Pagi
tadi saya kaget ketika dapat kabar Prof Budi Darma wafat. Saya tahu, bahkan sedikit ikut mengurus
ketika almarhum masuk rumah sakit sekitar 2 minggu lalu. Beliau terkena covid
bersama ibu Budi Darma dan seorang putranya.
Putranya, Mas Hananto sudah sembuh dan pulang untuk perawatan di rumah. Beberapa hari kemudian Ibu Budi Darma juga
sudah dibolehkan pulang. Tinggal almarhum Prof Budi Darma. Kemarin saya
gembira, karena info dari rumah sakit kondisi beliau sangat baik. Tinggal batuk
yang belum sembuh. Namun tadi pagi dapat
kabar, kondisinya menurun. Kesadarannya menurun dan tekanan darahnya juga
menurun. Sudah dilaporkan ke dokter dan sudah mendapatkan terapi. Yang membuat
khawatir, penyampaikan data itu disertai permintaan kepada keluarga di rumah untuk
mendo’akan agar segera sembuh. Tiba-tiba sekitar jam 8-an ada kabar beliau
wafat. Kok cepat sekali.
Walaupun sesama pengajar di Unesa, saya tidak mendapat kesempatan berinteraksi intens dengan almarhum. Bidangnya yang sangat berbeda dan usianya juga terpaut lumayan. Saat saya menjadi dosen muda, beliau sudah menjadi rektor. Nah, saat saya akan studi S2 dan ada “halangan”, itulah pertama kali saya mengenal beliau. Saya harus menandatangani surat pernyataan setia kepada Pancasila, UUD 1945 dan Pemerintah Republik Indonesia, di depan beliau. Maklum mantan demonstran yang sempat dibui. Tanpa jaminan itu mungkin saya tidak diijinkan sekolah lagi. Saya merasa berhutang budi, karena almarhum mencarikan pintu agar saya dapat sekolah. Tanpa itu mungkin perjalan karier saya akan berbeda.
Walaupun
tidak sering, kalau pas bertemu saya sering ngobrol dengan beliau. Kesan saya,
almarhum sangat santun. Lebih sering menggunakan bahasa Jawa kromo, daripada
bahasa Indonesia. Walaupun “sastrawan besar” penampilan sehari-hari rapi. Orang
Jawa menyebutnya klimis. Rambutnya dipotong pendek dan disisir rapi. Ketika
para PNS diwajibkan memakai baju safar abu-abu, beliau juga memakainya.
Pokoknya kalau tidak mengenal, tidak mengira beliau itu sastrawan. Saya tidak tahu dan belum pernah mendapatkan penjelasan
mengapa begitu. Ketika baru pindah ke perumahan dosen di Kampus Ketintang dan
saat itu belum ada aliran PDAM ke perumahan, menurut cerita beliau sering mengambil
air ke Gema sendirian dengan membawa ember. Kesederhanaan hidup memang tampak
dalam diri almarhum.
Bagaimana tentang karya-karyanya? Baik novel maupun cerpen? Jujur otak saya terlalu tumpul untuk menangkap pesan dibalik novel maupun cerpennya. Saya tidak faham, sehingga tidak berani memberi komentar. Apakah saya pernah membaca? Pernah. Novel atau mungkin kumpulan cerpen berjudul Orang-orang Blomington, Olenka dan Nyonya Tarlis, pernah saya baca. Ya, karena tidak mampu menangkap pesan di dalamnya, sehingga serasa membaca cerita Api DI Bukit Menoreh karta SH Mintardja, saja.
Sastrawan besar itu telah pergi menghadap Sang Pencipta. Pasti banyak yang merasa kehilangan. Mahasiswa bimbingannya tentu bingung bagaimana nasib disertasi dan tesisnya. Teman-teman sesama sastrawan dan budayawan kehilangan kawan untuk berdiskusi. Unesa kehilangan icon besarnya. Namun demikian itulah siklus kehidupan, lahir, kanak-kanak, remaja, dewasa, tua dan akhirnya akan kembali ke Yang Menciptakan.
Selamat jalan Prof Budi Darma, semoga Allah swt memberi tempat terbaik bagi panjenengan.