Jujur saya baru faham apa yang dimaksud Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) dari penjelasan Prof. Nizam (Dirjen Dikti) beberapa hari lalu. Saat itu memang kami ngobrol santai bersama beberapa kawan, karena merasa kawan lama. Nah di pertemuan semacam reuni sambil makan siang itu terjadi dialog santai tetapi dapat masuk ke hal-hal yang substansial. Apalagi dalam pertemuan itu ada Pak Nuh, Pak Yazidi, Pak Kacung, Pak Kemi yang sama-sama pernah mengalami bagaimana mengembangkan gagasan di Senayan.
Dari dialog itu saya menyimpulkan sebenarnya MBKM itu penerapan konsep heutagogy di era flat education yang dipicu oleh revolusi industri 4.0. Dalam konsep heutagogy, siswa dan mahasiswa yang merancang kurikulum yang ingin dipelajari (individual based curriculum development). Jadi dalam MBKM diinginkan mahasiswa menentukan sendiri apa yang ingin dipelajari.
Bagaimana dengan prodi tempat kuliah? Misalnya, mahasiswa masuk ke prodi Teknik Mesin atau Matematika. Mahasiswa harus menentukan karier apa yang nanti akan ditekuni setelah lulus dengan ijazah S1 Teknik Mesin atau S1 Matematika. Nah berdasarkan pilihan karier itu, dapat diketahui bekal kemampuan apa yang diperlukan. Bekal kemampuan itu harus dipelajari dari matakuliah apa atau pengalaman kerja praktik apa atau bahkan pengalaman hidup seperti apa? Jawaban dari pertanyaan itulah yang menjadi dasar seseorang merancang kuirkulum bagi dirinya. Dengan demikian mahasiswa memperoleh bekal yang benar-benar cocok untuk karier yang diinginkan.
Memahami
itu, tampaknya masih banyak hal yang perlu dipersiapkan untuk dapat menerapkan
MBKM dengan baik. Pertama, si
mahasiswa harus dapat menentukan karier atau pekerjaan apa yang diinginkan
setelah lulus nanti. Misalnya lulusan S1 Teknik Mesin ingin berkarier dimana? Di industri (lazimnya di bagian produksi,
karena jarang yang industri yang memiliki R&D besar) atau ingin berkarier
di lembaga penelitian atau ingin berkarier di bidang bisnis permesian atau
bahkan ingin mendirikan UMKM bidang permesinan.
Memang semuanya berbasis Teknik Mesin, tetapi bekal untuk menekuni
beberapa jenis karier tersebut di atas memerlukan bekal yang tidak tepat sama.
Jika lulusan S1 Teknik Mesin berkarier di industri permesinan tentu tidak menjadi teknisi. Kalau toh mengawali sebagai teknisi tikdak akan lama. Mungkin akan segera menjadi foreman dan bahkan kepala divisi. Dengan demikian memerlukan bekal di luar ke-Teknik Mesin-an, misalnya bagaimana memimpin anak buah. Jika yang bersangkutan ingin mendirikan UMKM bidang permesinan, maka bekal “bisnis” tidak kalah penting, misalnya tentang keuangan-perbankan, marketing dan sebagainya.
Kedua, diperlukan penasehat akademik (PA) yang memahami berbagai jenis karier bagi mahasiswanya. Jika mahasiswa mengatakan ingin berkarier di bidang tertentu (misalnya mahasiswa S1/D4 Teknik Mesin ingin berkarier di bisnis permesinan), PA harus dapat menunjukkan matakuliah ini yang diambil, baik di prodinya sendiri atau di prodi lain (misalnya masalah keuangan yang ada di prodi Manajemen Fakultas Ekonomi) atau bahkan praktik di industri mana yang relevan.
Ketiga, kurikulum harus ditata ulang. Jika diasumsikan program S1/D4 terdiri 144 sks dan dalam MBKM memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk kuliah di luar prodi bahkan kerja praktik di industry selama semester senilai 40 sks, maka beban SKS yang tersisa 104 SKS. Jika dikurangi lagi beban SKS matakuliah umum, seperti Pancasila, Bahasa Indonesia dsb, misalnya 10 SKS, sehingga matakuliah pokok di prodi tinggal 94 SKS. Berarti bekal pokok tentang Teknik Mesin harus selesai dengan 94 SKS. Nah disini diperlukan kecerdasan sekaligus kearifan. Kecerdasan untuk menemukan materi esensial dan mendasar yanh harus dikuasai oleh lulusan S1 Teknik Mesin, kearifan diperlukan agar rela jika “bidang keahlian” kita tidak termasuk materi esensial, sehingga tidak menjadi matakuliah wajib bagi mahasiswa.
Ke-empat, di luar matakuliah wajib sebesar 94 sks tersebut, kurikulum program studi harus menyediakan sederet matakuliah pilihan, yang dapat dipilih oleh mahasiswa sesuai dengan karier yang diidamkan. Apakah perkuliahan matakuliah pilihan diselengarakan di prodi Teknik Mesin? Menurut saya tidak harus. Jika mahasiwa perlu menempuh matakuliah marketing, ya biarkan diambil di Fakultas Ekonomi. Atau bahkan boleh juga ditempuh melalui magang di perusahaan. Namun demikian harus ada dosen yang bertanggungjawab terhadap matakuliah tersebut, yang tugasnya mengarahkan kemana kemampuan marketing dapat dipelajari dan memantau bagaimana mahasiswa menempuhnya.
Jadi bahwa dalam MBKM mahasiswa punya kesempatan menempuh 40 SKS dimana saja, bukan berarti semau-maunya. Tetapi yang sesuai dengan kemampuan yang diperlukan guna menjalani karier yang telah dipilih. Harus dihindari mahasiswa menempuh matakuliah atau praktik industry “seketemunya” yang justru bertentangan dengan konsep heutagogy. Semoga.