Beberapa hari lalu HP
saya kebanjiran WA, BBM dan SMS tentang Permen Ristekdikti Nomor 20 Tahun
2017. Semula saya bingung karena saya
tidak tahu menahu Permen itu. Ternyata
tentang Tunjangan Profesi bagi dosen berjabatan akademik Lektor Kepala (LK) dan
tunjangan kehormatan bagi dosen berjabatan akademik Guru Besar (GB). Mungkin beberapa teman mengira saya “masih di
Dikti” atau “masih menjabat rektor”, sehingga dikira tahu. Pada hal sudah lama “pensiun”, sehingga tidak
tahu sama sekali.
Terdorong informasi
dan pertanyaan tersebut, saya berusaha mencari tahu dengan brossing di google
dan mendapatkan dari web Kopertis XII.
Saya memilih yang sudah berupa pdf, sehingga langsung dapat dibuka dan
diunduh. Di samping itu, saya juga
bertanya kepada beberapa teman yang kebetulan hadir pada Rapat Kerja Kementerian
Ristekdikti, karena kabarnya permen itu dibahas dalam rakor.
Setelah membaca, saya
faham mengapa banyak teman yang risau. Mengapa?
Karena sangat berat. Dapat
dibayangkan, Pasal 4 Permen tersebut menyebut dosen LK harus menghasilkan 3
artikel yang dimuat di jurnal nasional terakreditasi atau satu artikel yang
dimuat di jurnal internasional. Di
samping itu masih harus menghasilkan buku atau paten atau karya seni monumental/desain
seni monumental yang diakui oleh peer review nasional. Pasal 5 ayat (1) menyebut tunjangan profesi
dihentikan sementara jika dosen LK tidak memenuhi keharusan tersebut.
Untuk dosen GB,
menurut pasal 8 dalam waktu tiga tahun harus dapat menghasilkan 3 artikel di
jurnal internasional atau satu artikel di jurnal internasional bereputasi. Di samping itu harus menghasilkan buku atau
paten atau karya seni monumental/desain seni monumental yang diakui oleh peer
review internasional. Pasal 9 ayat (1)
menyebutkan tunjangan kehormatan dosen GB dihentikan jika tidak dapat memenuhi
tuntutan pasal 8 tersebut.
Karena risau, saya
mendatangi Ketua Jurusan dan Sekretaris Jurusan tempat saya bekerja untuk
mendiskusikannya. Beliau setuju permen
itu dibahas pada rapat jurusan dan saya diminta untuk presentasi. Nah ketika akan membuat ppt, pdf Permen yang
saya dapat dari web Kopertis XII tidak begitu baik, sehingga saya berusaha
mencari yang lain. Akhirnya saya
menemukan di web jdih.ristekdikti.go.id. Sangat menarik, karena setelah saya
unduh dan cermati isinya agak beda. Pada
naskah dari web Kopertis XII, di pasal 4 ada 4 ayat, sedangkan pada naskah dari
jdih.ristek dikti hanya ada 3 ayat.
Muatan ayat (2) digabungkan dengan ayat 1 huruf b, dengan menghilangkan
kata “buku”. Hal yang sama terjadi pada
pasal 8. Pada naskah dari web Kopertis
XII, pasal 8 ayat (1) punya huruf “a” s.d “h”, sedangkan pada naskah dari web
jdih.dikti.go.id, hanya sampai hurug “g”.
Muatan huruh “h” pada naskah web Kopertis XII dimasukkan ke dalam huruf “g”
pada nasakah dari web jdih.ristekdiketi.go.id, dengan menghilangkan kata “buku”.
Saya tidak mengerti
adanya dua naskah yang sama-sama dimuat di web resmi. Oleh karena itu saya bertanya ke Ibu Ani
Nurdiani (Karo Hukum Kemenristekdikti) dan mendapat jawaban agar menggunakan
naskah dari web jdih.ristekdikti.go.is. Menurut saya yang awam soal hukum,
menyimpulkan naskah dari web jdih.ristekdikti.go.id lebih ringan. Akhirnya naskah itulah yang saya jadikan
rujukan untuk paparan di rapat jurusan.
Namun, saat rapat Pak Ketuan Jurusan menyampaikan bahwa naskah yang
diperoleh dari Wakil Rektor Bidang Akademik sama dengan yang dari web Kopertis
XII.
Saya menyampaikan di
rapat jurusan, urusan adanya 2 naskah dan tuntutan berat biar ditangani pihak
pimpinan. Sebagai “dosen biasa” kita
bahas saja bagaimana menyiapkan diri untuk memenuhi tuntutan itu. Muncul pertanyaan dari teman peserta rapat, “tuntutan
artikel di jurnal itu harus sebagai penulis pertama atau boleh penulis kedua”. Jujur saya tidak tahu dan oleh karena itu
belum dapat menjawab.
Selesai rapat, saya
merenung lama. Kalau dalam kenaikan
jabatan akademik, kewajiban seperti itu harus sebagai penulis pertama. Namun apa begitu? Menurut Jawa Pos tgl 5 Februari 2017 hal 3,
di Indonesia ini ada 31.010 dosen LK dan 5.097 dosen GB. Jika semua dosen LK
harus menulis di jurnal nasioanal terakreditasi (sementara mengabaikan jurnal
internasional) dan dosen GB harus menulis di jurnal nasional (bukan bereputasi)
tetapi diakui oleh Dikti, maka muncul pertanyaan: “keharusan publikasi itu
sebuah kompetensi, sehingga dirancang yang menang tidak sebanyak peserta atau
sebuah dorong berprestasi sehingga semua peserta dapat menang asal mencapai
kriteria minimal”.
Mengapa muncul
pertanyaan itu? Saya tidak punya data
resmi, namun dugaan saya jumlah jurnal nasional yang terakreditasi maksimal 300
buah. Jika jurnal itu terbit 2 kali
setahun dan setiap jurnal menampung 15 artikel, berarti dalam satu tahun
tersedia “ruang” untuk 300x2x15 atau 9.000 artikel. Atau hanya sekitar 1/3 dari jumlah dosen LK. Apakah yang 21.010 dosen LK harus masuk ke
jurnal internasional? Jadi, kalau tujuan
dari Permen tersebut untuk “kompetisi” mungkin tepat, karena hanya 1/3 yang
akan dapat “medali”. Namun jika
tujuannnya untuk mendorong dosen LK berprestasi dan semua akan “menang” jika
mencapai kriteria minimal, rasanya kurang tepat.
Bagaimana dengan dosen
GB? Agaknya lebih sulit untuk menganalisisnya. Mengacu pasa Scimago journal rank terdapat
29.713 buah jurnal yang terindex, mulai dari Q1, Q2, Q3, Q4 maupun yang “yang
tidak punya Q”. Sementara jumlah dosen
GB hanya 5.097 orang. Namun harus
diingat jurnal tersebut harus dipersaingkan oleh dosen, peneliti dan mahasiswa
S3 di seluruh dunia.
Dalam rapat jurusan,
juga muncul pertanyaan “mengapa Permen ini mengevaluasi kinerja dosen mulai
tahun 2015?”. Jujur saya tidak tahu,
karena itu masalah hukum. Mungkin teman
dari fakultas/jurusan hukum yang dapat menjawab. Sebagai perbandingan saja, Permendikbud
nomoer 92/2014 yang terkait dengan kenaikan jabatan akademik dosen, baru
berlaku efektif mulai Januari 2017. Jadi
ada transisi lebih dari dua tahun.
Sambil memacu diri dalam membuat publikasi, mudah-mudahan segera ada
informasi yang lebih jelas. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar