Abdul
Kadir Baraja
Yasir
Abdul Rahman
Mencintai si
buah hati merupakan fitrah bagi orang tua sejak dari jaman azali. Setiap orang
tua, terutama ibu, akan mencurahkan jiwa raganya untuk membuat anaknya sehat
dan sukses hidupnya. Mereka sangat bahagia saat anaknya senang, dan sedih jika
anaknya terlihat murung. Semua hidupnya dipertaruhkan untuk kebahagiaan
anaknya, bahkan saat anaknya sudah bersanding dengan teman hidupnya.
Orang tua bahkan tidak pernah ingin
kebahagiaan hilang dari diri anaknya, karena kehilangan kebahagiaan anak
berarti kehilangan kebahagiaan mereka juga. Sebenarnya tidak ada yang salah hingga titik
ini. Namun apakah kebahagiaan yang diperjuangkannya
benar-benar kebahagiaan untuk anak atau ambisi orang tua semata? Mari kita bedah
bersama sepotong fragmen kehidupan di sekeliling kita yang mengindikasikan
adanya paradoks (baca: ketidaksesuaian) cinta orang tua.
Ibu Frita mempuanyai ambisi yang sangat besar untuk anak
perempuannya, Cory. Dia ingin agar anaknya bisa kuliah di fakultas kedokteran.
Di matanya fakultas selain kedokteran berbeda “maqam”, sehingga tidak afdal dan
dirinya akan dianggap kurang sukses mendidik bila anaknya tidak diterima di
fakultas favorit tersebut. Kedokteran juga dipersepsinya menjamin kesejahteraan
anaknya secara materi.
Bimbingan Belajar terbaik di kotanya pun dipilih untuk
mengantar Cory meraih tujuan. “Belajar mandiri” telah hilang dari kamus Ibu
Frita. Cory tidak perlu harus merasa kesulitan saat dihadapkan pada pekerjaan
rumah, karena telah ada problem solver di sampingnya hampir setiap
hari. Cory tidak berkesempatan untuk belajar bagaimana menjadi seorang pembelajar.
Dia terbiasa langsung mengkonsumsi “ikan”, dan tidak pernah bersusah-payah ”mengail”
untuk mendapatkan ikan. Nyaris serba instan, seperti yang dimakannya.
Bakat seni anaknya juga tidak dilewatkannya untuk diasah
lewat serangkaian les menyanyi dan musik yang diidamkannya, agar Cory bisa
tampil di depan publik memupuk kepercayaan diri, sekaligus mengangkat “harga
diri” orang tuanya. Saat anaknya mengeluh capek, maka semua jurus motivasi
dikeluarkannya agar anaknya bertahan. Tidak lupa janji berlibur ke tempat
wisata terbaik akan ditawarkan untuk menguatkannya. Alhasil, Ibu Frita terobsesi agar anaknya
sejajar dengan anak-anak hebat.
Jadilah Cory menjadi
anak mamah yang selalu sibuk di kamar. Kamar jauh lebih disukainya dibanding
bergaul dengan teman-temannya. Bersosialisasi dengan teman sebaya ini sudah
lama dibatasinya, mengingat padatnya jadwal kegiatan.
Pola kebiasaan hidup Cory tidak
lepas dari “grand design” yang telah ditetapkan orang tuanya untuknya,
sehingga pertanyaan mendasar yang layak diajukan ialah: rencana besar yang
dibuat orang tua Cory sebenarnya untuk siapa? Benarkah semuanya untuk
kesuksesan hidup dan kebahagiaan sang anak? Benarkah saat anak sukses secara
akademik berarti menjamin sukses dalam menjalani hidup di kemudian hari?
Ibu Frita memandang ketrampilan akademis
merupakan hal yang terpenting dalam hidup. Ini tidak mengherankan, karena
sangat mudah untuk membaca parameter keberhasilannya, dan kenyataan dalam dunia
kerja hal ini selalu menjadi tolok ukur terpenting dalam rekrutmen pegawai.
Indeks prestasi yang tinggi ditambah dengan segepok sertifikat ketrampilan
tambahan akan menjadi tambahan bobot dalam seleksi.
Sejujurnya,
pola pendidikan yang tidak seimbang semacam ini tidak akan memberikan hasil manusiawi
dan alamiah. Banyak pemerhati anak yang perihatin karena semakin banyak saja
orang tua yang mengalami “rabun jauh” dalam menatap masa depan anak. Bekal akhlak,
soft skill dan life skill semakin hari semakin terpinggirkan. Padahal
banyak contoh kasus anak dengan intelegensia berkategori sedang jauh lebih
sukses menjadi “orang” karena bekal ketiga unsur tersebut. Namun anehnya,
banyak orang tua memilih “mendandani” anaknya dengan ketrampilan akademis.
Inikah kebutuhan anaknya, atau gengsi orang tuanya?
Mari kita
kembali kepada kisah Ibu Frita dan anak perempuannya, Cory. Ibu Frita dididik
orang tuanya dalam budaya disiplin yang kuat. Ibu Frita sejak kecil terbiasa
membantu orang tuanya bekerja, sehingga tanpa
disuruh Ibu Frita turun
melakukannya. Keterbatasan ekonomi orang tuanya tidak memungkinkan untuk
mempekerjakan seorang pembantu, sehingga dia juga membantu Ibunya mengurus adik bayinya. Bahkan sering dia
pergi ke pasar berbelanja karena sang ibu sangat sibuk.
Frita muda setiap hari membawa kue
buatan ibunya untuk dijual di “kantin” sekolah.
Jadi suasana bekerja keras merupakan menu hariannya, dan berkomunikasi
dengan banyak kalangan sangat tidak asing baginya. Dia sejak muda telah sanggup
membaca denyut nadi masyarakat dengan segala dinamikanya.
Sayangnya, Ibu
Frita yang kenyang makan asam garam “madrasah kehidupan” ternyata kurang jeli
menilai perubahan jaman. Dia berpikir, kesusahan dan hidup “keras” adalah
bagian dari masa lalunya yang tidak boleh terjadi pada anaknya. Semua yang
dibutuhkan anaknya disiapkannya. Jika anak butuh sesuatu cukup memanggil (baca:
berteriak) nama “inem”, maka semuanya
ada di depan mata.
Segala macam ilmu sopan santun yang ditanamkan
orang tua kepada Ibu Frita, seakan telah kadaluarsa. Segala bekal “pelatihan”
yang menyebabkan Ibu Frita dan suami sukses seakan tidak lagi penting di era
Cory. Kalau anak banyak bekerja, maka dikhawatirkan anak akan kehilangan waktu
untuk mensejajarkan dirinya dengan sebayanya untuk berprestasi.
Apa yang terjadi kemudian? Meski Cory
tumbuh menjadi anak yang pandai, namun sekadar untuk berbicara dan berperilaku
santun teramat sangat sulit baginya.
Apalagi setiap hari dia menyantap hiburan televisi yang menayangkan kehidupan
metropolitan (a la barat). Kepekaan sosialnya teramat miskin. Cory hanya “sanggup” berinteraksi dengan yang
se-aspirasi secara sosial.
Akhirnya Cory mengalami
“perpanjangan” masa anak-anak, yaitu masa dimana manusia belum layak diberi
beban dan tanggung jawab. Saat usianya beranjak dewasa, Cory belum menunjukkan
tanda-tanda mampu hidup bermasyarakat. Pada titik seperti ini anak mulai
mencari pasangan, karena secara seksual dia mulai memasuki masa kematangan.
Saat butuh penyaluran hasrat biologis, maka dia tidak terbiasa dengan aturan
masyarakat sehingga terjadilah “bencana”. Dan tiba-tiba semua terrasa serba
terlambat. Tanpa disadari Cory telah melukai dirinya, keluarganya dan
masyarakat dengan aib. Janin yang terlanjur tersemai di rahimnya dikemudian
hari begitu lahir harus sudah menanggung aib orang tuanya.
Model
pendidikan rumah yang semakin bebas dan misleading seperti kehidupan
pada keluarga Ibu Frita, anehnya tidak merisaukan banyak orang. Kejanggalan
cara bertutur, bersikap dan berperilaku anak gampang ditoleransi. Orangtua sebagai bagian dari generasi sukses
di perkotaan lebih fokus untuk meniti karir, dibanding membimbing anaknya
meniti masa dewasa secara ilmiah dan alamiah.
Orang tua juga mulai banyak
menghindari “berbenturan” dengan anaknya, karena
khawatir mengusik ketenangan dan kenyamanannya. Orang tua yang semakin sedikit
saat ketemunya dengan anak tak ingin kecewa melihat anaknya marah atau
“ngambek” karena ditegur. Kalau terjadi hukuman edukatif kepada anak di sekolah
bahkan orang tua semacam ini tidak segan-segan akan “melabrak” sang guru
Pola edukasi
“perintah dan larangan” yang diintroduksi oleh Islam semakin ditinggalkan
karena dianggap sudah “ketinggalan”. Penanaman prinsip-prinsip kehidupan secara
langsung, sebagaimana Luqman Al-Hakim
menyemai ke dada anknya tak berjalan, karena semuanya sudah “dititipkan” kepada
guru di sekolah. Baik dan buruknya anak semuanya menjadi beban sekolah. Orang
tua lupa bahwa selain mendidik di rumah, mereka juga turut bertanggung jawab
“merawat”dan mengawal penanaman nila kebajikan di sekolah, bukan melepaskannya.
Jika orang tua tidak memahami ilmu mendidik, maka orang tua seharusnya ikut
belajar untuk memberi penguatan di rumah dan bukan sebaliknya.
Masyarakat
Jepang dan banyak negara maju lainnya
selalu mengajari anak bagaimana bersikap dan berperilaku sosial yang sehat. Oleh
karena itu budaya mengantri, mengutamakan orang tua dan wanita hamil di tempat-tempat umum merupakan
hal yang lumrah sampai saat ini! Namun, kecakapan sosial semacam ini justru
semakin tercabut dari akar budaya bangsa kita. Misalnya, merusak fasilitas umum
dan tidak bertanggung jawab terhadap perilaku sendiri malah menjadi fenomena
yang sangat lumrah. Apakah bersikap apatis dan bahkan anti-sosial tidak perlu
kita cemaskan? Apakah orang tua bisa
membebaskan diri dari “keterbelakangan” ini dan bagaimana dengan nasib generasi muda Islam di masa yang akan
datang? Mari kita merenung dan bertindak untuk kepentingan anak kita. Dunia dan
akhirat mereka adalah dunia dan akhirat kita. Wallahu a’lam.Catatan: Tulisan ini dari email penulis dan dimuat di blok dengan seijin penulis.