Pokok-pokok Pikiran Disampaikan pada Konggres Pancasila III di Universitas Airlangga Surabaya, Tanggal 31 Mei 2001.
Bahwa Pancasila sebagai dasar negara dan Pancasila sebagai sistem nilai luhur yang dimiliki Bangsa Indonesia rasanya tidak perlu dibahas apalagi diperdebatkan. Bahwa Pancasila sebagai dasar negara harus dijadikan sumber nilai sekaligus tolok ukur bagi penyelenggaraan negara juga tidak perlu diperdebatkan. Bahwa nilai-nilai luhur Pancasila merupakan acuan bagi kehidupan bermasyarakat dan berbangsa juga tidak perlu diperdebatkan. Bahwa Pancasila merupakan ruh kehidupan seluruh bangsa Indonesia, sehingga setiap langkah seharusnya diwarnai nilai-nilai luhur Pancasila, juga tidak perlu lagi dibahas. Yang perlu direnungkan adalah mengapa fenomena kehidupan kita dalam bermasyarakat dan berbangsa terasa masih jauh dari nilai-nilai luhur Pancasila.
Status Pancasila sebagai dasar negara dan sebagai sistem nilai Bangsa Indonesia sebagaimana disebutkan di atas, telah kita sepakati sejak Indonesia merdeka. Namun setelah kita merdeka selama 65 tahun, perilaku keseharian kita dalam bermasyarakat dan berbangsa tampaknya masih jauh dari nilai-nilai Pancasila. Jika Bung Karno menyatakan bahwa Pancasila dapat diperas menjadi satu perkataan yaitu gotong royong, kita dapat bertanya dimana gotong royong itu terimplemtasikan saat ini. Yudi Latif (Kompas, 13 Mei 2011) menguraikan secara gamblang bagaimana seharusnya gotong royong menjiwai seluruh sila Pancasila. Ketuhanan seharusnya dilaksanakan dengan prinsip yang lapang, toleran serta berkebudayaan, dan bukan yang saling menyerang. Internasionalisme yang dijiwai gotong royong seharusnya dilaksanakan dengan perikemanusiaan serta perikeadilan dan bukan yang menjajah dan eksploitatif. Kebangsaan yang dijiwai gotong royong seharusnya diterapkan dengan menumbuhkan kebinekaan dalam persatuan dan bukan yang meniadaan perbedaan apalagi meniadakan persatuan. Demokrasi yang dijiwai gotong royong seharusnya terwujud dalam pengambilan keputusan dengan musyawarah-mufakat dan bukan yang didekte oleh mayoritas atau minoritas elit yang punya kekuasaan dalam berbagai bentuknya. Kesejahteraan yang dijiwai oleh gotong royong seharusnya terwujud dalam betuk partisipasi serta emansipasi dan bukan yang berbasis individualistik kapitalis. Penjelasan Yudi Latif yang memuat kata “harus” tersebut kini perlu dicermati kenyataannya di lapangan, apakah perilaku kita sebagai bangsa dan juga sebagai indivisu sudah seperti diidamkan.
Jika cara kita berlalu-lintas merupakan cerminan perilaku kita bermasyarakat, kita dapat melihat lalu lintas kita masih semrawut dan diwarnai egoism yang tinggi dari masing-masing pengguna jalan. Masing-masing merasa paling penting atau minimal minta orang lain mengerti bahwa sedang memiliki keperluan yang sangat penting, sehingga minta prioritas. Jika dahulu kita menyatakan diri sebagai bangsa yang suka tolong menolong, rasanya saat ini empati kita kepada orang lain yang sedang mendapat kesulitan terasa sangat sedikit. Kita menyaksikan ketika ada kecelakaan di jalan, kebanyakan pengguna jalan yang lain menonton dan hanya sedikit yang menolong. Jika korupsi dianggap sesuatu perbuatan yang menghancurkan sendi-sendi kehidupan, tampaknya sampai saat ini kita belum mampu keluar dari jeratan perilaku koruptif. Ada pernyataan menarik dari seorang pengamat, orang-orang yang dulunya suka berteriak lantang tentang korupsi, setelah mendapat kesempatan memegang posisi ternyata juga melakukan korupsi.
Pada bulan Juli 2006 Majalah Reader’s Digest memuat hasil survai tentang tingkat kesopanan dan kepedulian masyarakat. Dari 34 kota yang disurvai dihasilkan 19 peringkat dan Jakarta berada di peringkat 14 bersama Taipei. Memang masyarakat Jakarta masih lebih sopan dan peduli dibanding masyarakat Singapore (peringkat 15), Seoul (peringkat 16) dan Kualalumpur (peringkat 17). Namun ternyata kita berada jauh dibawah Amesterdam (peringkat 10), Mexico City (peringkat 6), Berlin (peringkat 4), dan Zurich (peringkat 2). Bukankah orang-orang di negara-negara tersebut selama ini kita katakan bersikap individualis? Bukankah kita punya Pancasila yang diyakini mengandung nilai-nilai luhur? Tentu kita tidak meragukan keluhuran nilai-nilai kehidupan yang terkandung dalam Pancasila. Yang kita pertanyakan adalah mengapa kita yang punya Pancasila ternyata kalah sopan dan kalah peduli kepada sesama dibanding dengan banga lain yang tidak punya Pancasila dan sering kita katakana bangsa yang bersikap individualis. Apakah memang sejak dulu kita termasuk bangsa yang tidak begitu sopan dan peduli, atau terjadi pergeseran perilaku masyarakat yang dulunya sopan menjadi kurang sopan, yang dulunya peduli menjadi tidak bergitu peduli kepada orang lain.
Contoh-contoh di atas tentu tidak menggambarkan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Masih banyak anggota masyarakat yang santun, yang peduli kepada orang lain, yang jujur dan tidak mau mengambil sesuatu yang bukan haknya dan seterusnya. Demikian pula dalam tataran pejabat dan pimpinan, baik pimpinan formal maupun non formal, juga banyak yang perilakunnya sesuai dengan nilai-nilai luhur Pancasila. Namun yang pasti, keresahan banyak pihak terhadap perilaku masyarakat dan fenomena kehidupan berbangsa perlu mendapat perhatian sungguh-sungguh. Beberapa pakar menyatakan bahwa keterpurukan bangsa kita bukanlah karena kita kurang pandai, bukanlah kita kekurangan bahan baku, tetapi masalah pokoknya terletak pada moral/akhlak/karakter kita semua. Moral kita kurang baik (untuk tidak mengatakan tidak baik). Banyak diantara kita yang ingin enak sendiri dan melupakan kepentingan orang lain, suka menerabas untuk memperoleh hak atau keinginan kita, merasa diri kita paling penting dan meminta orang lain menghargai dan memberi kesempatan kita lebih dahulu, dan seterusnya. Fenomena itu tidak hanya secara individual, bukan hanya rakyat kecil yang tidak berpendidikan tetapi juga pada para pemimpin yang berpendidikan tinggi, bukan pada seseorang secara individual tetapi juga perilaku kelompok. Mengapa fenomena itu terjadi dengan sangat kental, pada hal kita punya Pancasila sebagai falsafah hidup dan falsafah bangsa.
Tentu kita yakin bahwa Pancasila mengandung nilai-nilai kejujuran, kesantunan, dan kepedulian. Fenomena ketidakjujuran, kekurangsantuan dan kekurangpedulian kepada hak-hak orang lain tersebut, kita yakin bukan karena Pancasila tidak mengandung nilai-nilai itu. Yang perlu dipertanyakan, mengapa nilai-nilai luhur Pancasila belum dihayati, sehingga belum dapat memandu masyarakat untuk menerapkannya dalam kehidupan keseharian. Dalam kasus hasil survai Reader’s Digest, mengapa nilai-nilai kesantunan dan kepedulian yang terkandung dalam Pancasila belum dihayati dengan baik oleh masyarakat Jakarta, sehingga saat disurvai berada di peringkat 14. Dalam kasus berlalu lintas, mengapa nilai-nilai luhur “tepo sliro”, mementingkan kepentingan umum belum kita hayati sehingga kita cenderung egois dalam berlalu lintas. Dalam kasus korupsi, mengapa kita tega mengambil sesuatu yang bukan hak kita, yang seringkali menjadikan orang lain menjadi sengsara. Itulah pertanyaan mendasar yang harus diurai dan dicarikan jawaban.
Kerisauan terhadap perilaku masyarakat yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang diyakini kebenarannya, tidak hanya terjadi di Indonesia. Thomas Linkona (1992) menyebutkan Amerika Serikat juga merisaukan hal yang sama, sejak tahun 1980an. Oleh karena itu, menurut Larry P. Nucci dan Darcia Narvaez (2008) 80% negara bagian di Amerika Serikat mewajibkan pendidikan karakter. Menurutnya itu sesuai dengan kecenderungan di masyarakat yang menyatakan seharusnya sekolah memberikan dorongan tumbuhnya kejujuran pada anak-anak (97%), menghargai orang lain (94%), demokratis (93%) dan menghormati orang lain yang berbeda latar belakang sosial dan sebagainya (93%). Dalam seminar internasional yang diadakan oleh Unesco di Manila, April 2010 pendidikan moral juga dibahas panjang lebar. Hampir semua perwakilan yang hadir juga mengeluhkan perilaku masyarakat yang dianggap sudah tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsanya.
Dalam konsep pendidikan, perilaku seseorang merupakan hasil belajar. Belajar dalam arti luas, yaitu belajar di mana saja, kapan saja, serta dari dan atau kepada siapa/apa saja. Melalui proses belajar seseorang dapat berubah kemampuannya dan juga perilakunya. Ketika menerima informasi/rangsang, seseorang akan melakukan proses asimilasi dan atau akomodasi dengan pengetahuan/pemahaman yang telah dimiliki sebelumnya. Ketika terjadi proses asimilasi dan atau akomodasi itulah seseorang melakukan internalisasi terhadap informasi/rangsang yang diterima dengan konstruk pemahaman yang sebelumnya telah dimiliki. Dari proses tersebut selanjutnya akan dikonstruk pemahaman baru dan pemahaman baru itulah yang merupakan hasil belajar.
Setiap saat orang belajar berdasarkan apa yang dilihat, didengar, dibaca dan dialami. Membaca buku, membaca sms, membaca koran, melihat orang lain berbuat sesuatu, mendengar orang berbicara, mendengar orang berdiskusi, melihat televisi, melihat suatu persitiwa, mendengar radio, mengalami suatu peristiwa dan sejenisnya merupakan proses mendapatkan informasi/rangsang dan dengan demikian akan menyebabkan yang bersangkutan belajar. Ada pakar yang menyebut informasi /rangsang seperti itu, khususnya jika itu itu interaksi aktif dengan pihak lain atau yang bersangkutan melakukan “eksperimen”, sebagai pengalaman belajar. Informasi/pengalaman dalam berbagai jenis itulah yang selanjutnya diolah oleh otak kita dan hasil olahannya disebut hasil belajar.
Dalam domain afektif atau hal-hal yang terkait dengan perilaku, hasil belajar dapat berupa penguatan dari pemahaman sebelumnya, tetapi juga dapat merupakan perubahan dari pemahaman sebelumnya. Seseorang yang sebelumnya berperilaku koruptif dan kemudian berubah menjadi tidak, sangat mungkin disebabkan adanya informasi atau pengalaman yang mampu mengubah konstruk lama tentang korupsi menjadi konstruk baru pemahaman bahwa korupsi itu tidak baik atau korupsi itu berbahaya, sehingga harus dihindari. Perubahan pemahaman itu terjadi akibat proses belajar.
Seseorang yang sebelumnya berperilaku koruptif dan sekarang juga tetap melakukan korupsi, mungkin disebabkan selama itu belum ada informasi/pengalaman yang dapat mengubah pemahamannya tentang korupsi atau informasi yang diterima menguatkan konstruk pemahaman bahwa korupsi itu boleh, korupsi itu menguntungkan, paling tidak korupsi itu ditoleransi atau tidak berbahaya. Tidak terjadinya konstruk pemahaman tersebut dapat karena informasi/pengalaman yang diterima tidak memberikan informasi baru tentang korupsi atau bahkan informasi/pengalaman yang diterima justru menguatkan konstruk tentang korupsi sebelumnya.
Seseorang yang semula tidak mau korupsi tetapi kemudian melakukan korupsi, juga merupakan hasil belajar. Mungkin yang bersangkutan menerima informasi/pengalaman yang mampu mengubah konstruk pemahaman sebelumnya bahwa korupsi itu tidak baik atau korupsi itu berbahaya menjadi korupsi itu menguntungkan atau ditoleransi atau tidak berbahaya. Konstruk itulah yang kemudian mendorong yang bersangkutan melakukan korupsi.
Informasi dan pengalaman yang diterima orang sangat banyak jumlah, jenis dan bentuknya. Informasi/pengalaman yang terkait dengan nilai-nilai, seringkali tidak sejalan antara satu dengan yang lain. Jika hal itu terjadi akan muncul “pertarungan” di dalam diri seseorang untuk menimbang mana yang seharusnya diikuti. Hal seperti itu seringkali menghasilkan konstruk dalam bentuk bersyarat. “berperilaku A kalau keadaannya X, berperilaku B kalau keadaannya Y, atau C kalau keadaannya Z”. Konstruk yang “tidak hitam-putih” itulah yang tampaknya terjadi dalam perilaku masyarakat kita saat ini.
Beberapa ahli menyebut pola “tidak hitam putih” sebagai situasional. Artinya perilaku seseorang itu tidak ditentukan oleh konstruk pemahaman tunggal yang diyakini, tetapi tergantung pada situasi yang dihadapi saat itu. Contoh sederhana adalah dalam berlalu lintas. Jika ditengah malam dan keadaan sepi, seseorang ketemu lampu merah di perempatan, mungkin yang bersangkutan akan berhenti atau mungkin akan terus jalan dan itu sangat mungkin terkait dengan situasi saat itu. Karena keadaan sepi, konstruk pikiran untuk mematuhi peraturan lalu lintas, mungkin dikalahkan oleh pikiran “ah kan sepi, toh tidak mengganggu orang lain”. Namun jika lalu lintas masih ramai atau sepi tetapi ada polisi, mungkin yang bersangkutan akan berhenti. Dengan kata lain, ketaatan yang bersangkuta terhadap peraturan lalu lintas, masih bersyarat.
Thomas Linkona (1992) menyebut bahwa ada tiga tahapan dalam berperilaku, khususnya yang terkait dengan moral, yaitu moral knowing, moral felling dan moral action. Pada tahap moral knowing artinya orang telah tahu dan faham tentang nilai-nilai tertentu. Pada tahap moral feeling, yang bersangkutan tidak hanya faham tetapi sudah menghayati akan kebenaran nilai-nilai tertentu. Pada tahap moral action, yang bersangkutan tidak hanya menghayati tetapi sudah melakukan dalam setiap kesempatan. Sepertinya, tiga tahapan tersebut sangat mirip prinsip yang dahulu dianut dalam penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila).
Dalam konsep pendidian, untuk sampai tahap moral knowing mungkin tidak terlalu sulit. Tetapi orang yang sudah faham (sampai tahap moral knowing) belum tentu menghayati pemahaman tersebut. Belum tentu apa yang difahami tersebut terpateri menjadi sebuah keyakinan. Pemilik SIM tentunya sudah faham akan rambu-rambu lalu lintas, namun apakah kemudiam mereka merasa harus mematuhi rasanya belum tentu. Banyak diantara kita yang berhenti di lokasi yang bertanda di larang berhenti, dan menyalip di lokasi yang bertanda dilarang menyalib. Dan itu dilakukan bukan karena terpaksa atau kondisional, karena memang kita tidak merasa harus melakukannya. Itu berarti yang bersangkutan sampai tahap moral knowing tetapi belum sampai tahap moral feeling. Faham tetapi belum menghayati.
Apakah yang sudah sampai tahap moral feeling otomatis sampai tahap moral action ternyata juga belum tentu. Seperti contoh terdahulu, mungkin kita sudah menghayati bahwa pada saat lampu merah di perempatan kita harus berhenti. Tetapi karena godaan ingin cepet sampai tujuan dan situasi sepi, kita terus berjalan. Seseorang menghayati bahwa korupsi itu jahat dan merusak sendi-sendi kehidupan, tetapi adanya kebutuhan dan peluang mungkin “memaksa” yang bersangkutan melakukan. Yang memaksa siapa? Diri sendiri yang didorong adanya keinginan kaya dan peluang yang tersedia. Dua contoh di atas menunjukkan yang bersangkutan sudah sampai moral feeling tetapi belum sampai moral action.
