Rabu, 02 April 2025

SIKLUS KEHIDUPAN

 

Sebagai orangtua, lebaran ini saya dikunjungi banyak kerabat, mulai anak-cucu sendiri (kandung), keponakan dan teman-teman muda, Kebanyakan membawa anak-anaknya, mulai yang sudah mulai bekerja, sedang sekolah atau kuliah dan banyak juga anak-anak kecil. Suasana rumah menjadi ramai dan sungguh menyenangkan. Mungkin karena jarang ketemu, mereka saling ngobrol dan bercanda. Sepertinya pada mengelompok dengan saudara atau teman yang sebaya. Mungkin karena memiliKi bahasa atau interes yang sama.

Didorong rasa ingin tahu, saya mencoba nguping (diam-diam mendengarkan) pembicaraan mereka, khususnya anak-anak muda yang kuliah dan atau mulai bekerja.  Ternyata saya susah memahami apa yang mereka diskusikan. Mungkin karena mereka menggunakan terma (istilah-istilah) anak muda yang bagi saya asing. Topik diskusipun sulit saya fahami. Mendengarkan diskusi yang tampak hangat, saya merasa menjadi “orang asing”.

Namun demikian saya mencoba bertahan mendengarkan dengan harapan menangkap apa yang mereka bicarakan, walaupun tentu tidak utuh.  Salah satu yang menarik untuk difahami adalah bagaimana mereka merespon tantangan pekerjaan dan kehidupan yang dihadapi. Di tengah ekonomi yang kurang baik, tidak mudahnya mendapatkan pekerjaan mereka banyak mengeluh. “Sulit mencari pekerjaan”.  “Mau bisnis tidak punya modal”. “Lowongan selalu diisi yang punya koneksi”.  Yang sudah bekerja juga mengeluh “kerjaan berat tetapi gaji kecil, hanya cukup makan dan bayar kost”. Yang kuliah juga banyak yang mengeluh, karena banyaknya tugas. “Dosen se-enaknya sendiri”. “Sarana perkuliahan amburadul, tapi tidak boleh telat bayar SPP”. Dan sebagainya.

Saya tidak berani menyela, karena takut bahasa saya “tidak nyambung”.  Hanya, pas makan siang rame-rame saya tanya siapa yang sedang kuliah nyambi kerja?  Hanya seorang yang menjawab, menjadi fotografer freelance.  Ketika saya tanya hasilnya besar, dijawab hanya bisa untuk nambah uang jajan dan beli pulsa.  Bagaimana untuk uang kuliah? Ternyata masih diberi orangtuanya.  Kerabat lain, menggoda “nggak masalah tekor yang penting glamor”.

Sore hari ketika mereka sudah pulang dan rumah kembali sepi, saya merenung. Mengapa anak-anak banyak mengeluh ya. Pada hal, hampir semua kuliah dan lulusan universitas negeri yang ternama. Orangtuanya relative juga berpendidikan baik dan secara sosial ekonomi lumayan mapan. Apakah itu yang disebut GENERASI STRABERI yang mudah penyok, tidak tahan kena panas dan tidak tahan kena benturan?

Saya jadi teringat buku berjudul CAN SINGAPORE FALL tulisan Lim Siong Guan yang menjadi topik pembicaraan di tahun 2018an. Mantan Head of Civil Service itu merisaukan masa depan Singapore karena generasi mudanya yang tidak setangguh orangtuanya. Ketika membahas fenomena itu, Lim Menyitir filsafat siklus kehidupan yang menyatan Kehidupan yang Berat (Hard Time) akan menghasilkan orang-orang yang tangguh (Strong Man), orang yang tangguh akan menumbuhkan Kehidupan yang Sejahtera (Good Time), kesejahteraan yang Sejahtera menghasilkan orang-orang yang lemah (Weak Man), dan orang-orang yang lemah akan menghasilkan Kehidupan yng Berat (Hard Time). Jadi perjalan kehidupan di masyarakat akan merupakan siklus berulang.

Bertolak dari itu, Lim mengajak para pendidikm pemikir pendidikan dan pemilik kebijakan pendidikan, termasuk oragtua, bagaiman caranya mendidik anak-anak, walaupun kehidupan mereka sangat sejahtera.  Lim tampak sungguh-sungguh, karena menurut dipelajari, dia menyimpulkan bahwa kemunduran suatu negara juga merupakan siklus berulang dengan penyeban utamanya lemahnya bangsa yang bersangkutan.  Sudah saatnya kita kaum pendidik di Indonesia memikirkannya juga. Semoga.