Suasana
rumah menjadi ramai dan sungguh menyenangkan. Mungkin karena jarang ketemu,
mereka saling ngobrol dan bercanda. Sepertinya pada mengelompok dengan saudara
atau teman yang sebaya. Mungkin karena memiliKi bahasa atau interes yang sama.
Didorong rasa ingin tahu, saya mencoba nguping (diam-diam mendengarkan) pembicaraan mereka, khususnya anak-anak muda yang kuliah dan atau mulai bekerja. Ternyata saya susah memahami apa yang mereka diskusikan. Mungkin karena mereka menggunakan terma (istilah-istilah) anak muda yang bagi saya asing. Topik diskusipun sulit saya fahami. Mendengarkan diskusi yang tampak hangat, saya merasa menjadi “orang asing”.
Namun demikian saya mencoba bertahan
mendengarkan dengan harapan menangkap apa yang mereka bicarakan, walaupun tentu
tidak utuh. Salah satu yang menarik
untuk difahami adalah bagaimana mereka merespon tantangan pekerjaan dan
kehidupan yang dihadapi. Di tengah ekonomi yang kurang baik, tidak mudahnya
mendapatkan pekerjaan mereka banyak mengeluh. “Sulit mencari pekerjaan”. “Mau bisnis tidak punya modal”. “Lowongan
selalu diisi yang punya koneksi”. Yang
sudah bekerja juga mengeluh “kerjaan berat tetapi gaji kecil, hanya cukup makan
dan bayar kost”. Yang kuliah juga banyak yang mengeluh, karena banyaknya tugas.
“Dosen se-enaknya sendiri”. “Sarana perkuliahan amburadul, tapi tidak boleh
telat bayar SPP”. Dan sebagainya.
Saya tidak berani menyela, karena takut
bahasa saya “tidak nyambung”. Hanya, pas
makan siang rame-rame saya tanya siapa yang sedang kuliah nyambi kerja? Hanya seorang yang menjawab, menjadi
fotografer freelance. Ketika saya tanya
hasilnya besar, dijawab hanya bisa untuk nambah uang jajan dan beli pulsa. Bagaimana untuk uang kuliah? Ternyata masih
diberi orangtuanya. Kerabat lain, menggoda
“nggak masalah tekor yang penting glamor”.
Sore hari ketika mereka sudah pulang dan
rumah kembali sepi, saya merenung. Mengapa anak-anak banyak mengeluh ya. Pada
hal, hampir semua kuliah dan lulusan universitas negeri yang ternama. Orangtuanya
relative juga berpendidikan baik dan secara sosial ekonomi lumayan mapan.
Apakah itu yang disebut GENERASI STRABERI yang mudah penyok, tidak tahan kena
panas dan tidak tahan kena benturan?
Saya jadi teringat buku berjudul CAN
SINGAPORE FALL tulisan Lim Siong Guan yang menjadi topik pembicaraan di tahun
2018an. Mantan Head of Civil Service itu merisaukan masa depan Singapore karena
generasi mudanya yang tidak setangguh orangtuanya. Ketika membahas fenomena
itu, Lim Menyitir filsafat siklus kehidupan yang menyatan Kehidupan yang Berat (Hard
Time) akan menghasilkan orang-orang yang tangguh (Strong Man), orang
yang tangguh akan menumbuhkan Kehidupan yang Sejahtera (Good Time), kesejahteraan
yang Sejahtera menghasilkan orang-orang yang lemah (Weak Man), dan orang-orang
yang lemah akan menghasilkan Kehidupan yng Berat (Hard Time). Jadi
perjalan kehidupan di masyarakat akan merupakan siklus berulang.
Bertolak dari itu, Lim mengajak para pendidikm
pemikir pendidikan dan pemilik kebijakan pendidikan, termasuk oragtua, bagaiman
caranya mendidik anak-anak, walaupun kehidupan mereka sangat sejahtera. Lim tampak sungguh-sungguh, karena menurut dipelajari,
dia menyimpulkan bahwa kemunduran suatu negara juga merupakan siklus berulang dengan
penyeban utamanya lemahnya bangsa yang bersangkutan. Sudah saatnya kita kaum pendidik di Indonesia
memikirkannya juga. Semoga.