Untuk memudahkan memahami filosofi
dasar pendidikannya, Ki Hajar Dewantara (2004) membuat metapora bahwa petani
yang menanam padi tidak dapat panen jagung. Padi akan tumbuh sebagai padi dan
berbuah padi, bukan jagung. Tugas petani adalah mengairi, memupuk dan menyiangi
padi yang ditanam agar tumbuh subur dan berbuah bagus. Metapora tersebut untuk menggambarkan bahwa
bahwa anak-anak hidup dan tumbuh sesuai kodratnya sendiri. Tugas pendidikan
merawat dan menuntun berkembangnya kodrat tersebut. Artinya anak terlahir dengan potensinya
masing-masing dan itulah yang seharusnya dikembangkan dalam pendidikan, karena
hanya dengan cara itu anak mencapai prestasi puncaknya. Bukan sebaliknya, anak dipaksa untuk
mempelajari atau mengembangkan kemampuan yang bukan menjadi potensinya.
Potensi yang dimiliki anak
tersebut seringkali disebut kodrat alam, dan bagaimana mendidik anak yang tepat
seringkali disebut kodrat jaman. Jadi
menurut konsep Ki Hajar Dewantara, pendidikan itu harus memperhatikan kodrat
alam dan kodrat jaman. Terkait dengan
kodrat jaman, Ali bin Abi Thalib yang hidup 1.800 tahun lalu berperan “didiklah
anakmu dengan jamannya, karena mereka tidak hidup di jamanmu. Sepertinya Ali bin Abi Thalib meyakini bahwa
jaman terus berubah, sehingga situasi yang dihadapi anak akan berbeda dengan
yang dihadapi orangtuanya. Kata “jamannya” harus dimaknai apa yang dipelajari
(konten) dan juga bagaimana pembelajaran yang tepat.
Potensi itu merupakan
sesuatu yang terpendam dan baru muncul menjadi kemampuan nyata ketika
dikembangkan. Pengembangan potensi itulah sebenarnya fungsi dasar pendidikan.
Potensi atau sering disebut bakat itu semacam gambar buram (remang-remang),
dapat dikenali tetapi tidak tampak jelas dan akan tampak jelas jika ditebali. Gambar yang tampak jelas itulah kemampuan
nyata yang dikuasai seseorang. Tugas pendidikan adalah menebali gambar buram
tersebut, khususnya yang diyakini “baik” dan membiarkan gambar buram tetap
buram, jika potensi itu diyakini tidak baik atau katakanlah tidak sesuai dengan
norma-norma kehidupan. Dengan kata lain,
tugas pendidikan adalah memupuk bakat yang “baik” sehingga menjadi kemampuan
nyata dan berguna dalam kehidupan dan membiarkan bakat yang “tidak baik”
sehingga tidak tumbuh menjadi perilaku dalam kehidupan.
Pemikiran seperti pula yang
melandasi uangkapan Chua-Lim Yen Ching (2023) dari Kementerian Pendidikan
Singapore, yang mengatakan bahwa education helps children to be the
best they can be. Menurut Chua,
pendidikan harus membantu anak-anak menjadi yang terbaik sesuai dengan
potensinya. Anak akan memiliki kemampuan terbaik jika dipandu untuk
mengembangkan potensi yang dimilikinya dan dengan cara-cara yang tepat pula. Oleh karena itu sekolah dan guru seharusnya
mengenali potensi setiap siswanya, sehingga dapat mengarahkan dan memandu untuk
mengembangkannya.
Bahwa potensi atau sering
disebut bakat (aptitude) berkontribusi besar dalam pencapaian hasil
belajar, sudah dibuktikan dalam penelitian John Hettie (2009). Dalam penelitiannya, John Hattie menyimpulkan
bahwa potensi siswa (nature) memiliki kontribusi 49% terhadap hasil
belajar siswa, sedangkah proses pendidikan (nuture) berkontribusi 51%,
seperti tampak pada Gambar 1.2. Seseorang
akan mencapai kemampuan terbaik, jika potensi (nature) bertemu dengan nuture
(pembelajaran) yang tepat. Jika siswa
diminta mempelajari sesuatu yang bukan potensinya, walaupun proses pembelajaran
berjalan sempurna, yang bersangkutan hanya akan mencapai prestasi 51% dari
prestasi idealnya. Sebaliknya jika cara pendidikan yang diterapkan tidak tepat,
maka anak tidak akan mencapai prestasi puncaknya.
Perlu
dicatat bahwa bakat bukanlah sesuatu yang . Gardner (di dalam Julita,
2024) menyebutkan bahwa ada sembilan bakat (digunakan istilah intelligence),
yaitu (1) logical-mathematical, (2) existential, (3) interpersonal, (4)
bodily-kinesthetic, (5) linguistic, (6) intra-personal, (7) spatial, (8)
naturalist, dan (9) musical, seperti tampak pada Gambar 4. Seseorang
mungkin saja memiliki beberapa bakat, misalnya memiliki bakat logical-mathematical
dan musical, sehingga yang berangkutan hebat dalam bidang sains dan juga
pandai menyanyi. Di samping itu, ukuran
bakat bukanlah punya atau tidak punya, tetapi seberapa besar. Bagaimana memilih bakat yang terbesar untuk
dikembangkan menjadi tugas pendidikan.
Filosofi tentang pentingnya
mengembangkan potensi atau bakat anak dalam pendidikan tersebut, sampai saat
ini banyak dilupakan oleh pendidik dan bahkan oleh pengambil kebijakan
pendidikan. Banyak praktik pendidikan
yang meminta semua siswa mempelajari materi (pokok bahasan) yang sama, bahkan
seringkali dengan cara belajar yang sama, karena pembelajaran dijalankan secara
klasikal. Di akhir pelajaran atau akhir
pokok bahasan semua siswa juga diuji dengan tes yang sama. Siswa yag tidak
mencapai kriteria ketuntasan minimal (KKM) diharuskan mengikuti remidial dengan
berbagai cara. Pada hal mungkin saja
capaian belajar yang tidak mencapai KKM karena siswa tidak memiliki potensi
yang terkait dengan materi yang dipelajari. Orang sering mengatakan pola tersebut dengan
istilah one size for all (satu ukuran untuk semua siswa).
Kondisi tersebut diperparah
oleh ego guru. Setiap guru menganggap
matapelajaran yang diampu sangat penting, sehingga siswa diminta mempelajari
dan mengusainya dengan baik. Guru
Matematika meminta semua siswa menguasai materi Matematika dengan baik. Guru
bahasa Inggris meminta semua siswa menguasai bahasa Inggris dengan baik. Guru
Sejarah meminta semua siswa menguasai materi ajar Sejarah dengan baik. Akhirnya, semua siswa harus mengusasi materi
ajar seluruh matapelajaran.
Fenomena tersebut juga
terjadi di tingkat perguruan tinggi dan kadang-kadang lebih serius. Setiap
dosen berpikir matakuliahnya sangat penting dan meminta mahasiswa mendalaminya.
Bahkan dosen yang baru pulang studi S3 dan ketika studi S3 itu melakukan
penelitian tertentu, kemudian meyakini apa yang diteliti sangat penting dan
meminta mahasiswa mempelajari dan menguasainya. Tidak peduli apakah materi
penelitian itu relevan apa tidak dengan keahlian yang sedang ingin ditekuni
mahasiswa.
Kritik terhadap pola
pembelajaran tersebut sudah sering muncul, seperti tampak pada Gambar 1.4. Kritik
tersebut bernada kelakar dengan menggambarkan adanya monyet, gajah, anjing dan
ikan mengikuti pelajaran. Di akhir pelajaran mereka diberitahu oleh sang guru
untuk mengikuti ujian berenang. Tentu
kita dapat membayangkan siapa yang akan memperoleh nilai tertinggi dan juga dapat
membayangkan apakah gajah, monyet dan anjing dapat mencapai KKM. Sebaliknya jika ujiannya memanjat pohon tentulah
monyet yang akan memperoleh nilai tertinggi dan sebaliknya timbul pertanyaan
bagaimana dengan gajah, anjing dan ikan dapat mengikuti pelajaran memanjat. Walaupun kritik tersebut tentu bentuk
dramatisasi, tetapi perlu direnungkan oleh kaum pendidik, khususnya para
pengambil kebijakan pendidikan.
Di samping memiliki potensi
yang berbeda-beda, sangat mungkin siswa juga memiliki gaya berlajar (learning
style) yang berbeda pula dan ternyata itu berpengaruh terhadap proses
pembelajaran. Banyak ahli yang membahas tentang gaya belajar dan kaitannya
dengan proses yang pembelajaran (Jaleel dan Thomas, 2019). Secara sederhana ada empat gaya belajar
siswa, yaitu visual, auditory, kinesthetic dan reading & writing,
seperti tampak pada Gambar 1.5. Siswa
akan menikmati pembelajaran jika prosesnya sesuai dengan gaya belajarnya. Misalnya
siswa yang memiliki gaya belajar kinesthetic akan menikmati pembelajaran
yang dilakukan dengan learning by doing atau hands on. Siswa yang memiliki gaya belajar auditory
sangat sedang mendengarkan penjelasan orang lain. Jika siswa menikmati proses
pembelajaran, maka dia akan mengerahkan segala kemampuannya sehingga berpotensi
untuk prestasi optimal.
Dengan demikian proses
pendidikan seharusnya memperhatikan potensi anak sekaligus gaya
belajarnya. Karena setiap anak memiliki
potensi yang berbeda-beda dan juga memiliki gaya belajar yang berbeda-beda, maka
seharusnya kita menerapkan kurikulum berdiferensiasi (personalized
curriculum) dimana siswa mendapat kesempatan mempelajari sesuatu yang
sesuai dengan bakat atau potensinya, dengan cara belajar yany sesuai dengan
gaya belajarnya (personalized learning). Dengan demkian proses
pendidikan benar-benar dapat mempertemukan bakat (nature) dan cara
belajar (nuture) yang tepat.
Yang disebut kurikulum
bukanlah sekedar daftar matapelajaran dan daftar pokok bahasan/topik dalam
matapelajaran. Jika menggunakan istilah
yang biasa digunakan di lingkungan Kemdikbud, kurikulum mencackup Standar Kompetensi
Lulusan (SKL). Standar Isi, Standar Proses dan Standar Penilaian. Jadi cakupan
kurikulum mulai apa yang harus dikuasai siswa (SKL), materi apa yang dipelajari
untuk dapat menguasai kompetensi tersebut, bagaimana pola pembelajaran yang
dijalani dan bagaimana mengukur apakah SKL sudah tercapai. Hanya saja perlu
dicatat karena potensi siswa berbeda-beda, gaya belajar mereka juga
berbeda-beda, maka standar-standar tersebut tidak dapat diterapan secara kaku,
sebaliknya harus memperhatikan perbedaan karateristik siswa dengan menerapkan
Kurikulum Berdiferensiasi.
Gambar 1.6. menunjukkan
kerangka dasar kurikulum berdiferensiasi.
Sekedar permisalan, siswa yang ingin menjadi programmer dan masuk ke
program studi Informatika mengambil
jalur A, siswa yang ingin menjadi dokter dan masuk ke program studi
Pendidikan Dokter mengambil jalur C dan seterusnya. Semua jalur mengandung bagian yang sama,
yaitu matapelajaran core (inti) yang disimbulkan dengan warna hijau tua
dan bagian itu diikuti oleh semua siswa. Namun disamping itu, setiap jalur
memiliki matapelajaran pilihan yang hanya ditempuh oleh siswa yang mengambil
jalur tersebut. Jadi matapelajaran yang disimbulkan dengan panah warna merah
hanya ditempuh siswa yang mengambil jalur C untuk masuk program studi
Pendidikan Dokter, matapelajaran yang disimbulkan dengan ungu hanya ditempuh
oleh mereka yang mengambil jalur E yang akan masuk program studi Akuntansi
karena ingin menjadi akuntan yang hebat.
Bagaimana proporsi antara
matapelajaran inti yang harus diikuti oleh setiap siswa dan matapelajaran
pilihan yang hanya diikuti oleh mereka yang mengambil jalur tertentu? Tidak ada rumus yang baku, karena sangat
tergantung kepada perbedaan`karatateristik program studi yang akan ditempuh
siswa saat kuliah atau profesi yang ingin ditekuni nantinya. Yang pasti, semakin tinggi jenjang
pendidikan, semakin banyak proporsi matapelajaran/matakuliah/materi ajar
pilihannya, seperti tampak pada Gambar 1.7. Pada PAUD dan SD kelas awal, proporsi
matapelajaran/pokok bahasan pilihan masih sedikit karena masih fokus pada
hal-hal yang sifatnya dasar. Perbedaan
yang harus diterapkan sejak awal adalah gaya belajar yang kemudian menjadi
dasar perbedaan model pembelajarannya.
Namun ketika di SMP dan siswa sudah mulai memahami potensi dirinya, maka
matapelajaran pilihan dan atau pokok bahasan pilihan harus sudah disediakan,
sehingga siswa memilih sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Apalagi kalau di jenjang S3 mestinya hanya
sangat sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali matakuliah yang harus diikuti
oleh semua mahasiswa, karena mereka sudah memiliki topik penelitian yang
berbeda-beda. Bukan berarti mereka tidak
boleh dua orang atau lebih mahasiswa menempuh matakuliah yang sama, tetapi yang
jelas itu bukan suatu keharusan.
Mungkin kita bertanya,
bukankah filosofi bahwa pendidikan seharusnya mengembangkan potensi anak sudah disampaikan
Ki Hajar Dewantara 100 tahun lalu, mengapa belum dilaksanakan? Mengapa sampai saat ini pembalajaran di sekolah pada umumnya
menerapkan pola klasikal? Tampaknya hal
itu dipengaruhi pola oleh pola kerja di industri. Ketika era industri
berkembang dan memerlukan banyak tenaga kerja terdidik, kemudian pendidikan
juga menerapkan konsep industri secara masal.
Seperti industri yang menerapkan pola kerja standar untuk memproduksi
barang, kemudian pendidikan menerapkan satu kurikulum, pola pembelajaran dan
tes hasil belajar tersandar untuk semua siswa.
Pada hal proses di industri dan di lembaga pendidikan sangat berbeda.
Industri menggunakan bahan yang sama untuk menghasilkan produk barang yang
sama, sementara input pendidikan (siswa) sangat beragam dan bahkan tidak ada
dua orang siswa yang sama. Profesi yang
nanti akan ditekuni siswa juga sangat beragam.