Seperti apa contoh mereka yang sudah sampai moral action? Yaitu mereka yang secara otomatis melakukan dalam kondisi apapun, karena hal itu telah menjadi prinsip hidup yang harus dilakukan. Orang seperti itu, perilakunya tidak lagi kondisional atau bersyarat, tetapi melakukannya atas keyakinan bahwa itu harus dikerjakan dalam keadaan apapun.
Jika nilai-nilai luhur Pancasila diharapkan menjadi moral masyarakat dan moral bangsa, menjadi karakter masyarakat dan karakter bangsa, maka konsep pendidikan dan tahapan belajar moral yang diuraikan di atas dapat dijadikan salah satu “pisau bedah” bagi perilaku kita yang belum sejalan dengan nilai-nilai luhur Pancasila. Walaupun belum melakukan penelitian, saya menduga banyak diantara anak bangsa ini yang sudah tahu dan faham akan kandungan nilai-nilai Pancasila. Pancasila sudah diajarkan secara SD, sehingga semestinya sebagian besar masyarakat sudah tahu kandungan nilai-nilai di dalamnya. Dalam istilah Thomas Linkona, mereka sudah sampai tahap moral knowing. Tetapi sangat mungkin belum sampai tahap moral feeling dan jika sudah sampai tahap moral feeling belum sampai tahap moral action.
Mencermati tahapan yang diajukan Thomas Linkona dan konsep belajar, maka pendidikan dapat menjadi wahana strategis dalam penumbuhan perilaku yang dijiwai nilai-nilai luhur Pancasila. Namun menjumpai fenomena perilaku masyarakat, termasuk yang terdidik, maka pendidikan Pancasila perlu ditelaah kembali. Betulkah materi ajar maupun metoda pembelajaran, baik di SD, SMP, SMA dan perguruan tinggi. Mungkinkah pembelajaran Pancasila selama ini baru sampai tahap moral feeling buktinya memperoleh nilai bagus pada ulangan/ujian, tetapi perilaku keseharian masih jauh dari nilai-nilai luhur Pancasila yang menggambarkan belum sampai pada moral action.
Dari berbagai studi, penumbuhkembangan moral yang paling efektif adalah melalui pembudayaan, yang diawali dengan pembiasaan (habituasi) yang kemudian dibarengi dengan penanaman nilai-nilai sebagai sandaran kebiasaan tersebut. Dalam konteks pendidikan formal, maka nilai-nilai luhur Pancasila diupayakan menjadi budaya sekolah/universitas. Semua guru/dosen seharusnya menjadi guru moral dan menjadi teladan bagaimana berperilaku yang sesuai dengan nilai-nilai luhur Pancasila. Semua matapelajaran/matakuliah “dimuati” Pancasila, sesuai dengan karateristik matapelajaran/ matakuliahnya. Menyampaikan kuliah, tanya jawab, diskusi, praktium di laboratorium/studio/ bengkel, dan praktek lapangan dapat digunakan sebagai contoh penerapan nilai-nilai luhur Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
Setiap orang, termasuk siswa memiliki kemampuan dan kecenderungan beradaptasi dengan lingkungan. Jika kebiasaan kehidupan sehari-hari di SD, SMP, SMA dan perguruan tinggi sesuai dengan nilai-nilai luhur Pancasila, dapat diyakini siswa/mahasiswa akan mengikuti kebiasaan tersebut. Jika tepat waktu, saling menghormati, tidak menyontek menjadi kebiasaan sehari-hari di sekolah/universitas, dapat diduga siswa/mahasiswa akan mengikuti kebiasaan tersebut. Dengan begitu tahapan pembiasaan (habituasi) berjalan. Jika tahapan tersebut dibarengi dengan pemahaman dan penghayatan mengapa kebiasaan tersebut harus dilakukan (inkulturasi), maka kebiasaan tersebut akan berkembang menjadi budaya.
Pembudayaan suatu nila-nilai memerlukan tiga syarat, yaitu: (1) adanya teladan dari orang tua/senior/pengajar, (2) dilakukan secara konsisten dan waktu cukup lama, dan (3) dimilikinya sandaran berupa nilai-nilai yang dapat diterima oleh siswa/mahasiswa. Dalam konteks pendidikan moral Pancasila, syarat nomor 3 jelas telah ada. Yang diperlukan adalah pembiasaan dengan teladan para guru/dosen dan itu dilakukan secara terus menerus, sehingga menjadi budaya sekolah/kampus.
