Idul Fitri ini saya
memaksakan diri untuk pulang kampung.
Sebenarnya waktu mepet-mepet, karena anak saya, Lala bersama suami dan
anak-anaknya pulang ke Surabaya via Solo dan sudah singgah di kampung saya di
Ponorogo sebelum Idul Fitri. Hari Kamis, lebaran kedua mereka balik ke Solo
terus ke Jakarta. Dengan demikian saya
baru punya waktu pulang kampung hari Jum’at, sementara hari Minggu ada rencana
mau berkunjung ke tante Fitri, satu-satunya saudara Ibu mertua yang masih
hidup.
Ketika lebaran pertama
berkumpul di Malang, saya berunding dengan adik, Sidho Hantoko, untuk pulang
kampung dan disepakati hari Jum’at terus Sabtunya balik. Dia yang ngalahi mampir ke Surabaya sebelum
sama-sama bermobil ke Ponorogo. Mungkin
dia berpikir kakaknya sudah tua, sehingga perlu dikawal ketika nyopir sendiri
Surabaya-Ponorogo. Jadilah kami bermobil ria, berangkat jam 09.15 dari
Surabaya. Semua lancer termasuk mampir
makan pecel di Madiun.
Keinginan pulang
kampung tahun ini tidak hanya untuk ber-Idul Fitri bersama keluarga, tetapi
juga ada acara dengan MIT Amanatul Ummah, sekolah kecil yang kami bina. Madrasah
itu berdiri 3 tahun lalu dan menempati gedung SMA Somoroto yang telah lama
tutup. Tahun 1980 kami, saya bersama
banyak teman di kampung mendirikan SMA swasta bernama SMA Somoroto tetapi
karena berbagai hal akhirnya tutup.
Salah satunya, karena di jarak beberapa ratus meter berdiri SMA
Negeri. Dan mutu SMA Somoroto tidak
begitu bagus sehingga tidak mampu bertahan ketika di sekitarnya banyak pilihan.
MITAU (singkatan
Madrasah Ibtida’iyah Terpadu Amanatul Ummah) berdiri didorong dan ditopang
adik-adik yang bersemangat tinggi untuk membuat sekolah/madrasah dengan
menggunakan gedung bekas SMA Somoroto tersebut.
Pilihan jatuh pada bentuk madrasah dan dimulai dari level terendah yaitu
MI. Mengapa? Karena di sekitarnya sudah banyak SD negeri dan kami sadar bahwa
masyarakat cenderung memilih sekolah yang bernuasa agama.
Bahwa masyarakat sudah
tidak membedakan antara sekolah negeri dan swasta, saya sudah faham. Bahwa
sekolah bermuatan agama lebih diminati orangtua dibanding sekolah umum, saya
sudah mengerti. Bahwa orangtua lebih
senang memilih sekolah yang harus membayar dibanding sekolah yang gratis, saya
sudah memahami. Namun fenomena yang saya
temua di MITAU lebaran ini sungguh di luar dugaan.
Ketika Jum’at sore
saya sillaturahim kepada kerabat, saya diberitahu sepupu yang mengatakan:
“sekolah pak puh yang daftar banyak, sedangkan SD negeri yang di dekatnya tidak
dapat murid sehingga digabung dengan SD negeri sebelahnya”. Saudara yang lain bercerita, guru SD negeri
berkeliling ke rumah-rumah mencari murid dengan membawa seragam gratis. Saudara lainnya lagi bercerita, bahwa SD-nya
(maksudnya SD tempat sekolah dahulu) sudah tutup sejak tahun lalu karena tidak
mendapatkan murid.
Sabtu pagi pukul 08.30
kami, para pendiri sekolah dan para guru berkumpul untuk ber-Idul Fitria sambil
mengobrolkan perkembangan MITAU. Ada dua
hal yang membuat saya kaget. Pertama,
Pak Wito, adik sepupu saya, salah satu pendiri sekolah dan juga mantan lurah,
menyampaikan bahwa dari 39 orang yang dahulu bahu membahu mendirikan SMA
Somorot tinggal 13 orang. Artinya yang
lain sudah dipanggil menghadap Sang Khalik. Dua bekas ketua Yayasan juga
almrahum, yaitu Mas Muhadi Suyono (mantan Bupati Ponorogo) dan Mas Mahfud
Wibisono. Tiga mantan kepala sekolah
jugan sudah wafat, yaitu Pak Asiroj, Pak Islam Iskandar dan Pak Iman Surono.
Ketika Pak Widodo,
salah satu generasi muda yang menokohi pendirian MITAU, melaporkan perkembangan
MITAU membuat kejuatan kedua. Beliau
menyampaikan tahun ini pendafar mencapai 56 orang. Namun yang 4 orang terpaksa “ditolak” karena
guru SD negeri sebelah datang ke MITAU menyampaikan bahwa 4 anak tersebut sudah
menerima seragam gratis dari sekolahnya, sehingga mohon tidak diterima di
MITAU. Apalagi pendaftar ke SD negeri itu hanya 8 orang, sehingga jika yang 4
orang diterima di MITAU berarti tinggal 4 orang.
Menurut saya fenomena
ini sangat baik dan pemerintah yang menangani bidang pendidikan perlu melakukan
kajian mendalam. Mengapa? Pertama, orangtua termasuk yang tinggal di
pedesaan seperti di kampung saya, sudah memilih sekolah yang membayar (karena
swasta) dibanding SD negeri yang gratis dan bahkan diberi seragam. Ini berarti kesadaran akan pentingnya
pendidikan yang baik sudah sampai pada akar rumput.
Kedua, mereka lebih
memilih sekolah yang bermuatan agama dibanding “sekolah umum” dengan alasan
jika anak-anak mendapat pendidikan agama cukup, maka karakter mereka akan lebih
baik. Artinya kesadaran akan pentinya
karakter dalam pendidikan sudah sampai ke akar rumput. Bahkan di pedesaan yang
bukan daerah santripun kesadaran itu telah tumbuh.
Bertolak dari fenomena
tersebut, sudah saatnya dilakukan “reorentasi pendidikan” agar tidak untuk
hal-hal akademik, apalagi sekedar memenuhi tuntutan ujian. Perlu dikaji secara mendalam, apa sebenarnya
tujuan pendidikan kita. Apalagi di era
digital yang semuanya berubah dengan cepat.
Google dan EY tidak lagi mensyaratkan ijasah ketika menerima karyawan
baru. Apalagi berbagai penelitian
mutakhir menyimpulkan bahwa ke depan dua kemampuan pokok yang diperlukan adalah
memacahkan masalah secara kreatif (solving problem creatively) dan hidup dan
bekerna sama secara harmonis (living dan working together in a harmony).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar