Sebenarnya apa yang kita inginkan ketika menyekolahkan anak? Walau
tidak terungkapkan secara eksplisit, setiap orangtua punya harapan tertentu,
pada saat menyekolahkan anaknya.
Buktinya, mereka selalu berusaha memilihkan sekolah yang terbaik bagi
anaknya. Orangtua juga rela bersusah
payah dan bahkan membayar mahal, agar anaknya diterima di sekolah yang diyakini
baik.
Ketika pertanyaan tersebut diajukan kepada beberapa kawan dan guru,
pada umumnya dijawab: ”Biar pandai, taat beribadah, berbakti kepada orangtua,
dan dapat hidup sukses kelak di masa datang”.
Istilah yang digunakan sangat bermacam-macam, tetapi empat hal itulah
yang umumnya diinginkan.
Rasanya sangat rasional, jika orangtua
mengharapkan anak-anaknya menjadi orang yang sukses. Sukses tentunya tidak hanya dalam aspek
materi, yaitu kaya, tetapi juga sukses dalam kehidupan beragama, keluarga, dan
kehidupan sosial.
Coba perhatian ketika seorang ayah atau ibu tengah
menimang bayinya. Orang Jawa punya ungkapan besuk
gedhe bisa disawang, artinya jika nanti sudah besar dapat dipandang, yaitu dapat
menjadi kebanggaan keluarga. Memang
sukses anak adalah kebanggaan orangtua.
Kita juga sering memuji teman, saudara atau tetangga, yang memiliki anak
sukses dan bahkan bertanya bagaimana mendidiknya. Kepada anak-anak, kita juga sering
menjadikan orang sukses sebagai contoh untuk ditiru. Sekali lagi, sukses menurut ukuran
masing-masing orangtua dan masyarakat
sekitarnya.
Pertanyaan yang muncul, bekal apa yang diperlukan
agar orang dapat menggapai kehidupan yang sukses tersebut? Jika
bekal atau kunci itu dapat ditemukan, kita sebagai orangtua dapat mengupayakan
agar bekal tersebut dimiliki anak kita.
Jika bekal tersebut dapat dipelajari di sekolah, tentunya guru dapat mengajarkannya
kepada siswa, sehingga siswa menguasai kemampuan itu. Bukankah anak dikirim oleh orangtuanya ke
sekolah, dengan harapan mendapatkan pendidikan yang dapat digunakan sebagai
bekal untuk meraih kesuksesan hidup di masa depan?
Cara berpikir yang paling mudah untuk menemukan
kunci orang sukses adalah dengan pola pikir induktif, yaitu mengidentifikasi
orang-orang sukses, kemudian mencermati apa kunci rahasia sukses mereka. Jika kita mendapatkan cukup banyak kasus tentang
ciri orang sukses dan dari kasus tersebut dilakukan generalisasi, maka secara prosedur
berpikir, kita akan mendapatkan ciri-ciri orang sukses yang berlaku secara
universal.
Dalam kesempatan memberi penataran kepada guru,
kepala sekolah, pengawas, dosen, dan staf dari Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota,
juga saat memberi kuliah mahasiswa pasca sarjana, saya meminta mereka melakukan
hal tersebut. Saya meminta mereka untuk mengidentifikasi ”bekal pokok/kunci” seseorang
sehingga dapat sukses. Namun, sebagian
besar mereka mengalami kesulitan untuk melakukannya. Oleh karena itu, disiasati dengan membagi
pertanyaan tersebut menjadi beberapa tahapan.
Tahap pertama, saya memancing dengan pertanyaan: Bapak-bapak, biasanya punya langganan
bengkel sepeda motor atau bengkel mobil.
Sebut saja bengkel Pak Didik. Bapak
selalu membawa mobil/motor yang rusak ke bengkel Pak Didik. Ibu-ibu, biasanya
punya langganan penjahit yang dianggap baik, sebut saja penjahit Bu Norma. Ibu-ibu selalu ke Bu Norma, kalau menjahitkan
baju baru. Nah, sekarang sebutkan alasan, mengapa Bapak berlangganan ke bengkel
Pak Didik dan Ibu berlangganan ke penjahit Bu Norma?
Terhadap pertanyaan seperti itu muncul jawaban
yang sangat beragam, tetapi pada umumnya berkisar pada: karena pekerjaannya
baik, orangnya jujur-tidak membohongi suku cadang yang digunakan, model bajunya
mutakhir, ongkosnya tidak mahal, tempatnya dekat rumah, orangnya ramah dan
tepat janji.
Tentu setiap orang membayangkan bengkel mobil/sepeda
motor dan penjahit langganannya masing-masing.
Tetapi sungguh mengagetkan, karena ciri-ciri bengkel mobil/motor yang difavoritkan, relatif sama dengan ciri-ciri penjahit
yang laris. Yang membedakan hanyalah
keahliannya, yaitu ahli memperbaiki mobil/motor dan ahli menjahit baju,
sedangkan ciri-ciri lainnya sama. Dengan
demikian ciri-ciri yang diajukan untuk bengkel favorit atau penjahit yang laris
tersebut, diduga merupakan ciri-ciri yang
bersifat universal, yaitu ciri-ciri penjahit dan tukang bengkel yang
baik, sehingga memiliki banyak langganan.
Pada tahap kedua, diajukan pertanyaan yang serupa tetapi untuk
profesi lain, yaitu dokter. Jawaban
yang banyak muncul terhadap pertanyaan tersebut adalah: karena memeriksanya
teliti, obat yang diberikan cocok, tempat praktik dekat dengan rumah, orangnya
ramah, ongkosnya tidak terlalu mahal dan pelayananannya terhadap pasien baik. Tentu ungkapan yang digunakan oleh peserta
penataran sangat beragam, tetapi dapat disederhanakan seperti tersebut di atas.
Mari kita bandingkan ciri-ciri dokter favorit
dengan bengkel/penjahit favorit yang disebutkan oleh peserta penataran
tersebut. Bukankah ciri-ciri dokter tersebut sangat mirip dengan tukang bengkel
mobil/motor dan tukang jahit, yang diajukan sebelumnya? Memeriksanya teliti dan memberi obat yang
cocok adalah ciri keahlian seorang dokter, yang identik dengan ungkapan
pekerjaannya baik, untuk bengkel dan penjahit.
Ciri yang lain sangat mirip, misalnya ramah, pelayanannya baik dan
ongkosnya murah.
Pekerjaan seorang dokter sangat berbeda dengan
penjahit dan berbeda pula dengan montir, tetapi dari jawaban tersebut ternyata
hampir semua ciri-ciri dokter favorit sama dengan bengkel favorit dan penjahit
laris. Yang membedakan hanyalah keahlian
khususnya, yaitu mengobati bagi dokter, memperbaiki mobil bagi bengkel dan
membuat baju bagi penjahit. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa mereka memiliki ciri universal tertentu, agar
memiliki banyak pelanggan.
Pada tahap ketiga, saya mengajukan pertanyaan Apakah memiliki tetangga yang favorit, yaitu tetangga yang
menyenangkan? Hampir semua menjawab
punya. Ketika ditanyakan, apa ciri-ciri
perilaku tetangga favorit tersebut, jawaban mereka juga hampir seragam, yaitu ”jujur,
toleran, tidak usil, ramah, dan suka menolong”. Walaupun jawabannya bervariasi dan bahkan
seringkali disertai dengan kelakar, misalnya tetangga favorit itu yang cantik
atau keren, suka meminjami uang dan seterusnya, tetapi sikap jujur, ramah,
tidak usil, toleran dan suka menolong merupakan ciri-ciri umum tetangga yang
baik.
Nah, kita semua tentu ingin anak kita sukses, jika
menjadi dokter yang praktiknya laris, jika membuka usaha bengkel akan laris,
jika membuka tailor juga laris dan di kampung menjadi tetangga yang favorit
bagi masyarakat sekelilingnya. Ciri-ciri
yang diungkapkan untuk tukang bengkel, penjahit, dokter dan tentangga favorit
tersebut di atas dapat menjadi pedoman kita dalam mendidik anak.
Ciri-ciri tersebut, dapat diperluas kepada orang
sukses secara umum. Oleh karena itu pada
tahap ke empat, kepada peserta penataran dan mahasiswa pasca sarjana, saya menanyakan apakah memiliki saudara, teman, atau
tetangga yang dianggap orang yang paling sukses. Biasanya mereka menjawab punya. Untuk memudahkan, saya meminta mereka
menuliskan nama orang sukses tadi dalam bentuk inisial agar orang lain tidak
mengerti. Setelah itu, mahasiswa dan peserta penataran diminta
menuliskan perilaku yang menyebabkan dia sukses. Tulisan peserta penataran tersebut kemudian dikumpulkan
dan beberapa dibaca untuk berbagai pendapat.
Sungguh mencengangkan, meskipun mereka pasti
menunjuk orang yang berbeda-beda, ternyata ciri-ciri yang disebutkan sangat
mirip. Perilaku orang yang dianggap
sukses oleh peserta pelatihan dari berbagai profesi dan juga oleh banyak mahasiswa
pascasarjana dan peserta pelatihan tersebut mencakup: ahli dalam bidang
kerjanya, jujur, disiplin, bertanggung jawab, kerja keras, ulet, pantang
menyerah, kreatif, pandai bergaul, pandai memanfaatkan kesempatan, pandai
memecahkan masalah dan berani mengambil risiko.
Biasanya saya meminta menyebutkan apa saja dan
diselingi dengan kelakar, agar mereka
menjawab dengan santai dan bebas menyatakan pendapat. Oleh karena itu, seringkali para mahasiswa
dan peserta pelatihan menyelipkan ungkapan yang juga bernada kelakar, misalnya
faktor nasib, orangtuanya kaya, mertuanya kaya, pandai berkolusi, dibantu dukun
dan sebagainya. Tentu faktor-faktor
demikian tidak perlu dirisaukan.
Jika dibandingkan dengan ciri-ciri dokter,
penjahit dan tukang bengkel mobil/motor yang ditemukan lebih dahulu, ciri-ciri
orang sukses ini lebih luas. Semua
ciri-ciri dokter, penjahit dan tukang bengkel sudah tercakup di dalamnya dan
ditambah dengan ciri lain, misalnya disiplin, bertanggung jawab, kerja keras,
ulet, pantang menyerah, kreatif, pandai bergaul, pandai memanfaatkan
kesempatan, pandai memecahkan masalah dan berani mengambil risiko. Hal itu dapat dimengerti, karena saat
mengidentifikasi dokter, penjahit dan bengkel, mereka baru mengungkapkan
”kebaikan” dokter, penjahit dan bengkel, tetapi belum menyebut mengapa menjadi
baik.
Orang yang sukses sangat mungkin berposisi sebagai
anak buah dan juga bapak buah (pimpinan).
Oleh karena itu, pandangan pimpinan terhadap anak buah yang baik dan
pandangan anak buah terhadap pimpinan yang baik, juga perlu digali. Untuk itu, ketika memberi pelatihan kepada kepala
sekolah dan pejabat dari Dinas Pendidikan, saya mencoba menggali lebih dalam
tentang anak buah yang baik. Saya
mengajukan pertanyaan tahap ke lima, yaitu Jika pada saat mengikuti pelatihan ini, di kantor ada tugas penting
tentu menunjuk anak buah untuk menyelesaikan. Jika ada beberapa anak buah,
bagaimana memilihnya?
Pada umumnya mereka menjawab, akan memilih anak
buah yang: menguasai tugas yang akan dikerjakan, pekerja keras, bertanggung
jawab, berdedikasi, pandai bekerja sama dengan teman dan pandai mengatasi
masalah. Walaupun istilah yang
digunakan bebeda-beda, inti jawaban tidak terlalu banyak variasinya. Enam kemampuan tersebut hampir selalu
disebutkan oleh setiap peserta. Tentu
saja, setiap peserta pelatihan menunjuk orang yang berbeda-beda untuk
dideskripsikan. Jika ternyata deskripsi
ciri-ciri orang tersebut mirip, kita dapat menyimpulkan bahwa ciri-ciri itu
memang universal dan menjadi ciri anak buah yang terpercaya.
Untuk posisi bapak buah (atasan/pimpinan), digali
dari penataran guru. Kepada peserta
penataran saya ajukan pertanyaan apa
ciri-ciri kepala sekolah yang ideal?.
Terhadap pertanyaan itu muncul jawaban, yang kalau dirangkum mencakup: pandai
dan berwawasan luas, tegas, disiplin, memperhatikan kepentingan anak buah,
memiliki relasi luas, pandai mengambil keputusan, berani mengambil risiko.
Kalau rangkuman ciri-ciri anak buah yang dipercaya
dan bapak buah yang ideal tersebut dibandingkan dengan ciri-ciri orang sukses, muncul
cir-ciri baru. Dua ciri ”baru” yang muncul
pada anak buah terpercaya, yaitu berdedikasi dan pandai bekerja
sama dengan teman. Untuk posisi
pimpinan ideal, muncul ciri-ciri ”baru”, yaitu berwawasan luas, tegas, memperhatikan anak buah.
Jika dicermati dedikasi sebenarnya merupakan
perwujudan tanggung jawab terhadap tugas yang diemban, sehingga ciri
berdedikasi dapat diintegrasikan kepada ciri tanggung jawab. Ciri memperhatikan
anak buah dapat diintegrasikan kepada suka
menolong. Dengan demikian,
penggunaan ”pimpinan” dan ”anak buah” yang baik, hanya memunculkan tiga ciri
baru, yaitu pandai bekerja sama, tegas dan berwawasan luas. Secara
logika kita juga dapat memahami bahwa ketiga ciri tersebut memang penting untuk
keberhasilan seseorang.
Biasanya, seseorang sangat cermat jika diminta
untuk menjawab hal-hal yang terkait dengan anak kandungnya. Oleh karena itu, saya meminta mahasiswa pasca
sarjana dan peserta pelatihan dari berbagai daerah, khususnya mereka yang telah
memiliki anak remaja atau yang sudah menikahkan anaknya, untuk mengidentifikasi
menantu yang ideal. Biasanya saya mengajukan pertanyaan tahap
ke enam, sebagai berikut: Jika
Bapak/Ibu memiliki anak gadis, dan dilamar oleh dua orang tentu harus memiliki
salah satu. Nah, untuk memilih, kriteria apa yang digunakan?
Terhadap pertanyaan tersebut, ternyata muncul jawaban
yang unik yang terkait dengan budaya.
Jawaban yang banyak muncul, antara lain: seiman dan baik ibadahnya,
setia dan berbakti pada orangtua, bertanggung jawab, keturunan orang baik-baik,
berpendidikan baik, sudah bekerja dan memiliki masa depan cerah, sehat
jasmani-rokhani, ganteng dan mencintai anaknya. Walaupun variasinya cukup banyak, tetapi
ciri-ciri tersebut hampir disebut oleh setiap peserta.
Jika ciri menantu idaman tersebut dibandingkan
dengan ciri orang sukses, tampak agak berbeda.
Semua ciri orang sukses diwadahi dalam tiga istilah, yaitu berpendidikan, sudah bekerja, dan memiliki masa depan cerah. Ciri-ciri lainnya, lebih terkait dengan aspek
keimanan dan budaya. Hal itu dapat dipahami,
karena masalah menantu terkait dengan prinsip kekeluargaan.
Ketika ditanyakan lebih lanjut Apakah ciri-ciri orang sukses yang
sebelumnya mereka ajukan penting untuk calon menantu?, ternyata semua
menjawab ”ya, sangat penting, agar memiliki masa depan cerah”. Dengan demikian ciri-ciri orang sukses
berlaku juga untuk calon menantu.
Jika kita menggunakan pola pikir induktif, yaitu
menarik simpulan dari fakta-fakta empirik di lapangan, maka hasil wawacara
dengan banyak peserta pelatihan dari berbagai daerah dan mahasiswa pascasarjana
beberapa jurusan dan beberapa angkatan tersebut, kita dapat mengambil simpulan
tentang ciri-ciri orang sukses. Apa
ciri-ciri yang harus dimiliki seseorang agar dapat sukses, yaitu agar ketika membuka
usaha bengkel, jahitan atau berpraktik sebagai dokter akan laris, agar menjadi
anak buah yang dipercaya atasan, agar menjadi atasan yang dicintai anak buah,
agar menjadi tetangga yang favorit dan akan diincar oleh banyak orang untuk
dipilih menjadi calon menantu.
Jika ciri-ciri tersebut disebut kunci
sukses, maka isinya mencakup: beriman dan taat beribadah, jujur, menguasai bidang
pekerjaan yang ditekuni, kerja keras, ulet dan pantang menyerah, kreatif,
pandai memecahkan masalah, bertanggung jawab, berpengetahuan luas, pandai
bekerjasama dengan orang lain, memiliki hubungan yang luas, berani mengambil
risiko dan pandai mengambil keputusan, tegas dalam memimpin, suka menolong,
toleran dan tidak usil terhadap urusan
orang lain.
Betulkah jawaban-jawaban mereka sesuai dengan
kenyataan di lapangan? Tentu masih perlu
diuji. Seusai meresume ciri-ciri orang sukses, saya merasa perlu untuk
mengamati sendiri teman dan saudara yang kebetulan sukses dalam
kehidupannya. Untuk itu, saya mengamati
tiga orang teman, seorang adalah pedagang
sukses yang disebutkan pada bab terdahulu dan kebetulan teman akrab saat di
SMP. Kedua, juga seorang teman yang
berprofesi sebagai arsitek yang handal dan karyanya banyak dikagumi oleh
masyarakat. Ketiga, juga teman dan masih
ada hubungan saudara jauh yang bekerja sebagai birokrat. Mari kita cermati
gambaran sosok mereka pada uraian berikut
Pak
Badrun, Pedagang Panutan
Namanya, sebut saja Pak Badrun. Profesinya pedagang. Sewaktu sekolah di SMP, dia
tergolong siswa yang biasa-biasa saja.
Salah satu hal yang menonjol adalah dia nyambi berjualan berbagai barang
ketika sekolah, seperti jualan kue, mainan bahkan petasan di saat bulan puasa. Saat itu dia tampak senang berjualan, pada hal
dia berasal dari keluarga yang cukup berada.
Pengalaman berjualan itulah yang ternyata
mendorong Badrun tidak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, tetapi
langsung berdagang setamat SMA. Dia
bercerita memulai karier dengan berdagang kembang api dan petasan dan bawang
putih saat menjelang lebaran. Kemudian berkembang ke bahan kebutuhan
sehari-hari, seperi beras, gula hingga minyak. Semula Badrun berjualan di teras
rumahnya yang disekat menjadi semacam kios darurat. Kembang api dan petasan dipilih karena
mendatangkan keuntungan besar. Demikian pula
bawang putih dipilih, karena saat itu harga bawang putih berbeda jauh antara di
daerahnya dan di Surabaya.
Sekarang Pak Badrun sudah menjadi pedagang besar,
dengan tiga buah toko dan juga sebagai pedagang barang antar kota. Dia memiliki enam anak, empat sudah sarjana
dan dua masih kuliah, tiga di antaranya sudah bekerja dan berkeluarga. Pak
Badrun memiliki rumah besar dan menjadi
orang terpandang di lingkungannya.
Apalagi dia juga berperan sebagai pengurus masjid, sekaligus pengurus
yayasan yang memiliki sekolah, mulai dari TK sampai SMA. Dengan demikian cukup alasan untuk
menggolongkan Pak Badrun sebagai orang sukses.
Dengan mengamati perilaku keseharian Pak Badrun
dan wawancara dengannya beberapa kali, ditemukan beberapa ciri khas. Ciri pertama, Pak Badrun ternyata
selalu mencari informasi terbaru yang
terkait dengan dagangan dan kegiatan lainnya.
Koran menjadi bacaan wajib, khususnya tentang perkembangan harga
barang. Pak Badrun juga memiliki
”orang-orang kepercayaan” yang akan memberikan info tentang perdagangan di kota
lain. Yang lebih mengherankan, Pak
Badrun sangat cermat menganalisis terhadap informasi tersebut. Misalnya, ketika saya berkunjung ke rumahnya,
Pak Badrun menerima informasi dari ”orangnya” di kota lain, bahwa ada wabah ayam
di kota tempat tinggalnya. Saat itu juga
Pak Badrun mengajak diskusi bagaimana harga telor ayam beberapa minggu yang
akan datang. Pak Badrun memprediksi
sekitar 2-3 minggu lagi harga telor ayam akan naik.
Ketika membaca berita di koran bahwa harga cabe merosot,
Pak Badrun justru menganjurkan kawan-kawannya menanam cabe. Mengapa demikian? menurut Pak Badrun, pada
umumnya orang tidak mau menanam pada saat harga jatuh, akibatnya akan terjadi
kekurangan produksi dan selanjutnya harga akan naik. Saya dibuat kaget dengan prediksi tersebut.
Pak Badrun juga menyarankan beberapa teman, bahkan
kini bersama seorang temannya merintis
usaha untuk menanam padi dan sayuran tanpa pupuk dan obat-obatan kimiawi. Pupuk yang digunakan adalah pupuk kandang dan
pupuk hijau. Dengan penuh keyakinan Pak
Badrun menjelaskan bahwa ke depan, akan banyak orang yang memilih beras, sayur
mayur dan buah-buahan yang bebas pestisida, walaupun harganya mahal. Pada saat ekonomi masyarakat membaik, jumlah
orang semacam itu akan semakin banyak dan akan menjadi pangsa pasar khusus.
Sungguh mengagumkan. Pak Badrun yang ”cuma” tamatan SMA dan
tinggal di kota kecil ternyata mampu memprediksi berbagai hal, yang mungkin
seorang sarjanapun belum tentu mampu melakukan.
Ketika petani pada umumnya berpikir mencari jenis benih dan pupuk yang
mampu menghasilkan panen maksimal, Pak Badrun justru melihat peluang untuk hal
sebaliknya, yaitu bertani secara tradisional yang walaupun hasil panennya
sedikit tetapi harganya akan mahal.
Jargon back to nature yang banyak dilontarkan oleh para ahli,
ternyata sudah disadari oleh Pak Badrun dan itu menjadi inspirasi untuk
berinovasi dalam pertanian.
Ketika hal itu kami tanyakan, Pak Badrun dengan
kelakar menjawab ”pedagang harus mampu melihat peluang, kalau tidak ya tidak
akan dapat bersaing”. Pak Badrun
menjelaskan, untuk melihat peluang itu orang harus banyak membaca dan bertanya
untuk mencari informasi, kemudian menganalisisnya. Jargon bahwa ”siapa yang memiliki informasi
lebih dahulu akan menang satu langkah dalam persaingan” ternyata sudah disadari
bahkan dilakukan Pak Badrun.
Ciri kedua, kemampuan Pak Badrun dalam berkomunikasi sangat bagus.
Pernah, suatu ketika saya datang ke tokonya, dan saat itu Pak Badrun
sedang menghadapi pelanggan yang marah-marah. Tampaknya pelanggan tersebut komplain soal mutu
barang. Yang mengagumkan, Pak Badrun
dengan sabar dan tersenyum mendengarkan ”omelan” pelanggan tersebut. Baru setelah si pelanggan berhenti, Pak
Badrun menjelaskan duduk persoalannya dan secara gentleman mengatakan akan
mengganti, kalau memang kerusakan barang tersebut diakibatkan kesalahan
karyawannya. Di akhir pertemuan itu, si pelanggan pulang dengan
wajah puas.
Dari mengamati cara Pak Badrun berdialog dengan
pelanggan yang sedang marah, ada dua hal yang menonjol, yaitu kemampuan Pak
Badrun dalam memilih kata-kata dan cara mengungkapkan serta kemampuan
mengendalikan emosi dan menunjukkan empati pada lawan bicaranya.
Tampaknya kemampuan mengelola emosi yang
dipopulerkan oleh Daniel Goleman melalui tulisannya tentang Emotional
Intelegence, sudah disadari dan diterapkan oleh Pak Badrun. Kemampuannya mengelola emosi itulah yang menyebabkan
Pak Badrun dapat tetap tersenyum dan penuh kesabaran menghadapi pelanggan yang
marah. Dan itu ternyata membuahkan hasil
kepuasan pelanggan.
Ketika ditanya apakah dia membaca buku Emotional
Intelegence, Pak Badrun menjawab ”ya”.
Tetapi dia menambahkan bahwa sudah menerapkan prinsip itu jauh sebelum
membaca bukunya Daniel Goleman. Pak Badrun mengatakan bahwa modal utama pedagang
adalah kepercayaan dan untuk memperoleh kepercayaan diperlukan dua syarat,
yaitu jujur dan punya banyak kawan. Oleh
karena itu, menurut Pak Badrun, menipu pelanggan tidak boleh dilakukan. Sekali ditipu, pelanggan akan kapok dan akan
menceritakan hal itu kepada
kawan-kawannya. Pedagang yang menipu
pelanggan, ibarat menutup pintu sukses untuk diri sendiri.
Dengan mengutip beberapa ayat Al Qur’an dan
Hadits, Pak Badrun menjelaskan betapa pentingnya kejujuran, yang merupakan
salah satu komponen penting dari akhlaq.
”Nabi Muhammad adalah contoh pedagang yang jujur, sehingga semua orang
ingin membeli dagangannya dan semua orang ingin bekerja dengannya”. Tampaknya Pak Badrun tidak hanya menerapkan
prinsip emotional intelegence, tetapi juga spiritual intelegence
dalam berdagang. Ketika saya tanyakan bagaimana
bisa sesabar itu menghadapi omelan orang, ”orang sabar itu dicintai Allah,”
katanya sembari tertawa.
Kawan juga merupakan faktor penting bagi
pedagang. Kawan itulah yang akan menjadi
pelanggan utama dan sekaligus mengiklankan dagangannya kepada teman-teman
lainnya. Menurut Pak Badrun, pelanggan
yang setia akan menjadi pengiklan yang lebih baik, dibanding selebaran atau
spanduk. Oleh karena itu Pak Badrun
berusaha mengakrabi pelanggannya, sehingga menjadi teman. Begitu telah
menjadi kawan, pertahankan dan jangan sampai lepas. Teman adalah modal penting
dalam berdagang, sedangkan musuh adalah ibarat kanker dalam berdagang. Tampaknya pepatah Cina kawan seribu terlalu sedikit, sedangkan musuh satu terlalu banyak
dianut oleh Pak Badrun.
Suatu saat saya diajak Pak Badrun dalam suatu
kegiatan sosial di masjid tempatnya menjadi pengurus (takmir), yang lokasinya
menyatu dengan sekolah di mana dia menjadi salah satu pengurus yayasannya. Omong-omong dengan orang-orang yang terlibat
kegiatan tersebut dan mengamati Pak Badrun berinteraksi dengan temannya, saya
menemukan ciri Pak Badrun yang ketiga, yaitu pergaulannya luas dan memiliki kepedulian tinggi pada penderitaan
orang lain. Pak Badrun ternyata kenal
baik dengan ”orang-orang besar” di daerahnya, baik dari jajaran pemerintah
daerah, kepolisian, maupun tokoh-tokoh masyarakat.
Pak Badrun ternyata sangat pandai bergaul, dengan
enaknya mengobrol dengan ibu-ibu yang sedang mencuci piring, tetapi juga dengan
enak sekali menyapa dan ngobrol dengan seorang pejabat pemda yang kebetulan
datang. Sepertinya Pak Badrun dapat
bergaul dengan ”orang kecil” maupun ”orang besar”. Beberapa orang yang saya ajak ngobrol
mengatakan bahwa Pak Badrun pandai bergaul dan bekerja dengan siapa saja.
Ketika pulang dari acara tersebut saya menanyakan,
apa yang mendorongnya aktif di kegiatan masjid maupun menyempatkan diri untuk
mengurus sekolahan, padahal sehari-hari sudah disibukkan oleh perkerjaannya
sebagai pedagang. Sungguh mengejutkan,
Pak Badrun menjawab bahwa menurut Islam sebaik-baik orang itu jika bermanfaat
bagi lingkungannya. Dengan aktif mengikuti
kegiatan sosial dia ingin bermanfaat bagi lingkungannya. Ungkapan tersebut menunjukkan ciri ke
empat Pak Badrun, yaitu kepedulian
pada masyarakat.
Ciri ke lima Pak Badrun yang saya tangkap dari mengamatinya
selama berminggu-minggu adalah kemauannya
untuk belajar, baik melalui membaca buku, bertanya kepada orang yang
dianggap lebih tahu dan mencermati fenomena kehidupan, kemudian menganalisisnya. Di rumahnya
terdapat cukup banyak buku, khususnya buku-buku populer, seperti buku ESQ karya Ary Ginanjar, Perang Bisnis dengan Strategi Perang ala Sun
Tzu oleh Donald Kranse, buku berjudul Muhammad
sebagai Pedagang (berupa fotocopy), buku-buku karya Quraish Shihab dan Aa
Gym serta majalah SWA beberapa
terbitan. Walaupun berprofesi sebagai pedagang, Pak Badrun ternyata
terus belajar dari berbagai bahan bacaan.
Kepada saya, Pak Badrun mengatakan belajar adalah kewajiban bagi orang
Islam, mulai dari buaian ibu sampai menjelang masuk liang lahat.
Ketika merasa sudah memperoleh lima ciri yang
menjadi modal kesuksesan Pak Badrun, saya menanyakan apa pesan Pak Badrun
kepada pemuda yang ingin bekerja sebagai pedagang. Dia tidak menjawab pertanyaan itu, tetapi
bercerita bahwa banyak anak muda yang kini ingin jadi pengusaha, tetapi
langsung patah semangat ketika mengalami kesulitan atau kegagalan. Banyak orang yang memulai usaha, tetapi hanya
sedikit yang pantang menyerah dan mampu bangkit kembali ketika jatuh. Padahal, setiap pedagang dan pengusaha pasti
pernah mengalami kesulitan dan kegagalan.
