Pertanyaan itu
berkali-kali saya terima dari beberapa teman dekat. Seingat saya, pertama saya terima via telepon
beberapa bulan lalu, ketika saat itu Unesa sedang proses pemilihan pembantu
rektor. Bulan Januari lalu, ketika proses
pemilihan dekan mulai menggelinding kembali saya dihujani pertanyaan
senada. Intinya, mengapa saya tidak ikut
memberi masukan dalam proses pemilihan pembantu rektor dan dekan. Termasuk dekan di fakultas tempat saya
bertugas.
Apa saya ingin mandito
dan menjauhkan diri dari umyek masyarakat kampus? Saya menanggapi dengan kelakar, mandito
dimana? Kan saya tidak punya pertapaan
dan juga tidak biasa bertapa. Juga tidak punya cantrik, apalagi satrio yang
ditengah malam menghadap minta diwejang seperti dalam wayang kulit. Saya juga
masih mengajar dan mencari sesuap nasi untuk kami berdua, saya sendiri dengan
istri.
Sebenarnya memang dengan
sengaja saya menghindari dari keterlibatan dalam proses pemilihan pembantu
rektor maupun dekan. Kalau toh diminta
memberikan pendapat, sekali lagi kalau diminta, maksimal saya hanya akan
memberikan kriteria. Biarlah adik-adik
dan teman-teman yang muda yang memikirkan siapa yang cocok untuk mengemban
tugas itu ke depan. Untungnya tidak
pernah ada yang minta pendapat, jadi saya lebih bahagia.
Zaman akan terus
berubah dan sesuai hukum alam, orang tua semacam saya akan tidak lagi cocok
dengan perubahan yang cepat itu. Kata teori
psikologi, orang itu seperti karet, punya elastisitas. Makin bertambah usia, elastisitas akan
menurun sehingga tidak lagi baik dan cepat mengikuti perubahan zaman. Contoh yang paling mudah adalah tentang
ICT. Orang setua saya ini akan selalu “jadul”,
karena merupakan emigran dan bukan native seperti anak-anak muda. Maksud saya, tantangan ke depan akan berbeda
dari masa lalu, berbeda dengan pengalaman yang dialami orang-orang tua seperti
saya ini. Jadi tentu orang yang muda
yang lebih tahu. Oleh karena itu, paling
banter orang tua seperti saya ini hanya dapat memberi contoh pengalaman, syukur
kalau masih ada yang relevan. Biarlah
yang muda yang mencerna, memilah dan memilih, dan akhirnya memutuskan apa yang
sebaiknya dilakukan.
Alasan kedua, saya
tidak ingin membayangi apalagi mempengaruhi pimpinan generasi penerus. Mereka
dipilih tentu karena diyakini punya kemamuan dan kematangan serta mengetahui
akan dibawa kemana biduk Unesa ini.
Mereka juga pasti punya cita-cita yang ingin dicapai oleh organisasi
yang bernama Unesa. Mungkin saja
cita-cita itu tidak saya ketahui dan saya fahami, karena menggunakan paradigma
baru yang mungkin lebih maju dari yang saya miliki.
Metaphora orang yang
baru mantu mungkin baik difahami. Biasanya mertua baru ingin sekali ikut
mengatur rumah tangga anak dan menantunya.
“Begini lho caranya. Sini saya
tunjukkan caranya”. Sementara sangat
penganten baru menggerutu: “Orang tua sok tahu dan ingin ngatur melulu. Itu kan model jadul yang nggak zamannya lagi”. Pemimpin yang lengser seringkali juga
terjangkiti “penyakit mertua baru” itu. Inginnya mengajari penggantinya. Pada hal pemimpin yang baru juga ingin punya
cara sendiri yang mungkin berbeda dengan yang digantikan. Saya berusaha menghindari “sindrom mertua
baru itu”.
Ketika itu saya
sampaikan, ada teman yang bertanya apakah dengan begitu tidak terjadi
ketidaksinambungan program. Apa tidak
kawatir apa yang selama 4 tahun dikembangkan terus terhenti. Saya yakin tidak. Pemimpin baru punya hak mengkaji program yang
sebelumnya berjalan daa memutuskan mana yang diteruskan, mana yang diubah dan
bahkan mana yang dihentikan karena sudah tidak cocok dengan eranya. Pemimpin lama, apalagi yang sudah tua tidak
boleh marah apalagi protes.
Itu berarti Pak
Muchlas tidak punya rasa memiliki Unesa, sehigga setelah lengser terus pasif.
Bukankah seharusnya sebagai senior Pak Muchlas ikut menata Unesa. Begitu bebera komentar keras yang saya
terima. Unesa itu milik publik dan
sebagai bagian dari publik, apalagi masih sebagai dosen, tentu saya merasa ikut
memiliki. Namun, saya tidak boleh merasa
paling punya hak untuk mengatur. Saya
harus menyadari hak saya sama dengan dosen/karyawan lain. Oleh karena itu, keinginan untuk
menata-mengatur harus direm. Jangan sampai
generasi muda ngrasai “orang tua tidak tahu diri, suka ngatur pada hal eranya
sudah berubah”.
Lantas apa yang dapat
saya lakukan untuk Unesa? Ya mengajar,
meneliti, menulis dan sekali waktu ikut PKM.
Rasanya bagi orang setua saya ini yang paling cocok yang ikut membina
dosen muda dalam kaitannya keilmuan.
Melakukan penelitian dan menulis karya ilmiah bersama dosen muda, akan
merupakan lahan tepat. Semoga.
1 komentar:
kebijakan yang melahirkan kebajikan.
Posting Komentar