Minggu lalu saya diwawancarai wartawan detik.com tentang penghapusan penjurusan di SMA. Saya belum membaca Pemendikbudristek tentang itu dan juga belum membaca naskah akademik (kalau ada) sebagai landasan kebijakan tersebut. Oleh karena itu, saya menyampaikan pendapat saya berdasarkan rasional saya, referensi yang pernah saya baca dan pengamatan di beberapa negara lain. Berikut apa yang saya sampaikan kepada Mbak Esti, wartawan detik.com.
Pada dasarnya SMA itu persiapan masuk ke
perguruan tinggi. Penjelasan pasal 15 UU Sisdiknas menyebutkan “pendidikan umum merupakan pendidikan dasar dan menengah
yang mengutamakan perluasan pengetahuan yang diperlukan oleh peserta didik
untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi”. Walapun kenyataannya, ada bahkan cukup banyak
lulusan SMA yang langsung bekerja setelah lulus. Sebaliknya SMK yang
pada dasarnya dipersiapkan untuk memasuki dunia kerja, juga ada yang
melanjutkan kuliah di perguruan tinggi.
Mungkin karena di penjelasan pasal 15 UU Sisdiknas disebutkan “pendidikan kejuruan merupakan pendidikan menengah yang
mempersiapkan peserta didik terutama untuk bekerja dalam bidang
tertentu. Mungkin kata “terutama”
yang menjadi landasannya.
Karena
untuk persiapan masuk ke perguruan tinggi, maka sebaiknya apa yang dipelajari
di SMA disesuaikan dengan jurusan atau program studi yang akan dimasuki
besuk. Bekal untuk kuliah di Fakultas
Kedokteran tentu berbeda dengan bekal untuk masuk ke program studi Teknik
Elektro dan berbeda pula dengan bekal untuk masuk ke program studi Teknil
Informatika. Walaupun ketiganya selama ini dikhususkan bagi mereka lulusan SMA
IPA. Masuk program studi Akutansi tentu
berbeda dengan bekal masuk ke program studi Komunikasi dan berbeda pula dengan
bekal untuk masuk ke program studi Psikologi, walaupun ketiganya seakan-akan
disediakan bagi lulusan SMA.
Sekitar 6 tahun lalu ada kemenakan saya mengalami nasib
kurang baik. Dia menempuh SMA di Asutralia karena ikut ibunya yang sedang
menempuh S3 di sana. Karena ingin
mengikuti jejak ibunya menjadi dokter, maka ketika di SMA di Australia dia mengambail
stream Life Science, yang lebih banyak belajar Biologi dan Kimia. Sebenarnya juga belajar Matematika dan
Fisika, tetapi tidak sebanyak temannya akan kuliah di Teknik Mesin. Nah ketika pulang ke Indonesia dan harus ikut
tes masuk ke perguruan tinggi, dia kesulitan mengerjakan soal-soal Matematika
dan Fisika, sehingga gagal masuk Fakultas Kedokteran PTN. Walapun akhirnya dia dapat masuk Fakultas Kedokteran
PTS dan sekarang sudah menjadi dokter dan peneliti bidang kedokteran dengan
rekannya dari Eropa. Artinya dia cukup
pandai, hanya saja bekal yang dipelajari di SMA di Australia tidak cocok dengan
tes masuk PTN di Indonesia.
Apa
hubungan cerita di atas dengan penghapusan penjurusan di SMA? Di beberapa negara, salah satunya Australia,
siswa SMA (bisanya disebut Kelas dan 11 dan 12) sudah dapat memutuskan akan
mengambil program studi apa ketika kuliah. Kok siswa SMA sudah dapat memilih program
studi di kuliah? Karena di negara tersebut,
sejak di SMP bahkan di SD siswa sudah dipandu untuk mengetahui potensi dirinya
masing-masing sebagai landasan untuk memilih profesi yang nanti akan ditekuni,
melalui bekal kuliah di perguruan tinggi.
Jadi
apakah artinya penghapusan penjurusan di SMA itu sudah betul? Nanti dulu.
Jawabannya tidak sederhana itu. Secara konsep menurut saya cocok, karena konon
dengan dihapusnya jurusan IPA, IPS dan Bahasa, siswa dapat memilih
matapelajaran yang sesuai dengan bekal yang diperlukan untuk kuliah di
perguruan tinggi. Pertanyaannya, apakah
siswa di Indonesia sudah tahu bahkan dapat memastikan progran studi apa yang ditekuni
di perguruan tinggi. Apakah guru dapat
memandu siswanya bagaimana mengenal potensi diri dan kemudian memilih program
studi yang sesuai.
Sepanjang
pengamatan saya, banyak siswa SMA belum tahu akan melanjutkan atau bekerja
setelah lulus. Mereka yang akan
melanjutkan seringkali juga belum tahu akan memilih program studi apa. Jadi ketika penghapusan jurusan di SMA
dilakukan secara mendadak sangat mungkin siswa SMA akan menghadapi
kesulitan. Sebaiknya kebijakan tersebut
didahului dengan persiapan yang cukup, antara menumbuhkan kemampuan siswa mengenali
potensi dirinya agar pada saatnya dapat memilih program studi saat di SMA. Demikian guru memerlukan pelatihan bagaimana
memandu siswanya.
Bagaimana
dengan tes masuk ke perguruan tinggi?
Tentu ketika penjurusan di SMA di hapus, tes masuk perguruan tinggi juga
harus diubah berdasarkan program studi yang dibuka. Idealnya masing-masing program studi memiliki
tes sendiri. Paling tidak, jika tesnya terpaksa menjadi satu, bobot setiap butir
harus dibedakan dikaitkan program studi yang dipilih calon mahasiswa.