Dengan ungkapan itu, secara tidak langsung Pak Badrun ingin berperan
bahwa untuk menjadi pedagang atau pengusaha yang sukses, orang harus pantang menyerah. Jadi itulah tampaknya ciri ke enam yang
menyebabkan Pak Badrun sukses sebagai pedagang.
Ir. Wahyu, Arsitek yang
Tekun
Dia seorang arsitek profesional, usianya sekitar
50 tahun. Banyak rancangannya menjadi bangunan
monumental yang menjadi ikon daerah.
Orangnya sederhana dan tidak kelewat banyak bicara, tetapi hampir semua
rekan sejawat mengakui dia sebagai arsitek handal. Sebut saja namanya Ir. Wahyu (nama samaran). Untuk mendapatkan gambaran tentang Pak Wahyu
secara utuh, saya beberapa kali mengunjunginya di studio yang merangkap menjadi
kantornya, omong-omong dengan dia, staf di kantor tersebut dan rekan kerjanya. Saya juga melakukan wawancara dengan beberapa
pengguna jasa arsitek Pak Wahyu.
Dari sejumlah kunjungan dan omong-omong tersebut ditemukan
ciri-ciri yang diduga menjadi penyebab Pak Wahyu sukses. Ciri pertama, Pak
Wahyu sangat tekun dan teliti dalam bekerja. Beberapa stafnya menyebut Pak Wahyu adalah
seorang pekerja keras dan perfectionist, karena ingin setiap apa yang
dikerjakan hasilnya sempurna. Pak Wahyu akan mengoreksi sebuah rancangan, kalau dirasa masih ada yang
belum sempurna, walaupun orang yang memberi order sudah puas.
Saya pernah mendampingi Pak Wahyu, ketika ada
seorang pelanggannya meminta membuatkan rancangan rumah. Pak Wahyu cukup lama melakukan wawancara
dengan Bapak dan Ibu pelanggan tersebut, tetang hobi dan kegiatan sehari-hari
yang biasa dilakukan. Pak Wahyu juga menunjukkan berbagai gambar rumah di
majalah serta foto-foto dan meminta tamunya untuk mengomentari gambar dan foto
rumah tersebut. Ternyata informasi tersebut digunakan sebagai dasar membuat
rancangan rumah yang sesuai kepribadian penghuni, kegiatan sehari-hari dan juga
untuk menyalurkan hobi keluarga tersebut.
Saya tertegun, ketika Pak Wahyu menjelaskan bahwa kenyamanan rumah akan
membantu kesehatan penghuni, keharmonisan rumah tangga dan ujungnya akan
membuat orang fresh dalam memulai
pekerjaan yang tentunya akan meningkatkan produktivitas kerja yang
bersangkutan.
”Arsitek
yang asal-asalan dalam merancang bangunan dapat menyebabkan penghuninya tidak
sehat, keluarganya tidak harmonis dan produktivitas kerjanya menurun”, begitu
pesan Pak Wahyu. Di ruang kerja para
staf artisteknya terpasang tulisan besar-besar yang dipasang di tembok,
berbunyi ”HASIL RANCANGAN ANDA IKUT MENENTUKAN KESEHATAN PENGHUNI, KEHARMONISAN
KELUARGA DAN PRODUKTIVITAS KERJANYA”.
Dari pengamatan tersebut, dapat disimpulkan bahwa Pak Wahyu benar-benar mengusai bidang pekerjaannya. Ciri kedua, yaitu menguasai bidang
pekerjaannya inilah yang membuat klien dan rekannya mengakui sebagai arsitek
handal.
Pak Wahyu tampaknya membina anak buahnya dengan
teladan dan bukan omongan. Perilaku
keseharian Pak Wahyu, seperti bekerja keras, tekun dan teliti telah menjadi
teladan bagi anak buahnya dan itu diakui oleh stafnya. Mereka menyebut Pak Wahyu bukan hanya sebagai
atasan atau bos, tetapi juga sebagai teladan bagaimana bekerja secara
profesional. Jadi ciri ketiga Pak Wahyu adalah menjadi teladan bagi anak buahnya. Dia sering ke ruang kerja anak buahnya, untuk
memeriksa dan membetulkan pekerjaan mereka yang keliru atau kurang
sempurna. Walaupun pendiam, ternyata Pak
Wahyu dapat enak omong-omong dengan anak buahnya. Anak buahnya ternyata juga tidak takut untuk
bertanya dan bahkan mengoreksi pendapat Pak Wahyu. Kebiasaan Pak Wahyu mendatangi ruang kerja
stafnya, memeriksa pekerjaan dan kemudian memberi koreksi, menanyakan kesulitan
dan membantu memecahkan, menjadikan anak buahnya sangat menghormatinya. Seorang staf senior menyatakan, dia sudah
bekerja di kantor tersebut selama 18 tahun dan tidak ingin pindah, walaupun
beberapa kali ditawari kantor lain sejenis.
Bagaimana Pak Wahyu memulai kariernya sehingga
menjadi aristek yang handal? Ternyata
dia sudah bekerja sebagai drafter (juru gambar) di kantor Biro Arsitek,
sejak kuliah tahun kedua. Pak Wahyu
menceritakan panjang lebar tentang kehebatan arsitek yang dia bantu, sehingga
Pak Wahyu merasa lebih banyak belajar dari atasan tersebut dibanding dari
bangku kuliah. Di Biro Arsitek itulah,
Pak Wahyu belajar banyak hal, misalnya tentang filosofi kehidupan, bekerja
dengan ulet dan jujur, melayani klien dengan baik dan bahkan mengelola bisnis
secara baik. Setelah bekerja selama 9
tahun, setelah lulus sebagai insinyur dan telah merasa cukup bekal, barulah Pak Wahyu ingin mendirikan usaha
sendiri. Anehnya, atasan yang dikagumi
itu justru mendorongnya dan bahkan memfasilitasi agar usaha Pak Wahyu dapat
berjalan dengan baik. Dia tidak takut
tersaingi, walaupun tahu betul bahwa usaha yang dirintis Pak Wahyu adalah
kantor Konsultan Perencanaan yang bidang utamanya juga dalam merancang
bangunan. Oleh karena itu hubungan Pak
Wahyu dengan mantan bos-nya itu tetap berjalan baik, bahkan sering bekerja sama
dalam suatu proyek tertentu.
Suatu saat Pak Wahyu mengundang saya untuk ngobrol
malam hari di kantornya. Tentu ini ajakan yang menyenangkan. Sambil ngobrol saya mengamati buku yang
begitu banyak di studio Pak Wahyu dan mencakup berbagai jenis dan bidang. Di samping buku-buku tentang rancang bangun
dan manajemen, ternyata banyak juga buku tentang psikologi populer dan
buku-buku futuristik. Beberapa di
antaranya Rethinking the Future karya Rowan Gibson (ed), Lateral Thinking Eduard de Bono, ESQ dari Ary Ginanjar, Megatrends
oleh Naisbitt, Dunia Tanpa Batas oleh
Kenichi Ohmae dan Me Too is not My Style oleh Stan Shih.
Ketika ditanya alasan keberadaan begitu banyak
buku dari berbagai jenis tersebut, Pak Wahyu dengan tenang menjelaskan bahwa
untuk mampu membuat rancang bangun yang baik, dia perlu membaca banyak buku
untuk memperoleh berbagai informasi baru.
Tugas arsitek, menurutnya, adalah memindahkan keinginan dan kebutuhan
pemberi order menjadi rancangan bangunan.
Oleh karena itu, arsitek harus pandai menangkap apa yang diinginkan
sekaligus apa yang dibutuhkan oleh klien.
Untuk dapat menggali keinginan dan kebutuhan itu, arsitek harus pandai
”memancingnya” dalam suatu dialog. Yang
sering terjadi, keinginan dan kebutuhan itu baru terungkap, ketika diberikan
contoh dan bahan banding. Nah, di situlah
pentingnya arsitek selalu meng-up date, pengetahuannya.
Apa untungnya membaca buku-buku yang sepertinya
tidak terkait dengan bidang arsitektur? ”Wow, banyak manfaatnya,” tukasnya
bersemangat. Ambil contoh buku Megatrend. Karya John Naisbitt itu
memberinya inspirasi bahwa arsitek harus mampu membuat rancangan yang tidak
terbatasi oleh batas negara, tetapi tetap bersumber dari nilai-nilai kehidupan
lokal. Jadi ciri ke empat Pak
Wahyu adalah kebiasaan belajar terus
dan memanfaatkan hasilnya untuk profesinya sebagai arsitek.
Setelah ngobrol sana-sisi, Pak Wahyu dengan serius
menyatakan bahwa dia risau dengan kondisi pendidikan saat ini. Menurutnya, pendidikan seperti misleading, karena
hanya menekankan pada mempelajari buku-buku dan melupakan mengajarkan perilaku
jujur, disiplin, kerja keras, dan tanggung jawab. Pak Wahyu memberikan contoh teman teman
cucunya yang tidak merasa bersalah, ketika menyontek ketika ulangan. Dia merasa kewalahan menanamkan sikap dan
kebiasaan baik kepada cucunya, karena di sekolah justru tidak mendapat
perhatian. Dari pengalamannya bekerja
sebagai profesional, justru jujur, disiplin, kerja keras, dan tanggung jawab,
itulah yang menjadi modal utama. Dia
memberi contoh, ketika ada karyawan baru di kantornya, lebih mudah membimbing
mereka yang ”kurang bekal pengetahuan” tetapi jujur, disiplin, tanggung jawab
dan mau bekerja keras, dibanding karyawan baru yang ”pandai” tetapi tidak
disiplin, tanggung jawab dan malas.
Ungkapan Pak Wahyu itu mengingatkan saya, yang
beberapa tahun lalu diminta oleh sebuah perusahaan ”X” membantu melakukan
seleksi calon karyawan. Kepada Direktur
Umum perusahaan itu, yang kebetulan kawan, saya bertanya apa kriteria pokok
yang diperlukan di perusahaan tersebut.
Sambil bercanda, dia menjawab: pertama: jujur, kedua: disiplin, ketiga:
tanggung jawab, ke empat: nalarnya berjalan baik. Menurut dia, karyawan pandai tetapi tidak
jujur akan mencuri. Karyawan pandai tetapi tidak disiplin akan
merusak situasi kerja di perusahaan.
Karyawan pandai tetapi tidak tanggung jawab akan bekerja secara
sembarangan. Jadi syarat seleksi
karyawan di perusahaan ”X” tersebut sangat mirip dengan apa yang disampaikan
Pak Wahyu.
Pak Trisman Birokrat Lurus
Sampel orang sukses berikutnya seorang birokrat.
Orangnya ramah dan sudah bekerja sejak lulus SMEA (Sekolah Menengah Ekonomi
Atas). Sebut saja namanya Pak Trisman. Pak
Trisman melanjutkan kuliah sambil bekerja dan saat ini telah menyelesaikan
jenjang S2 dari Fakultas Ekonomi di perguruan tinggi ternama. Kariernya Pak Tris sangat bagus, sehingga
pada umur sekitar 45 tahun, sudah menduduki jabatan cukup
tinggi di kantornya.
Untuk dapat mengetahui ciri perilaku Pak Tris, saya
beberapa kali berkunjung ke rumahnya dan ke kantornya. Dari pengamatan dan wawancara bebas dengan
anak buahnya, didapatkan cerita tentang ciri pertama Pak Tris, yaitu disiplin, pekerja keras, perhatian dan suka
menolong anak buah, tetapi juga keras dalam menerapkan aturan kerja.
Seorang stafnya mengatakan Pak Tris selalu datang sebelum jam kantor dan
selalu melongok ke ruang kerja anak buahnya ketika jam kerja mulai. Pak Tris selalu membantu jika anak buahnya
mengalami kesulitan, tetapi sebaliknya akan marah jika ada anak buahnya tidak sungguh-sungguh
dalam bekerja dan bahkan mengambil tindakan tegas jika ada anak buahnya tidak
jujur.
Ketika hal itu dikonfirmasi kepada Pak Tris, dia
menjelaskan bahwa kejujuran dan kesungguhan merupakan modal dasar dalam
bekerja. ”Saya sangat sedih jika ada
staf yang tidak sungguh-sungguh dalam bekerja, karena itu menunjukkan niatnya
tidak tulus. Padahal, hasil kerja itu akan sangat tergantung dari niatnya.
Kalau niatnya tidak tulus, dia tidak akan sungguh-sungguh dalam bekerja dan
tidak akan peduli apakah hasilnya bagus atau jelek.” Dari ungkapan tersebut tampak sekali Pak
Tris ingin setiap orang bekerja dengan niat tulus, sehingga sungguh-sungguh
dalam melaksanakan tugas yang diterima.
Tentang kejujuran, Pak Tris mengatakan bahwa
kejujuran merupakan syarat pokok, apalagi jika itu menyangkut uang. Staf yang
tidak jujur menurut Pak Tris sangat membahayakan, karena mungkin memberikan
data yang tidak benar dan itu sangat membahayakan perhitungan-perhitungan di
kantornya, yang kebetulan banyak terkait dengan keuangan. ”Ketidakjujuran dapat
mendorong seseorang untuk memanfaatkan peluang yang ada untuk berbuat jahat
demi kepentingan diri sendiri”.
Diamati dari kehidupan sehari-harinya, Pak Tris tergolong sederhana, dibandingkan
dengan masa kerja dan jabatan yang dimiliki dan juga dibanding dengan
rekan-rekan selevelnya. Beberapa
stafnya menyebut Pak Tris sebagai orang
yang ”lurus”. Jadi apa yang diharapkan dari stafnya dan Pak
Tris juga melakukan yaitu kejujuran dan itu merupakan ciri dia yang kedua.
Ketika hal itu saya komunikasikan dengan
isterinya, Bu Tris menjawab suaminya selalu mengingatkan bahwa harta sedikit
tetapi diperoleh secara halal akan membuat kehidupan lebih tenteram dibanding harta
banyak tetapi diperoleh dengan cara tidak halal.
Dua mantan atasan Pak Tris memberi komentar
tentang mengapa karier Pak Tris meroket naik. Pak Tris itu orangnya sangat baik
karena jujur, pekerja keras, dapat
bekerja sama dengan orang lain, dan
banyak ide untuk memecahkan masalah.
Apakah memang benar Pak Tris
memiliki kemampuan seperti itu, rekan selevel Pak Tris pada umumnya mengiyakan.
Jadi itu merupakan ciri ketiga Pak Tris, sehingga sukses dalam bekerja
sebagai birokrat.
Ketika ada kesempatan agak longgar, saya
menanyakan mengapa Pak Tris bersusah payah sekolah sampai jenjang pascasarjana,
padahal sudah begitu sibuk dengan pekerjaannya di kantor. Dan mengapa dia memilih kuliah S2 di
perguruan tinggi yang konon cukup sulit kelulusannya. Jawaban Pak Tris sungguh mengagetkan. Justru di universitas, baik saat kuliah
dengan dosen, membaca referensi,
menyusun makalah, maupun saat diskusi dengan rekan mahasiswa itulah, dia
merasa mendapatkan banyak gagasan untuk memperbaiki pekerjaan dan memecahkan masalah
yang dihadapi di kantor. Oleh karena itu
Pak Tris memilih perguruan tinggi yang justru dikenal ”sulit” lulus untuk
mengambil jenjang S2 dan bukan memilih perguruan tinggi yang dikenal ”mudah”
kelulusannya. Seakan ingin menegaskan, Pak Tris mengatakan dia kuliah untuk
memperoleh tambahan pengetahuan dan bukan sekadar memperoleh ijazah. Jadi belajar dengan sungguh-sungguh merupakan
ciri ke empat kesuksesan Pak Tris.
Bu Candra Guru Idola
Setelah memperoleh gambaran yang cukup lengkap
dari ketiga orang sukses tersebut di atas, terasa masih ada yang kurang, yaitu belum
ada contoh perempuan yang sukses dan belum ada yang mewakili profesi yang tidak
menjanjikan dari aspek penghasilan. Oleh karena itu, saya mencari ibu guru yang
sukses untuk diamati. Dari beberapa
informasi akhirnya didapat sosok Ibu Chandra (nama samaran). Menurut informasi, Bu Chandra berumur sekitar
35 tahun dan merupakan guru yang merangkap wakil kepala sekolah. Dia sangat pandai, kreatif, pekerja keras,
disenangi oleh siswa maupun rekan kerjanya, sehingga di usia yang relatif mudah
sudah ditugasi sebagai Wakil Kepala Sekolah dan banyak diminta oleh rekan sejawat
sebagai narasumber dalam berbagai
diskusi.
Ketika bertemu, kesan pertama dari Bu Chandra adalah
orangnya ramah, enerjik, orang yang sibuk dan banyak teman. Bu Candra ternyata pernah mengikuti suatu
seminar, di mana saya menjadi salah satu penyaji, sehingga dia sudah merasa
kenal dengan saya. Oleh karena itu, Bu Candra bersedia untuk diajak diskusi
beberapa kali, asal tidak mengajar dan tidak ada tugas yang mendesak.
Dari diskusi beberapa kali, dapat ditangkap bahwa ciri
pertama Bu Candra adalah ramah dan banyak
ide/gagasan, khususnya untuk memperbaiki proses pembelajaran. Kemampuan Bu Candra dalam berkomunikasi sangat
bagus. Dia dapat memilih kata-kata yang
tepat, disampaikan dengan santun, dengan intonasi yang jelas, sehingga
pendengar yakin akan gagasan yang disampaikan.
Oleh karena itu, dapat dipahami jika banyak gagasan Bu Candra yang
diterima oleh sekolahnya atau rekan sejawatnya.
Gagasan-gagasan tersebut kemudian diwujudkan,
walau kadang harus merogoh kantong sendiri, sebelum sekolah menggantinya. Dengan melihat beberapa karya yang
dihasilkan, saya setuju dengan masukan rekan kerjanya, bahwa Candra pekerja keras dan berani mengambil risiko.
Itulah ciri kedua Bu Candra, sehingga membuat dia berhasil
sebagai guru. Kepala sekolahnya
mengatakan bahwa Bu Candra adalah tipe guru yang banyak ide dan konsekuen,
artinya tidak hanya menyampaikan gagasan, tetapi juga melaksanakannya.
Ketika berdiskusi, tiba-tiba Bu Candra menyodorkan
naskah tulisan seseorang berupa print out komputer. Ternyata naskah itu diambil Bu Candra dari home page tertentu. Saya sempat tertegun ada guru yang ternyata
mencari referensi melalui home page. Pada hal, mahasiswa program S3 banyak yang
enggan melakukan dengan berbagai alasan.
Setelah mendiskusikan naskah tersebut, saya baru paham bahwa Bu Chandra
banyak membaca, sehingga walaupun secara formal berpendidikan S1, tetapi pengetahuannya
mungkin setara dengan lulusan S2. Jadi ciri ketiga Bu Candra adalah
kemampuannya untuk belajar terus dengan berbagai cara.
Ciri ke empat Bu Candra adalah kemampuan kerja sama dengan orang lain.
Beberapa teman yang mengusulkan Bu Candra sebagai contoh guru yang sukses,
sebenarnya sudah menyebutkan bahwa dia mudah bekerja sama dengan orang
lain. Setelah beberapa kali bertemu dan
berdiskusi, saya mempercayai hal itu.
Setelah mendapatkan ciri-ciri empat orang yang
sukses dalam profesinya, marilah kita bandingkan dengan ciri-ciri yang
diutarakan oleh para peserta penataran dan mahasiswa pascasarjana yang disebutkan
terdahulu.
Tabel 1.
Perbandingan Ciri-ciri Orang Sukses
Ciri Orang Sukses Menurut Pendapat Peserta Penataran dan Mahasiswa Pascasarjana
|
Ciri Orang Sukses Menurut Hasil Observasi dan Wawancara Saya thd 4 Orang
Sukses
|
|
|
Sungguh mengejutkan, karena ciri-ciri orang sukses
versi peserta penataran dan mahasiswa pasca sarjana sangat mirip dengan hasil
observasi dan wawancara dengan ”4 orang sukses”. Tentu istilah yang digunakan berbeda, tetapi
intinya sangat mirip. Misalnya berpengetahuan luas yang diajukan
peserta penataran identik dengan selalu
belajar terus untuk meningkatkan pengetahuan yg terkait dengan
profesinya. Memiliki hubungan luas identik dengan mampu berkomunikasi dengan baik yang disertai dengan mampu bekerja sama dengan banyak orang.
Ciri yang diajukan oleh peserta penataran, tetapi
tidak muncul dari hasil observasi dan wawancara adalah beriman dan taat beribadah.
Namun hal itu, hanyalah masalah penekanan. Pak Badrun saya yakini orang yang taat
beribadah. Demikian pula Pak Wahyu dan
Pak Tris. Memang saya tidak mengamati Bu Chandra, tetapi dari kejujuran dan
perilakunya, dapat diduga kuat dia juga taat dalam menjalankan ajaran agama
yang dianutnya.
Dari uraian di atas, secara induktif kita telah
menemukan sikap dan perilaku yang menjadi kunci seseorang, sehingga yang
bersangkutan sukses dalam kehidupan.
Sukses tidak hanya dalam aspek materi dan karier, tetapi juga dalam
sosial kemasyarakatan. Bahkan dari aspek
ibadah, yang menjadi sumber nilai-nilai kehidupan. Kita sebut saja sikap dan
perilaku tersebut dengan kecakapan hidup atau life skill, karena
kecakapan atau skill itulah yang
ternyata menyebabkan seseorang sukses dalam kehidupannya.
Pertanyaannya kini, apakah sekolah telah mengajarkan
dan menumbuhkembangkan ciri-ciri orang sukses tersebut kepada siswa? Rasa-rasanya belum atau bahkan masih jauh
dari itu. Saya juga terkejut, karena dalam
mengajar dan memberi kuliah selama lebih dari 25 tahun, tidak membayangkan
bahwa kemampuan itulah yang sebenarnya diperlukan siswa atau mahasiswa untuk
menggapai sukses dalam kehidupan.
Untuk menemukan gambaran apakah kecakapan hidup
yang menjadi kunci orang sukses tersebut sudah dikembangkan di sekolah, saya mengajukan pertanyaan kepada para peserta
penataran, tentang teman sekolah di SD, SMP, SMA/SMK atau kuliah yang kini
dianggap paling sukses di antara teman lainnya.
Mereka diminta untuk memilih teman sekolahnya, yang kini dianggap paling
sukses. Setelah menemukan, saya minta
mereka mengingat bagaimana perilaku teman tersebut, saat masih sekolah. Apakah dia merupakan siswa/mahasiswa yang
sering mendapat juara kelas? Apakah dia
sering dipuji oleh bapak/ibu guru/dosen sebagai murid yang pandai?
Jawaban yang muncul, ternyata teman yang kini
paling sukses tidak selalu mereka yang juara kelas. Bahkan sebagian besar mereka yang kini sukses
adalah mereka yang nilainya biasa-biasa saja, tetapi aktif di kegiatan
sekolah atau masyarakat, suka kotak-katik dan banyak akalnya, suka membantah,
suka membandel dan berani mengambil risiko, sering menjadi pimpinan dalam
kegiatan dan seringkali sudah sambil bekerja pada saat sekolah/ kuliah.
Setelah itu, saya minta mereka mengingat teman
sekolahnya yang dahulu selalu mendapat ranking di kelas dan dipuji oleh bapak/ibu
guru. Setelah ingat, saya meminta mereka
menyebutkan apakah mereka sekarang sukses dalam kehidupannya. Jawaban yang muncul, tidak semua mereka
yang dulu juara kelas kini sukses dalam kehidupannya. Memang ada juga yang sukses, tetapi tidak
banyak. Kebanyakan hanya sedang-sedang
saja dan bahkan diungguli oleh temannya yang dulu bukan juara kelas.
Jawaban tersebut seakan-akan membawa kita pada
pendapat bahwa prestasi siswa di sekolah, yang ditunjukkan dengan nilai yang
diperoleh siswa, bukan merupakan prediktor kesuksesan yang bersangkutan ketika
memasuki kehidupan di masyarakat. Jika
prestasi tersebut merupakan bentuk penguasaan apa yang dipelajari di sekolah,
berarti apa yang dipelajari siswa di sekolah tidak cocok dengan kemampuan yang
diperlukan oleh seseorang untuk mencapai sukses dalam kehidupan.
Oleh karena itu, dengan setengah berkelakar, saya
sering mengatakan kepada peserta pelatihan yang pada umumnya guru, kepala
sekolah dan birokrat di bidang pendidikan, bahwa fakta tersebut menunjukkan kontribusi
pendidikan terhadap kesuksesan siswa tidak terlalu besar, sehingga wajar jika para
pendidik tidak mendapatkan penghasilan yang besar. Mengapa?
Karena kontribusinya terhadap kesuksesan siswa kecil, maka wajar jika
gaji pendidikan juga kecil.
Tentu ungkapan itu hanyalah kelakar, tetapi punya
maksud untuk mendorong kita semua, para pendidik, untuk merenungkan fenomena
bahwa apa yang selama ini kita lakukan di sekolah, ternyata tidak banyak
memberikan bekal untuk kesuksesan hidup siswa.
Siswa yang kemudian sukses setelah dewasa, justru mendapatkan bekal dari
aktivitas keorganisasian, dalam pekerjaan yang digeluti sambil sekolah/kuliah,
dalam aktivitas individu yang memaksa dia kerja keras, kotak-katik untuk
menemukan inovasi dan bahkan kebandelannya.
Lebih menyedihkan, perbuatan
seperti itu seringkali kurang disenangi oleh guru. Jika ada anak yang senang kotak-katik,
membantah pendapat guru, aktif dalam aktivitas organisasi sosial kemasyarakatan
dan sambil bekerja saat sekolah, guru sering mengingatkan agar lebih
mementingkan pelajaran, sehingga tidak jatuh prestasinya. Seakan-akan aktivitas tersebut difahami
berada ”di luar” kawasan pendidikan atau kurang penting dibanding mengikuti
pelajaran di kelas. Padahal, uraian di
atas menunjukkan, justru melalui kegiatan semacam itu siswa memperoleh kesempatan
untuk memperoleh kunci orang sukses.
Di samping itu, pendidikan di sekolah seringkali
diwarnai dengan arogansi mata pelajaran oleh guru. Setiap guru merasa mata
pelajaran yang dibina begitu penting, sehingga kalau bisa minta ”jatah” jam
pelajaran yang banyak. Karena diyakini
penting, setiap guru meminta siswanya mempelajari banyak konsep dan teori dalam
mata pelajaran tersebut. Seakan-akan
setiap siswa harus sekaligus menjadi ahli Matematika, ahli Fisika, ahli
Ekonomi, ahli Sejarah, ahli Bahasa Inggris dan sebagainya. Akibatnya siswa harus mempelajari begitu
banyak konsep dan teori, walaupun sebenarnya tidak terlalu terkait dengan
kehidupan yang dihadapi sehari-hari dan juga tidak terkait erat dengan kunci
untuk menggapai sukses.
Praktik pendidikan di sekolah kini telah tereduksi
menjadi wahana untuk menguasai materi ajar yang ada dalam buku, tanpa
dipertanyakan apakah apa yang dipelajari tersebut bermanfaat bagi siswa, dalam
menghadapi kehidupannya di masa datang.
Oleh karena itu sangat wajar, kalau pendidikan tidak dapat memenuhi
harapan orangtua, yaitu memberikan anak bekal untuk menggapai sukses. Bukankah orangtua
menyekolahkan anaknya dengan harapan dapat memperoleh bekal untuk menggapai
sukses, di kemudian hari? Oleh karena itu, dapat dipahami jika kemudian praktik
pendidikan diprotes oleh Rendra, oleh Kiyosaki, oleh tetangga di kampung
halaman, oleh petani di Lamongan dan oleh nelayan di Pasuruan.
Mengapa hal itu terjadi? Mengapa praktik pendidikan di sekolah jauh
dari harapan? Bukankah menurut para
ahli, pendidikan adalah upaya membantu peserta didik untuk mengembangkan
diri guna menghadapi masa depannya? Undang-undang
Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat,bangsa dan negara. Namun
filosofi pendidikan yang dirumuskan para ahli dan definisi pendidikan yang
tercantum dalam UUSPN 20/2003 tersebut tidak terimplementasikan dalam praktik
pendidikan di sekolah. Praktik
pendidikan di sekolah telah tereduksi menjadi sebuah proses mekanistik yang
bertujuan untuk memasukkan mata pelajaran ke benak siswa, tanpa dipikirkan
apakah itu akan menjadi bekal penting bagi kehidupan siswa di masa datang atau
tidak.
Jika hal itu yang terjadi, apakah yang dapat kita
lakukan? Apa yang seharusnya dilakukan
oleh mereka yang merasa ahli dan juga menganggap dirinya peduli pada
pendidikan? Tampak gagasan Michel
Porter, bahwa dalam berinovasi kita tidak boleh hanya berpikir how to do
tetapi harus berpikir what to do berlaku untuk pendidikan. Untuk memperbaiki praktik pendidikan, kita
tidak cukup berpikir bagaimana metoda pembelajaran yang baik, tetapi juga
mempertanyakan apakah materi yang dipelajari siswa di sekolah, telah sesuai
dengan kebutuhan mereka untuk menggapai sukses. []