Pendahuluan
Sertifikasi
guru sebenarnya merupakan amanah UU No 14 Tahun 2005 tentang guru dan
dosen. Pasal 1 butir 1 menyebutkan:
“Guru adalah pendidikan profesional
dengan utama mendidik, mengajar……..”. Selanjutnya pada pasal 1 butir 4, disebutkan:
“Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan seseorang dan
menjadi sumber kehidupan yang memerlukan keahlian, kecakapan dan kemahiran yang
memenuhi standar mutu dan norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.”
Pasal 1 butir 12 menyatakan sertifikat
pendidikan adalah bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru dan
dosen sebagai tenaga profesional. Dari
rangkaian ayat-ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagai seorang
profesional, guru harus memiliki sertifikat pendidik yang diperoleh setelah
yang bersangkutan mengikuti dan lulus pendidikan profesi.
Pasal
1 butir 11 menyebutkan bahwa “sertifikasi
adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru dan dosen.” Namun yang dimaksud pemberian tentu bukan
sekedar “memberikan”, tetapi lebih dahulu menguji dan jika memenuhi persyaratan
sebagai profesional, yang bersangkutan diberikan sertifikat pendidik. Mirip dalam bidang engineering, suatu pesawat
yang selesai diproduksi diujicoba dan jika memenuhi persyaratan terbang,
diberikan sertifikat sebagai bukti layak terbang.
Apa
yang dimaksud dengan pendidikan profesi?
Undang-undang No 14 Tahun 2005 tidak menjelaskan. Yang menjelaskan hal itu UU No 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, pada penjelasan pasal 15 yang berbunyi “Pendidikan profesi
merupakan pendidikan tinggi setelah program sarjana yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan
persyaratan keahlian khusus”. Pengertian serupa juga kita temui di
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, pada pasal 17. Berarti calon guru harus lulus pendidikan S1,
kemudian mengikuti pendidikan profesi dan pada akhir pendidikan profesi
disertifikasi untuk memperoleh sertifikat pendidik.
Improvisasi Berliku dengan Banyak
Kepentingan
Ketentuan
di atas tampaknya dimaksudkan untuk calon guru.
Bagaimana dengan guru dalam jabatan tidak disebutkan dalam UU No 14
Tahun 2005. Pada hal sertifikat pendidik
merupakan syarat utama guru untuk mendapatkan tunjangan profesi, baik itu guru
PNS maupun
guru non PNS di sekolah swasta. Pasal 16
ayat (2) UU No 14 Tahun 2005 menyebutkan bahwa “pemerintah memberikan tunjangan
profesi kepada guru yang telah memiliki sertifikat pendidik yang diangkat oleh
penyelenggara pendidikan dan atau satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh
masyarakat.
Tentu menjadi sangat berat, jika guru dalam
jabatan (guru yang sudah mengajar di sekolah) harus mengikuti pendidikan profesi lebih dahulu untuk dapat ikut
sertfikasi.
Diskusi dengan berbagai pihak yang terlibat dengan
penyusunan UU No 14/2005 dapat disimpulkan bahwa sertifikasi guru dalam jabatan
tidak harus melalui pendidikan profesi, sebagaimana calon guru. Oleh karena itu harus dicari pola sertifikasi
guru dalam jabatan dan itu harus memiliki landasan hukum yang kokoh.
Pada pasal 11 ayat (2) UU No 14/2005 disebutkan bahwa sertifikasi dilaksanakan oleh perguruan tinggi
yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan
ditetapkan oleh pemerintah. Selanjutnya
pada pasal 11 ayat (4) disebutkan bahwa “ketentuan lebih lanjut tentang
sertfikasi pendidik diatur dalam peraturan pemerintah”. Dua ayat itulah
yang dapat menjadi pintu dan sekaligus
menjadi dasar
membuat Peraturan Pemerintah (PP) untuk mengatur sertifikasi guru dalam
jabatan.
Menyusun peraturan pemerintah (PP) biasanya
memerlukan waktu yang cukup lama.
Apalagi PP ini menyangkut beberapa
departemen, termasuk Departemen Keuangan yang nantinya terkait dengan
pembayaran tunjangan profesi. Sementara itu pasal 82 ayat (1) menyebutkan pemerintah
mulai menyelenggarakan program sertifikasi 12 bulan semenjak UU No 14 Tahun2005
diundangkan.
Dua
hal itu yang membuat pemerintah kebingungan pada tahun
2006. Mau melaksanakan belum ada PP
sebagai dasar, tidak melaksanakan berarti melanggar amanah pasal 82 ayat
(1). Sebagai jalan keluar, Menteri
Pendidikan Nasional meminta fatwa kepada Menteri Hukum dan HAM, apakah boleh
melaksanakan sertifikasi guru dengan landasan Peraturan Menteri. Keluarlah jawaban fatwa Menteri Hukum dan HAM
no: I. UM. 01.02-253 tertanggal 23 Maret
2007, yang intinya mengijinkan Depdiknas
melaksanakan sertifikasi guru dengan landasan Permendiknas, karena faktor
kemendesakan. Berdasarkan fatwa
tersebut, Mendiknas menerbitkan Permendiknas nomor 18 Tahun 2007, sebagai
landasan pelaksanaan sertifikasi guru.
Jadi sertifikasi guru Tahun 2007 dan 2008 dilaksanakan berlandaskan
Permendiknas, karena PP tentang sertifikasi guru baru terbit pada 1 Desember
2008.
Permendiknas
No 18 Tahun 2007 dikhususkan untuk guru dalam jabatan, artinya untuk guru yang
sudah mengajar di sekolah. Sedangkan
untuk calon guru akan dimasukkan dalam aturan Pendidikan Profesi Guru. Lantas apa kegiatan atau substansi sertifikasi
guru? Pada awalnya sertifikasi guru
dalam jabatan dirancang melalui uji kompetensi berupa tes tulis yang diikuti
dengan tes kinerja bagi yang lulus tes tulis.
Perangkat tes sudah disusun dan diuji coba, dengan melibatkan banyak
dosen LPTK.
Pola tersebut dilandasi pemikiran bahwa
sertifikasi adalah “kalibrasi” atau pengukuran apakah seseorang sudah memenuhi
syarat sebagai guru profesional, sehingga berhak memperoleh sertifikat
pendidik. LPTK yang mengeluarkan
sertifikat pendidik harus yakin dan menjamin bahwa yang penerima sertifika
pendidik benar-benar memenuhi standar sebagai guru profesional.
Dalam
konsep tersebut sama sekali tidak disinggung pelatihan bagi calon peserta atau
mereka yang tidak lulus sertifikasi. Asumsinya
tugas sertifikasi adalah mengukur dan memastikan bahwa guru yang memperoleh
sertifikat pendidik, benar-benar telah sesuai dengan standar yang
ditentukan. Sedangkan pelatihan dan atau
pembinaan guru, sebelum dan sesudah proses sertifikasi merupakan tugas lembaga
lain.
Dalam
perjalanannya ternyata ada pihak-pihak yang tidak setuju dengan konsep tes
tulis dan tes kinerja sebagai bentuk sertifikasi guru dalam jabatan. Terjadi diskusi dan perdebatan sengit, mana
yang didahulukan, antara menyejahterakan guru melalui pemberian tunjangan
profesi dengan harapan setelah sejahtera para guru akan meningkatkan kompetensi
dan kinerjanya atau meningkatkan kompetensi dan kinerja lebih dahulu dan kemudian
memberikan kesejahteraan bagi mereka yang sudah memenuhi syarat. Arus alternatif pertama ternyata begitu kuat,
sehingga tes tulis dan tes kinerja yang sudah disusun dan diujicoba menjadi
kurang bermanfaat.
Melalui
diskusi panjang dengan disertai “ancaman pendanaan” akhirnya diputuskan bahwa
sertifikasi guru dalam jabatan menggunakan portofolio yang diikuti dengan
pelatihan bagi yang tidak lulus.
Kesepakatan menggunakan portofolio didasarkan pada pemikiran bahwa portofolio dapat
menggambarkan kinerja dan prestasi guru selama bekerja. Namun sejak awal, pola tersebut diberi catatan bahwa portofolio mendasarkan
bahwa: (1) guru memiliki dokumen bukti kinerja dan prestasi yang dicapai, dan
(2) guru berlaku jujur ketika menyusun portofolio.
Dua catatan tersebut sejak awal menjadi bahan
diskusi. Saya termasuk orang yang
mempertanyakannya, karena orang Indonesia termasuk guru belum terbiasa
menyimpan dokumen sebagai bahan portofolio.
Kejujuran dalam menyusun portofolio juga menjadi pertanyaan besar pada saat
ini. Namun arus untuk menggunakan
portofolio begitu kuat, sehingga apa akhirnya terbit Permendiknas No 18 Tahun 2007 yang menyebutkan sertifikasi
guru dalam jabatan menggunakan portofolio yang dilanjutkan dengan PLPG bagi
yang tidak lulus.
Dengan
landasan tersebut dimulaikan pelaksanaan sertifikasi guru dalam jabatan pada
tahun 2007. Dalam perjalanannya dua hal
yang sejak awal dipertanyakan ternyata terbukti. Guru mengalami kesulitan menyusun portofolio,
karena tidak menyimpan bukti-bukti kinerja dan prestasi di masa lalu. Akhirnya para guru meminta surat keterangan
kepada lembaga yang dahulu memberikan sertifikat atau surat keputusan. Dan pola itu menimbulkan penyimpangan, karena
banyak surat keterangan “aspal (asli tetapi palsu). Apalagi ternyata banyak guru yang tidak jujur
dan melakukan berbagai cara agar portofolionya bagus dan lulus.
Kondisi
LPTK di Indonesia ternyata sangat beragam, baik kelengkapan program studi
maupun kualitasnya. Pada awal pemilihan
LPTK yang layak melaksanakan sertifikasi guru dalam jabatan hanya sedikit LPTK
yang layak dan umumnya terdapat di kota besar serta Indonesia Bagian
Barat. Muncul masalah pemerataan dan
faktor politik. Muncul ungkapan “Kami
belum layak, karena selama ini kurang mendapat dukungan dari pemerintah. Pada
hal, sumberdaya alam kami dikeruk untuk kepentingan negara.” Kebijakan pendidikan ternyata tidak lepas
dari faktor politik, sehingga pada akhirnya Mendiknas menetapkan LPTK yang
bertugas melaksanakan sertifikasi guru dalam jabatan, yang mempertimbangkan
faktor pemerataan dan kemudahan pelaksanaannya.
Menyadari
keberagaman kualitas LPTK pelaksana sertifikasi guru yang berpeluang
menghasilkan kualitas yang berbeda-beda, maka dibentuklah Konsorsium
Sertifikasi Guru (KSG) yang bertugas dan berwenang mengatur standar mutu dan
pelaksanaan sertifikasi guru. KSB
diketuai oleh Dirjen Dikti dan beranggotakan antara lain perwakilan LPTK yang
diambil secara proporsional.
Dalam
pelaksanaannya keberagaman kualitas pelaksanaan sertifikasi guru ternyata tidak
dapat dihindari. Walaupun sudah dibuat
panduan pelaksanaan, termasuk di dalamnya untuk penilaian ternyata ada LPTK
yang cenderung “mahal” dengan argumentasi menjaga kualitas, tetapi juga ada
LPTK yang cenderung “murah” dengan alasan kemanusiaan terhadap guru-guru yang
sudah sekian lama mengabdi dengan kesejahteraan minimal. Ada yang berargumen, “guru harus menguasai
teori dan konsep pendidikan serta materi ajar dengan baik, setara S1.” Ada yang berargumen, “yang penting prakteknya
yaitu guru dapat mengajar dengan baik di kelas. Banyak guru yang mengajar
sangat bagus, walupun tidak banyak menguasai teori.”
Implikasi Pembinaan Guru Berkelanjutan
Studi
World Bank terhadap pendidikan di Hongkong dan Shanghai (2010) menyimpulkan
bahwa pendidikan di kedua daerah tersebut meningkat signifikan, karena: (1)
calon guru dipersiapkan dengan baik, (2) setelah menjadi guru mereka
mendapatkan pembinaan profesional yang baik, dan (3) guru memiliki ruang gerak
untuk berinovasi ketiga bekerja di sekolah. Studi tersebut juga menggambarkan pola
penyiapan dan pembinaan guru di Hongkong dan Shanghai terintegrasi dan berjalan
dengan baik. Bertolak dari hal di atas,
pembinaan guru yang akan diuraikan pada bagian berikut adalah mulai dari
penyiapan calon guru, sampai mereka bekerja di sekolah.
Kalau
kita cermati secara utuh dan seksama, UU No 14/2005 memiliki visi bagus untuk
masa depan guru. Yang disebut secara
jelas, sebenarnya sertifikasi bagi calon guru yang ditempatkan di akhir PPG. Dengan demikian mutu lulusan PPG dapat
dijaga. Pelaksana PPG juga dibatasi
kepada LPTK yang terakreditasi dan ditetapkan oleh pemerintah. Apalagi, pasal 23 ayat (1) menyebutkan
pemerintah mengembangkan sistem pendidikan guru berikatan dinas dan berasrama
untuk menjamin efisiensi dan mutu pendidikan.
Dengan pola ikatan dinas, maka jumlah calon guru dapat dikendalikan dan
dengan berasrama pembinaan pendidikan calon guru dapat lebih optimal.
Pola
ikatan dinas sekaligus dapat menjadi alat distribusi guru. Secara agregat nasional jumlah guru di
Indonesia sebenarnya sudah cukup, namun distribusinya tidak merata. Banyak sekolah di kota besar kelebihan guru,
sebaliknya banyak daerah pedesaan dan daerah terpencil yang kekurangan
guru. Dengan pola ikatan dinas,
penempatan guru dapat dilakukan dengan lebih baik dan diarahkan kepada
daerah-daerah yang kekurangan.
Bagi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
pendidikan calon guru sebenarnya analog dengan Akademi Militer bagi TNI, IPDN
bagi Kementerian Dalam Negeri, Akademi Statistik bagi BPS, STAN bagi Kemeterian
Keuangan dan sebagainya. Pendidikan
calon guru dilaksanakan oleh perguruan tinggi di bawah Kemdikbud dan lulusannya
digunakan oleh sekolah di bawah Kemdikbud.
Dengan demikian sangat wajar amanat UU No 14/2005, agar pendidikan calon
guru menggunakan pola ikatan dinas, sebagaimana diterapkan di Akmil, STPDN dan
sebagainya.
Salah
satu dampak positif sertifikasi dan pemberian tunjangan profesi kepada guru
adalah meningkatnya minat lulusan SLTA masuk ke LPTK. Sejak tahun 2010 jumlah peminat masuk ke LPTK
naik secara signifikan yang tentunya menyebabkan mutu mahasiswa LPTK (minimal
LPTK negeri) menjadi lebih baik. Di
Universitas Negeri Surabaya, banyak dosen yang menyatakan mutu mahasiswa DIK
kini lebih baik dibanding non-DIK.
Dengan demikian kita dapat berharap empat tahun lagi, saat mahasiswa
angkatan tahun 2010 lulus, kita akan mulai memiliki calon guru yang lebih
bermutu.
Namun
dampak negatif juga terjadi.
Meningkatkan peminat masuk ke LPTK juga mendorong banyak LPTK menerima
mahasiswa lebih banyak dan bahkan mendorong beberapa pihak mendirikan LPTK
baru. Menurut informasi jumlah LPTK saat
ini sudah lebih dari 330 buah dan konon ada LPTK yang menerima mahasiswa lebih
1000 orang untuk satu program studi.
Kalau gejala ini tidak segera diatasi, ditakutkan akan menjadi “bom
waktu” beberapa tahun mendatang. Akan
terjadi over supply guru baru dan
sangat mungkin mutunya kurang baik. Sekali
lagi, betapa pentingnya menerapkan pasal 23 ayat (1) UU No 14/2005, yaitu pendidikan
guru berikatan dinas, agar over supply guru baru dapat dihindari.
Banyak
informasi bahwa pemberian tunjangan profesi belum berdampak terhadap
peningkatan kinerja guru. Di sisi lain,
paling tidak di Universitas Negeri Surabaya sejak tahun 2010 jumlah guru yang
kuliah di S2 meningkat signifikan.
Keadaan yang tidak sejalan tersebut diduga karena keragaman kondisi
guru. Dengan menggunakan teori Maslow
keadaan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Bagi guru yang masih terperangkap pada
kebutuhan hidup, tambahan penghasilan dari tunjangan profesi akan dimanfaatkan
untuk memenuhi kebutuhan dasar (rumah, kendaraan dsb). Bagi guru senior yang sudah mapan namun tidak
lagi memerlukan tantangan karier, tunjangan profesi akan dimanfaatkan untuk
hal-hal membangun relasi/kekerabatan agar lebih mendapatkan respek. Bagi guru muda atau mereka yang ingin
mengembangkan karier, tunjangan profesi digunakan untuk menempuh pendidikan
lebih tinggi. Secara proporsional jumlah
kelompok terakhir mungkin belum banyak, sehingga yang menonjol adalah kelompok
pertama dan kedua, sehingga terkesan tunjangan profesi belum mampu meningkatkan
kinerja guru.
Keragaman
pemanfaatan penghasilan tersebut diduga kuat juga disebabkan belum adanya peta
karier guru yang jelas dan arahan pemanfaatan tunjangan profesi guna menunjang
kinerja dan karier mereka. Keterbatasan
sumberdaya di Dinas Pendikan Kabupaten/Kota dan LPTMP serta keterbatasan
jangkauan P4TK menyebabkan para guru lebih banyak mencari sendiri, bagaimana
membina karier dan memanfaatkan tunjangan profesi yang mereka terima. Dampaknya seakan sertifikasi dan pemberian
tunjangan profesi tidak meningkatkan mutu pembelajaran di sekolah.
MGMP
dan KKG yang diharapkan menjadi ujung tombak pengembanan guru belum berjalan
dengan baik, karena tidak mendapatkan pembinaan yang memadai. Keterbatasan pengawas di Diknas Kab/Kota,
keterbatasan widyaiswara di LPMP dan jumlah P4TK yan terbatas menyebabkan
kesulitan membina kegiatan MGMP dan KKG.
Sementara itu, LPTK yang berada jumlahnya cukup banyak dan memiliki
sumberdaya yang relatif cukup, tidak memiliki akses langsung. Kegiatan pre-service
dan in-service guru yang terpisah
menyebabkan pembinaan guru tidak integratif dan kurang efisien. Sudah saatnya dicari pola pembinaan guru yang
integratif, sehingga lebih efisien dan sinambung.
Senyampang
pemberlakukan tunjangan profesi masih berjalan beberapa tahun, pembinaan guru
yang telah memperoleh sertifikat dan tunjangan profesi perlu segera
dilakukan. Jika tidak dikawatirkan
mereka akan memasuki “zona aman”, karena menikmati kelebihan penghasilan tanpa
arahan, tantangan dan keharusan untuk meningkatkan kinerja. Jika banyak yang melakukan hal itu, akhirnya
masyarakat akan menganggap wajar terhadap guru yang “bekerja seperti
biasanya/business ad it is”, walaupun telah mendapatkan tunjangan profesi.
Pembelajaran
inovatif akhir-akhir ini berkembang di sekolah, khususnya di jenjang sekolah
dasar. Dengan menggunakan berbagai nama
atau istilah, SD-SD melakukan inovasi. Sangat menarik, sebagian besar SD yang “berani”
melakukan inovasi besar adalah SD Swasta, walaupun juga ada SD Negeri. Yang menarik, SD seperti itu diminati oleh
masyarakat, khususnya orangtua yang terdidik.
Hal itu merupakan indikasi bahwa masyarakat menginginkan pembaharuan
pendidikan.
Abu
Duhou (199) yang meneliti pelaksanaan School Based Management di banyak negara menyimpulkan
bahwa peningakatan mutu pendidikan berasal dari inovasi dalam praktek
pembelajaran. Sedangkan inovasi seperti
itu memerlukan dua syarat, yaitu (1) kompetensi, dan (2) ruang gerak untuk
melakukan inovasi. Di Hongkong dan
Shanghai, kedua syarat tersebut tampaknya terpenuhi, sehingga terjadi inovasi
praktek pembelajaran di sekolah yang berujung peningkatan mutu pendidikan.
Belajar
dari pengalaman Hongkong dan Shanghai, maka pembinaan guru agar memiliki
kompetensi yang baik dan pemberian ruang gerak untuk berinovasi perlu
dilakukan. Dengan asumsi guru telah
memperoleh penghasilan memadai, sesuai dengan teori Maslow mereka akan
memerlukan capaian berikutnya. Pemberian
motivasi dengan baik diharapkan akan mendorong mereka melakukan inovasi yang
memungkinkan mendapat pengakuan dari rekan sesama guru maupun masyarakat umum.
Peta
karier guru sebagai bagian dari pola pembinaan juga perlu mendapat perhatian. Ketika telah menjadi profesi yang cukup
bergengsi dan posisi guru diisi generasi muda yang pandai, maka mereka akan
memerlukan tantangan karier. Apa saja
tangga karier guru dan persyaratan apa untuk mencapainya perlu disusun dan
disosialisasikan dengan baik. Pengalaman
mengajar di sekolah kecil/pedesaan dapat merupakan bagian dari persyaratan
karier guru. Dengan demikian perpindahan
ke sekolah seperti itu tidak dianggap sebagai hukuman, tetapi merupakan bagian
penjenjangan karier. Kemdiknas perlu
belajar ke TNI yang relatif telah memiliki pola pembinaan karier yang mapan.