Sabtu, 27 Juni 2020

UNTUK APA ANAK HARUS SEKOLAH? (Dari Buku Pendidikan Bermakna-2007)


Dalam sebuah kesempatan, saya pulang kampung untuk berlibur. Secara tak sengaja menjumpai fenomena yang sangat menarik.  Fenomena yang perlu direnungkan oleh siapa saja yang merasa peduli dengan dunia pendidikan.  Kampung halaman saya berada di wilayah pedesaan perbatasan Jawa Timur dengan Jawa Tengah, jauh dari kebisingan kota dan merupakan daerah pertanian yang cukup subur.  Saat itu merupakan masa tanam padi, sehingga warga desa beramai-ramai menggarap sawah, untuk mempersiapkan penanaman benih padi.  Tidak jauh dari persawahan itu, terdapat pasar desa yang walaupun pasar krempyeng, yaitu pasar yang hanya ada kegiatan di pagi hari sampai sekitar jam 10.00, tetapi cukup ramai.  Di pasar itulah pada umumnya masyarakat menjual hasil pertanian dan membeli kebutuhan sehari-hari.
Di saat menikmati pemandangan sawah dengan air berlimpah, beberapa kelompok wanita giat menanam benih padi, beberapa pria mencangkul, membajak dan menggaru, saya melihat sekelompok anak muda sedang asyik bercengkerama di poskamling.  Dari cara mereka berpakaian, terkesan tidak seperti lazimnya pemuda desa yang sedang ke sawah, tetapi  lebih mirip dengan anak muda perkotaan.  Mereka memakai T-shirt dengan gambar khas anak muda masa kini dan bercelana jin atau celana biasa yang sudah “belel”.
Didorong rasa ingin tahu, saya mendatangi mereka dan ikut nimbrung ngobrol bersama. Mereka ramah, mudah akrab dan bahkan tampak senang saat saya bergabung sambil menanyakan hal ini dan itu.  Mereka juga ganti bertanya tentang Surabaya tempat saya selama ini tinggal.  Dari obrolan santai, saya jadi tahu kalau ternyata mereka itu tetangga saya di kampung, bahkan seorang di antaranya masih terhitung kerabat.  Melalui obrolan itu, saya tahu bahwa mereka itu semuanya warga asli kampung setempat. Dari lima anak muda itu, seorang di antaranya mahasiswa tingkat akhir yang sedang menyusun skripsi, seorang lainnya lulusan SMK, dua orang lagi lulusan SMA dan seorang terakhir lagi drop out SMK. 
Mereka sedang mengobrolkan sinetron yang sedang gencar ditayangkan televisi, diselingi  kelakar khas anak muda. 
“Mengapa tidak ikut membantu orangtua ke sawah?” saya mencoba memancing tanya.
            “Ya, gimana ya..” salah seorang dari mereka menjawab sementara teman yang lain turut tersenyum. Dengan malu-malu dan terbata-bata akhirnya dia melanjutkan  jawaban, “Mosok Pak, lulusan SLTA bekerja di sawah, mestinya kan bekerja di kantor atau di pabrik.”
            Saya juga menangkap kesan bahwa mereka menganggap pekerjaan sebagai petani dan pedagang di pasar desa adalah pekerjaan rendahan, sehingga tidak cocok bagi mereka.  Agaknya anak-anak muda itu berharap kelak akan mendapatkan pekerjaan sebagai pegawai kantor atau sebagai karyawan pabrik di kota.
Kesan itu bertambah kuat, ketika saya mencoba mendengarkan obrolan mereka lebih jauh.  Materi yang diobrolkan bukan lagi bernuansa pedesaan. Mereka asyik berbincang soal bagaimana “mengakali” polisi lalu lintas agar tidak kena tilang, ngomong soal grup musik Slank yang baru saja digelar di kota dan sejenisnya. Salah seorang tampak bangga sekali menyebut dirinya sebagai Slanker.  Obrolan khas pemuda perkotaan. Gaya bicara dan idiom-idiom yang digunakan hingga pakaian dan asesori yang disandang sangat mirip anak muda di perkotaan.  Jika tidak mengetahui siapa mereka, orang akan menduga mereka itu pemuda dari kota yang sedang berlibur ke desa. 
Ketika saya mencoba memancing dengan pertanyaan, mengapa para petani tidak memanfaatkan sawah untuk memelihara ikan lele sambil ditanami padi dan mengapa pasar desa tidak punya toko yang buka sampai sore hari, supaya warga desa dapat mudah membeli kebutuhan sehari-hari, mereka tidak memberi tanggapan yang serius.  Sepertinya, anak-anak muda itu tidak lagi tertarik untuk mencermati keadaan di pedesaan sekitarnya.  Ketika ditawarkan ide, bagaimana kalau di desa dibuat alat untuk mengolah tomat menjadi saus, dengan alasan banyak hasil panen tomat tetapi  harganya murah, sementara harga saus cukup mahal, mereka juga tidak memberi respon memadai.  Justru mereka lebih memilih bertanya, bagaimana caranya mendapatkan pekerjaan di Surabaya atau menjadi tenaga kerja (TKI) di luar negeri.
“Apa rencana kalian ke depan?”
“Saya ingin mencari pekerjaan ke kota atau mungkin ke luar negeri,” kata seorang dari mereka.
“Saya sudah mengajukan lamaran ke beberapa perusahaan di kota, tapi belum ada jawaban,” kata yang lain. Salah seorang bahkan sudah merencanakan akan ke Malaysia. “tapi masih menunggu biaya, mau dijualkan tanah dulu.”
“Lho, apa uang hasil penjualan tanah tersebut tidak lebih baik untuk modal berdagang atau membuka toko di pasar desa?”
Pria itu cuma tersenyum. Kentara sekali dia tidak tertarik. Sepertinya kehidupan desa sudah dianggap masa lalu yang harus ditinggalkan dan menggantinya dengan kehidupan baru di kota atau bahkan di luar negeri.
Merasa tidak puas dengan jawaban dari anak-anak muda yang masih tetangga sendiri itu, saya berkeinginan menanyakan kepada para orangtuanya.  Secara kebetulan besuknya ada tetangga yang mengadakan kenduri, sehingga ada ajang untuk bertemu dengan mereka.  Dengan bahasa sederhana, kejadian di poskamling tadi saya ungkap kembali. Sangat mengejutkan, mereka tidak menjawab, tetapi justru balik bertanya dan bermuatan setumpuk  keluhan. Berikut ini di antaranya:
Mengapa setelah sekolah anak-anak saya justru ora ngerti gawean (tidak mengerti pekerjaan yang seharusnya dikerjakan).”  
“Mengapa anak-anak yang disekolahkan dengan menguras biaya, sekarang malah jadi beban. Mereka tidak mau membantu kerja dan selalu minta uang. Alasannya untuk cari kerjaan di kota”.
“Mengapa setelah sekolah, anak-anak jadi kurang menghargai orangtua?”
Saya sampai gelagapan untuk menjawab, karena keluhan tidak hanya datang orangtua dari pemuda yang pagi harinya ngobrol di poskamling, tapi juga dari peserta kenduri lainnya.  Dari obrolan di arena kenduri itu terungkap kekecewaan mereka terhadap anak-anaknya yang bersekolah di kota.  Sampai-sampai muncul ungkapan, untuk apa anak harus sekolah, jika hasilnya seperti itu.  Ketika memasukkan anak ke sekolah, orangtua berharap anak-anaknya akan menjadi “orang”, yaitu pandai dan memperoleh pekerjaan yang “terhormat” dan tidak seperti orangtuanya yang hidup susah sebagai petani.  Kenyataannya, setelah lulus mereka tidak memperoleh pekerjaan dan justru menyusahkan orangtua.  Setengah berkelakar, ada peserta kenduri yang mengatakan “menyesal” menyekolahkan anak sampai menjual sapi, kalau ternyata hasilnya seperti itu.

*

Pertanyaan dan ungkapan warga desa itu terus membebani pikiran.  Ketika beban tersebut belum terurai, dua hari berikutnya saya menjumpai fenomena yang juga sangat menarik.  Hari itu hari Minggu, saya bermaksud jalan-jalan ke pasar desa dengan ditemani keponakan yang masih kelas 2 SD.  Ketika melintas di poskamling, tampak banyak anak-anak muda yang ramai bercengkerama, jumlahnya lebih banyak dibanding dua hari sebelumnya, sehingga sebagian duduk pada buk, yaitu pagar pendek pengaman gorong-gorong sungai.  Setelah dekat tampak bahwa mereka adalah para remaja.
Terdorong rasa ingin tahu apa yang mereka kerjakan, saya membatalkan niat jalan-jalan ke pasar desa dan ikut nimbrung duduk-duduk di dinding gorong-gorong.  Ternyata mereka adalah anak-anak setempat yang umumnya sedang duduk di SMP dan MTs.  Hari Minggu tampaknya dimanfaatkan untuk santai dan bercengkerama di poskamling.  Tiga anak yang duduk di buk ternyata siswa SMP dan sedang mendiskusikan Lomba Karya Ilmiah Remaja (LKIR) yang akan diikuti oleh kelompoknya di sekolah.  Mereka sedang mencari topik apa yang akan dijadikan penelitiannya.  Topik-topik yang didiskusikan pada umumnya terkait dengan IPA, khususnya yang dekat-dekat dengan elektronika.  Salah topik yg hangat dibicarakan adalah akan membuat alat yang dapat mengatur lampu listrik di rumah dapat menyala dan mati secara otomatis. 
Ketika diskusi berhenti, sambil menunjuk ke aliran sungai di bawah tempat duduk, saya bertanya: “Mengapa air sungai berwarna coklat?”.   Ketiga anak saling pandang, dan seorang menjawab, “karena tadi malam hujan lebat.”  Ketika saya kejar dengan pertanyaan “mengapa ya, kalau terjadi hujan lebat air sungai menjadi coklat”, tidak muncul jawaban.  Setelah agak lama, saya bertanya lagi: “Mengapa di bawah rumpun bambu tidak tumbuh rumput?”, sambil menunjuk lahan di samping poskamling.  Ternyata juga tidak muncul jawaban.
Setelah menunggu beberapa saat, saya memancing dengan pertanyaan: “Apa untuk tumbuh rumput perlu sinar matahari ya?”.  Hampir bersamaan, ketiga remaja itu mengiyakan dan salah seorang meneruskan bahwa semua tumbuhan tidak akan subur kalau tidak ada sinar matahari.  “Mengapa pada awal musim tanam padi, petani selalu memotong dahan pohon di pinggir sawah?”.   Mereka menjawab, agar dedaunan pohon tidak menutupi padi yang baru ditanam, sehingga padi mendapat cukup sinar matahari.
Setelah itu, saya menunjuk air sungai dan bertanya: “Apa yang dikandung air sungai sehingga berwarna coklat?”.  Mereka menjawab, air tersebut mengandung lumpur.  Ketika ditanyakan, bagaimana air sungai dapat mengandung lumpur, mereka menjawab bahwa lumpur berasal dari gunung yang terbawa oleh air hujan.
Dari sudut pandang pendidikan, tanya jawab dengan siswa SMP tersebut menarik.  Mereka sebenarnya punya pengetahuan tetapi tidak dapat mengaitkan dengan fenomena alam yang dihadapi.  Mereka mengerti kalau tanaman memerlukan sinar matahari untuk dapat tumbuh dengan baik.  Mereka tahu kalau air sungai berwarna coklat karena mengandung lumpur.  Namun demikian, mereka tidak dapat atau tidak terbiasa mengaitkan pengetahuan itu dengan fenomena alam yang dihadapi.  Mereka baru mengetahui kaitan tersebut, setelah dipancing-pancing dengan pertanyaan tertentu.
Setelah sekitar satu jam, kemudian saya ganti bergabung dengan anak-anak yang berada di dalam poskamling. Ketika itu, ada seorang anak yang datang dari pasar dan membawa beberapa buah mangga.  Saat ditanya berapa harga mangga itu, dia menyebut angka tertentu yang cukup mahal.
”Mengapa sekarang harga mangga begitu mahal?”
”Karena tidak musim panen mangga.”
“Mengapa kalau tidak panen harganya mahal?” saya mengejar.
“Ya, memang begitu, kalau sedang tidak musim harganya selalu mahal.”
Fenomena kedua di atas sungguh menarik untuk direnungkan.  Pertama, ternyata anak-anak yang tidak membantu orangtuanya ke sawah tidak hanya mereka yang sudah tamat SLTP atau SLTA, tetapi juga mereka yang masih bersekolah.  Di hari Minggu, mereka lebih sedang bercengkerama di poskamling, sementara orangtua mereka bekerja di sawah tanpa mengenal hari libur.  Memang mereka tidak mengatakan bertani itu pekerjaan rendah dan kurang cocok bagi anak SMP/SMA/SMK, tetapi perilaku mereka menunjukkan kekurangpekaan terhadap beban pekerjaan keluarga.  Mereka bersantai bersama temannya, sementara orangtua mereka membanting tulang di sawah di dekat mereka.
Kedua, pikiran anak-anak itu tidak membumi di lingkungan sekitarnya.  Walaupun mereka sedang berpikir tentang LKIR,  yang dipikirkan ternyata bukan hal-hal yang terdapat di lingkungannya.  Mereka memikirkan teknologi elektronika yang dipelajari di sekolah, tetapi justru tidak tertarik atau bahkan tidak paham tentang fenomena yang ada di sekitarnya.  Mereka tidak dapat menjelaskan mengapa ketika terjadi hujan lebat air sungai berwarna coklat dan mengapa lahan yang terlindung kerindangan rumpun bambu tidak ditumbuhi rumput.  Padahal kedua fenomena tersebut tentunya dipelajari dalam pelajaran di SMP atau bahkan SD, dan layak dibuat bahan LKIR.  Demikian pula, mereka tidak dapat menjelaskan mengapa harga mangga saat panen murah dan pada saat tidak musim panen berubah menjadi mahal.
Kejadian itu membuat saya merenungkan, apa yang salah salah dalam pendidikan kita?  Mengapa setelah sekolah, anak-anak justru berperilaku seperti itu?  Perenungan itu  mengingatkan saya kepada kejadian sekitar tahun 1994, ketika diminta oleh pemerintah untuk membantu melakukan sosialisasi program Wajib Belajar 9 Tahun.  Di suatu daerah pinggir selatan dari Kabupaten Lamongan, saya berusaha meyakinkan masyarakat yang tinggal di Desa Bluluk Kecamatan Sukorame, agar menyekolahkan anak-anaknya minimal sampai tamat SMP.  Desa Bluluk merupakan desa ”miskin” yang berada di pinggiran hutan.  Pada umumnya masyarakat bekerja sebagai petani dan anak-anak mereka membantu bekerja ke sawah atau menggembala sapi atau kambing ke pinggiran hutan.
Pada suatu sore saya terlibat ”diskusi” dengan dua orang warga Bluluk yang sedang menunggui kambing mereka di pinggiran sawah.   Sesuai dengan tugas yang diemban, sore itu saya berusaha meyakinkan dua warga Bluluk tersebut tentang betapa pentingnya pendidikan bagi anak-anaknya.  Anak-anak yang bersekolah akan memiliki pengetahuan yang sangat berguna untuk kehidupannya di masa datang.  Dengan bersekolah anak-anak akan memiliki bekal ilmu pengetahuan yang baik, sehingga nanti dapat memperoleh kehidupan yang lebih baik dibanding orangtuanya yang dulu tidak sempat sekolah.
Setelah terjadi tanya jawab tentang berbagai hal, di akhir pertemuan itu salah seorang dari mereka berkata: ”Pak kalau anak saya sekolah ke SMP, saya tentu menjual kambing untuk biaya.  Kalau nanti sudah lulus, apa dia bisa membeli kambing?  Padahal, kalau dia tidak sekolah tentu dapat menggembala kambing ke sawah atau hutan dan setiap tahun akan memperoleh anak kambing.
Sebagai seorang yang saat itu baru selesai menempuh program doktor dan sangat yakin akan manfaat akan pendidikan, saya berusaha meyakinkan kedua warga Bluluk itu bahwa anak yang bersekolah nantinya akan memperoleh kehidupan yang jauh lebih baik, dibanding yang tidak bersekolah.  Ketika nanti sudah dewasa dan bekerja, anak yang bersekolah akan mampu membeli kambing dan bahkan sapi.  Namun, sampai pertemuan berakhir karena sudah mendekati saat Maghrib, toh kedua warga Bluluk itu tetap saja tidak memahami apa yang saya jelaskan.
Pada saat itu, saya berpendapat bahwa pertanyaan seperti itu adalah pertanyaan naif dan tolol yang hanya diajukan oleh orang tidak terdidik yang tinggal di daerah terpencil.   Tetapi ketika dihadapkan fenomena anak-anak muda ”terdidik” yang ternyata justru mengecewakan orangtuanya, saya kemudian justru bertanya kepada diri sendiri. Jangan-jangan apa yang diomongkan warga Bluluk itu justru benar, realita yang terjadi di lapangan.  Hanya saja,  dia tidak dapat mengungkapkan dengan argumentasi yang bagus dan saat itu saya dihinggapi ”kesombongan intelektual”, maka statemen warga desa itu menjadi kelihatan bodoh.
Sekembali ke Surabaya, saya berusaha membongkar lagi dokumen kegiatan di Bluluk dan Sukorame Lamongan untuk mengetahui bagaimana trankrip ”diskusi” saat itu.  (Pada saat itu, setiap pertemuan, obrolan, dan diskusi wajib dibuat transkripnya, sebagai bahan pengambilan simpulan dan kebijakan untuk langkah selanjutnya).  Ketika menemukan dan membaca transkrip, saya menjadi terkejut.  Ternyata ungkapan-ungkapan yang mirip pertanyaan tetangga di kampung itu, juga sudah terungkap ketika kami melakukan sosialisasi Wajar 9 Tahun di Lamongan.  Secara jujur saya harus mengakui saat itu tidak mampu menangkap apa yang dirisaukan oleh masyarakat tentang pendidikan kita.  Dalam bahasa sekarang, saya ternyata termasuk yang ”telmi” (telat/terlambat mikir) dibanding warga Bluluk.
Ya, apa yang salah dalam pendidikan kita?  Mengapa anak-anak yang sekolah sampai SMP, SMA, SMK dan justru perguruan tinggi, justru menjadi beban orangtua?  Mereka justru mengecewakan orangtuanya, karena tidak mau lagi membantu bekerja ke sawah atau ke pasar dan justru gemar duduk-duduk sambil ngobrol?   Betulkah pemikiran Ivan Illich tentang deschooling society?  Betulkah sekolah merupakan candu? Bukankah melalui pendidikan, anak belajar ilmu pengetahuan yang nantinya akan sangat penting untuk bekal menghadapi kehidupan setelah dewasa? Bukankah pendidikan merupakan wahana untuk mencerdaskan bangsa?  Bukankah negara yang memperhatikan bidang pendidikan biasanya maju dalam bidang ekonomi maupun perkembangan ilmu pengetahuan? Bukankah Malaysia yang sejak tahun 1970-an melakukan investasi besar-besaran dalam bidang pendidikan, kini terbukti menjadi negara yang relatif maju di kawasan Asia Tenggara dan merupakan negara yang diperhitungkan dunia?
Pertanyaan itu berminggu-minggu melingkar-lingkar dibenak.  Ketika pertanyaan-pertanyaan tersebut belum terjawab dengan baik, saya kembali ditohok dengan sebuah pertanyaan seorang nelayan di daerah Pasuruan.   Saat itu saya sedang bermobil bersama beberapa kawan sepulang bertugas di daerah Situbondo.  Karena mengemudi sendiri dari Situbondo ke Surabaya dan merasa payah, saya memutuskan untuk  istirahat di suatu pantai di mana banyak nelayan tradisional sedang istirahat.  Siapa tahu dapat membeli ikan segar hasil tangkapan mereka.
Sambil melepas lelah, saya mendatangi beberapa nelayan yang sedang memperbaiki jaring dan mengurus perahu sehabis melaut.  Sambil menawarkan rokok, saya berusaha untuk ikut nimbrung mengobrol untuk mengetahui apa yang mereka kerjakan, bagaimana hasil tangkapan ikan hari itu dan bagaimana kehidupan nelayan di daerah itu.
Setelah menjawab pertanyaan saya tentang berbagai hal, tampaknya para nelayan ingin tahu apa pekerjaan saya dan apa maksudnya menanyakan berbagai hal tentang kehidupan nelayan.  Nah, setelah tahu bahwa saya seorang pendidik (dosen) salah seorang di antara mereka mengajukan keluhan tentang anaknya. 
”Anak saya dua orang. Satu orang –itu- yang sedang memperbaiki jaring.”    katanya sambil menunjuk anak muda yang tekun memperbaiki jaring di bawah pohon.
 ”Yang satu sedang sekolah di SMP. Saya sekolahkan, ke SMP karena diperintah oleh Kepala Desa. Pak, tetapi saya sekarang bingung, karena anak saya yang sekolah justru tidak mau kalau diajak bekerja. Dia sukar kalau diajari bagaimana mengarahkan perahu saat di laut dan tidak pandai kalau disuruh memilih ikan.  Mengapa begitu, Pak?  Bukankah seharusnya dia lebih pandai karena belajar sampai SMP? Mengapa justru kalah dibanding kakaknya, yang hanya sampai kelas 5 Madrasah Ibtidaiyah?”
Walaupun diajukan dalam bentuk pertanyaan dan diungkapkan dalam bahasa daerah yang santun, toh isinya tetap saja bernuansa menggugat.   Protes kepada saya, yang sebelumnya sambil bertanya tentang ini dan itu, secara tidak sengaja menganjurkan agar para nelayan menyekolahkan anaknya, dengan harapan nantinya dapat menjadi nelayan modern.  Terbayang di benak saya, jika anak-anak nelayan itu mendapat pendidikan yang  baik, nantinya akan menjadi nelayan modern yang memiliki perahu bermesin dengan peralatan modern, sehingga mampu mendapatkan tangkapan ikan yang banyak. Bahkan mampu mengelola hasil tangkapan tersebut dengan baik dan tidak dicengkeram oleh para tengkulak ikan, seperti nasib orangtuanya.
Mendapatkan pertanyaan telak seperti itu, kembali saya tidak mampu memberi penjelasan yang baik, kecuali jawaban yang bersifat normatif, yaitu jika anak-anak bersekolah akan mendapatkan bekal ilmu pengetahuan yang nantinya sangat bermanfaat untuk memperbaiki kehidupannya sebagai nelayan di masa datang.  Sebuah jawaban  normatif itu tentu tidak memuaskan sang penanya.  Saya sendiripun dalam hati sebenarnya juga ragu betulkah jawaban itu.  
Kumpulan keluhan, suara-suara rakyat desa itu kembali menggumpalkan pertanyaan besar: Apa yang salah dengan pendidikan kita, sehingga mereka merasa bahwa ketika anaknya sekolah justru ”kurang pandai” dibanding yang tidak sekolah?   Apa yang salah dengan pendidikan kita, sehingga perilaku anak-anak yang sekolah justru kurang baik?
Beberapa waktu kemudian, saya diminta untuk mengembangkan suatu program pendidikan di Depdiknas dan melalui program tersebut saya dapat sering bertemu dengan para guru dan kepala sekolah dari berbagai daerah di Indonesia.  Dalam berbagai kesempatan saya ingin mendapatkan konfirmasi apakah fenomena yang saya jumpai di lapangan juga terjadi di daerah mereka.  Sungguh mengagetkan, ternyata sebagian besar guru dan kepala sekolah juga menyatakan hal yang sama.  Mereka menegaskan  bahwa anak-anak yang tamat atau drop out dari SMP, SMA dan SMK seringkali justru tidak mau membantu orangtuanya bekerja ke sawah, mencari ikan ke laut atau berdagang di pasar.  Bahkan seringkali mereka membuat keonaran di kampung, karena menganggur.
Tetapi ketika ditanyakan, jangan-jangan pendidikan kita keliru, sehingga menyebabkan hal-hal tersebut, pada umumnya mereka menolak.  Mereka merasa pendidikan yang dilaksanakan sudah betul, tetapi sempitnya lapangan kerja yang menyebabkan anak-anak frustrasi dan kemudian berbuat yang aneh-aneh di kampung.  Ketika ditanyakan, mengapa mereka tidak mau kembali bertani, bekerja sebagai nelayan atau pedagang di pasar, para guru pada umumnya menyatakan bahwa memang seharusnya mereka memperoleh pekerjaan yang lebih ”baik” dan tidak kembali bertani atau melaut seperti orangtuanya yang dulu tidak sekolah.
Walaupun jawaban tersebut kadang-kadang dibantah oleh guru lainnya, tetapi sebagian besar guru yang saya jumpai menyetujui pendapat tersebut.  Jadi tampaknya, apa yang diutarakan anak-anak muda tetangga di kampung, tentang mengapa tidak mau membantu orangtuanya ke sawah, sama dengan pendapat sebagian besar para guru.  Mungkinkah memang itu yang menjadi pemahaman kita tentang pekerjaan?  Betulkah  petani, nelayan dan pedagang di pasar itu ”pekerjaan rendah” dan kurang cocok bagi anak-anak yang sudah tamat SMP atau SMA/SMK?  Betulkah setelah tamat SMP atau SMA/SMK seseorang harus menjadi pegawai atau karyawan di kota?
Agaknya memang ada sesuatu yang tidak beres dalam pendidikan kita, sehingga alumni sekolah menengah bahkan sarjana tidak tahu apa yang harus dikerjakan.

*

Suatu saat saya berjumpa dengan seorang teman lama saat sekolah di SMP. Dia kini  menjadi pedagang yang sukses.  Saya bertanya apakah anak-anaknya juga berperilaku memprihatinkan seperti itu, dia memberi jawaban yang sungguh sangat menarik.   Dia menyatakan, pendidikan saat ini terlalu teoritik dan tidak terkait dengan kehidupan nyata.
 ”Anak-anak banyak belajar Matematika, IPS dan sebagainya, tapi yang dipelajari itu tidak cocok dengan bagaimana cara berdagang agar dapat untung besar. Kerja keras,  ulet, dan berpikir dengan cepat tidak dipelajari di sekolah, padahal itu penting bagi pedagang.  Karena itu, anak-anak saya, saya ajari sendiri di rumah dengan cara saya ajak praktek langsung di toko”.
Ungkapan teman pedagang tersebut, sedikit-banyak memberi gambaran apa yang sebenarnya terjadi pada pendidikan kita selama ini, dari sudut pandang seorang pedagang yang sukses.   Pendidikan kita tampaknya kelewat  teoritik, seperti di awang-awang, tidak membumi, dan memisahkan siswa dari kehidupan sehari-hari.  Pendidikan kita tidak membekali siswa bagaimana menghadapi kehidupan nyata di masyarakat, sehingga menyebabkan mereka tidak tahu apa yang harus dikerjakan, kecuali belajar dari buku, bersenang-senang ala kehidupan anak kota dan setelah lulus ingin meneruskan sekolah atau mencari pekerjaan dengan bekal selembar ijazah.  Oleh karena itu sangat wajar jika orangtua mereka mempertanyakan ”untuk apa anak harus sekolah, jika setelah itu justru menjadi beban orangtua”.
Mencoba memahami hal itu, saya menjadi ingat sebuah sajak karya penyair besar W.S. Rendra dengan judul Sajak Seonggok Jagung, yang selengkapnya sebagai berikut:
Seonggok jagung di kamar
dan seorang pemuda
yang kurang sekolahan

Memandang jagung itu,
sang pemuda melihat ladang;
ia melihat petani;
ia melihat panen;
dari suatu hari subuh,
para wanita dengan gendongan
pergi ke pasar …
Dan ia juga melihat
suatu pagi hari
di dekat sumur
gadis-gadis bercanda
sambil menumbuk jagung
menjadi maisena.
Sedang di dalam dapur
tungku-tungku menyala.
Di dalam udara murni
tercium bau kuwe jagung

Seonggok jagung di kamar
dan seorang pemuda.
Ia siap menggarap jagung.
Ia melihat kemungkinan
otak dan tangan
siap bekerja.

Tetapi ini:

Seonggok jagung di kamar
dan seorang pemuda tamat SLA
Tak ada uang, tak bisa menjadi mahasiswa.
Hanya ada seonggok jagung di kamarnya.

Ia memandang jagung itu
dan ia melihat dirinya terlunta-lunta.
Ia melihat dirinya ditendang dari diskotik.
Ia melihat sepasang sepatu kenes di balik etalase.

Ia melihat saingannya naik sepeda motor.
Ia melihat nomor-nomor lotre.
Ia melihat dirinya sendiri miskin dan gagal.
Seonggok jagung di kamar
tidak menyangkut pada akal,
tidak akan menolongnya.

Seonggok jagung di kamar
tak akan menolong seorang pemuda
yang pandangan hidupnya berasal dari buku,
dan tidak dari kehidupan.
Yang tidak terlatih dalam metode,
dan hanya penuh hafalan kesimpulan.
Yang hanya terlatih sebagai pemakai
tetapi kurang latihan bebas berkarya.

Pendidikan telah memisahkannya dari kehidupan.
Aku bertanya:
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya membuat seseorang menjadi asing
di tengah kenyataan persoalannya?
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya mendorong seseorang
menjadi layang-layang di ibukota
kikuk pulang ke daerahnya?
Apakah gunanya seseorang
belajar filsafat, sastra, teknologi, ilmu kedokteran,
atau apa saja,
bila pada akhirnya,
ketika ia pulang ke daerahnya, lalu berkata:
“Di sini aku merasa asing dan sepi!”
(Dikutip dari: Potret Pembangunan dalam Puisi, 1975)

Ternyata Rendra telah merasakan ketidakberesan pendidikan kita sejak tahun 1970-an.  Sebagai budayawan Rendra, tampak sangat peka terhadap fenomena yang terjadi di masyarakat, termasuk hal-hal yang terkait dengan pendidikan.  Para pendidik, termasuk saya justru  tidak merasakan ketidakberesan itu dan tetap bersikukuh bahwa pendidikan yang dipraktekkan selama ini sudah benar.  Tetapi, dengan fenomena anak muda di kampung halaman, yang menurut banyak guru juga terjadi di daerah mereka, kita perlu merenungkan betulkah pendidikan yang selama ini kita praktekkan di sekolah sudah benar?
Tampaknya kerisauan terhadap praktek pendidikan tidak hanya terjadi di Indonesia.  Robert T. Kyosaki, orang Jepang kelahiran Hawai yang kini terkenal dengan bukunya Rich Dad Poor Dad, juga mempertanyakan isi pendidikan di negaranya, dengan menulis buku yang dengan judul provokatif:  If you want to be rich and happy, don’t go to school.   Dalam buku itu, Kyosaki menyimpulkan pendidikan selama ini tidak memberikan bekal untuk menghadapi kehidupan nyata.  Walaupun terkesan bahwa Kyosaki mempersempit makna hidup dengan mencari kekayaan materi, tetapi ungkapannya tentang pendidikan sangat rasional.
Pertanyaan yang muncul, jangan-jangan pendapat Rendra dan Kyosaki tersebut benar, karena juga didukung oleh fakta di lapangan.   Kalau ternyata memang praktek pendidikan selama ini justru mencabut anak-anak dari kehidupan nyata, lantas apa yang harus kita perbuat?  Sudah saatnya, kita yang merasa sebagai pendidik atau orang yang peduli pendidikan, mencari solusi agar pendidikan benar-benar mampu mengantarkan anak didik menyiapkan diri guna menghadapi masa depannya.
Ungkapan Michael Porter, profesor administrasi bisnis di Harvard Business School, bahwa sebaiknya kita tidak hanya berpikir tentang how to do, tetapi juga harus berpikir what to do,  tampak relevan untuk direnungkan.   Dalam pendidikan, kita tidak boleh hanya memikirkan metoda pembelajaran yang cocok dengan anak kita, tetapi juga harus berani mempertanyakan ”apakah materi yang dipelajari anak-anak memang sudah tepat”.  Pengertian tepat untuk materi belajar, tentunya harus dikembalikan pada filosofi belajar itu apa dan untuk apa anak harus belajar di sekolah.  Kita juga perlu mempertanyakan apa yang diharapkan orangtua saat mengirimkan anaknya untuk bersekolah. []

Tidak ada komentar: