Vocational Education
and Training (VET) conference di Valencia University Spanyol 2-3 Mei lalu
merupakan konferensi internasional ketiga dan pertama di luar Jerman. Konferensi pertama di Bremen University dan
yang kedua di Rostock University, keduanya di Jerman. Wajar saja, karena konferensi ini merupakan
kreasi IJRVET (International Journal for Research on VET) yang bermarkas di
Jerman.
Secara akademik ada
beberapa paparan yang menarik untuk dicermati dan kita ketahui bersama. Sebagaimana kita ketahui bahwa terkait dengan
pendidikan vokasi terdapat dua aliran utama di dunia ini. Aliran pertama sering disebut dengan aliran
continental dan Jerman merupakan salah satu pusatnya. Inti pola ini, pendidikan vokasi disiapkan
sejak awal dan betul-betul dicocokkan dengan dunia industri yang nanti
menggunakan lulusannya. Konsep link and
match yang pernah populer di era Pak Wardiman menjadi Mendikbud diimpor dari
Jerman. Pola ini sering disebut dengan
man-power planning approach.
Aliran kedua sering
disebut aliran Anglosakson dan Inggris merupakan sumbernya. Intinya, sekolah tidak menyiapkan untuk
bekerja tetapi menyiapkan agar anak pandai, sehingga cepat belajar ketika
memulai bekerja. Hasil pendidikan bukan siap kerja tetapi siap latih. Oleh
karena itu, aliran ini tidak memiliki pendidikan vokasi sebagaimana aliran
continental. Yang mereka miliki adalah
pendidikan karier (career education) dan itu ditempuh setelah mereka memastikan
akan bekerja di bidang apa. Sedangkan
pendidikan sebelumnya itu menggunakan pola human development approach.
Perbedaan filosofi itu
tampak sekali ketika mereka menyajikan makalah.
Karena yang mengadakan IJRVET dan nama konferensinya bernama VET International
Conference (VETIC), sebagian besar pesertanya memang dari negara-negara yang
berorientasi ke continental, misalnya Jerman, Swiss dan Spanyol. Namun demikian
juga ada peserta dari Inggris, Amerika dan Australia yang termasuk aliran
Anglosakson. Peserta dari Australia
dengan bangga menyajikan hasil pengembangan model TAFE yang sukses menyiapkan
tenaga kerja professional. Sementara itu peserta dari Jerman dengan bangga
menyajikan penelitian yang terkait dengan pengembangan pendidikan vokasi ala
Jerman di Afrika dan Amerikan Latin. Berikut
beberapa makalah yang layak untuk dibahas.
Aschenberger dan Loffler dari Austria memaparkan hasil
penelitiannya terhadap peserta pendidikan vokasi di universitasnya (semacam
politeknik) tetapi jenjang S2 yang tidak mensyaratkan lulusan S1. Judul makalahnya:
Educational pathways of applicants for academic continuing
education - The treasure within and its contribution to bridge the gap from
"ECVET" to "ECTS". Austria
termasuk negara yang menganut pola continental, sehingga sangat memperhatikan pendidikan
vokasi. Mahasiswa yang diterima tanpa
memiliki ijasah S1 umumnya mereka yang berpengalaman di dunia kerja dan setelah
dilakukan RPL dapat disetarakan dengan S1. Hasil penelitian mereka terhadap
tiga angkatan, prestasi mereka tidak berbeda dengan signifikan dengan mereka
yang memiliki ijasah S1. Pendalaman
kepada mahasiswa menemukan bahwa pengalaman lapangan justru lebih kaya,
sehingga sangat membantu ketika mereka mengerjakan proyek di perkuliahan. Bagi
yang ingin membaca makalah lengkapnya dapat membuka di link: https://doi.org/10.5281/zenodo.2641717.
Yang sangat menarik
studi dua kawan dari Austria itu sebenarnya sangat sederhana dan cakupannya
hanya mahasiswa di fakultasnya. Namun
kajiannya sangat dalam serta detail, sehingga dapat menemukan proposisi yang
cukup kokoh. Analisis terhadap prestasi
sangat detail, mencakup berbagai aspek dalam capaian pembelajaran yang
ditargetkan. Dengan demikian
pembandingan prestasi antara mahasiswa yang memiliki ijasah S1 dan tidak, dapat
dilakukan secara detail. Temuannya juga
sangat menarik. Kemampuan problem
solving mahasiwa yang berlatar belakang industri ternyata lebih baik, karena
terbiasa mengerjakan tugas seperti itu di lapangan.
Presentasi yang juga menarik dari
aliran Anglosakson oleh Huddleston dan
Ashton dari UK dengan judul makalah Working to get work: Freelance work within
the creative and cultural sector. Dua kawan dari
Inggris itu memaparkan hasil penelitiannya tentang bagaimana anak-anak muda di
Inggris mendapatkan pekerjaan di bidang seni. Seperti yang saya duga mereka itu
tidak melalui pendidikan vokasi tetapi pendidikan umum semacam SMA, kemudian
magang untuk mendapatkan keterampilan.
Bagaimana perjalanan mereka dalam magang sampai mendapatkan yang mapan
itulah yang diteliti.
Apa temuan mereka yang
menarik? Ternyata dalam perjalanan selama magang itulah anak-anak muda
menemukan dimana passion mereka. Dengan
begitu akhirnya mereka menemukan pekerjaan yang cocok dengan bakat dan
minatnya, sehingga enjoy dalam bekerja.
Nah setelah itu baru mereka mengasah kemampuannya baik melalui belajar
mandiri, belajar kepada senior, maupun kursus.
Temua itu seakan ingin menguatkan bahwa pendidikan vokasi seharusnya
dilakukan setelah dapat dipastikan anak-anak bakat dan minatnya dimana. Hanya dengan cara itu, mereka akan enjoy dan
akhirnya kinerjanya baik. Makalah secara
lengkap dapat diunduh di link: https://doi.org/10.5281/zenodo.2641705.
Presentasi berikutnya
yang juga sangat menarik adalah oleh
Baumann dan Wegener dari Jerman dengan judul The Internationalization of VET:
German VET Provider Abroad – Transfer vs Pramagtism. Makalah ini menjelaskan bagaimana Jerman
“mengekspor pola VET di negara lain, misalnya di Afrika dan Amerika Latin. Proyek ini dibiayai oleh pemerintah Jerman
(mungkin juga bekerjasama dengan lembaga internasional) dan tampaknya akan
menjadi proyek besar. Makalah lengkap
dapat dibaca di link: https://doi.org/10.5281/zenodo.2641013.
Apa yang menarik dari
makalah tersebut? Menurut saya bukan
polanya, tetapi secara tersirat Jerman (dan mungkin juga negera lain)
menjadikan pendidikan sebagai komoditi yang diekspor. Sebagaimana barang yang menjadi komoditi
berarti “ada harganya” dan sebagainya.
Jadi kalau di masa lalu komodiri itu selalu berwujud benda, misalnya
mobil dan hasil pertanian dan sejenisnya, kemudian teknologi juga menjadi
komoditi yang diekspor oleh negera maju, ternyata sekolah pendidikan juga sudah
menjadi komoditi yang diekspor dengan harga tertentu. Apakah Indonesia juga ada menjadi tujuan
ekspor mereka? Itulah pertanyaan yang
muncul di benak saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar