Tadi malam saya mendapatkan kirim video pidato Anwar Ibrahim di CT Crop Leadership Forum. Saya memutarnya beberapa kali, lebih dari tiga kali, karena jujur saya kagum. Memang beliau baru beberapa bulan menjadi Perdana Menteri sehingga belum tahu bagaimana implementasi dari apa yang disampaikan pidato tersebut. Namun kalau diingat bahwa Anwar Ibrahim sudah pernah menjadi menteri dan wakil perdana menteri, juga pernah menjadi pimpinan organisasi kepemudaan dan pimpinan organisasi politik, rasanya yang diucapkan itu berasal dari hatinya.
Mengapa saya kagum? Menurut saya pengetahuan Anwar Ibrahim sangat luas, mungkin melebihi pada akademisi di kampus kita. Beliau fasih berbicara tentang perdebatan Al Ghazali dengan Ibnu Rusyd, mengkritisi konsep Spengler tentang kemerosotan dunia Barat (the decline of the west), pemikian Fukuyama tentang akuntabilitas demokrasi dan sebagainya. Anwar Ibrahim sepertinya juga membaca tulisan tokoh dari Indonesia, karena menyebut Soekarno, Hatta, Natsir, Sutan Syahrir, Soedjatmoko dan sebagainya. Beliau juga menyebut buku Manusia Indonesia yg ditulis Mochtar Lubis dan puisi Taufiq Ismail yang berjudul Aku Malu Jadi Orang Indonesia. Semua itu disampaikan dengan mengalir tanpa teks, sehingga dapat diduga itu semua sudah dikuasainya.
Beberapa hal-hal penting yang dapat saya catat. Pertama, perhatian beliau terhadap demokrasi dan keadilan yang substantial. Bukan di permukaan. Anwar Ibrahim mengatakan demokrasi itu harus akuntabel. Pemilu tidak hanya dilihat dari kertelaksanaan, tetapi harus dapat dipertanggungjawabkan apakah yang orang yang terpilih itu benar terpilih dengan cara yang benar dan apakah setelah terpilih benar-benar mengemban amanah rakyat pemilihnya. Walaupun tidak menyebutkan, tampaknya Ibrahim menengarai selama ini ada pemilu yang tidak jujur dan suara dapat “dibeli”, sehingga yang terpilih sebenarnya bukanlah yang dikendaki oleh rakyat banyak. Akhirnya setelah terpilih juga tidak mengemban amanah rakyat.
Berkali-kali Anwar Ibrahim menyampaikan bahwa pembangunan politik dan ekonomi ujungnya adalah keadilan sosial. Pertumbuhan itu penting tetapi jika tidak disertai dengan keadilan justru akan menimbulkan kesenjangan dan jika itu terjadi sebenarnya tidak sesuai dengan tujuan bernegara. Anwar juga menyebutkan tidak setuju jika semua hanya dilihat dari data statistik. Diberikan contoh, bahwa orang bangga karena angka kemiskinan tinggal 15% tanpa melhat apa di dalam 15% itu. Coba kita berada di kelompok yang 15% itu, pasti akan memberikan simpulan yang berbeda.
Kedua, beliau sangat memperhatikan kemanusiaan (humanity) dan kerendahhatian (humility). Ketika menyinggung saat di penjara, beliau mengataan penderitaan yang dialami dalam penjara itu relatif lebih ringan dibanding yang dirasakan rakyat banyak. Memang mereka tidak dipenjara tetapi kemiskinan yang dialami mereka menyebabkan tidak dapat makan secara baik, dan anak-anak mereka tidak dapat memperoleh pendidikan yang baik.
Mengutip Eliot, Anwar Ibrahim mengatakan
bahwa kerendahhatian tidak pernah berhenti (humility is endless). Mengambil contoh bagaimana seorang pejabat
juga harus merasa tidak tahu semua hal, sehingga harus mau mendengar pendapat
dan nasehat dari orang lain. Beliau memberi contoh bagaimana merasa mendapat
pengetahuan saat Presiden Jokowi menyampaikan konsep hilirisasi dan penguatan UMKM. Walaupun telah membaca sangat banyak buku, Anwar
merasa mendapat pengetahuan baru dari Pak Jokowi. Anwar Ibrahim mengundang
teman-teman untuk memberi nasehat apa yang sebaiknya dilakukan sebagai perdana Menteri.
Ketiga, Anwar Ibrahim ternyata sangat faham tentang konsep dasar pendidikan. Dia mengingatkan spesialisasi memang penting, tetapi jangan sampai melupakan konsep dasar pendidikan yang utuh yang tujuannya untuk meningkatkan martabat manusia. Pendidikan harus dapat menumbuhkan kemanusian (humanity), kasih sayang kpd orang lain (compassion), dan prinsip-prinsip keadilan (principle of justice).
Anwar Ibrahim juga menyebutkan pentingnya kemampuan berpikir kritis (critical thinking) dalam pendidikan. Dengan ilustrasi perdebatan antara Al Ghazali dan Ibnu Rusyd, bagaimana sebarusnya orang Islam berpikir kritis. Jika mengutip Al Qur’an harus jelas surat apa, ayat berapa dan apa maknanya. Jika mengutip hadits harus jelas sanatnya dan sebagainya. Dengan begitu orang tidak mudah terperangkat dalam pemahaman sempit yang kemudian menjadi ekstrim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar