Saya mengenal Kyai
Acep Saifudin, pengasuh Pondok Pesantren Amanatul Ummah sekitar tahun
2011. Saya lupa bagaimana awalnya,
seingat saya diperkenalkan oleh Pak Nurhasan yang saat itu menjadi Pembantu
Rektor IV Unesa. Sejak saat itu kami
saling berkomunikasi dalam berbagai hal.
Sebagai pimpinan PP Amanatul Ummah yang memiliki SMP/MTs dan SMA/MA,
beliau mengirim beberapa lulusannya masuk ke Unesa. Saya juga pernah silaturahim ke pondoknya di
Pacet.
Tanggal 1 Februari
2015 beliau menjadi tuan rumah acara Temu Alumni Jurusan Pendidikan Bahasa
Inggris IKIP Surabaya (sekarang menjadi Unesa).
Beliau memang alumni jurusan itu Angkatan 1978. Acara dilaksanakan di rumah makan milik beliau
di Pandaan (Rumah Makan Parahyangan).
Hadir di acara
tersebut, para dosen yang sebagian besar sudah pensiun, antara lain Prof Budi
Darma, Prof Soekemi dengan ibu, Pak Mas Mulyono dengan ibu, Pak Djoko Soeloeh
Marhaen dengan ibu, Pak Bahudin dengan ibu, Pak Kuncahyo dengan ibu, Ibu Thea
Kusuma, Ibu Sukriyah, Ibu Kumalarini, Ibu Kutsi, Ibu Kurnia, Ibu Titut, Ibu
Harijoso. Alumni yang datang dan saya
kenal antara lain: Mbak Yuni (angkatan 1976 dan mantan bendahara Dewan
Mahasiswa), Mbak Yani (biasa disebut Yani Komering karena rumahnya jl
Komering), Mbak Ratna (angkatan 1977 isteri Mas Yulius dosen UB), Mas Jalu
(angkatan 1977), Mbak Ema (angkatan 1978, adiknya ustad Taufiq AB), Mbak Anda
(angkatan 1978, adiknya Mas Surya), Mbak Wulan (angkatan 1978, guru SMA anak
bontot saya), Mbak Sirikit Syah (angkatan 1979, aktivis Media). Yang lain banyak, namun saya tidak tahu
namanya. Saya sendiri hadir, sebagai sopir kerena isteri saya alumni angkatan
1977.
Di samping itu hadir
Mas Djoko Pitono, seingat saya alumni jurusan bahasa Indonesia dan bertindak
sebagai pembawa acara. Nah saat acara
itu Kyai Acep diminta Mas Djoko bercerita bagaimana perjalanan hidupnya sampai
sekarang sukses mengembangkan PP Amanatul Ummah dengan santri lebih 6.000
orang.
Ternyata beliau
kelahiran Cirebon, jadi pantas kalau namanya pakai “Acep”, khas nama orang
Sunda. Ketika SMA kelas 2 (jurusan PAS-PaL,
sekarang disebut IPA), ayah beliau wafat dan terpaksa beliau berhenti sekolah
dan mondok di pesantren.
Karena punya
keinginan kuat untuk kuliah, maka beliau meminta surat keterangan dari pondol
pesantren tempat ngaji itu dan digunakan untuk mendafar di Jurusan Sasta Arab
IAIN Sunan Ampel Surabaya. Sambil
kuliah, beliau mengajar di beberapa sekolah swasta (kecil) untuk matapelajaran
Ilmu Ukur, Aljabar (keduanya sekarang disebut Matematika), bahasa Arab dan
bahasa Inggris. Pokoknya matapelajaran
apa saja diterima demi mendapatkan biaya hidup.
Bahkan beliau sering tidur du mushola, karena tidak punya tempat
tinggal.
Suatu saat sekolah
tempat beliau mengajar harus melakukan akreditasi dan beliau diminta
menyerahkan ijasah SMA PASPAL sebagai dasar mengajar Ilmu Ukur dan
Aljabar. Beliau bingung karena memang
tidak punya. Yang dipunyai “hanya surat keterangan dari Pondok”. Akhirnya, untuk menghindari hal-hal yang
tidak diinginkan beliau mengundurkan diri dari tempat mengajar.
Karena sudah senang
mengajar, beliau memutuskan harus kuliah di IKIP agar punya kewenangan sebagai
guru. Diputuskan untuk mendaftar program
D3 Pendidikan Bahasa Inggris. Karena
tidak punya ijasah beliau harus menghadap PR1 waktu itu yang kebetulan juga
dari Jawa Barat (Prof Tresa Sastrawijaya), sehingga mudah memahami masalah
beliau.
Setelah diterima dan
kuliah di jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, beliau dapat mengajar lagi tetapi
hanya untuk matapelajaran bahasa Inggris.
Da setelah lulus diterima mengajar di SMA Negeri di Lamongan. Namun karena nyambi mengajar di beberapa
sekolah di Surabaya, belia tetap tinggal di Siwalankerto Surabaya dengan cara
pulang balik Surabaya-Lamongan.
Di Siwalankerto
beliau dipercaya menjadi kepala sekolah swasta (berstatus wajaf) dan berhasil
mengembangkannya menjadi besar serta mampu membangun beberapa gedung bertingkat. Ketika sekolah sudah maju, tampaknya
anak-anak pemiliki yayasan ingin mengambil alih. Sangat menarik, beliau
menyerahkan semuanya. Tawaran beberapa
teman untuk menjadi pengacara ditolak dengan keyakinan, dengan menyerahkan
nanti Sang Khaliq akan menggantinya dengan yang lebih baik.
Setelah sekolah
diserahkan yang waktu tahun 1980an itu bernilai sekitar 3 milyar, beliau mulai
merintis sekolah baru dengan nama Amanatul Ummah. Rintisan dari nol itulah yang sekarang
berkembang menjadi PP Amanatul Ummah dengan SMP/MTs dan SMA/MA di Siwalankerto
dan Pacet dengan santri lebih dari 6.000 orang. Bangunan sekolahnya cukup
modern dan lulusannya banyak yang diterima di universitas negeri ternama.
Ketika Ibu Djoko Soeloeh
Marhaen bertanya apa kiatnya mengembangkan sekolah sehingga sukses dan darimana
dana pembangunan diperoleh, jawaban Kyai Acep sangat menarik. PP Amanatul Ummah tidak pernah minta bantuan
kepada pemerintah maupun perseorangan. Semua dikembangkan secara mandiri, denga
kegigihan, kerja keras dan manajemen yang baik.
Memang disamping menjadi pemangku
pondok beliau punya bimbingan jamaah haji dan umrah. Juga punya rumah makan dan usaha lainnya.
Yang sangat menarik,
semua guru harus menyekolahkan anak-anaknya di Amanatul Ummah sebaga bukti
bahwa Sekolah Amanatul Ummah memang baik.
Dan dengan cara itu, para guru akan mengajar dengan baik, kaena di dalam
sekolah itu ada anak kandungnya.
Sampai sekarang saya
juga masih bertanya-tanya dari mana dana untuk membangun gedung yang begitu
megah. Rasanya tidak hanya dari
pemasukan sekolah maupun biro bimbingan haji/umrah. Namun Kyai Acep tampaknya tidak berkenan
menceritakan. Yang pasti, menurut saya
beliau punya cita-cita tinggi, agar Amanatul Ummah melahirkan calon pemimpin
bangsa, beliau pekerja keras, sangat berani mengambil risiko dan punya relasi
sangat luas. Semoga menginspirasi banyak
orang lain.
4 komentar:
Bagus sekali ceritanya, semoga menginspirasi yang membacanya.Sutomo Alumni IKIP Surabaya Teknik Mesin Ankatan 1987. Pak Muklas Terima kasih atas ilmu yangdiberikan kepada saya.
ikutan numpang baca artikel ini
http://pucangsewuku.blogspot.co.id/2015/08/hakikat-kepribadian-santri-menurut.html
kh.asep saefudin chalim kelahiran leuwimunding majalengka sob..bukan cirebon.karna beliau banyak sedekah,waktu pulang kampung z suka bagi"sedekah sm orang"&beliau g sombong sm teman kecil nya di kampung&satu hal lg beliau klo jumatan suka bagi bagi sarung,yg ngebagiin bukan beliau v santrinya itu rutin sampe sekarang,itulah keajaiban sedekah bagi kh.asep saefudin chalim
Senang dengar nama Ibuku disebut: Thea Kusumo. Aku sangat kehilangan beliau.
Posting Komentar