Kita perlu belajar dari kekurangberhasilan (untuk tidak menyebut kegagalan) penataran P4 di masa lalu. Pada penataran P4 di masa lalu, keteladanan para penatar dan senior banyak diragukan. Para peserta sering berkomentar “dia sendiri seperti itu, kok mengajari macam-macam”. Komentar itu menunjukkan ketidakpercayaan peserta kepada penatar. Pada hal, dalam pendidikan ketidakpercayaan peserta kepada guru/dosen/pelatih akan menyebabkan peserta malas belajar dan meremehkan matapelajaran/pelatihan, akhirnya pendidikan gagal mencapai tujuan.
Seperti disebutkan di atas, bahwa orang belajar dari apa saja dan kapan saja. Disamping belajar kepada guru/dosen, siswa/mahasiswa juga belajar kepada teman lain, belajar dari televisi, belajar dari radio, belajar dari koran, belajar pada kejadian di masyarakat yang diamati dan sebagainya. Demikian juga guru/dosen dan pegawai lainnya di sekolah/kampus. Itulah sebabnya sekolah difahami sebagai bagian dari sistem masyarakat dan tentu saja terjadi interaksi antar keduanya (Peter Senge, 2000).
Berarti pembiasaan dan pembudayaan yang diterima di sekolah bukan satu-satunya informasi/ pengalaman yang dimiliki dalam belajar nilai-nilai Pancasila. Siswa/mahasiswa mendapatkan informasi/pengalaman dari sumber lain yang seringkali lebih gencar dibanding apa yang dilihat dan dipelajari di sekolah/kampus. Dan seringakali informasi/pengalaman dari berbagai sumber tersebut tidak sejalan. Sebagai contoh, jika di sekolah dikebangkan budaya tepat waktu, sementara kebiasaan di luar sekolah yang juga diperoleh siswa/mahasiswa adalah kebiasaan “jam karet”. Jika di sekolah nyontek ditumbuhkan sebagai perbuatan haram, sementara di masyarakat nyontek merupakan hal yang biasa. Oleh karena itu, siswa/mahasiswa harus melakukan perbandingan dan sebagainya. Jika ternyata pengaruh luar tersebut begitu kuat, bukan mustahil pembiasaan/pembudayaan yang dikembangkan di sekolah akan kalah, dan siswa/mahasiswa akan membentuk konstruk “yang di sekolah/kampus itu hanya teori, sedangkan yang dari luar itu praktek yang dibenarkan oleh masyarakat”. Atau siswa/ mahasiswa membangun konstruk kondisional, jika di sekolah berperilaku tertentu dan jika di masyarakat berperilaku yang berbeda.
Mengingat kuat dan derasnya pengaruh dari luar sekolah/kampus, rasanya terlalu berat jika pembudayaan nilai-nilai Pancasila dibebankan kepada sekolah/kampus saja. Salah satu faktor yang sangat kuat pengaruhnya kepada anak/masyarakat adalah media, khususnya televisi. Tayangan sinetron, infotainment, dan sejenis itu berpengaruh kuat terhadap anak-anak. Perilaku bintang sinetron dan film kartun kemudian ditiru oleh anak-anak. Oleh karena itu, sudah saatnya televisi diajak bekerjasama melalui jalur pendidikan informal dalam pembudayaan nilai-nilai luhur Pancasila. Kalau saja dapat dibuat sinetron yang menggambarkan kehidupan keseharian yang sesuai dengan nilai-niai luhur Pancasila, maka tugas sekolah akan terbantu. Konon film kartun Popeye-the Sailor Man dirancang untuk membuat anak-anak Amerika agar senang makan sayur bayam dan ternyata itu berhasil. Saat ini anak-anak Indonesia juga gemar melihat film kartun Ipin dan Upin dari Malaysia. Kita juga pernah punya sinetron Si Doel Anak Sekolahan yang sangat digembari masyarakat. Jika kita dapat membuat film kartun dan sinetron seperti itu dengan muatan pendidikan moral Pancasila, maka tugas guru/dosen untuk membudayakan Pancasila menjadi lebih ringan. Tentu film dan sinetron seperti itu harus dibuat secara profesional, sehingga memiliki daya tarik kepada masyarakat untuk menonton.
Kamis, 02 Juni 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar