Beberapa tahun lalu, pas mengunjungi anak sulung (Kiki) ke Edinburgh saya bertanya mengapa dia tidak mengambil S3. Toh S2-nya berhasil bagus dan sekarang bekerja di universitas. Jawabnya, pekerjaan sekarang tidak memerlukan pendidikan S3, karena bukan sebagai dosen. Jika mengambil S3 khawatir nanti malah over qualified. Ternyata di Inggris ada semacam pemahaman pekerjaan X memerlukan S3, pekerjaan Y cukup S2, pekerjaan Z cukup S1 dan seterusnya. Jika ada orang lulusan S3 dan melamar untuk pekerjaan Y akan ditolak karena over qualified, mungkin semacam “latar belakang pendidikan terlalu tinggi”. Ternyata pendidikan S3 itu hanya diperlukan oleh beberapa profesi yang umumnya terkait dengan riset, misalnya dosen, peneliti dan sejenis itu.
Saat itu saya bertanya lagi, mengapa begitu ya? Mengapa orang yang berpendidikan S3 tidak boleh melamar jenis pekerjaan Y? Bukankah ketika melamar sudah tahu posisi pekerjaan yang dilamar? Bukankah dengan melamar berarti yang bersangkutan sudah tahu kalau pekerjaan itu sebenarnya cukup dengan pendidikan S2? Kiki tidak dapat menjelaskan. Dia hanya mengira-ira, kalau yang lulusan S3 melamar untuk yang untuk S2 akan mengurangi peluang bagi yang lulusan S2. Nanti yang lulusan S2 melamar pekerjaan yang sebenarnya untuk lulusan S1 dan seterusnya, sehingga akan terjadi job bumping dan itu dimaknai sebagai pemborosan.
Lantas apa yang diperlukan untuk peningkaan karier seseorang? Bukankah ketika bekerja seseorang berharap kariernya naik? Ternyata rekam jejak (track record) pengalaman kerja. Apa yang pernah dikerjakan dan apa prestasi saat menangani pekerjaan tersebut. Mendengar jawaban itu saya jadi ingat John Rostron, orang Kanada yang malang melintang menjadi konsultas pendidikan di Indonesia dan bahkan sering menjadi team leader yang ternyata bukan doktor. Demikian pula Steward Weston, orang Inggris yang menjadi direktur program Prioritas bantuan USAID untuk pendidikan di Indonesia ternyata mantan kepala sekolah dan tidak punya gelar doktor. Waktu melamar menjadi konsultan di SSE-2 yang dibiayai oleh ADB dan konsultasn JSE-2 yang dibiayai oleh WB yang diminta juga CV bukan ijazah.
Tapi mengapa sekarang banyak pejabat di pemerintahan dan lembaga swasta yang menempuh S3? Tentu itu baik karena menambah pengetahuan. Namun muncul pertanyaan apakah pengetahuan yang dipelajari di S3 memang relevan betul dengan pekerjaan yang dijalani ya? Saya pernah punya mahasiswa S3 dari perwira Angkatan Laut dengan pangkat letnan kolonel, pejabat di Dinas Perhubungan, pejabat di Dinas Pendidikan dan bahkan pengusaha. Jujur saya tidak tahu persis apa motivasi mereka kuliah S3 di bidang Kependidikan. Ya mudah-mudahan, ilmu yang dipelajari selama kuliah bermanfaat untuk pekerjaannya.
Apakah itu tidak over qualified, seperti yang di Inggris? Jujur saya tidak tahu, karena di Indonesia istilah itu tidak dikenal. Bahkan saya pernah bertanya-tanya ketika tahu petugas teller di bank itu lulusan S1. Apakah memang diperlukan pengetahuan setingkat S1 untuk menjadi teller di sebuah bank? Teman-teman saya, karyawan di Unesa banyak yang menempuh S2 dan bahkan kepada BAUK saat ini berpendidikan S3. Demikian juga kalau kita lihat pejabat di kantor-kantor banyak yang S3 dengan berbagai program studi. Sepertinya sekarang ini studi S3 itu tidak terkait denga pekerjaan, mungkin jadi semacam gengsi atau mungkin juga ada dampak psikologis dalam meniti karier.
Saya juga bingung ketika banyak tokoh sekarang menjadi profesor. Sepanjang yang saya tahu profesor itu jabatan akademik dosen. Kalau memang beliau mengajar “beneran” di sebuah universitas sebagai dosen luar biasa, saya bisa mengerti. Namun kalau yang bersangkutan bukan dosen, tidak pernah mengajar dan tidak akan mengajar, saya bertanya apa perlunya memiliki jabatan akademik profesor? Saya tidak tahu bagaimana respons orang asing ketika tahu ada tokoh yang bukan dosen tetapi memiliki jabatan akademik profesor. Karena di negara lain, profesor itu artinya dosen. Makanya ada full profesor (setara dengan profesor di Indonesia), associate professor (setara dg lektor kepala) dan assistant professor (setara dengan lektor).
Saya juga bingung ketiak ada profesor riset. Apakah memang jabatan periset itu perlu profesor. Bukakah sudah ada istilah peneliti utama dan sebagainya. Kecuali kalau yang bersangkutan juga mengajar di sebuah universitas, sebagai dosen tamu. Di negara lain yang seperti itu disebut adjunct professor. Mungkin semacam dosen luar biasa atau dosen tamu. Partner penelitian saya di Bremen University tidak menyandang profesor, karena beliau peneliti, bukan dosen.
Pak Satryo Brojonegoro, saat menjadi Dirjen Dikti berpendapat profesor itu hanya digunakan di kampus. Walaupun beliau dosen Teknik Mesin ITB dan sudah profesor, kalau di Dikti tidak pernah memakai kata profesor di namanya. Itu sebabnya, semua pejabat di Dikti tidak pernah mencantumkan profesor di surat menyurat dan sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar