SILN (Sekolah Indonesia di Luar Negeri) adalah “sekolah negeri” atau sekolah milik pemerintah yang berada di luar negeri untuk memberi kesempatan anak-anak Indonesia yang ikut orangtuanya tinggal di luar negeri. Salah satunya di Makkah, sehingga dalam sehari-hari disebut SIM (Sekolah Indonesia Makkah). Di Saudi Arabia ada tiga SILN yaitu SIM, SIJ (Sekolah Indonesia di Jeddah) dan SIR (Sekolah Indonesia di Riyadh).
Sebagaimana saya tuliskan sebelumnya, saya berkesempatan melakukan akreditasi ke SIM dengan Pak Abdul Malik, khususnya untuk jenjang SMA. Sebenarnya dua tahun lalu saya sudah pernah melakukan akreditasi ke SIM tetapi dilakukan secara daring, karena waktu itu sedang terjadi pandemi covid 19. Tahun lalu dijadwalkan lagi tetapi karena sesuatu hal tidak terlaksana dan baru tahun ini terlaksana. Pelaksanaannya pada bulan Ramadhan, sehingga teman-teman berkomentar “pas sekali, karena dapat kesempatan umrah juga di bulan Ramadhan”.
Sebagaimana seharusnya, sebelum berangkat saya sudah membaca data-data tentang SIM, khususnya SMA. Apalagi sudah melakukan akreditasi secara daring dua tahun lalu. Namun begitu sampai di Makkah dan diskusi dengan para pimpinan sekolah, guru, siswa dan wali murid saya jadi sangat terkesan, karena SIM didirikan dengan penuh perjuangan. Oleh karena itu, secara kelakar saya menyebut “seharusnya SIM ditambah huruf P di belakangnya, sehingga menjadi SIMP, kependekan dari Sekolah Indonesia Makkah Perjuangan”.
Mengapa demikian? Ternyata SIM apa awalnya didirikan oleh komunitas masyarakat Indonesia yang tinggal di Makkah, dengan lembaga Ma’arif. Bukan oleh Pemerintah Indonesia seperti SILN pada umumnya. Pendirinya Ma’arif, tetapi secara organisasi bukan merupakan bagian dari Ma’arif yang ada di Indonesia. Mungkin secara pribadi, para pengurus Ma’arif pendiri SIM tersebut juga warga NU, tetapi secara organisasi Ma’arif Makkah tersebut berdiri sendiri. Komunitas orang Indonesia yang merasa anak-anaknya harus sekolah, sementara tidak mudah untuk bersekolah di sekolah lokal, membuat mereka bertekad mendirikan “sekolah Indonesia”/
Pak Sinsin, salah satu guru senior dan pendiri SIM menceritakan bagaimana perjuangan awal pendirian SIM. Bahkan sempat “ditangkap” oleh pihak keamanan di Makkah karena dicurigai. Dalam perkembangannya Ma’arif Makkah kerepotan mengurus SIM dan diserahkan kepada Pemerintah. Oleh karena itu saat ini SIM menjadi “SILN” sebagaimana SILN SILN lainnya.
Berbeda dengan SILN di negara lain yang biasanya menjadi tempat sekolah anak-anak para diplomat atau ekspatriat Indonesia, SIM dan konon juga SIJ dan SIR merupakan tempat anak-anak TKI (tenaga kerja Indonesia) yang berkerja di Saudi Arabia. Nah karena sebagian besar TKI bukankah tenaga profesional dengan gaji besar sebagaimana ekspatriat, maka SIM tidak dapat menggantungkan keuangan dari hanya sumbangan orangtua siswa. Mungkin itu juga yang menyebabkan Ma’arif Makkah akhirnya menyerahkan SIM ke Pemerintah.
Sebagai kota suci, di Makkah ada peraturan khusus yang sangat ketat, sehingga pengelolaan SIM tidak dapat dilakukan secara leluasa dan itulah tantangan Pemerintah Indonesia. Beberapa aturan yang harus dipecahkan antara lainL Pertama, di kota Makkah tidak boleh ada sekolah negeri dari negara lain. Oleh karena itu secara hukum Saudi Arabia, SIM merupakan “sekolah swasta” dan karena itu “dibawah pembinaan sekolah swasta lokal”. Jadi SIM memiliki “induk” sekolah negeri lokal dan untuk itu harus membayar cukup besar kepada sekolah induknya. Selain itu sebagai sekolah swasta, SIM diawasi secara ketat oleh “Dinas Pendidikan setempat”. Pada saat kami datang, SIM belum dapat melaksanakan pembelajaran luring karena baru menambah ruangan dan menurut inspeksi “Dinas Pendidikan setempat” beberapa ruang harus dicat kembali dahulu sebelum melaksanakan pembelajaran luring. Siswa lak-laki dan perempuan juga harus dipisah, sehingga SIM memiliki “dua gedung”, walaupun “menempel” satu dengan lainnya. Guru laki2 tidak boleh mengajar siswa perempuan dan juga sebaliknya.
Karena diserahkan ke Pemerintah, maka di mata Pemerintah Indonesia SIM adalah SILN (sekolah negeri) sebagaimana SILN lainnya. Namun karena secara formal tidak boleh SILN di Makkah, maka SIM seakan-akan menjadi bagian dari SIJ. Kepala sekolahnya juga dirangkap oleh kepala sekolah SIJ (Sutikno, SPd, MPd). Namun karena jarak Makkah-Jeddah cukup jauh, sehingga tidak mungkin Pak Sutikno bolak-balik Jeddah-Makkah, maka sehari-hari yang menjadi “kepala SIM” adalah Pak Mubarak, LC dan secara formal disebut wakil kepala sekolah senior, karena di bawah Pak Mubarak ada wakil kepala sekolah seperti lazimnya di Indonesia. Jadi manajemen di SIM sangat khas. Sehari-hari dikelola secara otonom oleh manajemen dibawah kepemimpinan Pak Mubarak, secara hukum Saudi Arabia dibawah naungan sekolah lokal dan punya kepala sekolah dirangkap kepala sekolah induknya, dan secara hukum Indonesia merupakan bagian SIJ dan kepala sekolahnya dirangkap oleh kepala SIJ.
Akibat dari kebijakan Pemerintah Arab Saudi tersebut, sampai saat ini SIM tidak punya guru negeri sebagaimana SILN lainnya. Memang saat ini ada dua orang tetapi status resminya guru SIJ yang diperbantukan di SIM. Guru lainnya semua “guru tetap SIM” semacam “guru tetap Yayasan” di sekolah swasta di Indonesia. Oleh karena itu, SIM memerlukan biaya operasional cukup besar untuk menggaji guru. Apalagi jumlah siswa per rombel kecil, akibat siswa laki-laki dan perempuan harus dipisah.
Kedua, di kota suci Makkah tidak diijinkan pemerintah negara lain memiliki properti. Akibatnya sampai saat ini SIM tidak memilki gedung sendiri. Gedung yang digunakan merupakan sewa dan sangat mungkin suatu saat tidak dapat diperpanjang. Nah, gedung yang disewakan umumnya gedung yang dirancang untuk perumahan (apartmen), sehingga ukuran ruangannya kecil-kecil. Untungnya jumlah setiap rombel di SIM sedikit, maksimal 11 orang, sehingga ruang dengan ukuran sekitar 4 x 4 m masih memadai untuk ruang kelas.
Gedung SIM yang saat ini digunakan tidak memiliki halaman, sedangkan aturan di Makkah siswa tidak boleh berada di luar sekolah. Akibatnya siswa tidak memiliki lapangan untuk olahraga, upacara dan acara sejenisnya. Semua kegiatan seperti itu terpaksa di lakukan di lantai basement yang tentu luasnya sangat terbatas.
Dua masalah pokok tersebut yang dicarikan jalan keluar, agar siswa di SIM dapat belajar secara optimal sebagaimana SILN di negara lain. Saat bertemu dan berdiskusi dengan Duta Besar RI untuk Saudi Arabia, Sekjen Kemdikbud, Sekjen Kemlu dan Sekretaris Utama KemSesneg, kami sampaikan bahwa cara-cara tradisional (formal) tampaknya sulit dan harus dicari terobosan khusus. Mengapa demikian? Pendidikan adalah hak setiap anak bangsa, termasuk anak-anak Indonesia yang berada di Makkah. Mereka pada umumnya berasal dari keluarga menengah ke bawah, sehingga tidak dapat mengatasinya secara individual. Oleh karena itu kehadiran negara menjadi tumpuan bagi mereka. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar