Beberapa riset tentang
21st Century Skills menempatkan kemampuan komunikasi (communication skill)
sebagai salah satu kemampuan penting, disamping critical thinking, problem
solving, creativity dan collaboration.
Mengapa demikian? Bukankah
berkomunikasi merupakan aktivitas biasa yang kita lakukan sehari-hari?
Manusia merupakan
makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendirian. Dalam kehidupan sehari-hari manusia selalu
berinteraksi dengan manusia lain, sehingga kemampuan komunikasi sangat
berpengaruh dalam interaksi seperti itu.
Ketika kehidupan masih sederhana dan manusia berinteraksi dengan
rekannya yang sama budaya serta adat istiadatnya, mungkin saja kemampuan
komunikasi tidak banyak merepotkan.
Namun ketika, kehidupan makin kompleks, orang harus berinteraksi dengan
rekannya yang berbeda budaya, berbeda keyakinan, bereda kepentingan dan
sebagainya, maka kemampuan bekomunikasi sangat penting.
Orang bijak
mengatakan, gagasan yang baik dan atau tujuan yang mulia harus dikomunikasi
dengan tepat. Jika tidak dapat terjadi
gagasan yang baik dan atau tujuan yang mulia itu ditolak orang lain, karena
cara mengkomunikannya kurang pas. Kalau
ingin meyakinkan anak-anak SD juga harus menggunakan bahasa yang dimengerti
oleh anak SD. Jika berdiskusi dengan
petani, yang harus menggunakan bahasa yang difahami oleh petani. Jangan mengajukan gagasan ketika orang yang
diajak diskusi lagi sumpek. Pepatah Jawa
mengatakan “kudu weruh empan papan”.
Terjemahan bebasnya kita harus tahu kapan menyampaikan gagasan itu.
Mungkin itu juga yang
terjadi dengan polemik tentang Lima Hari Sekolah (LHS). Ketika membaca Kemendikbud tentang LHS, saya
menangkap lima hari sekolah itu lebih tepat disebut lima hari belajar. Nah, belajarnya dapat di satu sekolah, dapat
di sekolah dan madrasah, dan sebagainya.
Pelaksanaan LHS juga dapat bertahap sesuai dengan kemampuan
sekolah. Tujuan pokoknya agar pendidikan
karakter berjalan lebih efektif.
Mungkin sekali cara
mengkomunikasikan Permendikbud itu yang kurang efektif. Saya sendiri baru tahu setelah terjadi
rame-rame di koran. Yang diramaikan
adalah Full Day School, pada hal Permendikbud itu sama sekali tidak tercantum
istilah itu. Keluwesan pelaksanaan LHS
juga tidak banyak dibahas dalam polemik yang muncul.
Memang masih ada
ganjalan yang tampaknya belum sempat dipikirkan ketika merancang Permendikbud
tersebut. Misalnya bagaimana dengan
makan siang anak-anak. Anak-anak di
pedesaan tidak lazim makan di sekolah dan orangtua juga tidak biasa menyediakan
anggaran untuk itu. Bagaimana dengan
sekolah yang sekolah yang lahannya sempit, sehingga tidak memiliki tempat untuk
bermain. Bagaimana dengan udara siang
yang sangat panas, sementara sekolah tidak menggunakan AC.
Problem LHS dapat
menjadi pelajaran berharga untuk kita semua.
Pelajaran bagaimana mengkomunikasikan gagasan agar orang lain dapat
memahami. Pelajaran bahwa gagasan yang
baik memerlukan cara mengokumunikasikan baik pula. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar