Ketika disrupsi telah
menjadi keniscayaan, perubahan terjadi secara cepat dan tidak diduga-duga,
bahkan terjadi discontinuity, maka pendidikan yang linier dengan mendasarkan
pada prinsip-prinsip pedagogi mulai dipertanyakan. Tumpukan pengetahuan terus terjadi dan
semakin lama sekali banyak akibat perkembangan ilmu dan teknologi, menyebabkan
kurikulum semakin membengkak, sehingga memberatkan siswa.
Pedagogy berasumsi
siswa belum tahu apa yang harus dipelajari, sehingga kurikulum dirancang para
ahli dan siswa tinggal mengikutinya.
Kemampuan awal siswa dianggap sama, sehingga semua siswa harus mengikuti
seluruh kurikulum yang ada. Memang pada
level tertentu ada penjurusan atau spesialiasi tetapi spesialisasi itu dibuat
para ahli tanpa mempertimbangkan keinginan siswa dan begitu siswa masuk jurusan
atau spesialisasi itu, mereka harus mengikuti seluruh kurikulum secara utuh.
Ketika menyadari bahwa
siswa atau peserta didik difahami mereka telah memiliki bekal awal sebelum
mengikuti suatu pendidikan atau pelatihan, sehingga harus difahami sebagai
orang dewasa berkembanglah teori andragogi.
Pada prinsipnya andragogi menganggap siswa adalah orang dewasa yang
sudah memiliki kemampuan dan pengalaman sebelum mengikuti pendidikan. Oleh karena itu mereka belajar tidak dari
nol. Namun demikian tetap saja siswa
dianggap belum tahu apa yang harus dipelajari untuk mencapai kompetensi yang
diinginkan. Akhirnya kurikulum disusun
oleh para ahli dengan mempertimbangkan kemampuan awal yang telah dimiliki
peserta didik. Dan peserta didik
mengikuti semua racikan materi ajar yang telah ditentukan.
Nah, ketika variasi
pekerjaan sangat banyak dan berubah dengan cepat, maka kemampuan untuk
menangani juga sangat banyak. Pola pikir pedagogi maupun andragogi tidka lagi
memadai untuk merancang kurikulum. Oleh
karena itu, teori heutagogi muncul muncul menggantikannya. Pada heutagogi siswa atau peserta didik
difahami sudah mengetahui apa yang perlu dipelajari untuk mendapatkan kemampuan
yang diinginkan. Oleh karena itu
merekalah yang merancang kurikulum untuk dirinya sendiri. Sekolah, universitas, lembaga pelatihan
menyediakan sederetan matakuliah atau mata latih dan siswa/mahasiswa/peserta
kursus dapat memilih matapelajaran/ matakuliah/matalatih yang sesuai dengan
keinginannya. Kalau dipadankan dengan
restoran, mungkin mirip rumah makan Padang, dimana pemberli bisa memilih
sendiri lauk apa yang diinginkan dari sederet lauk pauk yang tersaji di
etalase.
Mungkin saja
diperlukan penasehat atau advisor untuk konsultasi. Misalnya perseta didik bertanya “setelah
lulus saya ingin membuka warung masalah tradisional Jawa Timur, matakuliah apa
saja yang perlu saya ikuti?”. Dalam pikiran saya, yang bersangkutan perlu faham
cara memasak walaupun tidak secanggih calon juru masak. Perlu faham dasar-dasar gisi, karena tren ke
depan pembeli ingin mendapatkan makanan yang gisinya bagus. Perlu faham manajemen, khusunya manajemen
restoran, walaupj tidak perlu secanggih ahli manajemen tingkat tinggi. Dan
sebagainya. Nah, kalau asumsi saya itu
betul, berarti yang bersangkutan harus menjelajah ke beberapa program studi
untuk mengambil matakuliahnya. Pola yang
sama, misalnya ada lulusan SMA yang ingin menjadi salesman mobil, yang tentu
perlu faham tentang permobilan, marketing bahkan perbankan karena ke depan
diperkirakan orang akan memberi secara angsuran.
Mungkin ada yang
bertanya bagaimana ijasahnya. Orang
seperti contoh tersebut diatas lulus dari prodi apa? Pertanyaan seperti itu
sulit dijawab karena kita menggunakan kerangka pikir era pedagogi. Di era heutagogi orang tidak disebut lulus
dari prodi apa tetapi lulus memiliki kompetensi apa. Seperti cerita pelamar ke Google tidak
ditanya Anda lulusan apa, tetapi ditanya apa yang Anda mampu dan apa yang Anda
pernah kerjakan.
Teori heutagogi akan
semakin relevan jika dikaitkan dengan era keterbukaan informasi, dimana
siswa/mahasiswa/peserta pelatihan dapat mengakses informasi dari berbagai
sumber, termasuk materi ajar. MOOC
(massive open online courses) sekarang sudah menjadi sajian di berbagai
perguruan tinggi, dimana siapa saja dapat mengaksesnya. Mahasiwa di Surabaya dapat ikut mempelajari
isi matakuliah yang disajikan oleh perguruan tinggi top di Amerika Serikat. Tentu tidak dapat konsultasi ke dosen apalagi
ikut ujian, jika tidak terdaftar sebagai mahasiswa. Online courses sekarang
sudah menjadi tawaran di berbagai universitas.
Dengan begitu dapat saja mahasiswa di universitas di Surabaya atas
persetujuan dosennya mengambil matakuliah secara online di universitas di Jerman
dan hasilnya diakui di almamaternya di Suarabya.
Pada level apa pola
pendidikan berbasis teori heutagogi itu dilaksanakan? Menurut saya sejak level menengah atas bahkan
dapat dirintis sejak menengah pertama.
Dengan catatan, sejak dini akan dideteksi apa bakat, minat dan
potensinya, kemudian diarahkan mempelajari dan mendalami potensi tersebut. Tentu tanpa melupakan dasar-dasar sikap,
pengetahuan dan keterampilan dasar yang diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan pola itu kurikulum tidak menjadi
“beban” tetapi menjadi “sajian konsumsi” yang diperlukan dan bahkan diinginkan
oleh peserta didik. Semoga.