Beberapa hari lalu saya mendengarkan keluh kesah teman guru PPKn. Beliau datang silaturahim dengan beberapa
teman lain ke rumah. Seperti lazimnya
teman lama, kami ngobrol “ngalor-ngidul” sambil melepas rindu. Pada suatu bagian, beliau mengeluhkan
repotnya menjadi guru PPKn. Walapun,
dengan adanya program pendidikan karakter, semua guru wajib menjadi pendidikan
karakter dan sekaligus menjadi model berperilaku yang baik, namun tetap saja
guru PPKn selalu menjadi tumpuan kalau ada masalah yang terkait dengan
karakter.
Lantas apa yang dikeluhkan? Teman
tadi bercerita, hari-hari ini siswa SMA yang diajar sering mengajukan
pertanyaan yang beliau sulit menjawab dan serba salah. Mau menjawab sejujurnya, kawatir dampak yang
terjadi. Mau berbohong, lha guru PPKn
kok bohong. Pertanyaan itu terkait
dengan umeg di tingkat pusat, yang Pak Guru PPKn itu tidak tahu apa yang
sebenarnya terjadi.
Beliau menjelaskan, dalam konteks umeg perpolitikan, ada yang disebut fenomena
di muka panggung dan ada yang disebut fenomena di belakang panggung. Yang kita lihat di TV, kita baca di koran
maupun di media sosial lainnya itu kebanyakan fenomena di muka panggung dan
seringkali itu penuh kepura-puraan.
Sementara kejadian apa di balik panggung itulah yang sebenarnya dan kita
tidak pernah tahu, seperti apa itu.
Teman itu memberi banyak contoh yang membuat saya geleng-geleng
kepala. Konon kejadian yang kita lhat di
TV dan baca di koran, seperti perdebatan sengit atau bahkan saling bentak atau
tinju, hanyalah fenomena di muka panggung.
Belum tentu di balik panggung seperti itu. Mungkin juga kejadian itu sengaja dirancang
dilakukan anak buah, sesuai skenario tertentu.
Sementara yang membuat skenario itu justru duduk minum kopi bareng.
Mendengar cerita panjang lebar itu, saya lantas ingat lagunya Ahmad
Albar. Panggung Sandiwara:
Dunia ini panggung sandiwara
Cerita yang mudah berubah
Kisah Mahabarata atau tragedi dari Yunani
Setiap kita dapat satu peranan
Yang harus kita mainkan
Ada peran wajar ada peran berpura pura
Mengapa kita bersandiwara
Mengapa kita bersandiwara
Peran yang kocak bikin kita terbahak bahak
Peran bercinta bikin orang mabuk kepayang
Dunia ini penuh peranan
Dunia ini bagaikan jembatan kehidupan
Mengapa kita bersandiwara
Mengapa kita bersandiwara
Dunia ini penuh peranan
Dunia ini bagaikan jembatan kehidupan
Mengapa kita bersandiwara
Karena tidak faham,
saya bertanya “Lantas kita itu berperan sebagai apa?”. Teman tadi menjawab sekenanya: “sampeyan sih
sebagai penontog, sampeyan sebagai figuran, sampeyan sebagai asisten sutradara,
sampeyan yang sutradara, dan sampeyan itu yang memesan lakon”. Jawaban sulit dimengerti itu, diucapkan
sambil tertawan ngikik terus ngeloyor ke kamar kecil.
Setelah gerombolan
teman-teman tadi pulang saya merenung.
Yang datang silaturahim memang teman-teman lama, yang profesinya
macam-macam. Ada guru-ada yang masih aktif ada yang pesiunan, dosen, pensiunan
TNI, pensiunan BUMN, pengusaha dan politisi.
Benarnya kami ini bagian dari “panggung sandiwara” yang dilukiskan oleh
Ahmad Albar? Saya ini sebagai penonton
yang tidak terlibat sama sekali dengan lakon yang sedang berjalan atau secara
tidak sadar menjadi figuran yang diskenario orang? Atau bahkan sebagai pemain?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar