Beberapa hari lalu, sebuah stasiun radio di Surabaya mendiskuasikan PPDB (Penerimaan Peserta DIdik Baru) dengan sistem zonasi yang tahun ini banyak menimbulkan masalah di berbagai daerah. Banyak orangtua yang protes karena anaknya tidak diterima, pada hal merasa sekolahnya dekat dengan sekolah yang dituju. Yang diterima justru anak dari yang rumahnya lebih jauh dari sekolah. Di tivi bahkan ditunjukkan adanya orang yang membawa meteran untuk mengukur jarak rumahnya dengan sekolah. Mungkin untuk mendramatisasi bahwa rumahnya hanya beberapa meter dari sekolah tetapi anaknya tidak diterima.
Dari berbagai informasi kemudian diketahui bahwa banyak orang tua yang “kreatif”. Karena jarak antara rumah dan sekolah menjadi pertimbangan utama diterima-tidaknya dalam PPDB, mereka mencari akal agar “jarak rumahnya dengan sekolah dekat”. Karena tidak mungkin memindah rumah, maka yang mungkin memindah alamat. Karena tidak mudah memindah alamat seluruh keluarga, maka yang lebih mudah memindah alamat si anak, dengan cara menitipkan anaknya ke keluarga atau teman yang dekat dengan sekolah yang dituju, walaupun dalam kehidupan sehari-hari sebenarnta anak tersebut tetap tinggal di rumah aslinya. Muncullah istilah “titip alamat”.
Beberapa hari kemudian stasiun radio yang sama mendiskusikan mengapa banyak SD negeri tidak mendapatkan siswa baru, pada hal gratis. Sementara SD swasta yang lokasinya tidak jauh dari situ tetap mendapatkan siswa baru bahkan beberapa diantaranya menolak pendaftar, walaupun mereka menarik SPP cukup mahal. Ketika dibuka tanggapan dari pendengar, ternyata muncul pendapat yang berbeda apakah memilih sekolah negeri atau swasta. Ada yang mengutamakan sekolah negeri karena gratis dengan catatan mutunya baik. Ada yang mengutamakan mutu walaupun harus membayar. Negeri swasta tidak menjadi pertimbangan.
Merenungi kedua diskusi di radio itu sungguh menarik. Ketika belum ada sistem zonasi dan saat itu masih ada UN (ujian nasional), sekolah negeri yang mutunya bagus menjadi rebutan. Bahwa orang tua rela menyumbang sekolah dengan nilai cukup besar agar anaknya diterima. Ketika sumbangan seperti itu dilarang, banyak sekolah yang kreatif. Yang menerima sumbangan bukan sekolah tetapi Komite Sekolah (organisasi persatuan orangtua siswa). Nanti Komite yang membelikan sesuatu atau mengadakan acara tertentu untuk sekolah.
Sekolah swasta lebih bebas menarik sumbangan. Jadi umumnya sekolah swasta yang mutunya bagus menarik sumbangan yang cukup besar dan toh tetap saja pendaftaranya banyak. Sementara sekolah swasta yang kurang bermutu seringkali kesulitan mendapatkan siswa, walaupun SPP-nya rendah. Sekolah seperti itu yang protes ketika sekolah negeri menambah kuota siswa baru karena dianggap “mengambil” peluangnya.
Apa yang sebenanya terjadi? Menurut saya fenomena tersebut menunjukkan adanya gejala segmentasi masyarakat dalam memilih sekolah bagi anaknya, seperti pada gambar berikut.
Orangtua yang sangat penduli pada pendidikan anaknya akan berusaha mencari sekolah yang diyakini baik, demi masa depan anaknya. Negeri atau swasta tidak penting. Bagi yang kaya, mereka akan memilih sekolah “terbaik” walaupun harus membayar mahal. Di di daerah tempat tinggalnya sekolah yang diinginkan tidak ada, mereka akan mengirim anaknya ke daerah lain atau bahkan ke luar negeri. Itulah, mengapa banyak orangtua yang menyekolahkan anaknya di kota lain atau di negara lain.
Bagi mereka yang ekonominya terbatas tetapi peduli pendidikan anaknya, mereka akan berusaha memasukkan ke sekolah negeri yang mutunya baik, karena gratis. Jika itu tidak mungkin mereka akan mencari sekolah swasta yang mutunya cukup baik, dan SPP-nya terjangkau.
Orangtua yang kaya tetapi kurang peduli pada mutu pendidikan, biasanya memilih menyekolahkan anaknya ke sekolah favorit atau sekolah yang bergengsi. Negeri swasta tidak penting. Membayar mahal juga tidak masalah, toh ada uang untuk itu. Orangtua yang secara ekonomi kurang baik dan juga tidak peduli pada pendidikan, akan mengirim anaknya ke sekolah terdekat yang gratis atau murah. Yang penting anaknya bersekolah, mutunya tidak penting.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar