Dalam sebuah kesempatan, saya pulang kampung untuk
berlibur. Secara tak sengaja menjumpai fenomena yang sangat menarik. Fenomena yang perlu direnungkan oleh siapa
saja yang merasa peduli dengan dunia pendidikan. Kampung halaman saya berada di wilayah
pedesaan perbatasan Jawa Timur dengan Jawa Tengah, jauh dari kebisingan kota dan
merupakan daerah pertanian yang cukup subur.
Saat itu merupakan masa tanam padi, sehingga
warga desa beramai-ramai menggarap sawah, untuk mempersiapkan penanaman benih padi. Tidak jauh dari persawahan itu, terdapat
pasar desa yang walaupun pasar krempyeng,
yaitu pasar yang hanya ada kegiatan di pagi hari sampai sekitar jam 10.00,
tetapi cukup ramai. Di pasar itulah pada
umumnya masyarakat menjual hasil pertanian dan membeli kebutuhan sehari-hari.
Di saat menikmati pemandangan sawah dengan air berlimpah, beberapa
kelompok wanita giat menanam benih padi, beberapa pria mencangkul, membajak dan
menggaru, saya melihat sekelompok
anak muda sedang asyik bercengkerama di poskamling. Dari cara mereka berpakaian, terkesan tidak
seperti lazimnya pemuda desa yang sedang ke sawah, tetapi lebih mirip dengan anak muda perkotaan. Mereka memakai T-shirt dengan gambar khas
anak muda masa kini dan bercelana jin atau celana biasa yang sudah “belel”.
Didorong rasa ingin tahu, saya mendatangi mereka dan ikut nimbrung ngobrol
bersama. Mereka ramah, mudah akrab dan bahkan tampak senang saat saya bergabung
sambil menanyakan hal ini dan itu. Mereka juga ganti bertanya tentang
Surabaya tempat saya selama ini tinggal.
Dari obrolan santai, saya jadi tahu kalau ternyata mereka itu tetangga saya
di kampung, bahkan seorang di antaranya masih terhitung kerabat. Melalui obrolan itu, saya tahu bahwa mereka itu
semuanya warga asli kampung setempat. Dari lima anak muda itu, seorang di antaranya
mahasiswa tingkat akhir yang sedang menyusun skripsi, seorang lainnya lulusan
SMK, dua orang lagi lulusan SMA dan seorang terakhir lagi drop out
SMK.
Mereka sedang mengobrolkan sinetron yang sedang gencar ditayangkan televisi,
diselingi kelakar khas anak muda.
“Mengapa tidak ikut membantu orangtua ke sawah?” saya mencoba
memancing tanya.
“Ya,
gimana ya..” salah seorang dari mereka menjawab sementara teman yang lain turut
tersenyum. Dengan malu-malu dan terbata-bata akhirnya dia melanjutkan jawaban, “Mosok
Pak, lulusan SLTA bekerja di sawah,
mestinya kan
bekerja di kantor atau di pabrik.”
Saya
juga menangkap kesan bahwa mereka menganggap pekerjaan sebagai petani dan pedagang
di pasar desa adalah pekerjaan rendahan, sehingga tidak cocok bagi mereka. Agaknya anak-anak muda itu berharap kelak
akan mendapatkan pekerjaan sebagai pegawai kantor atau sebagai karyawan pabrik
di kota .
Kesan itu bertambah kuat, ketika saya mencoba mendengarkan obrolan
mereka lebih jauh. Materi yang
diobrolkan bukan lagi bernuansa pedesaan. Mereka asyik berbincang soal
bagaimana “mengakali” polisi lalu lintas agar tidak kena tilang, ngomong soal grup
musik Slank yang baru saja digelar di kota
dan sejenisnya. Salah seorang tampak bangga sekali menyebut dirinya sebagai
Slanker. Obrolan khas pemuda perkotaan. Gaya bicara dan idiom-idiom yang digunakan
hingga pakaian dan asesori yang disandang sangat mirip anak muda di
perkotaan. Jika tidak mengetahui siapa
mereka, orang akan menduga mereka itu pemuda dari kota yang sedang berlibur ke
desa.
Ketika saya mencoba memancing dengan pertanyaan,
mengapa para petani tidak memanfaatkan sawah untuk memelihara ikan lele sambil
ditanami padi dan mengapa pasar desa tidak punya toko yang buka sampai sore
hari, supaya warga desa dapat mudah membeli kebutuhan sehari-hari, mereka tidak
memberi tanggapan yang serius. Sepertinya, anak-anak muda itu tidak lagi tertarik untuk mencermati
keadaan di pedesaan sekitarnya. Ketika ditawarkan
ide, bagaimana kalau di desa dibuat alat untuk mengolah tomat menjadi saus,
dengan alasan banyak hasil panen tomat tetapi harganya murah, sementara harga saus cukup
mahal, mereka juga tidak memberi respon memadai. Justru mereka lebih memilih bertanya,
bagaimana caranya mendapatkan pekerjaan di Surabaya atau menjadi tenaga kerja (TKI) di
luar negeri.
“Apa rencana kalian ke depan?”
“Saya ingin mencari pekerjaan ke kota atau mungkin ke luar negeri,” kata
seorang dari mereka.
“Saya sudah mengajukan lamaran ke beberapa perusahaan di kota , tapi belum ada
jawaban,” kata yang lain. Salah seorang bahkan sudah merencanakan akan ke Malaysia .
“tapi masih menunggu biaya, mau dijualkan tanah dulu.”
“Lho, apa uang hasil penjualan tanah tersebut tidak lebih baik untuk
modal berdagang atau membuka toko di pasar desa?”
Pria itu cuma tersenyum. Kentara sekali dia tidak tertarik.
Sepertinya kehidupan desa sudah dianggap masa lalu yang harus ditinggalkan dan
menggantinya dengan kehidupan baru di kota
atau bahkan di luar negeri.
Merasa tidak puas dengan jawaban dari anak-anak muda yang masih tetangga
sendiri itu, saya berkeinginan menanyakan kepada para orangtuanya. Secara kebetulan besuknya ada tetangga yang
mengadakan kenduri, sehingga ada ajang untuk bertemu dengan mereka. Dengan bahasa sederhana, kejadian di poskamling tadi saya ungkap kembali. Sangat
mengejutkan, mereka tidak menjawab, tetapi justru balik bertanya dan bermuatan
setumpuk keluhan. Berikut ini di
antaranya:
”Mengapa setelah sekolah anak-anak saya justru ora
ngerti gawean (tidak mengerti pekerjaan yang seharusnya dikerjakan).”
“Mengapa anak-anak yang disekolahkan
dengan menguras biaya, sekarang malah jadi beban. Mereka tidak mau membantu
kerja dan selalu minta uang. Alasannya untuk cari kerjaan di kota”.
“Mengapa setelah sekolah,
anak-anak jadi kurang menghargai orangtua?”
Saya sampai gelagapan untuk menjawab, karena keluhan
tidak hanya datang orangtua dari pemuda yang pagi harinya ngobrol di
poskamling, tapi juga dari peserta kenduri lainnya. Dari obrolan di arena kenduri itu terungkap
kekecewaan mereka terhadap anak-anaknya yang bersekolah di kota. Sampai-sampai muncul ungkapan, untuk apa
anak harus sekolah, jika hasilnya seperti itu. Ketika memasukkan anak ke sekolah, orangtua
berharap anak-anaknya akan menjadi “orang”, yaitu pandai dan memperoleh
pekerjaan yang “terhormat” dan tidak seperti orangtuanya yang hidup susah
sebagai petani. Kenyataannya, setelah lulus
mereka tidak memperoleh pekerjaan dan justru menyusahkan orangtua. Setengah berkelakar,
ada peserta kenduri yang mengatakan “menyesal” menyekolahkan anak sampai
menjual sapi, kalau ternyata hasilnya seperti itu.
*
Pertanyaan dan ungkapan warga desa itu terus membebani pikiran. Ketika beban tersebut belum terurai, dua hari
berikutnya saya menjumpai fenomena yang juga sangat menarik. Hari itu hari Minggu, saya bermaksud
jalan-jalan ke pasar desa dengan ditemani keponakan yang masih kelas 2 SD. Ketika melintas di poskamling, tampak banyak
anak-anak muda yang ramai bercengkerama, jumlahnya lebih banyak dibanding dua
hari sebelumnya, sehingga sebagian duduk pada buk, yaitu pagar pendek pengaman gorong-gorong sungai. Setelah dekat tampak bahwa mereka adalah para
remaja.
Terdorong rasa ingin tahu apa yang mereka kerjakan, saya membatalkan
niat jalan-jalan ke pasar desa dan ikut nimbrung duduk-duduk di dinding
gorong-gorong. Ternyata mereka adalah anak-anak setempat yang
umumnya sedang duduk di SMP dan MTs. Hari Minggu tampaknya dimanfaatkan untuk santai dan bercengkerama di
poskamling. Tiga anak yang duduk di buk ternyata siswa SMP dan sedang mendiskusikan
Lomba Karya Ilmiah Remaja (LKIR) yang akan diikuti oleh kelompoknya di
sekolah. Mereka sedang mencari topik apa
yang akan dijadikan penelitiannya.
Topik-topik yang didiskusikan pada umumnya terkait dengan IPA, khususnya
yang dekat-dekat dengan elektronika.
Salah topik yg hangat dibicarakan adalah akan membuat alat yang dapat
mengatur lampu listrik di rumah dapat menyala dan mati secara otomatis.
Ketika diskusi berhenti, sambil menunjuk ke aliran sungai di bawah
tempat duduk, saya bertanya: “Mengapa air sungai berwarna coklat?”. Ketiga anak saling pandang, dan seorang
menjawab, “karena tadi malam hujan lebat.”
Ketika saya kejar dengan pertanyaan “mengapa ya, kalau terjadi hujan
lebat air sungai menjadi coklat”, tidak muncul jawaban. Setelah agak lama, saya bertanya lagi: “Mengapa
di bawah rumpun bambu tidak tumbuh rumput?”, sambil menunjuk lahan di samping
poskamling. Ternyata juga tidak muncul
jawaban.
Setelah menunggu beberapa saat, saya memancing dengan pertanyaan: “Apa
untuk tumbuh rumput perlu sinar matahari ya?”.
Hampir bersamaan, ketiga remaja itu mengiyakan dan salah seorang
meneruskan bahwa semua tumbuhan tidak akan subur kalau tidak ada sinar
matahari. “Mengapa pada awal musim tanam
padi, petani selalu memotong dahan pohon di pinggir sawah?”. Mereka menjawab, agar dedaunan pohon tidak
menutupi padi yang baru ditanam, sehingga padi mendapat cukup sinar matahari.
Setelah itu, saya menunjuk air sungai dan bertanya: “Apa yang
dikandung air sungai sehingga berwarna coklat?”. Mereka menjawab, air tersebut mengandung
lumpur. Ketika ditanyakan, bagaimana air
sungai dapat mengandung lumpur, mereka menjawab bahwa lumpur berasal dari
gunung yang terbawa oleh air hujan.
Dari sudut pandang pendidikan, tanya jawab dengan siswa SMP tersebut
menarik. Mereka sebenarnya punya
pengetahuan tetapi tidak dapat mengaitkan dengan fenomena alam yang
dihadapi. Mereka mengerti kalau tanaman
memerlukan sinar matahari untuk dapat tumbuh dengan baik. Mereka tahu kalau air sungai berwarna coklat
karena mengandung lumpur. Namun
demikian, mereka tidak dapat atau tidak terbiasa mengaitkan pengetahuan itu
dengan fenomena alam yang dihadapi.
Mereka baru mengetahui kaitan tersebut, setelah dipancing-pancing dengan
pertanyaan tertentu.
Setelah sekitar satu jam, kemudian saya ganti bergabung dengan
anak-anak yang berada di dalam poskamling.
Ketika itu, ada seorang anak
yang datang dari pasar dan membawa beberapa buah mangga. Saat ditanya berapa harga mangga itu, dia menyebut
angka tertentu yang cukup mahal.
”Mengapa sekarang harga mangga begitu mahal?”
”Karena tidak musim panen mangga.”
“Mengapa kalau tidak panen harganya mahal?” saya
mengejar.
“Ya, memang begitu, kalau sedang tidak musim
harganya selalu mahal.”
Fenomena kedua di atas sungguh menarik untuk direnungkan. Pertama, ternyata anak-anak yang tidak
membantu orangtuanya ke sawah tidak hanya mereka yang sudah tamat SLTP atau
SLTA, tetapi juga mereka yang masih bersekolah.
Di hari Minggu, mereka lebih sedang bercengkerama di poskamling,
sementara orangtua mereka bekerja di sawah tanpa mengenal hari libur. Memang mereka tidak mengatakan bertani itu
pekerjaan rendah dan kurang cocok bagi anak SMP/SMA/SMK, tetapi perilaku mereka
menunjukkan kekurangpekaan terhadap beban pekerjaan keluarga. Mereka bersantai bersama temannya, sementara
orangtua mereka membanting tulang di sawah di dekat mereka.
Kedua, pikiran anak-anak itu tidak
membumi di lingkungan sekitarnya.
Walaupun mereka sedang berpikir tentang LKIR, yang dipikirkan ternyata bukan hal-hal yang
terdapat di lingkungannya. Mereka memikirkan teknologi elektronika
yang dipelajari di sekolah, tetapi justru tidak tertarik atau bahkan tidak paham
tentang fenomena yang ada di sekitarnya.
Mereka tidak dapat menjelaskan mengapa ketika terjadi hujan lebat air
sungai berwarna coklat dan mengapa lahan yang terlindung kerindangan rumpun
bambu tidak ditumbuhi rumput. Padahal kedua fenomena tersebut tentunya dipelajari dalam pelajaran
di SMP atau bahkan SD, dan layak dibuat bahan LKIR. Demikian pula, mereka tidak dapat menjelaskan mengapa harga mangga saat
panen murah dan pada saat tidak musim panen berubah menjadi mahal.
Kejadian itu membuat saya merenungkan, apa yang
salah salah dalam pendidikan kita? Mengapa
setelah sekolah, anak-anak justru berperilaku seperti itu? Perenungan itu mengingatkan saya kepada kejadian sekitar
tahun 1994, ketika diminta oleh pemerintah untuk membantu melakukan sosialisasi
program Wajib Belajar 9 Tahun. Di suatu
daerah pinggir selatan dari Kabupaten Lamongan, saya berusaha meyakinkan
masyarakat yang tinggal di Desa Bluluk Kecamatan Sukorame, agar menyekolahkan
anak-anaknya minimal sampai tamat SMP.
Desa Bluluk merupakan desa ”miskin” yang berada di pinggiran hutan. Pada umumnya masyarakat bekerja sebagai
petani dan anak-anak mereka membantu bekerja ke sawah atau menggembala sapi
atau kambing ke pinggiran hutan.
Pada suatu sore saya terlibat ”diskusi” dengan dua
orang warga Bluluk yang sedang menunggui kambing mereka di pinggiran sawah. Sesuai dengan tugas yang diemban, sore itu saya
berusaha meyakinkan dua warga Bluluk tersebut tentang betapa pentingnya
pendidikan bagi anak-anaknya. Anak-anak
yang bersekolah akan memiliki pengetahuan yang sangat berguna untuk
kehidupannya di masa datang. Dengan
bersekolah anak-anak akan memiliki bekal ilmu pengetahuan yang baik, sehingga
nanti dapat memperoleh kehidupan yang lebih baik dibanding orangtuanya yang
dulu tidak sempat sekolah.
Setelah terjadi tanya jawab tentang berbagai hal,
di akhir pertemuan itu salah seorang dari mereka berkata: ”Pak kalau anak saya
sekolah ke SMP, saya tentu menjual kambing untuk biaya. Kalau nanti sudah lulus, apa dia bisa membeli
kambing? Padahal, kalau dia tidak
sekolah tentu dapat menggembala kambing ke sawah atau hutan dan setiap tahun
akan memperoleh anak kambing.
Sebagai seorang yang saat itu baru selesai
menempuh program doktor dan sangat yakin akan manfaat akan pendidikan, saya
berusaha meyakinkan kedua warga Bluluk itu bahwa anak yang bersekolah nantinya
akan memperoleh kehidupan yang jauh lebih baik, dibanding yang tidak
bersekolah. Ketika nanti sudah dewasa
dan bekerja, anak yang bersekolah akan mampu membeli kambing dan bahkan sapi. Namun, sampai pertemuan berakhir karena sudah
mendekati saat Maghrib, toh kedua warga Bluluk itu tetap saja tidak memahami
apa yang saya jelaskan.
Pada saat itu, saya berpendapat bahwa pertanyaan seperti
itu adalah pertanyaan naif dan tolol yang hanya diajukan oleh orang tidak
terdidik yang tinggal di daerah terpencil. Tetapi ketika dihadapkan fenomena anak-anak
muda ”terdidik” yang ternyata justru mengecewakan orangtuanya, saya kemudian
justru bertanya kepada diri sendiri. Jangan-jangan apa yang diomongkan warga
Bluluk itu justru benar, realita yang terjadi di lapangan. Hanya saja,
dia tidak dapat mengungkapkan dengan argumentasi yang bagus dan saat itu
saya dihinggapi ”kesombongan intelektual”, maka statemen warga desa itu menjadi
kelihatan bodoh.
Sekembali ke Surabaya, saya berusaha membongkar
lagi dokumen kegiatan di Bluluk dan Sukorame Lamongan untuk mengetahui
bagaimana trankrip ”diskusi” saat itu. (Pada
saat itu, setiap pertemuan, obrolan, dan diskusi wajib dibuat transkripnya,
sebagai bahan pengambilan simpulan dan kebijakan untuk langkah selanjutnya). Ketika menemukan dan membaca transkrip, saya
menjadi terkejut. Ternyata
ungkapan-ungkapan yang mirip pertanyaan tetangga di kampung itu, juga sudah
terungkap ketika kami melakukan sosialisasi Wajar 9 Tahun di Lamongan. Secara jujur saya harus mengakui saat itu
tidak mampu menangkap apa yang dirisaukan oleh masyarakat tentang pendidikan
kita. Dalam bahasa sekarang, saya
ternyata termasuk yang ”telmi”
(telat/terlambat mikir) dibanding warga Bluluk.
Ya, apa yang salah dalam pendidikan kita? Mengapa anak-anak yang sekolah sampai SMP,
SMA, SMK dan justru perguruan tinggi, justru menjadi beban orangtua? Mereka justru mengecewakan orangtuanya,
karena tidak mau lagi membantu bekerja ke sawah atau ke pasar dan justru gemar duduk-duduk
sambil ngobrol? Betulkah pemikiran Ivan
Illich tentang deschooling society?
Betulkah sekolah merupakan candu? Bukankah melalui pendidikan, anak
belajar ilmu pengetahuan yang nantinya akan sangat penting untuk bekal
menghadapi kehidupan setelah dewasa? Bukankah pendidikan merupakan wahana untuk
mencerdaskan bangsa? Bukankah negara
yang memperhatikan bidang pendidikan biasanya maju dalam bidang ekonomi maupun
perkembangan ilmu pengetahuan? Bukankah Malaysia yang sejak tahun 1970-an
melakukan investasi besar-besaran dalam bidang pendidikan, kini terbukti
menjadi negara yang relatif maju di kawasan Asia Tenggara dan merupakan negara
yang diperhitungkan dunia?
Pertanyaan itu berminggu-minggu melingkar-lingkar
dibenak. Ketika pertanyaan-pertanyaan
tersebut belum terjawab dengan baik, saya kembali ditohok dengan sebuah
pertanyaan seorang nelayan di daerah Pasuruan.
Saat itu saya sedang bermobil bersama beberapa
kawan sepulang bertugas di daerah Situbondo. Karena mengemudi sendiri dari Situbondo ke Surabaya
dan merasa payah, saya memutuskan untuk istirahat
di suatu pantai di mana banyak nelayan tradisional sedang istirahat. Siapa tahu dapat membeli ikan segar hasil
tangkapan mereka.
Sambil melepas lelah, saya mendatangi beberapa
nelayan yang sedang memperbaiki jaring dan mengurus perahu sehabis melaut. Sambil menawarkan rokok, saya berusaha untuk
ikut nimbrung mengobrol untuk mengetahui apa yang mereka kerjakan, bagaimana
hasil tangkapan ikan hari itu dan bagaimana kehidupan nelayan di daerah itu.
Setelah menjawab pertanyaan saya tentang berbagai
hal, tampaknya para nelayan ingin tahu apa pekerjaan saya dan apa maksudnya
menanyakan berbagai hal tentang kehidupan nelayan. Nah, setelah tahu bahwa saya seorang pendidik
(dosen) salah seorang di antara mereka mengajukan keluhan tentang anaknya.
”Anak saya dua orang. Satu orang –itu- yang sedang
memperbaiki jaring.” katanya sambil
menunjuk anak muda yang tekun memperbaiki jaring di bawah pohon.
”Yang satu
sedang sekolah di SMP. Saya sekolahkan, ke SMP karena diperintah oleh Kepala
Desa. Pak, tetapi saya sekarang bingung, karena anak saya yang sekolah justru
tidak mau kalau diajak bekerja. Dia sukar kalau diajari bagaimana mengarahkan
perahu saat di laut dan tidak pandai kalau disuruh memilih ikan. Mengapa begitu, Pak? Bukankah seharusnya dia lebih pandai karena
belajar sampai SMP? Mengapa justru kalah dibanding kakaknya, yang hanya sampai
kelas 5 Madrasah Ibtidaiyah?”
Walaupun diajukan dalam bentuk pertanyaan dan
diungkapkan dalam bahasa daerah yang santun, toh isinya tetap saja bernuansa
menggugat. Protes kepada saya, yang
sebelumnya sambil bertanya tentang ini dan itu, secara tidak sengaja
menganjurkan agar para nelayan menyekolahkan anaknya, dengan harapan nantinya dapat
menjadi nelayan modern. Terbayang di
benak saya, jika anak-anak nelayan itu mendapat pendidikan yang baik, nantinya akan menjadi nelayan modern
yang memiliki perahu bermesin dengan peralatan modern, sehingga mampu
mendapatkan tangkapan ikan yang banyak. Bahkan mampu mengelola hasil tangkapan
tersebut dengan baik dan tidak dicengkeram oleh para tengkulak ikan, seperti
nasib orangtuanya.
Mendapatkan pertanyaan telak seperti itu, kembali saya
tidak mampu memberi penjelasan yang baik, kecuali jawaban yang bersifat
normatif, yaitu jika anak-anak bersekolah akan mendapatkan bekal ilmu
pengetahuan yang nantinya sangat bermanfaat untuk memperbaiki kehidupannya
sebagai nelayan di masa datang. Sebuah jawaban normatif itu tentu tidak memuaskan sang
penanya. Saya sendiripun dalam hati
sebenarnya juga ragu betulkah jawaban itu.
Kumpulan keluhan, suara-suara rakyat desa itu
kembali menggumpalkan pertanyaan besar: Apa yang salah dengan pendidikan kita,
sehingga mereka merasa bahwa ketika anaknya sekolah justru ”kurang pandai”
dibanding yang tidak sekolah? Apa yang
salah dengan pendidikan kita, sehingga perilaku anak-anak yang sekolah justru
kurang baik?
Beberapa waktu kemudian, saya diminta untuk
mengembangkan suatu program pendidikan di Depdiknas dan melalui program
tersebut saya dapat sering bertemu dengan para guru dan kepala sekolah dari
berbagai daerah di Indonesia. Dalam
berbagai kesempatan saya ingin mendapatkan konfirmasi apakah fenomena yang saya
jumpai di lapangan juga terjadi di daerah mereka. Sungguh mengagetkan, ternyata sebagian besar
guru dan kepala sekolah juga menyatakan hal yang sama. Mereka menegaskan bahwa anak-anak yang tamat atau drop out
dari SMP, SMA dan SMK seringkali justru tidak mau membantu orangtuanya bekerja
ke sawah, mencari ikan ke laut atau berdagang di pasar. Bahkan seringkali mereka membuat keonaran di
kampung, karena menganggur.
Tetapi ketika ditanyakan, jangan-jangan pendidikan
kita keliru, sehingga menyebabkan hal-hal tersebut, pada umumnya mereka
menolak. Mereka merasa pendidikan yang
dilaksanakan sudah betul, tetapi sempitnya lapangan kerja yang menyebabkan anak-anak
frustrasi dan kemudian berbuat yang aneh-aneh di kampung. Ketika ditanyakan, mengapa mereka tidak mau
kembali bertani, bekerja sebagai nelayan atau pedagang di pasar, para guru pada
umumnya menyatakan bahwa memang seharusnya mereka memperoleh pekerjaan yang
lebih ”baik” dan tidak kembali bertani atau melaut seperti orangtuanya yang
dulu tidak sekolah.
Walaupun jawaban tersebut kadang-kadang dibantah
oleh guru lainnya, tetapi sebagian besar guru yang saya jumpai menyetujui pendapat
tersebut. Jadi tampaknya, apa yang
diutarakan anak-anak muda tetangga di kampung, tentang mengapa tidak mau
membantu orangtuanya ke sawah, sama dengan pendapat sebagian besar para
guru. Mungkinkah memang itu yang menjadi
pemahaman kita tentang pekerjaan?
Betulkah petani, nelayan dan
pedagang di pasar itu ”pekerjaan rendah” dan kurang cocok bagi anak-anak yang
sudah tamat SMP atau SMA/SMK? Betulkah
setelah tamat SMP atau SMA/SMK seseorang harus menjadi pegawai atau karyawan di
kota?
Agaknya memang ada sesuatu yang tidak beres dalam
pendidikan kita, sehingga alumni sekolah menengah bahkan sarjana tidak tahu apa
yang harus dikerjakan.
*
Suatu saat saya berjumpa dengan seorang teman lama
saat sekolah di SMP. Dia kini menjadi
pedagang yang sukses. Saya bertanya apakah
anak-anaknya juga berperilaku memprihatinkan seperti itu, dia memberi jawaban
yang sungguh sangat menarik. Dia
menyatakan, pendidikan saat ini terlalu teoritik dan tidak terkait dengan
kehidupan nyata.
”Anak-anak
banyak belajar Matematika, IPS dan sebagainya, tapi yang dipelajari itu tidak
cocok dengan bagaimana cara berdagang agar dapat untung besar. Kerja keras, ulet, dan berpikir dengan cepat tidak
dipelajari di sekolah, padahal itu penting bagi pedagang. Karena itu, anak-anak saya, saya ajari
sendiri di rumah dengan cara saya ajak praktek langsung di toko”.
Ungkapan teman pedagang tersebut, sedikit-banyak memberi
gambaran apa yang sebenarnya terjadi pada pendidikan kita selama ini, dari
sudut pandang seorang pedagang yang sukses.
Pendidikan kita tampaknya kelewat teoritik, seperti di awang-awang, tidak
membumi, dan memisahkan siswa dari kehidupan sehari-hari. Pendidikan kita tidak membekali siswa
bagaimana menghadapi kehidupan nyata di masyarakat, sehingga menyebabkan mereka
tidak tahu apa yang harus dikerjakan, kecuali belajar dari buku, bersenang-senang
ala kehidupan anak kota dan setelah lulus ingin meneruskan sekolah atau mencari
pekerjaan dengan bekal selembar ijazah.
Oleh karena itu sangat wajar jika orangtua mereka mempertanyakan ”untuk
apa anak harus sekolah, jika setelah itu justru menjadi beban orangtua”.
Mencoba memahami hal itu, saya menjadi ingat sebuah
sajak karya penyair besar W.S. Rendra dengan judul Sajak Seonggok Jagung, yang selengkapnya sebagai berikut:
Seonggok jagung di kamar
dan seorang pemuda
yang kurang sekolahan
Memandang jagung itu,
sang pemuda melihat ladang;
ia melihat petani;
ia melihat panen;
dari suatu hari subuh,
para wanita dengan gendongan
pergi ke pasar …
Dan ia juga melihat
suatu pagi hari
di dekat sumur
gadis-gadis bercanda
sambil menumbuk jagung
menjadi maisena.
Sedang di dalam dapur
tungku-tungku menyala.
Di dalam udara murni
tercium bau kuwe jagung
Seonggok jagung di kamar
dan seorang pemuda.
Ia siap menggarap jagung.
Ia melihat kemungkinan
otak dan tangan
siap bekerja.
Tetapi ini:
Seonggok jagung di kamar
dan seorang pemuda tamat SLA
Tak ada uang, tak bisa menjadi mahasiswa.
Hanya ada seonggok jagung di kamarnya.
Ia memandang jagung itu
dan ia melihat dirinya terlunta-lunta.
Ia melihat dirinya ditendang dari
diskotik.
Ia melihat sepasang sepatu kenes di balik
etalase.
Ia melihat saingannya naik sepeda motor.
Ia melihat nomor-nomor lotre.
Ia melihat dirinya sendiri miskin dan
gagal.
Seonggok jagung di kamar
tidak menyangkut pada akal,
tidak akan menolongnya.
Seonggok jagung di kamar
tak akan menolong seorang pemuda
yang pandangan hidupnya berasal dari buku,
dan tidak dari kehidupan.
Yang tidak terlatih dalam metode,
dan hanya penuh hafalan kesimpulan.
Yang hanya terlatih sebagai pemakai
tetapi kurang latihan bebas berkarya.
Pendidikan telah memisahkannya dari
kehidupan.
Aku bertanya:
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya membuat seseorang menjadi asing
di tengah kenyataan persoalannya?
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya mendorong seseorang
menjadi layang-layang di ibukota
kikuk pulang ke daerahnya?
Apakah gunanya seseorang
belajar filsafat, sastra, teknologi, ilmu
kedokteran,
atau apa saja,
bila pada akhirnya,
ketika ia pulang ke daerahnya, lalu
berkata:
“Di sini aku merasa asing dan sepi!”
(Dikutip dari: Potret Pembangunan dalam
Puisi, 1975)
Ternyata Rendra telah merasakan ketidakberesan
pendidikan kita sejak tahun 1970-an. Sebagai
budayawan Rendra, tampak sangat peka terhadap fenomena yang terjadi di
masyarakat, termasuk hal-hal yang terkait dengan pendidikan. Para pendidik, termasuk saya justru tidak merasakan ketidakberesan itu dan tetap
bersikukuh bahwa pendidikan yang dipraktekkan selama ini sudah benar. Tetapi, dengan fenomena anak muda di kampung
halaman, yang menurut banyak guru juga terjadi di daerah mereka, kita perlu
merenungkan betulkah pendidikan yang selama ini kita praktekkan di sekolah
sudah benar?
Tampaknya kerisauan terhadap praktek pendidikan
tidak hanya terjadi di Indonesia. Robert
T. Kyosaki, orang Jepang kelahiran Hawai yang kini terkenal dengan bukunya Rich
Dad Poor Dad, juga mempertanyakan isi pendidikan di negaranya, dengan menulis
buku yang dengan judul provokatif: If
you want to be rich and happy, don’t go to school. Dalam buku itu, Kyosaki menyimpulkan
pendidikan selama ini tidak memberikan bekal untuk menghadapi kehidupan
nyata. Walaupun terkesan bahwa Kyosaki
mempersempit makna hidup dengan mencari kekayaan materi, tetapi ungkapannya
tentang pendidikan sangat rasional.
Pertanyaan yang muncul, jangan-jangan pendapat
Rendra dan Kyosaki tersebut benar, karena juga didukung oleh fakta di lapangan. Kalau ternyata memang praktek pendidikan
selama ini justru mencabut anak-anak dari kehidupan nyata, lantas apa yang
harus kita perbuat? Sudah saatnya, kita
yang merasa sebagai pendidik atau orang yang peduli pendidikan, mencari solusi
agar pendidikan benar-benar mampu mengantarkan anak didik menyiapkan diri guna
menghadapi masa depannya.
Ungkapan Michael Porter, profesor administrasi
bisnis di Harvard Business School, bahwa sebaiknya kita tidak hanya berpikir
tentang how to do, tetapi juga harus berpikir what to do, tampak relevan untuk direnungkan. Dalam pendidikan, kita tidak boleh hanya
memikirkan metoda pembelajaran yang cocok dengan anak kita, tetapi juga harus
berani mempertanyakan ”apakah materi
yang dipelajari anak-anak memang sudah tepat”.
Pengertian tepat untuk materi belajar, tentunya harus dikembalikan
pada filosofi belajar itu apa dan untuk apa anak harus belajar di sekolah. Kita juga perlu mempertanyakan apa yang
diharapkan orangtua saat mengirimkan anaknya untuk bersekolah. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar