Semester gasal tahun akademik 2021/2022 ini kebetulan saya mengajar S3 yang mahasiswanya sebagian besar dosen perguruan tinggi kedinasan. Ada dari Politeknik Penerbangan, Politeknik Pelayaran, Politeknik Kereta Api dan sebagainya. Nah, di sela-sela perkuliahan mereka bertanya bagaimana menerapkan kebijakan MBKM (Merdeka Belajar Kampus Merdeka) di perguruan tingginya. Bahkan ada mahasiswa mengangkat topik itu untuk makalahnya, sehingga terjadi diskusi yang sangat intens. Jujur saya senang namun tidak dapat memberikan masukkan secara maksimal, karena belum membaca naskah akademik MBKM sehingga tidak tahun filosofi/teori/konsep yang mendasari kebijakan tersebut. Yang dapat saya berikan hanya analisis saya berdasar informasi dari Pak Dirjen Dikti yang sudah pernah saya muat di blog ini.
Seperti yang pernah saya tulis di
blog ini, saya menduga (sekali lagi menduga karena belum pernah membaca naskah
akademik) kebijakan MBKM itu merupakan penerapan teori heutagogy yang diyakini
cocok dengan pola pekerjaan yang sangat cair dan cepat berubah di era ini, sehinggga
lulusan perguruan tinggi harus mampu cepat menyesuaikan diri. Jika meminjam istilah yang digunakan oleh Hase
& Davis (1999) mahasiswa harus mengembangkan capability dan bukan sekedar
competence.
Bagaimana teori heutagogy dikaitkan dengan kurikulum, Lisa Marie Blaschke (2012) menjelaskan dalam heutagogy mahasiswa difahami sebagai orang dewasa yang sudah tahu karier apa yang ingin ditekuni, sehingga dapat memilih bidang studi apa yang harus dipilih dan pengalaman belajar apa yang harus dijalani untuk memiliki kemampuan menekuni karier yang diinginkan. Tentu dengan bimbingan dosen penasehat akademik (DPA) atau supervisornya.
Gambar di atas menunjukkan siswa di
SD dan SMP difahami belum dewasa, belum menentukan karier apa yang ingin ditekuni
setelah dewasa, sehingga diterapkan prinsip pedagogy, yaitu semuanya ditentukan
oleh sekolah dan atau guru. Matapelajaran
dan bagaimana cara belajar semuanya diatur oleh sekolah dan guru, sehingga
siswa tinggal mengikutinya.
Andragogy memandang siswa atau
peserta didik sudah mulai tahu apa yang ingin dipelajari, apa yang sudah
diketahui dan apa yang diperlukan. Untuk konteks Indonesia, andragogy
diterapkan di jejang SLTA sehingga ada SMK dan ada SMA. Bahkan di SMA ada
jurusan IPA, IPS, Bahasa dan di SMK banyak jenis program keahlian. Namun demikian paket matapelajaran di dalam setiap
jenis sekolah, setiap jurusan atau program keahlian ditentukan oleh sekolah.
Heutagogy memandang mahasiwa sudah
menentukan karier yang ingin ditekuni, sudah tahu program studi ada yang harus
dimasuki dan matakuliah atau pengelaman belajar seperti apa yang diperlukan
untuk bekal menekuni karier di masa depan.
Oleh karena itu mahasiswa punya otonomi memilih matakuliah yang ingin
ditempuh. Pada masa lalu, ada makuliah
wajib, ada matakuliah pilihan. Nah, saya
menduga apa yang dimaksud dengan belajar di luar prodi sebanyak 40 SKS atau 2
sementer itu kira-kira mirip matakuliah pilihan tersebut. Bedanya dalam MBKM
matakuliah piliah tersebut dapat ditempuh di prodi lain,di perguruan tinggi
lain bahkan di industri atau di tempat lain on perguruan tinggi.
Bagaimana cara memilih matakuliah
atau pengalaman belajar sebesar 40 SKS tersebut? Tentu tidak boleh sembarangan tetapi harus
disesuaikan dengan bekal yang diperlukan untuk menekuni karier di masa depan. Dalam konteks inilah diperlukan pola bimbingan
yang baik dari pihak kampus. Dosen
pembimbing harus dapat mengarahkan matakuliah apa atau pengalaman belajar
dimana untuk mendapatkan bekal kemampuan tersebut.
Bagaimana dengan perguruan tinggi
kedinasan? Untuk membahasnya harus
didefinisikan dahulu apa perguruan tinggi kedinasan. Jika perguruan tinggi kedinasan dimaksudkan
untuk menyiapkan mahasiswa untuk pekerjaan (profesi tertentu) yang sudah jelas
dan diyakini peluang kerja di bidang tersebut memang tersebut, tidak oversupply
yang menyebabkan lulusan menganggur, maka perguruan tinggi kedinasan dapat
menyediakan seluruh pengalaman belajar bagi mahasiswanya. Sebagai contoh, Akademi
Militer menyiapkan mahasiswa menjadi perwira TNI AD yang sudah diketahui
kemampuan apa yang diperlukan. Semua
lulusan Akademi Militer dipastikan menjadi TNI AD dan tidak ada yang mencari pekerjaan
lain. Dengan demikian MBKM tidak perlu
diterapkan di Akademi Militer.
Mengapa? Karena para taruna sudah
memastikan akan menekuni karier sebagai perwira TNI AD dan Akademi Militer
sudah tahu pasti bekal apa yang diperlukan , termasuk kecabangannya. Misalnya Infantri, Zeni dan sebagainya.
Dalam diskusi dengan para mahasiswa
ternyata tidak semua perguruan tinggi kedinasan seperti Akademi Militer yang
memastikan semua lulusannya tertampung di institusi induk penyelenggaranya,
sehingga banyak lulusannya harus mencari pekerjaan sendiri. Nah, dalam kondisi seperti ini sebenarnya
dapat dipertanyakan apakah status “perguruan tinggi kedinasan” masih cocok disandangnya. Bukankah perguruan tinggi kedinasan didirikan
untuk menyiapkan lulusannya untuk pekerjaan tertentu di lingkungan induk
perguruan tinggi tersebut? Itulah sebabnya perguruan tinggi kedinasan dibawah
pembinaan Kementerian atau lembaga tertentu.
Kurikulumnya juga sangat spesifik karena diarahkan kepada jenis
pekerjaan tertentu.
Lantas bagaimana solusi bagi perguruan
tinggi kedinasan yang tidak menampung lulusannya untuk bekerja? Tidak mudah menjawabnya dan harus dibahas secara
kasus demi kasus. Mari kita ambil
contoh, prodi D-IV Penerbang yang menyiakan pilot di Politeknik Penerbangan
yang konon biayanya sangat mahal. Tentu tidak
tepat kalau lulusan prodi semacam itu bekerja di bidang non pilot, karena
menjadi sangat tidak efisien. Menurut
saya dalam kasus seperti itu MBKM tidak cocok, karena bekal yang diperlukan
sangat spesifik dan tidak ada lembaga di luar yang dapat memberikannya. Namun untuk prodi seperti ini keseimbangan
supply-demand harus dijaga untuk memastikan semua lulusannya mendapatkan
pekerjaan sesuai dengan prodi yang ditempuh. Namun jika prodinya lebih umum,
misalnya D4 Akutansi, MKBM dapat diterapkan karena banyak jenis pekerjaan yang cocok
untuk ditekuni bagi lulusan D-IV Akuntasi.
Dalam diskusi juga mucul bagaimana prodi yang sangat spesifik tetapi diperguruan tinggi umum, misalnya di Fakultas Kedokteran? Logikanya mahasiswa masuk Fakultas Kedokteran sudah memastikan diri akan menjadi dokter setelah lulus. Saya juga tidak tahu apakah ada lembaga lain di luar Fakultas Kedokteran dan rumah sakit yang cocok memberikan pengalaman bagi calon dokter. Oleh karena itu harus dipikirkan masak-masak jika ingin menerapkan konsep MBKM di Fakultas Kedokteran. Apalagi biaya perkuliahan di Fakultas Kedokteran sangat mahal, sehingga tidak efisien jika lulusannya kemudian banyak yang tidak bekerja sebagai dokter.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar