Beberapa hari ini saya
mendengar ungkapan topik “Titik Nol” di Radio Suara Surabaya yang sangat
bagus. Saya tidak ingat siapa yang
menyampaikan, tetapi intinya menganalogkan nurani kita sebagai kacamata. Jika kacamata kita kotor apa yang kita lihat
menjadi buram. Jika nurani kita tidak
bersih pandangan kita terhadap orang lain atau apapun yang kita saksikan
menjadi tidak baik. Bahkan kita dapat menilai
Sang Maha Pencipta tidak adil. Sebalinya jika katamata kita bersih dan jernih,
apa yang kita lihat menjadi jelas dan terang.
Oleh karena itu, kita jangan selalu membersihkan benda yang kita lihat,
tetapi cobalah membersihkan katamata yang kita pakai. Artinya jangan selalu menyalahkan orang lain,
tetapi menata nurani kita agar pandangan kita menjadi postif.
Ungkapan tersebut
menjadi sangat relevan karena dalam beberapa kesempatan saya mendengar beberapa
kawan selalu memandang guru kita dengan pandangan negatif. Ketikq pemerintah
mengadakan UKG (uji kompetensi guru) dan hasilnya kurang baik, kita cenderung
mengolok-olokan guru. Ketika pemerintah
mengadakan PKG (penilaian kinerja guru) dan konon tidak ada bedanya antara guru
yang sudah bersertifikat dan mendapat tunjangan profesi dengan mereka yang
belum mendapatkan, kita juga mengolokkan guru.
Bahkan mulai ada yang mengungkit UU nomer 14 Tahun 2005 yang mengatur
adanya tunjangan profesi guru, dengan alasan toh walaupun sudah mendapat
tunjangan profesi kinerjanya tidak meningkat.
Mari kita merenung
dengan pikiran jernih seperti yang disampaikan dalam Titik Nol tersebut. Kalau
kita cermati hasil UKA (uji kompetensi awal) yang tidak beda dengan UKG, tampak
sekali semakin senior (semakin tambah usia) semakin rendah skor yang diperoleh
guru. Seakan-akan semakin lama para guru
bekerja justru semakin rendah kompetensinya.
Apa sesederhana itu tafsirnya, sehingga kita memandang negatif kepada
guru dengan mengatakan mereka tidak mau belajar?
Mari kita melihat dari
kacamata yang berbeda. Pertama, pada
akhir tahun 1970an Pemerintah membangun SD Inpres sangat banyak dalam upaya
memberikan layanan pendidikan di pedesaan. Karena jumlah SD Inpres sangat banyak,
terjadilah kekurangan guru baru, sehingga pemerintah melakukan program
pendidikan khusus, yang disebut SPG-C (SPG Chusus) dengan input lulusan SLTP saat
itu, yaitu SMP, SMEP, ST, SKKP. Lamanya
program 1 tahun dan begitu lulus langsung diangkat menjadi guru SD Inpres di
pelosok desa, sambil menempuh program KPG (kursus pendidikan guru) selama dua
tahun di sore hari. Ijasah KPG
disetarakan dengan ijasah SPG.
Mereka itulah yang
saat ini menjadi guru SD senior.
Sayangnya saat itu pamor profesi guru tidak bagus, sehingga yang
mendaftar ke SPG-C bukanlah lulusan SLTP yang baik. Kebanyakan yang mendaftar adalah yang ingin
segera bekerja dan atau yang tidak diterima di SMA/SMK. Dengan demikian dapat kita bayangkan seperti
apa kualitas guru SD senior lulusan SPG-C plus KPG. Apalagi mereka bertugas di SD di pedesaan
yang relatif sulit untuk melakukan updating pengetahuan.
Kedua, ketika menyelenggarakan PLPG cukup banyak guru SD yang mengatakan
semenjak diagkat sekian tahun lalu, baru pertama kali ikut pelatihan ketika
dipanggil PLPG. Dapat dibayangkan, sudah
lulusan SPG-C dan KPG, bertugas di pedesaan yang minim informasi dan belum
pernah disentuh pelatihan.
Ketiga, ada teman yang mempertanyakan soal UKG dan UKA. Seberapa tinggi
validitasnya? Saya pernah membaca
sekilas soal UKG dan UKA sepertti didasarkan pada kurikulum S1 saat ini. Jadi UKG untuk guru SD didasarkan pada
kurikulum S1 PGSD, degan asumsi guru harus menguasai materi dan metoda mengajar
semua matapelajaran dan semua level kelas.
Apakah itu valid? Saya
membayangkan, guru senior di SD yang telah bertahun-tahun mengajar kelas 1 dan
harus mengerjakan soal yang mungkin ada materi Matematika untuk kelas 6. Guru senior di SD yang lulusan SPG-C dan KPG
ditanyakan tentang teori kontruktivis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar