Sudah
beberapa kali saya gagal untuk ke Pondok Pesantren Al Fitrah di Kendiding Lor
Surabaya. Gagal karena waktunya tidak
cocok. Saya ingin pas ke Al Fitrah ada Pak Wawan Setiawan, kawan
lama yang sekarang menjadi salah satu pembinanya. Karena
saya belum pernah ke Al Fitrah, jika ada Pak Wawan maka saya tidak kikuk
bagaimana menyesusikan diri.
Saya
tahu Ponpes Al Fitrah adalah ponpes salafiah besar yang didirikan oleh almarhum
Kyai Asrori. Salah seorang tokoh Tariqoh
di Indonesia. Saya menjadi lebih tertarik ke Al Fitrah,
setelah mendapat cerita Mas Pratama, mahasiswa S2 Manajemen Pendidikan Unesa. Akhirnya saya dapat datang ke Al Fitrah pada
Jum’at tanggal 31 Januari 2014, bertepatan dengan Tahun Baru Imlek
Di
Al Fitrah saya diminta menyampaikan pemikiran tentang Tantangan Pondok
Pesantren Menghadapi Era Bonus Demografi 2020-2030. Saya agak terkejutm tetapi bangga. Pondok salafiah tetapi peduli dengan
tantangan era tekonolgi. Sebelum mulai
saya minta ijin untuk mengganti kata “Tantangan” menjadi “Peluang” dalam topik
tersebut. Mengapa? Karena menurut saya pondok pesantren
memiliki peluang tinggi di era bonus demografi.
Forum
diskusi tersebut hanya diikuti oleh
sekitar 30 orang dan semuanya dari pengurus dan pengajar pondok. Jadi forum kecil, sehingga diskusi menjadi
gayeng. Apalagi semua peserta adalah”orang”
pondok yang tentu secara psikologis ingin mengembangkan pondoknya. Hanya saja waktunya sangat pendek, sekitar
1,5 jam, karena sebelum acara dimulai ada sholat jenasah di masjid pondok.
Salah
satu pokok bahasan yang saya sampaikan adalah hasil survai Bank Dunia Tahun 2010
yang dikutip oleh Wapres Boediono saat
pidato di Australia. Isinya sebagai
berikut: “the skills of Indonesian secondary school leavers do not match the
expectations of employers, due to their inadequate generic skills”. Sebenarnya temuan survai Bank Dunia itu, jauh-jauh hari sudah disinyalir
oleh banyak pakar. Tony Wagner (2008)
dalam bukunya yang berjudul The Global Achivement
Gap sudah menjelaskannya panjang lebar.
Trilling dan Fadel juga menjelaskan hal serupa dalam bukungan the 21st Century Skills.
Mengapa saya mengajukan hasil survai Bank Dunia
tersebut sebagai salah satu bahasan utama?
Karena saya yakin itulah trend ke depan. Ketika kemajuan ilmu dan teknologi semakin
pesat, pola kerja dan keterampilan kerja akan sangat cepat berubah. Globalisasi telah masuk ke semua belahan
bumi, sehingga orang bekerja bersama-sama bangsa lain. Dengan situasi seperti
itu, setiap orang harus mampu bekerjasama dalam tim, memiliki integritas
tinggi, harus mampu berpikir logis dan kritis, harus mampu memecahkan masalah,
harus memiliki kelincahan dan sekaligus adaptasi dengan situasi dan sebagainya.
Beberapa
tahun lalu, saya dengan beberapa teman penah diminta JICA untuk untuk melakukan
studi pelacakan (tracer study),
terhadap lulusan politeknik. Setelah
mendatangi banyak perusahaan yang memperkerjakan lulusan Politeknik, kami
menemukan hal yang sangat menarik. Untuk
aspek keterampilan (specific skills),
hampir tidak akan komplain. Yang
dianggap kurang adalah kebiasaan mencatat pekerjaan, kemampuan komunikasi dan
bekerjasama, dan kemampuan memimpin tim.
Bukankah ini juga sejalan dengan temuan Bank Dunia?
Menutut
saya kekuatan pondok pesantren justru terletak mengembangkan generic skills. Pondok pesantren salafiah seperti Al Fitrah
tentu tidak memberikan bekal specific skills, misalnya kompetensi khusus sebagai
pengacara, sebagai insinyur, sebagai dokter dan sebagainya. Kalau toh ada mungkin sebagai da’i. Namun yang jelas, selama menyantri para
santri akan digembleng generic skills-nya. Selama di pondok, santri akan mendapat
gemblengan dan pembiasaan tentang berkomunikasi, bekerja sama, berintegritas,
berpikir logis dan kritis dan sebagainya.
Sejauh
pengetahuan saya, hampir tidak ada alumni (boleh disebut lulusan?) pondok
pesantren yang melamar pekerjaan.
Mungkin karena mereka tidak memiliki ijasah dan memang pada umumnya
orang mondok (belajar di pondok) tidak mengharapkan mendapat ijasah. Dengan bekal kemampuan yang diterima selama
mondok (dan juga dari sumber lainnya), kemudian pada alumni bekerja sesuai
dengan minatnya.
Oleh
karena itu pada umumnya alumni pondok pesantren memiliki jiwa kemandirian yang
kuat. Rasa percaya diri dan keyakinan akan bimbingan Sang Pencipta menjadi
bekal utama dalam bekerja dan mengarungi kehidupan. Mereka yakin, dengan mengamalkan
prinsip-prinsip Islam dan kehidupan, maka Sang Pencipta akan membimbing langkah
menuju sukses. Sering kita dengar ungkapan
sederhana, “bekerja apa saja asalkan halal dan dikerjakan dengan baik hasilnya
akan barokah”. “Semua ini bumi Allah,
sehingga kita dapat bekerja dimana saja”.
Memang
banyak alumni pondok pesantren yang kemudian menjadi pegawai atau karyawan. Namun
pada umumnya itu terjadi pondok pesantren yang sudah memiliki lembaga
pendidikan formal, seperti MI, MTs, MA dan sebagainya. Jadi bukan lagi pondok salafiah seperti Al
Fitrah. Atau orang yang disamping mondok
juga menempuh pendidikan formal.
Dalam
sesi tanya jawab, semua peserta yang meberikan respons setuju dengan pemikiran
yang saya ajukan. Pertanyaannya
bagaimana menumbuhkan generic skills
itu secara baik. Bagaimana cara
menggabungkan antara generic skills
dan specific skills. Di satu sisi ada keinginan pengasuh pondok
untuk juga memberikan specific skills
yang cocok dengan dunia kerja (marketable
skills) agar lulusannya mudah mendapatkan kerja atau memulai usaha. Namun di sisi lain, pengasuh juga setuju
pentingnya generic skills.
Saya
tidak memiliki pengalaman mondok, sehingga saya tidak berani memberikan solusi
yang pasti. Yang saya ajukan adalah
analogi dari apa yang saya ketahui dan apa yang pernah saya lakukan. Memang tidak perlu ada pelajaran atau pokok
bahasan kerja keras, kerja sama, kreativitas dan sebagainya. Namun ketika
kuliah mahasiswa harus didorong kerja keras, memecahkan masalah secara kreatif
dan diberi pengalaman untuk kerjasama.
Misalnya mengerjakan tugas bersama-sama.
Misalnya dalam setiap saat kepada mahasiswa diberi tugas yang “memaksa”
dia bekerja keras. Jika semua dosen
melakukan itu, maka kerja keras dan bekerja sama akan menjadi kebiasaan
sehari-hari. Dan jika pada saatnya
dijelaskan bahwa kerja keras dan bekerjasama itu penting, maka itu akan menjadi
proses pembudayaan.
Trilling
dan Fadel dalam buku The 21st Century Skills menceritakan dialog
antara delegasi China dengan Direktur Napa New Tech Hogh School, sebuah sekolah
inovatif di Northern California.
Delegasi China bertanya bagaimana atau pada kurikulum bagian mana, sekolah
itu mengajarkan kreativitas dan inovasi.
Jawaban yang didapat kurang lebih: “It
is not in our curriculum guide”. “It is more in the air we breathe or maybe the
water we drink, the history of our country-Thomas Edison, Henry Ford, Benjamin
Franklin, it is I our business culture, our entrepreneurs, our willingness to
try new ideas, the tinkering and inventing in our garages, the challenge of
tackling tough problems and the excitement of creating something new, in being
rewarded for our new ideas, taking risks, failing and trying again”.
2 komentar:
ijin share pak, supaya teman-teman juga membaca untuk efek manfaat isi tulisan ini, terima kasih
semoga bisa mendampingi generasi bangsa untuk indonesia lebih baik.
izin share pak
Posting Komentar