Perawakannya kurus
tinggi, berkulit coklat kehitaman. Senyumnya selalu mengembang menampakkan
giginya yang ompong satu. Pekerjaan
utamanya satpam di perumahan Tamandayu Pandaan.
Namun diminta tolong juga untuk merawat halaman rumah anak saya. Oleh karena itu saya sering ketemu kalau pas
berkunjung ke rumah itu dan kebetulan beliau sedang merawat halaman.
Kalau tidak salah, Pak
Solikin mulai merawat halaman itu sekitar dua tahun lalu. Halaman yang
merupakan hamparan rumpun gajah mini sangat rapi, pohon jambu, rambutan, mangga
dan kelengkeng juga tampak terawat.
Bahkan sederet kamboja juga tampak terawat rapi. Ada juga jambu biji yang ditanam di pot
besar, buah naga yang merambat di tembok dapur dan kalau tidak keliru ada pohon
pinang yang biasanya untuk makan sirih.
Semuanya tampak subur dan terawat dengan baik. Tampaknya Pak Solikin bekerja sangat baik.
Beberapa kali bertemu,
saya jadi akrap dengan beliau. Biasanya Pak Solikin naik motor protolan tanpa
plat nomor polisi. Saya tidak pernah
bertanya tentang motornya. Katanya rumah
Pak Solikin tidak jah dari daerah itu, jadi sangat mungkin motor itu hanya
dipakai di sekitar kampung dan kompleks perumahan Tamandayu, sehingga tidak
memerlukan pelat nomor polisi. Apalagi
motornya sangat tua yang tentu tidak dapat untuk ngebut.
Dari penampilan,
pekerjaan dan cerita beliu tentang keluarganya, saya menduga Pak Solikin
bukanlah orang kaya. Bahkan sangat
mungkin hidupnya pas-pasan saja. Namun
yang saya kagum dan bahkan sulit untuk memahami adalah semangat untuk memberi. Saya beberpa kali diberi sesuatu oleh beliau.
Saya ingat betul,
suatu saat saya dan isteri mampir kerumah anak saya dan melihat Pak Solikin
menata anggrek di teras rumah. Isteri
saya berguman bagus ya anggreknya.
Langsung Pak Soliki menyahut “monggo bu dibawa saja ke Surabaya, nanti
saya bawakan lagi dari rumah untuk rumah ini”.
Setengah memaksa agar anggrek dibawa oleh isteri saya dan betul akhirnya
dibawa pulang ke Surabaya.
Suatu saat ketika akan
ke Malang saya bertemu dengan Pak Solikin.
Beliau bertanya apa tidak mampir ke rumah anak, dan saya jawab nanti
pulangnya saja. Kapan? Saya jawab hari “X”. Karena urusan di Malang belum selesai, saya
pulang ke Surabaya terlambat dua hari (atau “X+2”). Ketika sampai di rumah anak, ternyata sudah
ada pisang emas satu tandan dan ternyata pemberian Pak Solikin.
Menjelang bulan
Romadhon saya ini saya mampir ke rumah anak dan kebetulan ketemu Pak Solikin. Beliau minta alamat rumah saya. Tentu saya
beri, dengan pikiran siapa tahu pas ke Surabaya beliau berkenan mampir. Nah, minggu lalu pas dengan isteri dari
Malang dan perjalanan santai saya mampir ke rumah anak. Kebetulan Pak Solikin sedang membersihkan
taman. Saya kaget, ketika tidak lama Pak
Solikin pulang dan datang lagi membawa pisang susu masak 4 sisir dan pisang
hijau mentah satu tandan yang sangat besar.
Beliau bilang sebenarnya ingin mengantar pisang itu ke Surabaya, namun
belum sempat dan saya datang. Katanya, biar bisa untuk camilan pas buka atau
sahur.
Sungguh luar
biasa. Saya sungguh kagum dengan Pak
Solikin, dalam keadaan ekonomi yang saya duga pas-pasan tetapi semangat memberi
sangat besar. Saya merasa kalah dengan
beliau. Semoga Allah membalas dengan
yang berlipat dan lebih dari itu semoga amal itu menjadi bekal beliau besuk ke
sorga.
Sambil menyopir pulang
membawa pisang itu, saya berpikir “mungkin inilah cara Allah memberi pelajaran
kepada saya dan isteri, bahwa memberi sesuatu kepada orang lain itu tidak usah
menunggu kaya”. Ternyata “guru untuk
memberi itu dapat berasal dari satpam yang hidupnya pas-pasan”. Bukankah harta kita yang sesuangguhnya itu
adalah harta yang kita berikan kepada orang lain dengan niat ibadah. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar