Bagi saya, liburan
Idul Fitri tahun ini sungguh berbeda dibanding tahun-tahun sebelumnya. Menjelang Idul Fitri, saya dapat cucu baru
yang lahir pd tanggal 4 Juni 2016. Cucu
laki-laki bernama Arjuna Revi Valerian, “hadiah” dari anak kedua saya, Reza
dengan isterinya Camel. Anak saya yang
tinggal di Edinbrugh, Kiki berlibur selama 3 minggu untuk ber-idul fitri di
tanah air, bersama suaminya, Roy. Anak
bungsu saya, Lala yang tinggal di Jakarta juga ber-idul fitri di Surabaya
bersama dengan suaminya Bimo dan anaknya Freya. Jadi tahun ini saya dapat merayakan Idul
Fitri dengan keluarga lengkap. Apalagi Lala dan Kiki mengatur untuk berfoto
bersama dengan mengundang tukang foto profesional. Mumpung lengkap, begitu kata mereka. Apalagi
ada warga baru, si Juna anak Reza yang baru berumur 3 minggu.
Hari raya pertama dan
kedua berjalan seperti biasanya. Sholat
Idul Fitri di halaman masjid Al Azis di dekat rumah. Setelah itu bersalaman dengan tetangga
kiri-kanan yang umumnya juga sholat disitu.
Pulang kerumah makan pagi seadanya, dan terus siap-siap mengunjungi Ibu
mertua, yang biasa kami panggil Yang Ti di Malang. Perjalanan Surabaya-Malang cukup lancar,
walaupun sedikit tersendat di Singosari dan pertigaan Karanglo.
Sampai di rumah Yang
Ti sudah pukul 11an dan langsung makan masakan khas lebaran. Bercengkerama dan ngobrol ngalor-ngidul,
sampai pukul 14.30. Asyik, karena
kebetulan Dik Heny dan isterinya Dik Lis, adik isteri saya juga datang bersama
tiga anaknya, Ilmi, Ridho dan Sulthon.
Agak siang sedikit juga muncul adik satunya lagi, yaitu Agus. Mbak Yul, kakak isteri sudah datang bersama
anaknya, Ane beberapa hari sebelumnya.
Jadi kami empat keluarga ngumpul bareng di rumah Yang Ti.
Setelah istirahat di
penginapan, sorenya berkunjung ke Bu Lik Mien, bibi-sepupu ibu saya- yang
dahulu saya tumpangi sewaktu kuliah.
Menurut saya, Mbah Mien adalah “ibu yang terbaik”. Semua saudara sangat hormat kepada
beliau. Orangnya sabar dan hampir tidak
pernah marah. Banyak keponakan yang
pernah “numpang” beliau saat sekolah atau awal bekerja. Sewaktu masih dinas beliau bersama almarhum
suaminya, biasa saya panggil Pak Lik Ichwan, tinggal di Surabaya. Namun setelah pensiun pindah ke Malang,
tempat kelahiran Pak Lik Ichwan sambil mengelola pengajian di sekitar rumahnya.
Kiki dan Lala, jauh
hari sudah mengatur pada hari ketiga-ke empat dan kelima Idul Fitri ingin “memboyong
bapak-ibunya berlibur ke Bali”. Jadi
tahun ini, untuk pertama kalinya saya dan isteri belibur bersama anak-cucu ke
Bali. Agak sayang, anak kedua saya, Reza
tidak dapat ikut karena baru punya baby.
Kami menginap di vila “Pondok
Teman” di Jl Raya Semer no 40 Kuta Utara.
Vila kecil milik orang Jerman tetapi yang mengelola orang Perancis. Vilanya sangat nyaman, dengan 3 kamar tidur,
lengkap dengan kolam renang kecil. “Si
Perancis” sangat ramah. Kami sempat ngobrol beberapa saat. Mbak Yani,
pembantu di vila tersebut juga sangat ramah.
Kami semua merasa sedang tinggal selama 3 hari-dua malam.
Tentu selama di Bali
kami mengunjungi beberapa obyek wisata dan berkuliner di beberapa restoran. Semua serba bagus, mungkin menerapkan standar
internasional, walaupun sedikit mahal.
Namun ada yang mengganjal di pikiran saya. Kok “rasa” orang Balinya sedikit sekali
ya? Dari obrolan santai dengan beberapa orang yang saya temui, saya mendapat
informasi obyek wisata dan restoran yang saya kunjungi dimiliki oleh bukan
orang Bali. Pengunjungnya banyak orang
luar Bali dan bahkan pegawainya banyak orang non Bali.
Pada kemana si Wayan,
Putu, Gede, Made, Kadek, Nyoman, Komang dan Ketut? Merenungkan fenomena itu, saya lantas ingat
puisi yang dibaca oleh Panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmatyo, yang selalu ada
kalimat “tapi bukan kami punya”. Apa
memang ada kaitanya? Atau puisi Pak
Panglima itu dimaksudkan mempertanyakan fenomena di Bali? Sebagai guru, saya
tidak punya kapasitas untuk menjelaskan fenomena itu. Bahkan kalau boleh ikut bertanya dan memohon
penjelasan dari para ahli.