Tanggal 23 Februari
2017 saya diminta oleh Ditjen GTK Kemdikbud untuk menyampaikan gagasan di forum
yang dihadiri Pejabat GTK, Kepala P4TK Bid Kejuruan dan Kepala SMK yang
ditunjuk sebagai Pusat Belajar.
Ceritanya, Ditjen GTK sedang punya “kerja besar”, yaitu memberikan “keahlian
ganda” kepada guru mapel adaptif agar juga mampu menjadi guru mapel produktif. Jadi guru Fisika, Kimia, Biologi dan
matapelajaran itu sejenis di SMK, dilatih untuk dapat mengajar mapel produktif,
seperti Teknik Kendaraan Ringan (sepeda motor/mobil), permeninan, Agroindustri,
Tata Boga dan sebagainya. Jumlah yang harus dilatih ribuan, sementara kemampuan
P4TK sangat terbatas dan waktu yang tersedia juga pendek. Akhirnya dicari jalan keluar, dengan menunjuk
SMK yang punya fasilitas baik untuk menjadi Pusat Belajar. Tentu yang menjadi pelatih juga guru senior
di sekolah tersebut.
Program keahlian ganda
itu dianggap penting, karena ketika terbit Inpres no 9 Tahun 2016 tentang
Revitalisasi SMK, ternyata banyak SMK yang kekurangan guru mapel produktif,
sementara guru mapel adaptif lumayan berlebih. Oleh karena ini jalan “pendek” yang
ditempuh adalah mengalihkan guru mapel adaptif menjadi guru mapel
produktif. Toh, dengan APBN yang
terbatas tidak mudah untuk minta formasi guru baru. Tidak ada rotan, akarpun berguna, begitu
kira-kira filosofi program ini.
Tampaknya teman-teman
GTK yakin dalam implementasi Inpres no 9/2016 tersebut ujungtombaknya kepala
sekolah. Apapun kebijakan yang diambil,
kepala sekolah yang melaksanakan.
Apalagi dua poin tentang dalam inpres tersebut adalah penyelarasan
kurikulum dengan keperluan DUDI dan penguatan kerjasama SMK dengan DUDI. Aturan kurikulum dan kerjasama dapat dibuat
“di Jakarta”, tetapi siapa menjamin itu terimplementasi dengan baik. Jaminannya ya, jika kepala sekolahnya
kompeten dan berkomintmen untuk melaksanakan.
Oleh karena itu, Ditjen GTK mengumpulkan kepala SMK yang menjadi PB dan
saya diminta untuk itu menyampaikan gagasan, apa dan bagaimana peran kepala SMK
dalam implementasi Inpres 9/2016 tersebut.
Menurut saya inpres
itu merupakan peluang besar tetapi juga merupakan perangkap yang menganga bagi
kepala SMK. Secara kelakar, saya
menyampaikan inpres itu bagaikan tawaran surga atau neraka kepada kepala SMK. Artinya, bisa saja kepala SMK sukses
memanfaatkan peluang itu untuk berivonasi sehingga sekolahnya maju, namun juga
mungkin kepala SMK kesulitan melakukan inovasi dan akhirnya dicap sebagai
kepala sekolah yang gagal. Mengapa
demikian? Impian mempunyai kurikulum
yang selaras dengan kebutuhan DUDI dan sinergi antara SMK dengan DUDI,
sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru.
Ketika Prof Wardiman Djojonegoro menjadi mendikbud, itu sudah menjadi
“program utama” dengan slogan link and match.
Saking getolnya beliau dengan program itu, sampai-sampai ada yang
mengatakan Pak Wardiman itu bukan menteri P&K tetapi menteri PMK (menteri
pendidikan menengah kejuruan). Jadi
Inpres no 9/2016 itu, ibarat “anggur lama botolnya baru”.
Tentu saya setuju
dengan inpres tersebut. Walaupun “anggur lama dengan botol baru”, namun memang
pendidikan vokasi (tidak hanya SMK, tetapi juga program diploma dan kursus
keterampilan) harus dibenahi agar dapat meghasilkan lulusan yang cocok dengan
kebutuhan DUDI di era sekarang. Namun, kita
harus mau belajar dari pengalaman lalu, agar inpres ini tidak mengulang
“kegagalan” program link and match era Pak Wardiman. Itulah yang tampaknya diminta oleh Ditjen GTK
kepada saya untuk disampaikan dan didiskusikan dengan para kepala SMK, pejabat Ditjen
GTK dan kepala P4TK.
Belajar dari
pengalaman, kegagalan kebijakan seperti Inpres no 9/2016 itu seringkali karena
kita enggan atau tidak mampu keluar dari kotak kita. “Kita” artinya, bisa guru, bisa kepala
sekolah, bisa pejabat Dinas Pendidikan, bisa juga pejabat di Kemdibud. “Kotak” dalam kalimat itu bisa berarti
jabatan yang sekarang kita sandang, pekerjaan atau bahkan pola pikir yang kita
anut. Pada hal, seringkali suatu inivasi
harus “membawa korban”, hilangnya suatu jabatan, hilangnya suatu unit kerja,
hilangnya suatu pekerjaan dan berubahnya paradigma berpikir yang selama ini
kita gunakan. Nah, seringkali kita takut
atau enggan kehilangan itu dan kemudian kita mempertahankan pendapat agar “apa
yang kita miliki” tidak hilang. Itulah
yang saya maksud, kita tidak dapat keluar dari kotak.
Mari kita megambil
contoh. Jika kurikulum harus
diselaraskan dengan DUDI, sangat mungkin tidak dapat diberlakukan secara
nasional, karena masing-masing DUDI pasangan SMK punya kebutuhan yang berbeda.
Juga sangat mungkin SMK tidak “perlu” ikut UN, karena dirasa apa yang di-UN-kan
tidak penting bagi DUDI. Jika SMK harus
bekerja erat dengan DUDI, agar siswa dapat ber-prakerin dengan baik, sangat
mungkin jadwal sekolah tidak dapat diikuti dengan disiplin oleh SMK. Nah, bagaimana dengan itu? Sangat mungkin kepala sekolah “tidak berani”
melakukan, karena berisiko disalahkan oleh pengawas dan seterusnya.
Pertanyaannya,
beranikah kita keluar dari kotak, untuk memberi ruang gerak kepada SMK agar
punya kurikulum selaras dengan DUDI dan agar dapat berprakerin dengan
baik? Saya takut, “kita” tidak
berani. Itulah yang harus kita
selesaikan agar Inpres no. 9/2016 dapat berjalan dengan baik.