Minggu malam lalu saya ikut FGD dengan teman-teman ISPI. Topik yang dibahas, meminjam
istilah Prof Waras, adalah me-reka pendidikan masa depan. Mencoba mengkonstrukti pendidikan yang yang
cocok dengan era disrupsi yang diprediksi akan terus terjadi, bahkan semakin
cepat. Salah satu yang presentasi adalah
Prof Ace Suryandi dari UPI. Data di
bawah ini adalah data yang dipaparkan.
Saya
mencoba mencermati data tersebut dan timbul pertanyaan: (a) mengapa semakin
tinggi pendidikan semakin sedikit yang bekerja secara mandiri dan berusaha
dengan dibantu pekerja keluarga? (kolom 3 dan 4) (b) mengapa semakin tinggi
pendidikan semakin besar proporsi yang menjadi pekerja? (kolom 6), (c) mengapa
proporsi lulusan SMK yang bekerja mandiri dan berusaha dibantu oleh pekerja
keluarga atau pekerja tetap lebih sedikir dibanding lulusan SMA? (3,4,5).
Mungkinkah ini sebagai akibat dari
pendidikan di jaman penjajahan Belanda karena konon saat itu pendidikan untuk
menyiapkan anak-anak menjadi karyawan, baik untuk pemerintah jajahan maupun
perusahaan. Atau ini akibat dari
pendidikan di era industri yang sering disebut diarahkan untuk menghasilkan
orang-orang untuk mendukung industri manifaktur yang kala itu menjadi
primadona.
Bukankah Undang-undang Sisdiknas menyebutkan bahwa
pendidikan bertujuan untuk menghasilkan manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab. Kreatif dan mandiri dua sifat yang belum berhasil kita tumbuhkan dalam
pendidikan kita. Bukankah Ki Hajar Dewantara mengatakan bahwa salah satu inti
pendidikan adalah memberdekaan peserta didik, baik lahir maupun batin. Artinya anak mampu mandiri dan tidak
tergatung kepada orang lain.
Nah, kalau filosofi dan Undang-undang mengamanatkan agar
pendidikan menghasilkan orang yang mandiri, sementara faktanya seperti tampak
pada tabel di atas, apakah berarti pendidika kita kurang berhasil? Jika demikian,
apa sebanya? Dan bagaimana memperbaikinya?
Mungkin sudah saatnya dikaji secara
mendalam untuk mencari penjelasannya.
Fenomena kedua yang menurut saya perlu mendapat
perhatian pada data tersebut adalah kenyataan bahwa lulusan SMK yang bekerja
secara mandiri dan bekerja dengan dibantu keluarga atau orang lain lebih kecil
dibanding temannya lulusan SMA. Data
lain konon menyebutkan jumlah pengangguran lulusan SMK lebih banyak dibanding
lulusan SMA. Lantas apa yang dapat dijelaskan
dari data data tersebut?
SMK dirancang untuk menghasilkan lulusan dapat segera
memasuki dunia kerja. Kebekerjaan
merupakan sasaran pendirian SMK. Artinya
lulusannya segera bekerja, baik bekerja ikut orang atau bekerja mandiri. Nah, kalau ternyata datanya seperti itu bagaimana
menjelaskan?
Ada kawan yang mengatakan, perusahaan lebih senang
memilih lulusan SMA dibanding lulusan SMK, karena lebih mudah diajari. Apakah lulusan SMA umumnya lebih cerdas,
karena beberapa penelitian menunjukkan lulusan SMP yang pandai umumnya masuk ke
SMA?
Namun mengapa yang bekerja mandiri juga banyak lulusan
SMA? Bukankah di SMK ada pendidikan
kewirausahaan yang secara khusus dimasuksudkan untuk mendorong lulusannya untuk
bekerja secara mandiri? Apakah program
ini juga kurang berhasil? Jika demikian
apa sebabnya? Tampaknya masih banyak hal
yang harus dipikirkan, dianalisis untuk menemukan solusinya. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar